Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220589 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fauzy Marasabessy
"Tesis ini membahas mengenai korban kejahatan, yang akan mengalami viktimisasi lanjutan (post victimization) karena adanya penolakan dan pengabaian dari sistem peradilan pidana. Sebagai pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana, korban kejahatan tidak pernah dilibatkan dalam proses peradilan pidana, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, sampai pemeriksaan perkara di pengadilan. Korban hanya dilibatkan sebatas memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Posisi korban sebagai pihak yang dirugikan, telah diambil alih oleh penyidik dan penuntut umum yang mengatasnamakan negara. Sementara itu dalam proses peradilan seringkah hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sedangkan hak-hak korban diabaikan. Penelitian tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Hasil penelitian menyarankan korban kejahatan dapat dilindungi hak-hak yuridisnya serta lebih berperan dalam sistem peradilan pidana dimana korban kejahatan dapat ikut menentukan mengenai model penghukuman apa yang diinginkannya terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana atas dirinya. Apakah model penghukuman (retributif) atau ganti kerugian (restoratif).

This thesis topics about criminal casualties, that will get post victimization because of the existence of the refusal and carelessness from the criminal justice system, as the side that suffer and is damage resulting from the violation of criminal law, criminal casualties had not been involved in the process of the criminal judicature, from the investigation stage, the demanding, to the case inspection in the court, casualties are only involv in being limit gave the testimony as casualties 's witness, the position of casualties is as the side that incure a loss, taken over by the investigator and the public prosecutor by the name of State. In the meantime in the process of the judicature often the law too much put the rights forward deffendant, where as casualties 's rights are ignored, this thesis research is the juridical research normative and juridical sociological, results of the research suggest criminal casualties could be protect by his juridical rights as well as more play a role in the criminal judicature system where criminal casualties could be decisive."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26103
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Diny Arista Risandy
"ABSTRAK
Mediasi tidak lagi hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di ranah perdata, melainkan dalam perkembangannya dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana tertentu. Mediasi sebagai alternatif model penyelesaian perkara pidana ini dikenal dengan istilah mediasi penal. Indonesia telah mengimplementasikan konsep mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yakni melalui Diversi dan dalam penanganan perkara-perkara pidana tertentu di tingkat penyidikan oleh aparat kepolisian. Namun demikian, masyarakat hukum adat di beberapa daerah di Indonesia pada dasarnya juga telah menerapkan konsep mediasi penal sejak lama, Aceh menjadi salah satunya. Tinjauan Yuridis dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana mekanisme dan kedudukan mediasi penal di Aceh dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia serta kekuatan hukum hasil mediasi penal yang dijalankan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mediasi penal yang dijalankan di Aceh terintegrasi di dalam Peradilan Adatnya yang berasaskan musyawarah damai sesuai ajaran Islam, dimana Peradilan Adat ini merupakan tahap pendahuluan bagi penyelesaian perkara pidana tertentu. Apabila telah diupayakan penyelesaian di dalam Peradilan Adat namun tidak berhasil, maka pihak-pihak terkait dapat membawanya ke jalur Peradilan Formal Negara. Putusan yang dihasilkan oleh Peradilan Adat di Aceh memiliki kekuatan hukum yang mengikat langsung bagi para pihak yang telah menyatakan secara tegas menerima putusan tersebut.

ABSTRACT
Mediation is no longer used only for civil cases settlement, but has now been used for particular criminal cases settlement as well. Mediation as the alternative model of criminal cases settlement is known as penal mediation. Indonesia has implemented the concept of penal mediation in Juvenile Criminal Justice System through Diversion and in the dealing of particular criminal cases at the level of investigation by police officers. However, indigenous people in several areas in Indonesia basically have also implemented the concept of penal mediation since quite a long time, Aceh is one of them. Juridical review in this research is focused on how the mechanism and the position of penal mediation in Aceh in Indonesian Criminal Justice System are, also the legal force of the implementation of penal mediation in Aceh. This is a normative legal research which is conducted through literature and desk study. The results of this research show that the implementation of penal mediation in Aceh is integrated in their Customary Justice which is based on the principle of peaceful deliberation according to the teaching of Islam, where the Customary Justice they have is a preliminary stage for particular criminal cases settlement. If a settlement had been attempted through the Customary Justice but was unsuccessful, then the related parties could bring their cases for settlement through the Formal Justice. The decisions made by the Customary Justice in Aceh have a direct legal binding for the parties who have expressed their acceptance of the decisions explicitly."
2017
S65601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Rosadiansyah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kedudukan justice collaborator dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Implementasi penerapan Justice Collaborator pada 2 (dua) kasus yakni
Agus Condro Prayitno dan Kosasih Abbas dibahas sebagai bahan analisis dalam
tesis ini. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa Agus Condro memiliki
peran yang signifikan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap
kasus tersebut sehingga mendapatkan keringanan hukuman namun pada saat Agus
Condro dijatuhi hukuman, belum ada peraturan mengenai Justice Collaborator.
Berbeda dengan kasus Kosasih Abbas, ia ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) sebagai Justice Collaborator karena
kooperatif pada saat penyidikan. Namun pada saat dijatuhi hukuman, majelis
hakim berpandangan berbeda, majelis tidak mempertimbangkan ia sebagai Justice
Collaborator. Kedepan dibutuhkan formulasi dan konsepsi dalam pengaturan
Justice Collaborator dalam proses hukum pidana sebagai upaya pembaharuan
hukum pidana di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the position of the justice collaborator in the criminal justice
system in Indonesia. The research method in use is normative juridical.
Implementation of the application justice collaborator in two (2) cases namely
Agus Condro Prayitno and Kosasih Abbas discussed for analysis of materials in
this thesis. From the analysis result concluded that Agus Condro have a
significantly role as a witness who cooperated to get relief. but at the time was
sentenced Agus Condro, there are no regulations about justice collaborator. In
contrast to case of Kosasih Abbas, he is defined by The Corruption Eradication
Commision of Indonesia Republic (KPK RI) as a justice collaborator because of
cooperative as the investigation, but at the time of sentenced he panel of
judgesargued differently, the panel did not consider he as justice collaborator. In
teh future, it will be needed formulation and conception in the setting of justice
colaborator in the process criminal law as effort to reform the criminal law in
Indonesian."
Universitas Indonesia, 2013
T35933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Samuel
"ABSTRAK
Sistem peradilan pidana sejatinya adalah proses yang dikonstruksikan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Proses yang dilakukan tersebut memperhadapkan pelaku tindak pidana dengan negara yang diwakili oleh penuntut umum. Dalam proses demikian pelaku tindak pidana didampingi dan dibela oleh advokat. Advokat melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri, yang menjalankan profesinya di dalam maupun di luar pengadilan. Advokat adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang integratif dalam rangka menanggulangi kejahatan. Pada saat ini sistem peradilan pidana di Indonesia menganut sistem non-adversarial yang memberikan posisi sentral kepada hakim untuk bertindak aktif dalam menilai fakta (kesalahan), hukum, dan hukuman. Bahkan hakim cenderung bertindak sebagai semi-prosecutor. Tentu saja keadaan demikian tidak memberikan keleluasaan kepada advokat untuk melakukan pembelaan kepada kliennya berdasarkan dalil-dalil yang dibenarkan oleh hukum. Dalam perkembangannya, karakter adversarial yang merupakan ciri sistem peradilan di negara-negara common law diadopsi ke dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun demikian karakter adversarial tersebut tidak diadopsi secara utuh, setidaknya demikian terlihat dalam Rancangan KUHAP. Karakter adversarial yang dianut dalam Rancangan KUHAP masih menganut prinsip hakim aktif dalam persidangan. Dalam sistem adversarial, advokat sebagai penasihat hukum terdakwa di sidang pengadilan memiliki peran yang lebih baik untuk membela kepentingan hukum terdakwa. Peran tersebut ditandai dengan kedudukan yang sama antara penuntut umum maupun advokat di persidangan. Penuntut umum dan advokat akan berperan aktif untuk menemukan kebenaran berdasarkan pembuktian melalui proses adu atau counter balance. Posisi penuntut umum dan advokat sebagai demikian menjadikan posisi hakim bersifat pasif atau hakim hanya sebagai wasit dalam proses adu tersebut. Letak pembenaran sistem adversarial atau sistem perlawanan adalah pada kenyataan bahwa sistem ini merupakan suatu sarana, di mana kemampuan individu dapat ditingkatkan sampai titik di mana ia memperoleh kekuatan untuk melihat realitas dengan mata yang bukan matanya sendiri, di mana ia mampu untuk menjadi bebas dari keberpihakan dan bebas dari prasangka sebagaimana “dapat dimungkinkan oleh keadaan manusia”. Dengan kata lain, sistem adversarial menyakini bahwa kebenaran akan muncul melalui proses adu yang dilakukan secara seimbang dan fair antara penuntut umum dan advokat.

ABSTRACT
The criminal justice system is actually a constructed process to overcome crime through judicial proceedings against defendant. The process undertaken is by confronting the defendant with the state represented by the public prosecutor. In the process, the defendant is represented and defended by advocates. Advocate based on Law Number 18 of 2003 regarding advocate is a law enforcerment officer who is free and independent, performing his profession in or outside the court. Advocate is a part of an integrated criminal justice system to overcome crime. Nowadays, the criminal justice system in Indonesia adopts non-adversarial system that gives the judge a central position to act actively in assessing the facts (guilty), law, and punishment. Moreover, the judges tend to act as a semi-prosecutor. Indeed, such conditions do not give adequate freedom to the advocates in defending their clients based on justified arguments. In the development, adversarial characteristic as the characterictic of criminal justice system of common law’s country is being adopted in criminal justice system in Indonesia. However, the adversarial characteristic is not fully adopted as a seen in the draft of The Code of Criminal Procedure which is still adhered to the principle of active judges in the trial. In the adversarial system, advocates as the defendant’s legal counsel in the trial have a better role in defending the legal interests of the accused. That role is characterized by an equal position of both the public prosecutor and the advocate in the court. Prosecutor and advocate will play an active role to find the truth through evidence-based process or counter balance. The position of the public prosecutor and advocate will give a passive position to the judge or the judge only play as a referee in that trial. The justification of adversarial system is a reality that the system is a place, where any individual’s ability could be improved up to the point where he gains the power to see the reality through his own eyes, where he was able to be free from prejudice as “human condition possibility”. In other words, the adversarial system believes that the truth will appear through counter balance process which is equally and fairly between prosecutor and advocate."
Universitas Indonesia, 2013
T33133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yevgeni Lie Yesyurun
"Miscarriage of justice, adalah suatu istilah yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang salah atau keliru, yang dapat berupa dipidananya seseorang sekalipun tidak didukung dengan alat bukti yang cukup, atau dipidananya seseorang yang sama sekali tidak melakukan tindak pidana. Miscarriage of justice tidak disebabkan oleh factor tunggal, akan tetapi sebagian besar dari kasus-kasus miscarriage of justice baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan bahwa kesalahan penyidik pada tahap penyikan menjadi faktor penyebab yang paling dominan. Kesalahan-kesalahan tersebut mengambil banyak bentuk antara lain, salah mengidentifikasi saksi mata, salah dalam menginterpretasi bukti forensik, termasuk tindakan kriminal penyidik seperti merekayasa saksi  (fabricated witness) atau mendistorsi keterangan saksi, memaksakan pengakuan tersangka, menyembunyikan atau mengabaikan bukti-bukti yang membebaskan tersangka atau terdakwa. Kesalahan-kesalahan ini terjadi karena lemah dan tidak efektifnya mekanisme kontrol yang disediakan oleh hukum acara pidana, terutama di fase penyidikan. Praperadilan yang sedianya menjadi sarana atau mekanisme kontrol terhadap jalannya penyidikan ternyata hanya menguji segi formil dari suatu upaya paksa, padahal penyimpangan yang terjadi ditahap ini tidak hanya mengenai pelaksanaan upaya paksa. Selain mekanisme kontrol yang tidak efektif, kedudukan advokat dalam proses pidana hanya menjadi sasaran tindakan yang disebabkan oleh pengaturannya yang sangat minimalis dalam hukum acara pidana. Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2012 tenyata belum memberikan solusi bagi pengungkapan kasus miscarriage of justice terutama dalam kaitannya dengan persoalan bagaimana mengungkap bukti-bukti yang membebaskan yang dikecualikan atau ditahan oleh penyidik, karena selain tidak ada mekanisme yang tersedia, kedudukan advokat yang tetap sekedar menjadi sasaran tindakan masih dipertahankan dalam rancangan tersebut.

Miscarriage of justice, is a term that relates to wrong or erroneous court decisions,   that can take form in the conviction of a person even when there is not enough evidence to support it, or the conviction of a person who did not commit any crime. Miscarriage of justice is not caused by a single factor, but most of the cases of miscarriage of justice that occurred both in Indonesia and in other countries show that the investigator’s error at the investigation stage to be the most dominant factor. These errors took many forms, namely, misidentifying witnesses, misinterpreting forensic evidence, including the investigator’s criminal acts such as manipulating witnesses (fabricated witness) or distorting witness’ testimony, forcing a confession from the suspect, hiding or ignoring evidence that frees up (relieve) suspects or defendant, among others. These errors occur due to weak and ineffective control mechanisms provided by the law of criminal procedure, especially in the investigation stage. Pretrial which was originally a means or mechanism to control the course of the investigation turned out to be just testing the judiciary aspect (formal aspect) of a forced effort, while the deviation/irrelevancy that occurs in this stage is not only about the implementation of the forced effort. In addition to ineffective control mechanism, the position of an advocate in criminal proceedings only becomes the target of actions caused by it being limitedly regulated in law of criminal procedural. Draft of Criminal Procedure Code of 2012 has yet to provide a solution for the disclosure of the miscarriage of justice, especially in relation to the issue of how to uncover exempting evidence that is excluded or detained by investigators, because aside from there is no mechanism available, the position of advocate that still becomes the target of the action is still retained in the draft."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Fauzan Haryadi
"Tesis ini membahas tentang upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum. Praktik peradilan terkait upaya hukum peninjauan kembali telah dilakukan oleh korban baik dalam kualitasnya sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan maupun Penuntut Umum yang mewakili korban dan negara. Perbedaan dalam penafsiran ekstensif dari pemberian hak peninjauan kembali oleh MA khususnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban yang dinyatakan tidak dapat diterima mendorong penulis untuk melakukan penelitian terkait permasalahan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, alasan apa yang mendasari Mahkamah Agung menyatakan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh saksi korban tidak dapat diterima serta bagaimana peluangnya di masa mendatang.
Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa secara teoritis dan praktik kedudukan korban masih sangat terasing dan diasingkan dalam sistem peradilan yang kita anut sekarang. Terhadap upaya hukum oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban Mahkamah Agung belum menerima secara formal atas dasar korban tidak mempunyai legal standing dalam perkara pidana. Berdasarkan atas pertimbangan rasa keadilan dan asas keseimbangan dengan menggunakan landasan perspektif posisi sentral korban dan pergeseran sistem peradilan pidana seharusnya selain Penuntut Umum dalam kapasitasnya mewakili korban, masyarakat umum, bangsa dan negara, serta korban dalam kualitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, maka korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban juga beralasan untuk diberikan hak mengajukan peninjauan kembali. Guna memberi landasan yang kuat bagi korban agar dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali dikemudian hari, ketentuan Pasal 263 KUHAP sebagai dasar pengajuan permintaan peninjauan kembali perkara pidana perlu direvisi dan dilenturkan sedemikian rupa sehingga juga bisa memberikan hak kepada korban kejahatan maupun keluarganya untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

This thesis discusses review appeals by victims and prosecutors. The practice of judicial review appeals have been made by the victim both in quality as witnesses, interested third parties and the public prosecutor representing the victims and the state. Differences in interpretation of the extensive granting review appeals by the Supreme Court in particular to effective judicial review appeals of the victim in the victim's quality as a witness cannot be accepted encourage writers to do some research problems related to the position of the victim in the criminal justice system in Indonesia, what is the underlying reason for the Supreme Court request review appeals of legal action by the victims cannot be accepted and how the chances in the future.
The results concluded that the theoretical and practical position of the victim is very isolated and ostracized in the justice system that we embrace today. Against legal action by the victim in the victim's quality as a witness Supreme Court has not received a formal on the basis of the victim haven't a legal standing. According to the sense of justice and the principle of balance by using runway perspective of the central position of victims and the criminal justice system should shift other than prosecution General in his capacity representing the victims, the general public, state and nation, as well as victims in quality as an interested third parties, the victim in the victim's quality as a witness was also given the right reasons to submit a review. In order to provide a strong foundation for victims to apply for review appeals in the future, the provision of Article 263 of the Criminal Procedure Code as the basis for reconsideration filing criminal cases need to be revised and bent in such a way that it can also give rights to victims of crime or their families to apply for review appeals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Melvia Body
"ABSTRAK
Tesis ini membahas konsep justice collaborator dalam praktik sistem peradilan
pidana Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Pada mulanya Justice Collaborator hanya dikenal dalam Praktik Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Analisa penerapan konsep Justice Collaborator atas 3
(tiga) kasus yakni Agus Condro Prayitno, Kosasih Abbas dan dibahas Thomas
Claudius Ali Junaidi sebagai bahan analisis dalam tesis ini. Dari hasil analisis
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat ketidakseragaman pemahaman dari para
penegak hukum dalam menerapkan Konsep Justice Collaborator dalam Praktik
Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Untuk itu ada beberapa kriteria untuk dapat
dijadikan Justice Collaborator yaitu: tindak pidana yang akan diungkap merupakan
tindak pidana serius dan/atau terorganisir; bukan pelaku utama dalam tindak pidana
yang akan diungkapnya; memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses
peradilan; Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan;
inisiatif dari pelaku kejahatan tersebut untuk mengakui perbuatannya dan bersedia
membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap perkara dimaksud; Pelaku
kejahatan membuat perjanjian mengenai kedudukan nya sebagai Justice Collaborator
dengan Jaksa Penuntut Umum. Kedepan dibutuhkan formulasi dan konsepsi
pengaturan Justice Collaborator dalam proses hukum pidana sebagai upaya
pembaharuan hukum pidana di Indonesia serta integrasi antar penegak hukum untuk
mewujudkan Sistem Peradilan Pidana yang well-done-integrated dalam menerapkan
Konsep Justice Collaborator

ABSTRACT
This thesis discusses the concept of justice collaborator in the practice of the
Indonesian criminal justice system. The method used is a normative juridical
research. Justice Collaborator at first known only in Indonesia Practice Criminal
Justice System. Analysis of the application of the concept of Justice Collaborator on
three (3) cases namely Agus Condro Prayitno, Kosasih Abbas and Thomas Claudius
Ali Junaidi discussed as material analysis in this thesis. From the analysis we
concluded that there is a variation on the understanding among the law enforcement
officer in applying the concept of Justice Collaborator in Practice Criminal Justice
System. There are several criteria to fullfiled as Justice Collaborator, namely: a
criminal act that will be revealed is a serious criminal offense and / or organized; not
the main offender in the crime that will revealed; testified as a witness in the court;
Prosecution lawsuit alleges that the offender has provided information and evidence
is very significant; initiative of the offender to confess and willing to assist law
enforcement officer to uncover the case; offender made an agreement regarding his
position as Justice Collaborator with the Public Prosecutor. In the future there is
should be a formulation and conception of Justice Collaborator in the process of
criminal law as an effort to reform the criminal law in Indonesia as well as the
integration among law enforcement officer to created the well-done-integrated
Criminal Justice System in applying the concept of Justice Collaborator."
2016
T46150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juwita Kayana
"Proses penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat tempat hukum tersebut diterapkan. Partisipasi dan dukungan masyarakat dalam proses penegakan hukum semakin nyata saat rasa keadilan di dalam masyarakat terusik ditambah dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum dalam menangani perkara pidana. Salah satu wujud dukungan masyarakat dalam proses penegakan hukum adalah munculnya opini publik baik melalui media massa maupun media sosial. Tesis ini membahas mengenai bentuk peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum, sikap para penegak hukum dalam mengakomodir opini publik yang muncul dalam proses penegakan hukum serta pengaruh opini publik dalam proses penegakan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah membuka peluang peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum. Secara umum peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum lebih banyak diarahkan pada upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Penelitian ini menunjukkan bahwa para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya telah berusaha mengakomodasi opini publik yang disampaikan oleh masyarakat namun dalam prakteknya tidak semua opini publik yang berhubungan dengan proses penegakan hukum berpengaruh terhadap hasil akhir proses penegakan hukum. Profesionalitas para penegak hukum sangat diperlukan untuk memilah opini publik tanpa harus mengganggu pelaksanaan tugasnya dalam upaya melaksanakan penegakan hukum.

Law enforcement process is inseparable from the role of the community wherein the law is applied. The participation and support from the community in the enforcement of law become more evident when something disturbs their sense of justice and when their trust towards the law enforcement officers efforts in handling criminal cases has decreased. One example of community's support towards law enforcement is the emergence of public opinion in mass and social media. This thesis discusses the forms of public participation in the law enforcement process, the stance of law enforcement officers in accommodating the public opinion emerging in the law enforcement process, and the effect of such public opinion. The research applies a legal normative method which is supported by empirical studies. Meanwhile, the analysis in this research is made by using the secondary data as the main data and using the primary data as the supporting data.
The result of the research shows that the Indonesian laws and regulations have opened up an opportunity for the community to participate in the law enforcement process. In general, the public participation in the law enforcement process focuses more on the criminal acts prevention. This research shows that in doing their duties, the law enforcement officers have attempted to accommodate public opinion. However, in the practice, not all of the public opinion related to the law enforcement process can have any effect on the final result of the law enforcement process. Professionalism of the law enforcement officers is necessary to sort out public opinion without disrupting the performance of their duties in enforcing the law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>