Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203262 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arief Nugraha
"ABSTRAK
Tekanan darah merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskuler yang mortalitasnya meningkat sampai 20 kali lipat pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Pemahaman yang benar mengenai mekanisme yang melibatkan perubahan tekanan darah intradialisis dapat mengarahkan pada
pemilihan tatalaksana yang lebih baik. Kami meneliti pada 108 subjek, yakni pasien penyakit ginjal kronik yang sedang menjalani hemodialisis 2 kali seminggu minimal selama 3 bulan. Kemudian dilakukan pengambilan data pre dan pascadialisis berdasarkan hasil pengukuran menggunakan sphigmomanometer raksa selama menjalani bulan Februari 2009. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di Bangsal
Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari 2009.
Berdasarkan perubahan tekanan darah intradialisis, pasien dibagi menjadi kelompok peningkatan tekanan darah sistolik, peningkatan tekanan darah diastolik, penurunan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah diastolik. Lalu dilakukan uji statistik untuk menilai korelasi perubahan tekanan darah dengan lama menjalani menjalani hemodialisis. Pasien berumur rerata 50,4 ± 13,4 tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita, dan lama menjalani HD rerata 3,73 ± 3,8 tahun. Dengan uji Pearson didapatkan korelasi positif yang bermakna antara lama menjalani HD dengan peningkatan (p<0.05, r = 0.522) maupun penurunan tekanan darah sistolik (p<0.05,r = 0.912). Disimpulkan bahwa lama menjalani HD
mempengaruhi derajat peningkatan maupun penurunan tekanan darah sistolik intradialisis

ABSTRACT
Blood pressure is a determinant factor of cardiovascular disease and its mortality is 20 times greater in hemodialysis patients. A greater understanding of the mechanisms involved leads to more rational treatment and better BP control. In this study, we selected 108 patients that has already undergo hemodialysis twice a week for at least three months in Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo in February 2009. We categorized patients into
intradialytic systolic blood pressure increase, intradialytic diastolic blood pressure increase, intradialytic systolic blood pressure decrease, and intradialytic diastolic blood pressure decrease. The patients have mean age of 50,4 ± 13,4 years and a mean duration of hemodialysis of 3,73 ± 3,8 years, 47% were male and 43% were
female. By Pearson analysis, there was significant positive correlation between intradialysis systolic blood pressure increase (p<0.05, r = 0.522) and intradialysis systolic blood pressure decrease (p<0.05, r = 0.912) with hemodialysis duration. It was concluded that duration of hemodialysis was related to intradialytic systolic blood pressure changes."
2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Krishna Pandu Wicaksono
"Pruritus adalah salah satu komplikasi yang cukup sering ditemui pada pasien hemodialisis. Salah satu faktor yang berkontribusi untuk terjadinya pruritus adalah tingginya kadar kalsium serum. Kalsium dalam jumlah besar dapat berikatan dengan fosfat membentuk kristal. Kristal ini bila terdeposisi di kulit akan merangsang ujung saraf sehingga menimbulkan gatal. Penelitian kami mencari hubungan antara kadar kalsium serum dengan derajat pruritus dalam VAS.
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari 2009. Setiap pasien dianamnesis untuk dinilai derajat pruritusnya dan diambil data pemeriksaan kadar kalsium serumnya pada bulan Februari 2009. Berdasarkan kadar kalsium serumnya, pasien dibagi menjadi kelompok hiperkalsemia dan normal dengan batas 11 mg/dl. Lalu dilakukan uji statistik untuk menilai hubungan skor VAS pruritus dengan kadar kalsium serum pasien.
Dilakukan juga uji untuk menilai korelasi skor VAS pruritus dengan kadar kalsium serum. Pasien berumur rerata 50,48 ± 13,44 tahun, terdiri dari 57,4% pria dan 42,6% wanita, dan lama HD rerata 2,3 (0,3-17,5) tahun. Sebanyak 54 pasien (50%) mengeluhkan pruritus dengan berbagai derajat. Dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna antara skor VAS pruritus pada kelompok pasien yang kadar kalsiumnya normal dengan kelompok pasien hiperkalsemia (p<0,001). Dengan uji Spearman ditemukan korelasi positif sedang (r=0,495) yang bermakna (p<0,001) antara kadar kalsium pasien dengan skor VAS pruritus pasien. Disimpulkan bahwa kadar kalsium serum berpengaruh terhadap ada tidaknya dan derajat pruritus pada pasien hemodialisis kronik.

Pruritus is one of the most commonly found complication in hemodialysis patient. One factor that is proposed to be contributing in pruritus is the high serum calcium concentration. High numbers of calcium molecules in the blood may bond with phosphate to form crystals. These crystals, when aggravated in the skin, may stimulate nerve endings and cause pruritic sensation.
In this study, we try to find the association between the severity of pruritus, measured with Visual Analog Scale (VAS), with the concentration of serum calcium. We use croos sectional method for this study. A total of 108 hemodialysis patients in Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo were studied in February 2009. Each patient was interviewed for assessment of the level of pruritus. We also noted their data of serum calcium concentration on February 2009. We categorized patients with calcium serum concentration >11 mg/dl into hypercalcemia group and those with calcium serum concentration <11 mg/dl into normal group. The patients have mean age of 50,48 ± 13,44 years and a mean duration of hemodialysis of 2,3 (0,3-17,5) years, 57,4% were male and 42,6% were female.
By Mann-Whitney analysis, there was strong difference between pruritus VAS score of the hypercalcemia groups and the normal group (p<0,001). Also, by Spearmann analysis, there was significant (p<0,001), moderate positive correlation (r=0,495) between serum calcium concentration with the pruritus VAS score. It was concluded that the calcium serum concentration has significant influence on the existence and degree of pruritus in hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Bima Prasetya
"Pruritus merupakan komplikasi yang cukup mengganggu bagi pasien hemodialisis. Salah satu faktor yang berkontribusi untuk terjadinya pruritus adalah kadar fosfat serum. Fosfat dalam jumlah besar akan membentuk kristal yang bila terdeposisi di kulit akan menimbulkan gatal. Pada penelitian ini kami membandingkan derajat pruritus yang dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) dengan kadar fosfat serum. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari 2009. Setiap pasien dianamnesis untuk dinilai derajat pruritusnya dan diambil data pemeriksaan kadar fosfat serumnya pada bulan Februari 2009. Berdasarkan kadar fosfat serum, pasien dibagi menjadi kelompok hiperfosfatemia dan normal dengan batas 6,5 mg/dl. Lalu dilakukan uji statistik untuk menilai hubungan skor VAS pruritus dengan kondisi fosfat serum pasien. Dilakukan juga uji untuk menilai korelasi skor VAS pruritus dengan kadar fosfat serum. Pasien berumur rerata 50,48 ± 13,44 tahun, terdiri dari 57,4% pria dan 42,6% wanita, dan lama HD rerata 2,3 (0,3-17,5) tahun. Sebanyak 54 pasien (50%) mengeluhkan pruritus dengan berbagai derajat. Dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna antara skor VAS pruritus pada kelompok pasien yang kadar fosfatnya normal dengan kelompok pasien hiperfosfatemia (p<0,001). Dengan uji Spearman ditemukan korelasi positif (r=0,342) yang bermakna (p<0,001) antara kadar fosfat pasien dengan skor VAS pruritus pasien. Disimpulkan bahwa ada tidaknya dan tingkat keparahan pruritus amat dipengaruhi kadar fosfat serum.

Pruritus is still a disturbing complication for hemodialysis patients. One factor that is proposed to be deciding in pruritus is the serum phosphate concentration. High numbers of phosphate molecules in the blood may form crystals, which if aggravated in the skin, may stimulate pruritic sensation. In this study, we compare the severity of pruritus, measured with Visual Analog Scale (VAS), with the concentration of serum phosphate. We use croos sectional method for this study. A total of 108 hemodialysis patients in Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo were studied in February 2009. Each patient was interviewed for assessment of the level of pruritus. We also noted their data of serum phosphate concentration. We categorized patients with phosphate serum concentration >6,5 mg/dl into hyperphosphatemia group and those with phosphate serum concentration <6,5 mg/dl into normal groups. The patients have mean age of 50,48 ± 13,44 years and a mean duration of hemodialysis of 2,3 (0,3-17,5) years, 57,4% were male and 42,6% were female. By Mann-Whitney analysis,There was strong difference between pruritus VAS score of the hiperphosphatemia groups and the normal group (p<0,001). Also, by Spearmann analysis, there was significant (p<0,001), positive correlation (r=0,342) between serum phosphate concentration with the pruritus VAS score. It was concluded that the existence and the level of pruritus was related to the concentration of the serum phosphate."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Allan Taufiq Rivai
"Hipoalbuminemia merupakan komplikasi yang umum ditemui pada penyakit ginjal kronik. Hemodialisis dapat pula menyebabkan keadaan hipoalbuminemia. Kadar albumin kurang dari 4 g/dl termasuk faktor risiko utama mortalitas pada pasien hemodialisis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 dan hubungannya dengan kelompok usia, jenis kelamin dan derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun).
Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subjek adalah pasien yang menjalani hemodialisis di RSCM pada bulan Februari 2009. Data kadar albumin serum dibagi menjadi dua status, yakni normal dan hipoalbuminemia. Hubungan antara kelompok usia, jenis kelamin derajat lama hemodialisis dan status albumin serum diuji dengan uji chi square (p<0,05).
Dari hasil penelitian, didapatkan 108 subjek dengan umur rerata 50,48 (SD 13,44) tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita. Median lama hemodialisis 2,3 (0,3-17,5) tahun. Proporsi hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 4 g/dl) pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSCM bulan Februari 2009 sebesar 41,7%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelompok usia (< 50 tahun dan ¡Ý 50 tahun) ataupun jenis kelamin dengan status albumin serum (normal dan hipoalbuminemia). Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun) dengan status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 (OR = 2,56; CI: 1,01 ¨C 6,58). Kadar albumin serum cenderung lebih rendah pada pasien dengan lama hemodialisis satu tahun atau kurang.

Hypoalbuminemia is a common complication in chronic renal disease. Hemodialysis can also cause hypoalbuminemia. Serum albumin level less than 4g/dl is a major risk factor for mortality in hemodialysis patients. The objective of the study is to know the state of serum albumin of hemodialysis patients in RSCM on February 2009 and its relationship with group age, sex, and degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year).
The design used was cross sectional study. Subjects were patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009. The data of serum albumin level was categorized into normal or hypoalbuminemia state. The association between group age, sex, and degree of hemodialysis duration with the state of serum albumin were tested using chisquare test (p<0.05).
From the study, there were 108 patients with a mean age of 50.48 (SD 13.44) years old and a median hemodialysis duration of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. Proportion of hypoalbuminemia (serum albumin level < 4 g/dl) in patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009 is 41.7%. There are no significant relationship between group age (< 50 years old and ¡Ý 50 years old) and sex with the state of serum albumin. The relationship between degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year) and the state of serum albumin is significant (OR = 2.56, CI: 1.01 ¨C 6.58). Serum albumin level tend to be lower in patients who undergo hemodialysis for 1 year or less.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Klien demam tifoid dngan manifestasi klinik sedang sampai berat biasanya
dilakukan perawatan di rumah sakit. Dalam perawatannya klien dianjurkan untuk tirah
baring sampai 7 hari bebas demam yang diteruskan mobilisasi bertahap. Pada masa tirah
baring ini dapat terjadi perubahan pada sistem kardiovaskular dajam bentuk penurunan
tekanan darah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi hubungan tirah
baring Iama dengan penurunan tekanan darah, yang dilakukan dengan cara mengukur
tekanan darah pada saat baru datang ke ruang rawat dan pada hari ketiga. Setelah tekanan
darah didapat dicari masing-masing mean arterial pressure (MAP).
Setelah dilakukan penelitian pada klien demam tifoid sebanyak 19 responden
yang menjalani tirah baring, hasilnya menunjukkan 58% responden mengalami
penurunan MAP 6-10 mmHg, 21% 16-20 mmHg, 11% 11-15 mmHg, 21-25 mmHg dan
0-5 mmHg masing-masing 5%. Setelah dilakukan uji statistik Person Product Moment
Coefocient Corelation disimpulkan adanya hubungan yang sedang (r=0,543) antara
tirah baring lama dengan penurunan tekanan darah. Pada pengujian t rest nilai t (2,666)
Iebih besar dari titik kritis (2,110) yang berarti H0 ditolak dan hubungan bermakna."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4962
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Mario
"ABSTRAK
Latar belakang Pasien penurunan kesadaran merupakan salah satu kasus yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat IGD Penilaian awal diperlukan untuk memberikan informasi kepada keluarga pasien mengenai kemungkinan yang akan terjadi dan membantu keluarga dalam pengambilan keputusan GCS telah menjadi salah satu penilaian yang digunakan untuk menilai luaran pasien penurunan kesadaran tetapi dinilai masih kurang dalam memprediksi luaran yang terjadi Penelitian ini bertujuan untuk menilai gabungan GCS tekanan darah sistolik dan umur dapat memprediksi luaran pasien penurunan kesadaran Metode Penelitian ini merupakan studi observasional kohort retrospektif 76 pasien penurunan kesadaran yang datang ke IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Peneliti melakukan pencatatan penilaian Glasgow Coma Scale GCS tekanan darah sistolik dan umur saat pasien diperiksa di triase Luaran dinilai setelah dua minggu pasca kedatangan di IGD Hasil Hasil analisis bivariat pada GCS dan umur memperoleh hasil berbeda bermakna antara pasien kelompok luaran buruk dengan kelompok luaran baik p.
ABSTRACT
Background Patients loss of consciousness is one case that is often encountered in the Emergency Room ER The initial assessment is required to provide information to the patient 39 s family about the possibility that will happen and help families in decision making GCS has become one assessment used to assess outcomes of patients with loss of consciousness but is insufficient in predicting the outcome of some cases This study aims to assess the combined GCS systolic blood pressure and age can predict the outcome of patients with loss of consciousness Methods This was a retrospective cohort observational study 76 patients with loss of consciousness that comes into the ER RSUPN Cipto Mangunkusumo Researchers conducted the recording of the Glasgow Coma Scale GCS systolic blood pressure and age when patients checked in triage Outcomes assessed after two weeks after arrival in the emergency room Results The results of the bivariate analysis on the GCS and ages get results significantly different between patients with poor outcome group with good outcome group p ."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Marihot
"Pola sirkadian tekanan darah (TD) adalah gambaran TD 24 jam berupa kurva TD yang meningkat pada pagi hari, menurun pada siang / sore hari dan terendah pada malam hari / waktu tidur. 24 hours Ambulatory Blood Pressure Monitoring (24 hrs ABPM) merupakan alat pengukur TD yang lebih akurat dan dapat memperlihatkan pola sirkadian TD 24 jam. Turunnya TD 10 - 20% pada malam hari disebut dipper, jika turun < 10% disebut nondipper. Meningkatnya TD 24 jam dan nondipper merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Prevalensi hipertensi dan nondipper pada Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 dalam Terapi Dialisis (PGK 5D) masih sangat tinggi. Faktor utama penyebab hipertensi pada PGK 5D adalah menurunnya Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dan meningkatnya cairan ekstraselular. Transplantasi ginjal akan memperbaiki TD dan nondipper dengan membaiknya LFG, meningkatnya produksi urin dan menurunnya cairan ekstraseluler. Namun demikian satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal kebutuhan dosis obat imunosupresan masih cukup tinggi yang dapat mengakibatkan hambatan penurunan TD.
Tujuan : Mengetahui perbedaan pola sirkadian TD, data dipper / nondipper dan rerata TD 24 jam pada pasien PGK Pra dan satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal.
Metode Penelitian : Studi Pre experimental dengan before and after design. Subjek penelitian pasien PGK 5D / Pra Transplantasi Ginjal berusia 18 ? 60 tahun, dilakukan di RSCM pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Jumlah subjek sebanyak 15 orang. Dilakukan pengumpulan urin 24 jam, pemeriksaan LFG, pengukuran TD 24 jam dengan 24 hrs ABPM, Pra dan satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal. Analisis statistik dengan uji McNemar dan uji t dependen.
Hasil : Terdapat 12 subjek nondipper dan 3 subjek dipper pada pasien PGK Pra Transplantasi Ginjal. Satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal seluruh subjek (15 orang) memperlihatkan keadaan nondipper. Uji McNemar tidak dapat dilakukan karena seluruh subjek PGK satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal nondipper (homogen). Terdapat penurunan rerata TD sistolik 24 jam pasien PGK satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal yang tidak signifikan (p > 0,05) dan penurunan rerata TD diastolik 24 jam yang signifikan (p < 0,05).
Simpulan : Belum terdapat perbaikan nondipper pada pasien satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal. Terdapat penurunan rerata TD sistolik 24 jam yang tidak signifikan dan penurunan rerata TD diastolik 24 jam yang signifikan pada pasien satu bulan Pasca Transplantasi Ginjal.

The circadian pattern of blood pressure (BP) is a 24 hours blood pressure (24hrs BP) curve which increases in the morning, decreases in the afternoon/evening and the lowest state is at night/bedtime. 24 hrs Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) is a BP measuring device that is accurate and can exhibit a circadian pattern of 24 hrs BP. The fall of BP 10-􀀃20% at night is called as a dipper, while less than 10% is called as a nondipper. The increasing of 24 hrs BP and nondipper are the risk factor for cardiovascular morbidity and mortality. The prevalence of hypertension and nondipper in Chronic Kidney Disease stage 5 on Dialysis (CKD 5D) are still very high. The main factors causing hypertension in CKD 5D are decreased Glomerular Filtration Rate (GFR) and increased extracellular fluid. Kidney transplantation will improve BP and nondipper by GFR improvement, increases urine production and decreases extracellular fluid. However, one month after kidney transplantation, the dose of immunosuppressant drugs is relatively high, which is an obstacle to decrease BP.
Aim: To determine differences in the circadian pattern of BP, the data of dipper and nondipper, and the mean of 24 hrs BP in CKD before, and one month after kidney transplantation.
Methods: Design of the study is before and after design. Subjects of the study were patients with CKD 5D before kidney transplantation, aged 18-60 years, were conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital during October to December 2014. 15 subjects were included in the study. 24 hrs urine collection, GFR, 24 hrs BP measurement with 24 hrs ABPM were recorded in all subjects, before and one month after kidney transplantation. McNemar test and t dependent test were used in statistical analysis.
Results: Before kidney transplantation, 12 of 15 subjects were nondippers while the others 3 subjects were dippers. After kidney transplantation, all subjects (15 patients) were nondippers. McNemar test can not be used because all subjects one month after kidney transplantation were nondippers (homogeneous). The decreasing of the mean of 24 hrs systolic BP was found in all CKD one month after kidney transplantation, but statistically not significant (p>0.05), while decreasing of the mean of 24 hrs diastolic BP was statistically significant (p<0.05).
Conclusion: There were still no improvement in nondipper patients one month after kidney transplantation. There were a decrease in the mean of 24 hrs systolic BP but statistically not significant and a decrease in the mean of 24 hrs diastolic BP which is statistically significant in patients one month after kidney􀀃transplantation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Christin Natalia
"Hipertensi adalah penyakit degeneratif yang salah satu faktor penyebabnya adalah penuaan. Penuaan dapat dipicu oleh stres oksidatif, yang mana merupakan ketidakseimbangan antara antioksidan dan RONS (reactive oxygen-nitrogen species). Antioksidan di dalam tubuh ada banyak, salah satunya adalah enzim katalase. Enzim katalase berperan dalam mengubah hidrogen peroksida menjadi air. Sebelumnya, belum diketahui hubungan antara enzim katalase dengan penyakit degeneratif, dalam hal ini adalah hipertensi. Sampel yang digunakan berjumlah 94 sampel. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross-sectional. Data yang dibutuhkan adalah tekanan darah dan aktivitas enzim katalase eritrosit. Aktivitas enzim katalase didapatkan dari lisat eritrosit sampel dengan bantuan spektrofotometer yang mana perhitungan absorbansinya dilakukan pada panjang gelombang 210 nm. Keseluruhan data kemudian dianalisis korelasinya menggunakan Uji Korelasi Pearson karena distribusi keseluruhan data normal. Uji T-test juga dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok sampel hipertensi dan normotensi. Tidak ada korelasi antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik dan diastolik populasi lansia secara keseluruhan (p>0,05). Akan tetapi, ditemukan korelasi lemah pada hubungan antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik kelompok populasi normotensi, juga antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah diastolik kelompok populasi hipertensi (p<0,05). Hasil uji T-test menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok hipertensi dan normotensi (p>0,05). Aktivitas enzim katalase eritrosit berkorelasi lemah dengan tekanan darah sistolik pada kelompok populasi lansia dengan normotensi, juga dengan tekanan darah diastolik pada kelompok populasi lansia dengan hipertensi.

Hypertension is a degenerative disease which one of the causes being aging. Aging can be triggered by oxidative stress, which is an imbalance between antioxidants and RONS (reactive oxygen-nitrogen species). There are many antioxidants in the body, one of which is the enzyme catalase. Catalase enzyme plays a role in converting hydrogen peroxide into water. Previously, there was no known relationship between the catalase enzyme and degenerative diseases, in this case hypertension. The sample used is 94 samples. The research was carried out using a cross-sectional method. The data needed are blood pressure and erythrocyte catalase enzyme activity. The activity of the catalase enzyme was obtained from the sample erythrocyte lysate with the help of a spectrophotometer where the absorbance calculation was carried out at a wavelength of 210 nm. The entire data was then analyzed for correlation using the Pearson Correlation Test because the overall data distribution was normal. T-test was also performed to see whether or not there was a difference between the mean values of the catalase enzyme activity data for the hypertensive and normotensive groups. There was no correlation between catalase enzyme activity and systolic and diastolic blood pressure in the elderly population as a whole (p>0.05). However, a weak correlation was found in the relationship between catalase enzyme activity and systolic blood pressure in the normotensive population group, as well as between catalase enzyme activity and diastolic blood pressure in the hypertensive population group (p<0.05). The results of the T-test showed that there was no significant difference between the mean values of the catalase enzyme activity data in the hypertension and normotensive groups (p>0.05). The activity of the erythrocyte catalase enzyme was weakly correlated with systolic blood pressure in the normotensive elderly population group, as well as with diastolic blood pressure in the elderly population group with hypertension."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhian Luluh Rohmawati
"ABSTRAK
Gagal ginjal terminal membutuhkan terapi pengganti ginjal, salah satunya adalah hemodialisis. Hemodialisis merupakan terapi yang aman namun dapat menimbulkan komplikasi salah satunya adalah hipertensi intradialisis. Perawat perlu mengetahui penyebab lain dari hipertensi intradialisis sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk menganalisis faktor biopsikososiospiritual yang mempengaruhi terjadinya peningkatan tekanan darah intradialisis pada pasien hemodialisis. Desain yang digunakan adalah analitik komparatif kategorik dengan pendekatan cross-sectional. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan non probability sampling jenis consecutive sampling dengan jumlah sampel sebesar 90 responden. Analisis data menggunakan chi square dan regresi logistik. Hasil menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah intradialisis antara lain gangguan tidur p=0,001 , penyakit penyebab p=0,021 , tingkat stres p=0,010 , dukungan sosial p=0,048 dan tingkat spiritualitas p=0,004 . Faktor yang berpengaruh dominan adalah gangguan tidur. Penelitian selanjutnya perlu diteliti terkait dengan faktor fisiologis pola nutrisi, riwayat merokok tekanan darah interdialisis , faktor psikologis ansietas dan depresi , faktor religious dan spiritual. Selain itu juga dapat diteliti mengenai intervensi misalnya mengatasi gangguan tidur, menurunkan tingkat stres, dan meningkatkan spiritualitas sehingga dapat menurunkan hipertensi intradialisis.

ABSTRACT
End stage renal disease requires kidney replacement therapy, one of which is hemodialysis. Hemodialysis is a life saving therapy, however it may cause several complications, one of them is intradialytic hypertension. Nurses must to know the influencing factors of intradialytic hypertension reduce mortality and morbidity. This research is analyzed biopsychosociospiritual factors that cause of intradialytic hypertension in hemodialysis HD patients. This study used comparative analytic design with a cross sectional. A total of 90 HD patients recruited by non probability sampling consecutive sampling. Data analysis using chi square and logistic regression. The results showed that the influencing factors of increasing intradialytic blood pressure were sleep disorder p 0,001 , past medical history p 0,021 , stress level 0,010 , social support p 0,048 and spirituality level p 0,004 and the most influential is sleep disorder. Suggestions for further research are identify the other factors such us physiological factors nutrition patterns, smoking history interdialysis blood pressure , psychological factors anxiety and depression , religious and spiritual factors. It also can be examined on appropriate interventions such as overcoming sleep disorders, reduce stress levels, and increase spirituality that can reduce the intradialytic hypertension."
2017
T46692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini
"Luka Bakar merupakan suatu kondisi dimana terjadi kerusakan integritas kulit yang dapat menimbulkan nyeri pada pasien. Perawatan luka yang dilakukan dapat menyebabkan nyeri ringan sampai berat. Dampak dari nyeri adalah pelepasan adrenalin yang berdampak pada peningkatan tekanan darah. Metode : menggunakan Quasi-experimental dengan Cross Over Design. Analisa data yang digunakan untuk data numerik skala nyeri pada kelompok kontrol dan intervensi menggunakan uji T berpasangan, sedangkan untuk tekanan darah pada responden yang tidak mendapatkan terapi musik dan yang mendapatkan terapi musik saat perawatan luka menggunakan uji Chi Square. Hasil : secara statistik terdapat perbedaan tingkat skala nyeri yang diberikan terapi musik saat perawatan luka dengan nyeri saat perawatan luka tanpa musik dengan (p=0,001), sedangkan untuk tekanan darah tidak ada pengaruh yang signifikan (p=0,057) . Simpulan : terapi musik dapat digunakan sebagai terapi penunjang saat dilakukan perawatan luka bakar.

Burns is a condition where the skin has damage and cause pain in patients. Wound care can cause unpleasant or painful feelings of pain intensity from mild to severe. The impact of pain is the release of adrenaline which can result in increased blood pressure. Methods: This study used a quasi-experimental with cross over design. Pain scale using the Numeric Pain Scale measuring tool, whereas blood pressure using spignomanometer. To compare the pain scale before being given music therapy and after given music therapy using paired t test analysis, for blood pressure using Chi square analysis. Results: Musical therapy gave a significant effect related to patient’s pain scale during wound care (p=0.001), while it has insignificant effect on blood pressure (p = 0,057). Conclusions: Musical therapy could be use as an adjuvant therapy when wound care is applied on burn patient."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T41942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>