Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149460 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kennetze, Edward
"Skripsi ini membahas mengenai praktik penundaan eksekusi yang terjadi dalam peradilan Indonesia. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap pada dasarnya dapat segera dimintakan eksekusi. Eksekusi merupakan tujuan akhir dari suatu proses beracara di pengadilan. Suatu putusan yang telah diputus oleh pengadilan belumlah sempurna apabila putusan tersebut belum dapat dilaksanakan. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi pada kenyataannya, eksekusi suatu putusan seringkali mengalami banyak kendala, salah satunya adalah adanya penundaan eksekusi perdata. Penundaan eksekusi pada dasarnya tidak memiliki dasar hukum yang tegas dan jelas. Penundaan eksekusi merupakan kebijaksanaan dari Ketua Pengadilan Negeri yang dalam pelaksanaannya selalu dikoordinasikan dan dikonsultasikan kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung kemudian akan mengeluarkan rekomendasi berkaitan dengan eksekusi tersebut. Penundaan eksekusi akan menyebabkan ketidakpastian hukum dan melanggar asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah.

Indonesian trial systems. A verdict which has a permanent legal force, by its nature, can be executed immediately. An Execution is the last procedure for court litigation. A verdict is not completed until it is executed. A court verdict is worthless if it is not been executed. But the fact is the verdict execution often times deal with a lot of problems, one of them is execution deferment in civil case. Execution deferment, basically, does not have a clear and bold legal basis. It is just Head of State Court decision in which practice always been coordinated and consultated to Supreme Court. Supreme Court, then, would release a recommendation prior to the execution. Execution deferment will cause confusion and violates simple, quick and inexpensive law enforcement."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22524
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Vidi Galenso Syarief
"Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Pernyataan pailit mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan kepailitan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji status hukum putusan pengadilan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atas upaya perdamaian pada kasus kepailitan, serta putusan pengadilan telah memenuhi asas kepastian hukum, sederhana, cepat dan murah apabila dibandingkan dengan upaya perdamaian yang dilakukan di luar Pengadilan dalam rangka memenuhi asas kemanfaatannya.
Pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum untuk memperoleh data sekunder sebagai data utamanya.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) Status hukum putusan pengadilan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atas upaya perdamaian pada kasus kepailitan adalah tetap berlaku dan sah menurut hukum, karena perdamaian dalam kepailitan bukan untuk mengakhiri sengketa atau mencegah suatu sengketa, karena perkara kepailitan tidak termasuk dalam jurisdiksi contentius sebagaimana halnya perkara gugatan perdata biasa, akan tetapi termasuk dalam jurisdiksi voluntair karena merupakan permohonan putusan pernyataan pailit.
Dalam kepailitan tidak ada sengketa, oleh karenanya perdamaian dalam kepailitan (i) dilakukan setelah perkaranya diputus (putusan pernyataan pailit telah diucapkan) dan tidak dilakukan sebelum perkara diajukan ke Pengadilan ataupun setelah para pihak didamaikan menurut ketentuan Pasal 130 HIR, dan (ii) bertujuan menyelesaikan kewajiban utang debitor pailit kepada para kreditornya secara sebaik-baiknya; dan (2) Putusan pengadilan telah memenuhi asas kepastian hukum, sederhana, cepat dan murah apabila dibandingkan dengan upaya perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan dalam rangka memenuhi asas kemanfaatannya.
Studi Kasus kepailitan BTID yang disidangkan kembali di Pengadilan Niaga berdasarkan akte perdamaian diluar pengadilan setelah adanya putusan pailit ditingkat Kasasi, MA, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah terobosan dalam hukum acara/ prosedur Kepailitan yang memberikan solusi yang memenuhi asas-asas diatas dan yang terkandung dalam HIR ps.130 dan Hukum Perdata dimana kesepakatan adalah Undang-undang bagi para pihaknya.

Bankruptcy is a process in which a debtor who has financial difficulties to pay its debts declared bankrupt by the court, the Commercial Court in this case, because the debtor is unable to pay its debts. Bankruptcy debtor void resulting in loss of the right to control and take care of his wealth are included in the bankruptcy, since the bankruptcy declaration.
The purpose of this study was to determine and assess the legal status according to the court ruling legislation applicable to a reconciliation effort in a bankruptcy case, and the court decision meets the principle of legal certainty, simple, quick and inexpensive when compared to the reconciliation effort that undertaken outside court in order to satisfy the benefit principle.
The approach to the problem of this research, are the legislation approach (statute approach) and the case approach. This research is a normative legal research, indeed, a research that done through a literature research in a way of document study on legal materials to obtain the secondary data as the main data.
The results of this research is (1) the legal status of the court decision according ruling legislation that applicable to the reconciliation effort on the bankruptcy case is still valid and lawful, because reconciliation in bankruptcy is not to end a dispute or to prevent a dispute, yet the bankruptcy court did not included in contentius jurisdiction like ordinary civil lawsuits, but included in voluntair jurisdiction because it is a decision of the bankruptcy petition.
In bankruptcy there is no dispute, therefore reconciliation in bankruptcy (i) is conducted after the case is decided (the decision of bankruptcy has been spoken) and not before the case filed to the Court or after the parties reconciled in accordance with the provisions of Article 130 of HIR, and (ii) aimed at finalizing the debt obligations of insolvent debtors to their creditors as proper as possible; and (2) The court's decision meets the principle of legal certainty, simplicity, quick and inexpensive when compared to the reconciliation effort made outside the court only in order to satisfy the benefit principle.
Bankruptcy case study of BTID which was retrial at the Commerce Court based on the Reconciliation Agreement outside the court just right after there was a bankruptcy final and binding court decision (inkrahct van gewijsde) by the Supreme Court was a breakthrough in the Bankruptcy trial procedure, that has given the solution which fulfills the above principles and stipulated in the HIR article.130, and Private Law as well, where the Agreement is the Act for the Parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34943
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Mahastra
"Bahwa Desain Industri merupakan salah satu rezim di dalam Hak Kekayaan Intelektual yang memberikan hak monopoli kepada pendesain sebagai reward terhadap suatu kreasi yang memiliki nilai estetis dan telah diterapkan dalam sebuah produk. Desain Industri sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Desain Industri ("UU Desain Industri"), mensyaratkan jika suatu desain harus memiliki kebaruan (novelty) pada saat pendaftaran dilakukan. Dan mengenai syarat kebaruan (novelty) tersebut, mengacu pada Pasal 2 ayat 1 dalam UU Desain Industri, menerangkan jika apa yang dimaksud dengan kebaruan (novelty) adalah apabila pada tanggal penerimaan, desain tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya (vide Pasal 2 ayat 2 UU Desain Industri). Berdasarkan hal tersebut, timbul perdebatan mengenai pemahaman kata ?tidak sama? dalam menentukan kebaruan terhadap suatu Desain Industri. Ketentuan "tidak sama" ini telah menimbulkan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dimana intinya memutuskan jika terhadap suatu desain yang memiliki perbedaan sedikit saja dengan desain yang telah ada sebelumnya, maka desain tersebut dapat dianggap baru. Bertentangan dengan putusan tersebut, terdapat putusan pengadilan lain yang juga telah berkekuatan hukum tetap, yang telah memutuskan jika suatu desain dapat dikategorikan baru jika memiliki perbedaan yang signifikan dengan desain yang telah ada sebelumnya. Keberadaan 2 (dua) putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ini telah menimbulkan inkonsistensi putusan yang berpotensi untuk menimbulkan ketidakpastian baik bagi pendesain yang kreasi desainnya telah dilindungi oleh Desain Industri maupun bagi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, dalam menentukan kebaruan terhadap suatu desain. Bahwa dengan membandingkan syarat kebaruan dalam perlindungan Desain Industri di Indonesia dengan syarat kebaruan dalam Registered Design dan syarat orisinalitas dalam Unregistered Design di Inggris serta konsep "new or original" dan "significantly differ" sebagaimana pada Article 25 dalam TRIPS Agreement yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dalam penelitian ini akan dibahas secara komprehensif mengenai konsep kebaruan dalam perlindungan Desain Industri di Indonesia dan sebab terjadinya inkonsistensi 2 (dua) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap serta implikasinya terhadap perkara lain yang serupa.

The Industrial Design is one of regime in Intellectual Property Right that grant a monopoly right to the designer as a reward for his/her creation which contain an aesthetic value and has applied to an article. Industrial design as regulate in Law Num. 31 Year 2000 concerning the Industrial Design ("Industrial Design Law"), required if a design has to be new (novel) when conducting the registration. Regarding to the said new requirement (novelty), refer to the Article 2 (1) in Industrial Design Law, explained that a design is new (novel) if in the acceptance date, the design is not the same with any disclosure which arise before (vide. Article 2 (2) in Industrial Design Law). Based on such matters, raise a controversy in understanding the word "not the same" on determine novelty in a design. It is creating inconsistence in the final and binding judgments, one decided that a design new if such design not the same with the previous design, other decided that a design new if it significantly differ with the previous design. The potential loss of such inconsistency has occur uncertain point for the designer and the Directorate General of Intellectual Property Rights, Department of Justice and Human Rights, in identify the new (novel) requirement in design. Comparing the new (novel) requirement in Indonesia with the new (novel) requirement in England (Registered Design) and originality in Unregistered Design (also in England), as well the ?new or original? and ?significantly differ? concepts in TRIPS Agreement, Article 25, which has ratified by Indonesia through Law Num. 7 Year 1994 concerning Agreement Establishing the World Trade Organization, the reason of the inconsistency occurrence can be answered. Based on such matters, this research will discuss comprehensively the concept of novelty in industrial design and the occurrence of inconsistency judgments which has final and binding, as well the implication of such matter to the similar future cases.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30939
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2011
341.522 IND k (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Winarno Adi Gunawan
"The peninjauan kembali (revision) under Indonesian procedure law system is as an extra ordinary efforts to against the supreme court decisions. Revision is applicable to the permanent decision by involved party that ought to filing fire due to the Supreme Court (Mahkamah Agung-RI). Based on law number 4 year 2004 has stipulated condition on one revision is under circumstance an any situation under article 23 section 1 which ought to under law provisions. The author here notes that any possibly impediment appears will not technically happen in practice later. Oftenily in revision implementations the lack or weakness does exist by the applicant side's. The mostly be deficient in the relevance's legal application lo be considered upon Supreme Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
HUPE-37-1-(Jan-Mar)2007-51
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqiy El Farabiy
"Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga independen pengawas pelaksanaan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU berhak memberikan putusan tetapi tidak memiliki kedudukan sebagai lembaga peradilan perdata, sehingga putusan tersebut tidak dapat di eksekusi oleh KPPU.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksekusi putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap dalam praktiknya, megetahui mengapa hingga saat ini masih banyak pelaku usaha yang tidak melaksanakan putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap, serta apakah upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan agar eksekusi putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Penulisan skripsi ini dikaji berdasarkan metode pendekatan yuridis normatif dan metode deskriptif analitis, yaitu memfokuskan pemecahan masalah berdasarkan data yang diperoleh yang kemudian dianalisa berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan terkait Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, literatur serta bahan lain yang berhubungan dengan penelitian dan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksekusi putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap dalam praktiknya mengalami berbagai hambatan sehingga tidak dipatuhi oleh pelaku usaha, adanya defense kerahasiaan informasi perusahaan menyebabkan KPPU tidak dapat memperoleh data perusahaan yang diperlukan untuk diletakkan sebagai objek sita eksekusi.

The Business Competition Supervisory Commission (KPPU) is an independent institution who supervise the implementation of Indonesian Law Number 5 of 1999 concerning the Banning of Monopoly Practice and Unfair Competition. KPPU is entitled to give judgment but not has the position as a private court, therefore the aforementioned judgment cannot be executed by KPPU.
With this sense, this research tries to analyze the execution of final and binding judgment given by KPPU in it's implementations,to do know why until now there is still businesses not to execute KPPU verdict, and to know what legal remedy that can be done so the execution of KPPU verdict be function properly.
The methodological approach in this research is a juridical normative approach and the analitical descriptive research, which analyze the research to secondary materials and it's relations with Business Competition Law in Indonesia, as well as any other literatures, and field researching in order to obtain primary materials through interviews.
The result shows the execution of final and binding judgment given by KPPU was initiated by KPPU to the District Court to conduct an execution, further, to put a seizure over the execution and also the outcome of auction sales. The District Court will later demand KPPU to be more active in conducting the seizure of the execution by revealing KPPU to earn some kind of object of the execution, such as assets to be seized, when in reality, those objects are difficult to find.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63942
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Bekti Anggoro
"Penguasaan pasar dilarang oleh UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam Pasal 19 huruf a- d karena dapat mengakibatkan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha pesaing dalam pasar bersangkutan, terciptanya penghalang bagi konsumen untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing, terciptanya pembatasan peredaran dan atau penjualan barang dan jasa dalam pasar bersangkutan serta munculnya berbagai macam praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Namun demikian, masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam penerapan Pasal 19 huruf a- d UU Nomor 5 Tahun 1999 pada penanganan perkara penguasaan pasar oleh KPPU terkait dengan diskriminasi berdasarkan proses penunjukkan langsung oleh institusi-institusi pemerintah atau oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), karena penunjukkan langsung yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara lebih tepat apabila dikategorikan ke dalam wilayah hukum pidana korupsi. Kemudian alasan hukum yang digunakan KPPU dalam menangani perkara penguasaan pasar yaitu terkait dengan adanya penguasaan pangsa pasar yang berakibat pada kepemilikan posisi dominan oleh pelaku usaha dalam pasar bersangkutan, terciptanya entry barrier atau hambatan masuk bagi pelaku usaha tertentu di sektor barang dan/atau jasa sejenis dalam pasar bersangkutan, terdapat pelaku usaha yang sengaja menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya supaya tidak dapat melakukan hubungan usaha, adanya upaya pembatasan atas distribusi atau penjualan barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, terdapat perilaku diskriminatif terhadap pelaku usaha tertentu dan munculnya dampak berupa terciptanya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dari upaya penguasaan pasar oleh para pelaku usaha, dimana pendekatan yang digunakan untuk menguatkan alasan hukum yang digunakan oleh KPPU terkait dengan upaya penguasaan pasar adalah pendekatan Rule o f Reason."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T37080
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Amin
"Proses penyelesaian sengketa terutama menyangkut utang piutang dipandang relatif lebih efektif apabila diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan Niaga dibandingkan dengan mekanisme Peradilan Umum biasa karena aturan yang terdapat dalam proses berperkara di Pengadilan Niaga lebih terprediksi dibandingkan dengan aturan beracara di Peradilan Umum biasa, sehingga para pencari keadilan bisa memperoleh gambaran yang jelas kapan sengketa yang dihadapinya bisa mendapatkan kepastian hukum. Dan seiring dengan riwayat lahirnya Pengadilan Niaga ini yang dilatar-belakangi oleh keadaan moneter yang sangat tidak menentu sudah barangtentu pemanfaatannya juga diharapkan bisa optimal dengan kata lain jangan sampai sia-sia, oleh karena itu setiap orang yang hendak menempuh penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga hendaknya harus terlebih dahulu memperhatikan syarat-syarat yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan baik syarat formil maupun materil, dan dari aturan yang disuguhkan oleh Undang-undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan sebenamya sangat kontributif untuk pengembangan nilai-nilai keadilan dalam rangka merespon dinamika masyarakat terutama para pencari keadilan karena mekanismenya cukup tenrkur dan dinamis tinggal bagaimana masyarakat melihatnya sebagai suatu terobosan dalam dunia peradilan yang lahir pada mass krisis ekonomi melanda bangsa Indonesia.
Walaupun dalam hasil penelitian ini ditemukan putusan Pengadilan yang tidak konsisten satu sama lain, sebagai suatu negara yang menganut system hukum civil law, keadaan ini harus disikapi sebagai sesuatu yang wajar dan pasti akan terjadi karena adanya dinamika penafsiran terhadap isi Undang-undang, berbeda dengan negara yang menganut sistem comman law dimana suatu Undang-undang bersifat bottom-up yang konsistensi penafsirannya terhadap isi suatu Undang-undang relatif lebih terpelihara. Namun demikian terlepas dari sistem hukum yang melatarbelakangi suatu negara, persfektif masyarakat dalam melihat aplikasi suatu Undang-undang pada setiap putusan Pengadilan akan ditentukan oleh tingkat rasionalitas pertimbangan hukum yang terdapat dalam putusan Pengadilan yang bersangkutan dihubungkan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan hal ini pulalah yang menjadi salah satu alat ukur rasa keadilan masyarakat, pada hal disisi lain pengakuan masyarakat atas penafsiran yang diberikan oleh para praktisi hukum terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan sangat bersifat kasuistik. Dari keadaan inilah yang membuat menarik untuk melakukan analisa terhadap suatu putusan Pengadilan yang telah ber-kekuatan hukum tetap, karena akan banyak dimensi berfikir yang bisa dilalui antara lain, pertama dapat melihat cara penerapan suatu Undang-undang terhadap suatu masalah, kedua bagaimana cara melakukan penafsiran, ketiga dapat melihat tingkat rasionalitas pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim serta dapat merasakan konsistensi satu putusan terhadap putusan yang lain."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anni Nurlaila
"ABSTRAK
Perbedaan landasan hukum antara peran dan fungsi notaris sebagai pejabat publik di bidang keperdataan dengan peran dan fungsi penyidik dalam penegakan hukum pidana, menyebabkan penulis tertarik untuk membuat tesis berjudul "PERAN NOTARIS DAN PENYIDIK DALAM PEMANGGILAN NOTARIS BERKENAAN DENGAN PERKARA YANG BERKAITAN DENGAN AKTA"
Pokok permasalahan yang penulis kemukakan adalah apakah pemanggilan notaris oleh penyidik telah sesuai dengan UUJN dan MOD serta apa yang akan dilakukan oleh majelis pengawas apabila terjadi penyimpangan dalam prosedur pemanggilan notaris oleh penyidik dan tindakan apa yang akan dilakukan oleh penyidik dengan adanya keterbatasan waktu pemanggilan dan apabila notaris telah dipanggil sesuai dengan prosedur pemanggilan tetapi tidak hadir memenuhi panggilan tersebut baik dalam kedudukannya sebagai saksi ataupun tersangka.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang merupakan penelitian hukum yang mempergunakan data primer atau data yang diperoleh langsung dari sumber melalui wawancara dengan Majelis Pengawas Daerah (MPD) dan Penyidik. Disamping itu penelitian ini juga termasuk bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kemudian dikaitkan dengan teori-teori ilmu hukum serta praktek pelaksanaannya sebagai hukum positif mengenai notaris dan polisi. Analisa data dalam Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis memperoleh gambaran dan dapat menyimpulkan bahwa pemanggilan notaris oleh penyidik berkenaan dengan perkara yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh notaris telah sesuai dengan Undang-undang Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan MDU antara Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yaitu harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) berdasarkan pasal 66 UUJN.

ABSTRACT
The difference of the law basis concerning the role and function of a notary as a public official in a civil matter, with the one of investigator in the realm of legal enforcement, is the reason of the writer's interest on the thesis's topic.
The main problem to be addressed in this research is whether the appeal of a notary conducted by an investigator has been in accordance with the Law Concerning Notary Position, and the Memorandum of Understanding, and what is the act to be conducted by the Supervision Committee in case there is a violation committed by the investigator in the procedure of appeal, as well as what are the act to be conducted by the investigator concerning the limited time for the appeal, and the notary has been appealed in a legally correct procedure, but the latter party doesn't fill the appeal both in his position as witness as well as suspected.
The method applied in this research is the normative one, means that the research using the primary data, in this case, the one directly collected from an in-depth interview with the respondent from the Regional Council Supervisor and the investigator. Furthermore, this research also can be considered as a descriptive analytical one, since it describes the applicable law which is then connected with the law theories as well as its implementation as a positive law concerning notary and police. A qualitative approach is applied in the data analysis in this research, in this context would mean the one stated by the research objects both wittingly and orally, as well as their obvious behavior.
Based on the research the writer draws a conclusion that the notary appeal conducted by the investigator concerning the case related to the deed had been made by the notary has been in accordance with the Law Concerning Notary Position, as well as the MoU between the Indonesia Notary Association with the Police Department of Republic of Indonesia which mentions that the appeal should be under the approval of the Regional Supervision Council (Article 66 of the Law Concerning Notary Position).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>