Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185328 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deddy
"Tesis ini membahas tentang wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dimiliki oleh Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi. Kewenangan-kewenangan tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, lembaga kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi di dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berbeda satu sama lainnya. Hal tersebut menimbulkan suatu keadaan hukum yang berbeda dalam praktek pelaksanaan dari kewenangan-kewenangan tersebut. Permasalahan yang diangkat adalah dimana letak perbedaan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada dasarnya secara kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi juga berada di Sistem Peradilan Pidana yang menitikberatkan pada pelaksanaan wewenang penegak hukum untuk saling berkoordinasi dan bekerjasama dengan penegak hukum lainnya sehingga terjadi mekanisme check and balances. Maka dengan demikian, wewenang pada lembaga Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan perkara korupsi tidak boleh dilakukan sepenuhnya secara individual namun harus tetap dalam jalur Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang mengutamakan koordinasi dan kerjasama antar instansi penegak hukum.

This thesis discusses the authority of investigate, investigation and prosecution by the Attomey General of the Republic of Indonesia and Commission of Eradicate Corruption of Republik Indonesia in dealing with criminal comiption. The authority has been set in the Act and the Criminal Law Event and other regulations. In the settlement of criminal corruption case, General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Comiption of Republik Indonesia which in the investigate, investigation and prosecution based on the laws and regulations that differ with each other. This situation raises a different legal practices in the implementation of authorities. The main problem is where are the difference between the authority of General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Corruption of Republik Indonesia. Basically, according to the authorities of Commision of Eradicate Corruptions Of Republik Indonesia, this institution has aiready in Criminal Justice System that focuses on the implementation of the law enforcement authorities for mutual coordination and cooperation with other law enforcement mechanisms so that there checks and balances. So thus, the authority on General Attomey of Republik Indonesia and Commission of Eradicate Comiption of Republik Indonesia in handling cases of corruption may not be entirely individual but must remain in the system path of the Indonesian Criminal Justice System, which consider as most important is coordination and cooperation between law enforcement agencies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26066
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ginting, Lowryanta
"Ketika Indonesia ditahbiskan menjadi negara ketiga paling korupsi didunia, mengherankan tidak ada yang heran sama sekali. Seakan semua fenomena ini sudah being firr granted yang tidak perlu di perdebatkan lagi di negara yang "berdasar pada hrrkum dan bukan pada kekuasaan" seperti yang diamanatkan oleh Konstitusinya. Ketidakherananan publik pada tingkat korupsi, oleh karenanya seringkali diikuti oleh apatisnie akan kemainpuan sistem hukum dan budaya yang ada untuk memberantas korupsi. Apatisme ini tidaklah berlebihan apabila dititik dari track record penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, sehingga muncullah sarkas bahwa "Indonesia adalah negara yang sangat tinggi korupsinya namrm tidak ada koruptornya". r Korupsi di Indonesia yang tetjadi dalam 30 tahun keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat tercengang: Setelah Orde Baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda kesadaran pemerintah bahwa "disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sarnpai tahap rnenyedihkan Korupsi juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem perekonomian dan macyarakat dalam skala besar. Pelaku perbuatan yang dipandang koruptif itu tidak ierjangkau oleh undang-undang yang ada dan selalu berlindung dibalik asas Iegalitas karena pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan oleh mereka yang memiliki karekateristik high level educated dan status dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman terhadap masalah tersebut diatas, pemerintah dan Lembaga Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat} telah membentuk dan mensahkan Undang-Undang No: 30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kebijakan ini merupakan "political will" dari pemcrintah dengan suatu tekad dengan membentuk suatu badan anti korupsi untuk meinberantas segala bentak penyelewengan dan korupsi yang terjadi selama 3 dasawarsa ini, demi menyelamatkan kcuangan dan pcrekonomian negara guna mewujudkan aparatur pemerintah dan aparat penegak kukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Wahyu Hapsoro
"Tesis ini membahas mengenai hadirnya KPK sebagai lembaga negara independen anti korupsi yang mempunyai kewenangan penuntutan. Kewenangan yang selama ini telah menjadi domain institusi Kejaksaan dengan asas universal bahwa Kejaksaan sebagai dominis litis dalam bidang penuntutan dan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi kewenangan penuntutan tersebut. Secara institusional atau kelembagaan terjadilah dualisme penuntutan dimana fungsi penuntutan di KPK dikendalikan oleh ketua KPK dan fungsi penuntutan di Kejaksaan dikendalikan oleh Jaksa Agung.
Pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah bagaimana mekanisme penuntutannya apabila terjadi penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK dan Polri secara bersamaan, apakah kewenangan penuntutan yang ada pada KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme penuntutan suatu tindak pidana korupsi bila penyidikannya dilakukan oleh institusi Polri dan KPK secara bersamaan, untuk mengetahui apakah kewenangan penuntutan KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan untuk mengetahui apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu.
Metode penelitian dalam menjawab permasalahan tersebut adalah dengan suatu kajian yuridis normatif dan penelitian lapangan berupa wawancara terhadap para guru besar atau akademisi dalam bidang Hukum Acara Pidana dan Kriminologi serta para praktisi dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa kewenangan penuntutan yang dimiliki KPK sudah sesuai dengan tujuan politik kriminal dari pemerintah dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu extraordinary crime dengan membentuk lembaga negara adhoc anti korupsi yang mempunyai kewenangan superbody, namun dalam prakteknya kewenangan tersebut juga menyimpangi sejumlah asas antara lain asas een ondeelbaar yaitu jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan dimana Jaksa Agung berada di puncaknya sebagai pengendali, menyimpangi asas dominis litis yang berlaku universal dimana Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan dengan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi, serta adanya kekeliruan perihal ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat bertindak selaku penuntut umum, padahal mereka bukan lah seorang jaksa sehingga seharusnya pengendalian penuntutan terhadap jaksa-jaksa di KPK tetap berada pada Jaksa Agung.

This thesis discusses the existence of KPK as an anti-graft independence agency that has prosecutorial power. The authority that has been the domain of the District Attorney’s Office with universal principle that District Attorney’s Office as Dominus litis in prosecution and the Attorney General as the supreme official controlling the prosecutorial powers. Institutionally, there is a dualism in prosecution where the prosecutorial function at KPK is controlled by the KPK Chairman and the prosecutorial function is controlled by the Attorney General.
The research question in this thesis is: how is the mechanism of the prosecution if the corruption case is handled by KPK and police investigators at the same time? Is the existing prosecutorial power of the Anti-Corruption Commission contrary to the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility) and is the dualism in prosecutorial powers in conformity with the integrated criminal justice system?
The research methodology to answer the research question is by conducting a judicial normative study and a field research by interviewing professors or academia who are experts in Law of Criminal Procedure and Criminology as well as the practitioners of the graft eradication.
The research findings state that the prosecutorial powers possessed by the Anti-Corruption Commission has conformed to the criminal politics objectives of the government in combating graft/corruption as an extraordinary crime by establishing an ad hoc anticorruption state agency which has the authority of a superbody; however, in practice this power also violates a number of principles, among others the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility), i.e. there is only one prosecutor and is inseparable in which the Attorney General is at the top as the controller, deviates from the principle of dominus litis that is applicable universally in which the District Attorney’s Office is the only prosecution agency with the Attorney General as the supreme controller, as well as the existence of errors in the provision stating that KPK Chairman can act as public prosecutor, despite the fact that he is not a prosecutor; therefore, the prosecution control of the prosecutors at KPK shall remain in the hands of the Attorney General.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36003
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Nophy Tennophero
"Dewasa ini peranan dan aktivitas korporasi sangat strategis. Tidak jarang dalam praktiknya korporasi dapat menjadi sarana untuk melakukan kejahatan dan memperoleh keuntungan dari hasil kejahatan. Tesis ini membahas mengenai latar belakang penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, proses penuntutan pidana terhadap korporasi, kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut serta evaluasi terhadap jenis pidana denda terhadap korporasi dalam UU tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan penjatuhan pidana hanya terhadap pengurus korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dianggap tidak adil sementara terhadap korporasinya tidak dilakukan penuntutan pidana. Secara umum, proses penuntutan pidana bagi subyek tindak pidana korporasi berlaku sama seperti halnya pada proses penanganan perkara terhadap subyek tindak pidana perorangan. Namun terdapat hal-hal yang berbeda khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, pencantuman identitas tersangka/terdakwa, penyusunan konstruksi surat dakwaan dan mengenai pelaksanaan putusan pidana denda terhadap korporasi. Dalam praktiknya, terdapat kendala-kendala dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu meliputi faktor hukum dan faktor penegak hukum. Penelitian ini menyarankan perlu adanya perubahan pola pikir dan pola tindak dari aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan pidana terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pentingnya upaya pembaharuan undang-undang tindak pidana korupsi yang meliputi materi termasuk jenis pidana terhadap korporasi maupun hukum formilnya.

Today, the role and the activity of the Corporation are very strategic, not rare in practice the Corporation could become means of carrying out the crime and obtaining the profit from results of the crime. This thesis throughly overview it backgrounds of appointment of Corporation as a subject of criminal law in UU No. 31/1999 and revised with UU No. 20/2001, criminal prosecution of Corporation, obstacles and obvious hindrances in prosecuting Corporation in infringement of corruption crimes with any effort to overcome such prosecute obstacles as well as evaluation of corporate criminal fine applied within the acts. This research represents normative juridical research using secondary data as primary data and primary data as supporting data. Research conclusion has indicated that prosecutions and criminal penalties to corporate managements considered as unfair without placing related Corporation as a mutual subject of prosecution. In general, prosecute process for corporate crime subject is identical with prosecute process of personal crime. However, there are some dissimilarity, particularly with regards to Corporation representation, identity exposure of defendant, configuration of allegation letter and concerning implementation of fine against Corporation. In practical matters, there are apparent obstacles within the law enforcement process in corruption criminal cases by Corporation namely the legal factor and the law enforcer factor. This research recommended need the existence of the change in the pattern thought and the pattern of the act from the upholder’s apparatus of the law to carry out the criminal demanding against the Corporation in the case of the criminal act of corruption and the importance of criminal efforts of corruption that cover material including the criminal kind against the Corporation and his formal law of reform of act regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26095
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kojaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Fenelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertento
baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agung Dhedy Dwi Handes
"Tesis ini membahas tentang Peranan Kejaksaan dalam pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang diatur dalam Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang merupakan lingkup tugas, wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang Intelijen Yustisial (law Intellegence) yang mengarah pada kegiatan Penyelidikan, Pengamanan dan Penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana, yang selanjutnya oleh Jaksa Agung dibentuk Tim Pakem (Pengawasan Kepercayaan Dalam Masyarakat) yang memiliki peran penting terhadap status penilaian apakah kepercayaan atau agama yang dianut seseorang dianggap sesat/menyimpang atau tidak. Ditemukan kendala-kendala yang dihadapi antara lain Tim Pakem tidak memiliki metode untuk menilai sebuah aliran kepercayaan maupun ajaran agama. Tim Pakem tidak memiliki Standard Operational Procedure (SOP) yang dapat dijadikan pedoman dalam mengambil suatu tindakan, dan kemampuan personil yang kurang professional, sehingga mengakibatkan gerak pengawasan kurang cepat dalam menghadapi ulah aliran kepercayaan menyimpang. Sementara itu kedudukan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dalam mengatasi masalah penodaan agama masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama. Undang-Undang No.1/PNPS/1965 semula adalah Penetapan Presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965 dan kemudian pada tahun 1969 diangkat menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1969. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No.1/PNPS/1965 pada butir 3 dan 4, salah satu tujuan penerbitan UU itu adalah agar ketentraman beragama dapat dinikmati oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia, dan untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan atau penghinaan. Dengan kata lain, UU ini diterbitkan dengan tujuan antara lain untuk memelihara kerukunan umat beragama, baik kerukunan internal umat beragama maupun antarumat beragama.

The thesis discusses the role of the District Attorney?s Office in supervising any beliefs which may be harmful for the society and the state and in preventing the misuse and/or the disgrace of a religion governed in Article 30 clause (3) letters d and e of the Law No. 16 of the year 2004 on the District Attorney?s Office of the Republic of Indonesia, which includes the scope of duty, authority, and functions of the District Attorney?s Office in law intelligence specializing in Investigation, Security, and Support to prevent criminal acts; in order to do those, further, the DA (District Attorney) has formed a team, namely Tim Pakem, which supervises any beliefs in society and has significant roles in evaluating whether a belief or a religion followed by someone is considered misleading/deviating or not. It is discovered that there have been some problems faced by Tim Pakem; for example, it does not have a method to evaluate a belief or a religion teaching. It does not have SOP (Standard Operational Procedure) which may become guidance to act, and its personnel are not yet professional, so the supervision movement is not fast enough to deal with any deviating belief. Meanwhile, the function of the Law No. 1/PNPS/1965 on the Misuse and/or the Disgrace of a Religion in overcoming the problems of the disgrace of a religion is still needed as the control of public order to have harmony among religious followers. The Law No. 1/PNPS/1965 was a President Decree issued in 1965, and then in 1969 it was enacted to become a law with the Law No. 5 of the year 1969. As referred to in the General Explanation of the Law No. 1/PNPS/1965 in points 3 and 4, one of the purposes to issue that law is to ensure that the harmony among religious followers can be enjoyed by all the people in Indonesia, and to protect that harmony from a disgrace or an insult. In other words, this law is issued in order to maintain the harmony among religious followers, either the harmony in the same religion followers or the harmony among different religion followers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28922
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>