Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208415 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mochamad Novel
"Dalam menjalankan tugasnya, aparatur penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga hukum yang dibentuk sebagai fungsionalisasi dan re-evaluasi terhadap sub-sistem peradilan pidana yang telah ada yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan terhadap upaya paksa dari penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal penegakan hukum (law enforcement). Dengan arah kebijakan yang didasarkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang menuju pada proses hukum yang adil (due process of law), dibentuk lembaga Hakim Komisaris sebagai upaya dalam pengawasan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Upaya paksa dalam penegakan hukum pada sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) terakumulasi pada sub-sistem peradilan pidana dalam tahapan penyidikan dan penuntutan. Pada tahapan penyidikan dan penuntutan ini, Penyidik dan Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan dan atau Penghentian Penuntutan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP, tentunya dibutuhkan tindakan pengawasan terhadap kewenangan aparatur penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang. Penerapan lembaga Hakim Komisaris merupakan mekanisme hukum yang diharapkan menjadi tahap minimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam sistem peradilan pidana terhadap upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan berdasarkan sistem litigasi. Hakim Komisaris secara tidak langsung melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dalam rangka penyidikan maupun Penuntut Umum dalam rangka penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga dimungkinkan adanya pengawasan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal Penghentian Penyidikan dan Penghentian Penuntutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hakim Komisaris adalah lembaga yang merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal yang diakomodir oleh Hukum Acara Pidana dalam rangka pembaharuan sistem peradilan pidana.

In its running tasks, law enforcement apparatus is not apart from the possibility to perform acts which are conflict with the legislation and regulations. One effort to ensure the protection of human rights of a suspect or defendant in the criminal justice process through the institution of law is establishing the institution namely Judicial Commissioner as the function and re-evaluation subsystem of criminal justice System that are aimed as a control force to the efforts of law enforcement has been given by law. With the policy directions that are based i n the framework of criminal law to the fair process (due process of law), Judicial Commissioner is established as a supervision to the force efforts made in the law enforcement. At the stage of investigation and prosecution, the investigator and the general prosecutor have the authority to make termination of investigation and prosecution with the terms and conditions stipulated in the criminal justice system. It is needed the supervision to them in order to carry authority, not to misuse or abuse authority. With the Judicial Commissioner, it is hopefully expected to minim ize the occurrance of violations of human rights in the criminal justice system toward the force efforts that does not comply with the procedure who have been determined based on the litigation system. Judicial Commissioner indirectly supervise the implementation of the force action which is done by the investigators in the investigation and by the general prosecutors in the prosecution effort. Through this institution, it is also possible for the supervision of police and prosecutors in the case of termination of investigation and termination of the prosecution. So that it can be said that the Judicial Commissioner is a horizontally control model in the framework of criminal justice system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25929
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Novel
"ABSTRAK
Dalam menjalankan tugasnya, aparatur penegak hukum tidak terlepas dari
kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin
perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses
peradilan pidana adalah melalui lembaga hukum yang dibentuk sebagai
fungsionalisasi dan re-evaluasi terhadap sub-sistem peradilan pidana yang telah
ada yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan terhadap upaya paksa dari
penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal
penegakan hukum (law enforcement). Dengan arah kebijakan yang didasarkan
dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang menuju pada proses hukum yang
adil (due process o f law), dibentuk lembaga Hakim Komisaris sebagai upaya
dalam pengawasan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya. Upaya paksa dalam penegakan hukum
pada sistem peradilan pidana {Criminal Justice System) terakumulasi pada subsistem
peradilan pidana dalam tahapan penyidikan dan penuntutan. Pada tahapan
penyidikan dan penuntutan ini, Penyidik dan Penuntut Umum memiliki
kewenangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan dan atau Penghentian
Penuntutan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP,
tentunya dibutuhkan tindakan pengawasan terhadap kewenangan aparatur penegak
hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan
penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang. Penerapan lembaga Hakim
Komisaris merupakan mekanisme hukum yang diharapkan menjadi tahap
minimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam
sistem peradilan pidana terhadap upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur
yang telah ditentukan berdasarkan sistem litigasi. Hakim Komisaris secara tidak
langsung melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan
oleh Penyidik dalam rangka penyidikan maupun Penuntut Umum dalam rangka
penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi
yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga dimungkinkan adanya pengawasan
antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal Penghentian Penyidikan dan
Penghentian Penuntutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hakim Komisaris
adalah lembaga yang merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal
yang diakomodir oleh Hukum Acara Pidana dalam rangka pembaharuan sistem
peradilan pidana.

ABSTRACT
In its running tasks, law enforcement apparatus is not apart from the
possibility to perform acts which are conflict with the legislation and regulations.
One effort to ensure the protection of human rights o f a suspect or defendant in
the criminal justice process through the institution o f law is establishing the
institution namely Judicial Commissioner as the function and re-evaluation
subsystem o f criminal justice system that are aimed as a control force to the
efforts o f law enforcement has been given by law. With the policy directions that
are based in the framework o f criminal law to the fair process (due process o f
lav/), Judicial Commissioner is established as a supervision to the force efforts
made in the law enforcement. At the stage o f investigation and prosecution, the
investigator and the general prosecutor have the authority to make termination o f
investigation and prosecution with the terms and conditions stipulated in the
criminal justice system. It is needed the supervision to them in order to carry
authority, not to misuse or abuse authority. With the Judicial Commissioner, it is
hopefully expected to minimize the occurrance o f violations o f human rights in
the criminal justice system toward the force efforts that does not comply with the
procedure who have been determined based on the litigation system. Judicial
Commissioner indirectly supervise the implementation o f the force action which
is done by the investigators in the investigation and by the general prosecutors in
the prosecution effort. Through this institution, it is also possible for the
supervision o f police and prosecutors in the case o f termination of investigation
and termination o f the prosecution. So that it can be said that the Judicial
Commissioner is a horizontally control model in the framework of criminal justice
system."
2009
T37376
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Kusuma Hasari
"Tesis ini membahas mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Indonesia memiliki PPATK sebagai Financial Intelligence Unit yang hanya bersifat memberikan informasi kepada Polri dan Kejaksaan RI. Hasil laporan analisa yang disampaikan oleh PPATK belum cukup memadai untuk dilakukan penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana pencucian uang. Maka dapat dikatakan bahwa rezim pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Selain itu apabila penyidik (selain Polri) menemukan adanya indikasi perbuatan pencucian uang, namun penyidik tindak pidana asal remyata tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk itu perlu diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang kepada penyidik tindak pidana asal (multi investigators system).

The focus of this studi is about authority in money laundering investigation in Indonesia. Indonesia has PPATK as a Financial Intelligence Unit that only feeds informations to Police and General Attomey. The infonnations that given by PPATK is not enough to start an money laundering investigation. That is why we can say Indonesian anti money laundering rezim is not running effectively. The problem occurs, when an investigator (except Police) finds some money laundering offences from predicate crime that they are investigating, but that investigator does not have investigation authority. That is why some investigators of predicate crime need giving investigation authority of money laundering (multi investigators system)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26107
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Benito Harleandra
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang analisis penerbitan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dalam penyelesaian perkara pidana melalui diversi di Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan (Polres Metro Jaksel) ditinjau dari ketentuan Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif yang bersumber dari data primer dan sekunder dengan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara wawancara informan primer, observasi dan telaahan dokumen. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, Penerbitan SP3 sebagai surat ketetapan penghentian penyidikan dalam UUSPPA menjadi lembaga yang digunakan oleh penyidik Polrestro Jaksel untuk menghentikan penyidikan tindak pidana melalui proses diversi. Namun demikian penerbitan SP3 sebagai bentuk penyelesaian perkara AKH melalui diversi tetap merujuk pada ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yang menjadi lembaga penghentian penyidikan yang dilatarbelakangi secara limitatif dalam ketentuan pasal tersebut. Kedua, Dampak yang dapat terjadi apabila pelaksanaan diversi dinyatakan selesai dengan diterbitkannya SP3 yang merujuk pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP sebagai surat ketetapan penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 PP Diversi maka memberikan ruang untuk dibuka kembali penyidikan atas perkara tersebut sehingga AKH tidak memperoleh kepastian hukum dalam penyelesaian perkaranya. Sejatinya, penerbitan SP3 pada penyelesaian perkara AKH dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perkara AKH telah selesai diperiksa dan diadili (memiliki kekuatan hukum tetap) serta telah dilaksanakan hukumannya sehingga tidak dapat dituntut kembali (nebis in idem) pada masa mendatang.

This thesis is the result of research on the analysis of the issuance of Letters of Termination of Investigation (SP3) in the settlement of criminal cases through diversion at the South Jakarta Metro Police (Polres Metro Jaksel) in terms of the provisions of Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code. This research was conducted using a descriptive-qualitative method, which was sourced from primary and secondary data. The data collection method was carried out by interviewing primary informants, observing and reviewing documents. The results of the study show, first, the issuance of SP3 as a decree on termination of investigations in UUSPPA is an institution used by South Jakarta Police investigators to stop criminal investigations through the diversion process. However, the issuance of SP3 as a form of settlement of AKH cases through diversion still refers to the provisions of Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code, which is an institution for ending investigations with a limited background in the provisions of that article. Second, the impact that can occur if the implementation of diversion is declared complete with the issuance of SP3 which refers to Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code as a decision letter to stop the investigation of criminal acts as mandated in Article 24 PP Diversion, thus providing space for the investigation of the case to be reopened so that AKH do not obtain legal certainty in the settlement of the case. In fact, the issuance of SP3 in the settlement of the AKH case is intended to state that the AKH case has been examined and tried (has permanent legal force) and the sentence has been carried out so that it cannot be prosecuted again (nebis in idem) in the future."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mas Bagus Trisardono Risandyo
"Tindakan upaya paksa yang dilakukan ketika tahap pemeriksaan perkara seringkali disertai dengan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Saat ini upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan adalah melalui lembaga Praperadilan yang dinilai tidak berjalan secara optimal. RKUHAP mengatur ketentuan terkait lembaga yang berwenang mengawasi jalannya acara pemeriksaan yang diserahkan kepada Hakim Komisaris. Luasnya wewenang yang dimiliki Hakim Komisaris dirasa akan lebih menjamin perlindungan HAM pada tersangka/terdakwa. Namun penggantian lembaga Praperadilan dengan Hakim Komisaris tidak semata akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini bermaksud menelaah tiga hal; pertama, pengaturan Hakim Komisaris pada RKUHAP; kedua, peran Hakim Komisaris pada RKUHAP khususnya terkait HAM tersangka/terdakwa; dan ketiga, kendala-kendala yang dapat terjadi dari penerapan Hakim Komisaris. Jenis penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder yang didukung dengan data primer berupa wawancara yang diolah serta dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, Pengaturan Hakim Komisaris sudah ada dan diatur sejak sebelum Indonesia Merdeka dan kemudian dimasukan kembali pada RKUHAP 1974 hingga 2012; kedua, peran lembaga Hakim Komisaris khususnya terkait perlidungan HAM tersangka/terdakwa dianggap lebih ideal ketimbang Praperadilan karena Hakim Komisaris bersifat aktif dan memiliki wewenang yang lebih luas dan lengkap dalam tahap pra-ajudikasi sehingga berbeda dengan Praperadilan yang hanya bersifat pasif dan represif; dan ketiga, penerapan Hakim Komisaris akan mengalami beberapa kendala berupa kendala normatif (aturan-aturan), kendala kepentingan antar lembaga sistem peradilan pidana, serta kendala geografis yang dimiliki Indonesia.

Coercive measures taken during the case examination stage are often accompanied by arbitrariness which results in human rights violations. Currently, legal remedies that can be submitted by the aggrieved party are through pretrial institutions which are considered not running optimally. RKUHAP stipulates provisions related to the institution authorized to oversee the proceedings of the examination which is submitted to the Judge Commissioner. It is felt that the breadth of authority possessed by the Commissioner Judge will ensure the protection of human rights for the suspect/defendant. However, the replacement of the Pretrial Institution with the Commissioner Judge will not only run as expected. This research intends to examine three things; first, the setting of the Commissioner Judge in the RKUHAP; second, the role of the Commissioner Judge in the RKUHAP, especially regarding the human rights of the suspect/defendant; and third, the obstacles that can occur from the application of the Commissioner Judge. This type of research is a normative juridical research with a conceptual approach and legislation. The type of data used is secondary data which is supported by primary data in the form of interviews which are processed and analyzed descriptively-qualitatively. The results showed that; first, the arrangement of the Judge Commissioner has existed and was regulated since before Indonesia's independence and was then re-introduced in the 1974 to 2012 RKUHAP; secondly, the role of the Judicial Commissioner, especially regarding the protection of the human rights of suspects/defendants, is considered more ideal than pretrial because the commissioner judge is active and has broader and complete authority in the pre-adjudication stage so that it is different from pretrial which is only passive and repressive; and third, the application of the Judge Commissioner will experience several obstacles in the form of normative constraints (rules), inter-institutional interests of the criminal justice system, as well as geographical constraints that Indonesia has."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farkhan Askari
"Hukum acara pidana ruengatur proses penyidikan dan penuntutan.Penyidik dan penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan atau penuntutan dengan syarat-syarat yang telah digariskan dalam KUHAP. Untuk menguji sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dilakukan secara sah maka terbuka kesempatan untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadapnya. KUHAP memberi hak kepada penyidik, penuntut umum serta pihak ketiga yang berkepentingan untuk melakukan pengawasan dan koreksi melalui lembaga praperadilan.Menjadi perdebatan adalah siapa pihak ketiga yang berkepentingan tersebut. Banyak pihak menafsirkannya sebagai saksi korban yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana serta pelapor. Dalam tindak pidana korupsi maka masyarakat adalah korban. Korupsi telah melanggar hak sosial ekonomi masyarakat serta menghambat pembangunan yang hasilnya seharusnya dapat dirasakan dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Sementara undang-undang tidak secara tegas dan jelas memberikan hak kepada masyarakat untuk mengambil langkah hukum apabila terusik rasa keadilannya dengan dilakukannya penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. Penegak hukum, termasuk juga hakim yang mestinya dapat menemukan hukum yang lebih berpihak pada masyarakat dan lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat justru sering bersikap tidak menerima apabila masyarakat hendak melibatkan diri dalam proses peradilan pidana sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Mereka lebih banyak berpikiran positivistik, legisme, yang hanya melihat pada undang-undang saja. Apabila tidak diatur dalam undang-undang bererti tidaka ada hak masyarakat melibatkan diri dalam proses peradilan pidana.Untuk itu tesis ini meneliti dan menganalisa tentang 1)siapa pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, 2) apakah yang menjadi alas hak pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak tindak pidana korupsi, dan 3) hambatan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, bagaimana hukum acara pidana yang akan datang mengakomodirnya.

Code of criminal procedure regulates investigation and prosecution process. Investigator and prosecutor have authority to ceasing investigation or prosecution by requirement as provided in code of criminal procedure. Then, to test whether or not the ceasing of investigation or prosecution validly, it have opportunity to opened case to supervised and correct. Code of criminal procedure had entitled to investigator, prosecutor and third party concerned to supervised and correct with "pretrial" process. It had been debated on which third party concerned is? Mostly parties interpreted as victim who had been harmed from crime and the reporter. Actually, in corruption, the society is the victim. Corruption had broke social-economics right of community and blocked the development which the results should be enjoyed and contributed to society's welfare essentially. Meanwhile, the laws had not given right firmly and clearly to society to have law procedure when their sense of justice had been distract, by ceasing investigation or prosecution of corruption. In the other side, law enforcer including judge who ought to find law that more prone to society and comply with sense of justice of them indeed, they had not received society who will involve their selves in criminal justice process as such third party concerned. Most of them had more thought of positivistic legalism, solely, they laid case on legislation, so that, if it had not been provided with legislation, then, society having not right to involve their selves in criminal justice process. However, this thesis researches and analyze regarding . 1) which third party concerned that may apply "pre-trial" to terminate investigation or prosecution of corruption criminal act is?; 2) what kind of arguments of such third party concerned to apply "pre-trial" in terminating investigation or prosecution of corruption?; and 3) the obstacles founded in "pre-trial" practiced by such third party concerned in ceasing investigation or prosecution of corruption, finally, how code of criminal procedure may accommodate it in the future."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahwan
"Penghentian penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi adalah salah satu substansi penting dari perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menimbulkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Diskursus tersebut mengerucut pada persoalan dasar teoritis dan urgensi. Metode penelitian socio legal yang digunakan kemudian menunjukan bahwa penghentian penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dapat didasarkan pada sunrise principle dan sunset principle serta the shield function dan the sword function maupun prinsip realistic prospect of conviction yang dalam implementasinya memiliki dua filter yaitu evidential ficiency dan public interest. Dari perspektif teori, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat ditelusuri dari teori integratif yaitu teori yang digambarkan sebagai dasar yang memberikan keseimbangan dalam hukum acara pidana dan bersumber dari hukum adat kebiasaan dan pandangan hidup (way of life) keselarasan, keserasian dan keseimbangan masyarakat Indonesia. Dari segi urgensi, kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan ini memberikan tambahan alternatif bagi KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi terutama dalam mewujudkan kepastian hukum dan prinsip speedy trial dalam hukum acara pidana. Negara-negara seperti Hong Kong dan Belanda juga mengenal mekanisme ini. Secara normatif Indonesia dan Belanda mengaturnya dalam beberapa pasal, sedangkan Hongkong, meskipun tidak mengaturnya secara expressis verbis dalam Undang-Undang, mekanisme ini dikenal dalam praktik penegakan hukumnya sebagaimana terlihat dalam skema penanganan perkara yang dipublikasikan oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC). Pengaturan tentang penghentian penyidikan dalam tindak pidana korupsi harus tetap dipertahankan sebagai suatu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan terjadi kesalahan prosedur penegakan hukum atau karena alasan teknis lainnya.

Discontinuation of the investigation and prosecution of corruption crimes is one of the important substances of the amendment to Law No. 19 of 2019 concerning the Corruption Eradication Commission which then led to debates both among academicians and legal practitioners. The discourse focuses on basic theoretical issues and urgency. The socio-legal research method used then shows that the discontinuation of the investigation and prosecution of criminal acts of corruption can be based on the sunrise principle and sunset principle as well as the shield function and the sword function as well as the realistic prospect of conviction principle which in its implementation has two filters, namely evidential sufficiency and public interest. From a theoretical perspective, the discontinuation of investigations and prosecutions can be traced from the integrative theory, namely the theory that is described as the basis that provides balance in criminal procedural law and is sourced from customary law and the way of life of harmony, harmony and balance of Indonesian society. In terms of urgency, this authority to stop investigations and prosecutions provides additional alternatives for the KPK in handling corruption crimes, especially in realizing legal certainty and the principle of speedy trial in criminal procedural law. Countries such as Hong Kong and the Netherlands are also familiar with this mechanism. Normatively, Indonesia and the Netherlands regulate it in several articles, while Hong Kong, although it does not regulate it expressis verbis in the law, this mechanism is known in its law enforcement practice as seen in the case handling scheme published by the Independent Commission Against Corruption (ICAC). Regulations regarding the discontinuation of investigations in corruption crimes must be maintained as a control mechanism against possible errors in law enforcement procedures or for other technical reasons."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salahuddin Luthfie
"Tesis ini membahas tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negaranegara lain, dan mekanisme penanganan perkara korupsi di kejaksaan. Tipe penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi harus dilihat dari aspek historis, sosiologis, lingkungan strategis, dan yuridis; peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada empat kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu: jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi penyidikan, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan; mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh bidang intelijen dan bidang tindak pidana khusus, yang struktur organisasinya berkarakter birokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando.

This thesis discusses the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption, tasks and powers of the prosecution services in other countries, and mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service. This type of research is the juridical-normative. The results of research reveal that the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption should be viewed from the aspect of historical, sociological, strategic environment, and juridical; the role of the prosecutor relating to the investigation, there are four groups adopted by various countries: the prosecutor have the authority to criminal investigations, the prosecutor have the authority of certain criminal investigations, the prosecutor do not have the authority of investigations but given the authority supervising the investigations, the prosecutor do not have the authority to investigations and supervise the investigations; mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service consists of four stages, stage of inquiry, investigation, prosecution, legal remedy and execution, and the implementation is done by the intelligence and special crime division, the organizational structure characterized by bureaucratic, centralized, hierarchical accountability and command system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kojaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Fenelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertento
baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafa Tabina Bakhiatushsholihat
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan Judicial Pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian doktrinal yang menggunakan tipologi Funtional Comparative Legal dengan fokus Perbandingan Substantif yang berfokus pada perbandingan isi atau substansi dari norma-norma hukum yang ada dari berbagai negara dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan penerapan dari judicial pardon dari berbagai negara yang mengatur mengenai judicial pardon, antara lain Belanda, Yunani, Portugal, Uzbekistan, Perancis, Greenland, dan Somalia, untuk menyusun rekomendasi rencana pembaharuan hukum. Pada skripsi ini, pembahasan akan dibagi menjadi tiga. Pertama, pembahasan mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diberikan judicial pardon dengan mengalisis hukum positif di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang mengatur mengenai judicial pardon dalam hukum positifnya. Kedua, pembahasan mengenai penerapan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan menganalisis peraturan hukum pidana formil dan praktiknya dalam peradilan di Indonesia serta melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang menerapkan judicial pardon. Ketiga, menganalisis pengaturan dan penerapan judicial pardon yang tepat apabila hendak diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penelitian ini mengemukakan bahwa kualifikasi tindak pidana terhadap pemberian judicial pardon diperlukan yang meliputi ringannya perbuatan mengacu pada ketentuan tindak pidana ringan atau dampak dari perbuatannya ringan, keadaan pribadi yang mengacu pada umur dan riwayat hidup pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana dan setelahnya mengacu pada dampak tindak pidana terhadap korban dan terdakwa serta upaya pemulihannya. Lebih lanjut, perlu diatur mengenai mekanisme penjatuhan judicial pardon dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang meliputi bentuk putusan terhadap pemberian judicial pardon yang diatur sebagai putusan khusus dan upaya hukum terhadap putusan judicial pardon berupa upaya hukum kasasi.

This thesis discusses the regulation and application of Judicial Pardon in the criminal justice system in Indonesia with the legal basis of Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code (Criminal Code 2023). The research method used in writing this thesis is doctrinal research that uses Functional Comparative Legal typology with a focus on Substantive Comparison which focuses on comparing the content or substance of existing legal norms from various countries by comparing the regulation, mechanism, and application of judicial pardon from various countries that regulate judicial pardon, including the Netherlands, Greece, Portugal, Uzbekistan, France, Greenland, and Somalia, to develop recommendations for legal reform plans. In this thesis, the discussion will be divided into three. First, a discussion of the qualifications of criminal offenses that can be granted judicial pardon by analyzing positive law in Indonesia and making comparisons with several countries that regulate judicial pardon in their positive laws. Second, it discusses the application of judicial pardon in the criminal justice system in Indonesia by analyzing formal criminal law regulations and practices in the Indonesian judiciary as well as making comparisons with several countries that apply judicial pardon. Third, to analyze the appropriate regulation and application of judicial pardon in Indonesia's criminal justice system. This research argues that the qualifications of criminal offenses for the granting of judicial pardon are needed, which include the seriousness of the act referring to the provisions of minor crimes or the impact of minor acts, personal circumstances referring to the age and life history of the offender, and the circumstances at the time of the crime and afterwards referring to the impact of criminal acts on victims and defendants as well as efforts to recover. Furthermore, it is necessary to regulate the mechanism of judicial pardon in the Criminal Procedure Code (KUHAP) which includes the form of verdict on the granting of judicial pardon which is regulated as a special verdict and legal remedies against judicial pardon decisions in the form of cassation legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>