Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 209193 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Worotikan, Ronald Ferdinand
"Tesis ini membahas mengenai pengertian azas dasar dalam hukum pidana yang dianut dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemeritahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya " atau yang lazimnya kita kenal dengan Azas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang RI No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, UUD 1945 menempati urutan teratas dalam hierarki perundangan kita, ini artinya bahwa setiap peraturan perundangan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan pasal atau azas-azas yang terkandung dalam UUD 1945. Selain membahas mengenai pengertian, teori dan falsafah Azas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) di berbagai negara, tesis ini juga akan membahas mengenai pertentangan-pertentangan dari azas ini khususnya dalam proses penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap pejabat negara tertentu, dimana bagi pejabat negara yang diduga terlibat dalam perkara korupsi baik itu sebagai saksi maupun tersangka tidak dapat dilakukan pemeriksaan atau pemanggilan tanpa seijin Presiden , Menteri Dalam Negeri atau Gubernur. Penelitian ini adalah penelitian normatif- yuridis yang dilengkapi dengan data pendukung berupa wawancara dengan beberapa nara sumber. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa seharusnya pemberian ijin untuk memeriksa pejabat negara tidak di tujukan kepada Presiden, Menteri Dalam Negeri atau Gubernur namun harus diserahkan kepada Hakim, sebab mengingat jabatan Presiden, Menteri Dalam Negeri atau Gubernur adalah jabatan politis sehingga dalam mempertimbangkan permohonan ijin tersebut sangatlah mungkin dipengaruhi oleh nilai-nilai politis sehingga dalam banyak kasus, ijin pemeriksaan tersebut tidak kunjung turun sehingga akan menghambat proses penyidikan. Dengan diserahkannya permohonan ijin kepada Hakim, maka sebagai lembaga yang independen Hakim akan mempertimbangkan permohonan tersebut secara yuridis dan obyektif.

The Thesis discuss about the interpretation of basic principle in criminal law which is contained in Article 27 paragraph (1) of the Constitution 1945, says: “All citizens shall be equal before the law and the government and shall be required to respect the law and the government, with no exceptions” or commonly we know with the principle of equality before the law. By virtue of Article 7 paragraph (1) of the Law of Republic of Indonesia No.10 Year 2004 on Formation of the Laws and Regulations, type and hierarchy the Laws and Regulations of the Constitutions 1945 taken the highest place in our Laws and Regulations’ hierarchy, which means that all Laws and Regulations placed below shall not be contraly with the articles or principles which contain in the Constitutions 1945. Besides discussing about the interpretation, theory and philosophy of the principle of equality before the law in some countries, the Thesis will discuss as well the contrary of this principle especially in investigation process of corruptions done by the specific official state, with condition that the state official who committed corruption as witness as well as suspect, cannot be investigated or called without approval from President, Minister of Domestic Affairs or Governor. This research is a normative-juridical research which completed with supporting data as interviews with some informants. Result of the research suggests that the approval to investigate the state official shall not be addressed to President, Minister of Domestic Affairs or Governor, but shall be addressed to the Judge, considering the position of President, Minister of Domestic Affairs or Governor are polities’ positions thus in consideration of giving the approval may influence polities value on some cases, approvals almost never given so that will inhibit the investigation process. In the manner of addressing the request of approval to the Judge, then as an independent institution, Judge will consider the request with juridical sense and objectively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25995
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Timmy Wolya
"Tesis ini membahas mengenai keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagai dasar dalam melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan.Tujuan penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui batasan keadaan yang sangat perlu dan mendesak kemudian dikaitkan dengan fungsi kontrol dari Ketua Pengadilan Negeri terhadap tindakan penyidik ketika melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan serta upaya yang dapat dilakukan oleh tersangka atau pihak lain yang merasa dirugikan akibat tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Hasil dari penelitian didapatkan fakta bahwa batasan keadaan yang sangat perlu dan mendesak dalam melakukan tindakan penggeledahan dan penyitaan adalah selain dikhawatirkan tersangka akan melarikan diri, atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan akan dimusnahkan atau dipindahkan juga terdapat penilaian subyektif dari penyidik sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan mekanisme pengawasan vertical (built in control) dan pengawasan horizontal. Bahkan, jika dalam pelaksanaan tindakan penggeledahan dan penyitaan itu menimbulkan kerugian bagi tersangka maupun pihak lain maka upaya yang dapat dilakukan adalah ganti rugi. Namun terhadap upaya ganti rugi tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan adalah tidak sah tetapi upaya untuk itu tidak dimungkinkan karena pemeriksaan sah atau tidaknya tindakan penggeledahan dan penyitaan tidak termasuk lingkup pemeriksaan praperadilan. Oleh karena itu dalam rangka upaya pembaharuan hukum acara pidana nasional melalui rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana(RKUHAP) tahun 2012 perlu pengaturan mengenai batasan keadaan yang sangat perlu dan mendesak secara objektif, selektif dan limitatif.

This thesis discusses concerning the situationwhich are necessary and urgent as the basis for search and seizure action. The purpose of this research is toascertain the frameworkofsituation that are necessary and urgent then to be linked withfunction of control from magistrate judge against the investigator whencarry out the actionof search and seizure,moreover any legal efforts that can be done by the suspect or other partieswho are disadvantaged by the search and seizure actions. The research is done using a judicial normative method. The results of this research is obtaining the fact that theframework of situation which is necessary and urgent when carry out the action of search and seizure is besidesthe worries that the suspect willrun away or repeat doing an injustice or the objectsthat are being seizure will be destroyedor diverted also the subjective valuation of the investigator so that performance required any mechanism controll either vertical nor horizontal. Moreover, if the search and seizure action generates deprivation toward the suspect or other parties then the effort that can be done are through indemnify. Nevertheless the effort through indemnify, shall undergo a process which stated that the search and seizure is illegal in advance yet this process is impossible because the examination of the legality of any search and seizure is not in the scope of the pretrial. For that reason, the effort to renew criminal procedural law through its future replacement with Draft of Criminal Procedural Law Year 2012 need to be regulated the situation which is necessary and urgent become objective, selective and limitedly."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Aletheia Christy
"ABSTRAK
Tindak pidana korupsi sekarang ini sedang marak terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain. Dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi kadang pelakunya melarikan diri ke luar negeri atau menyembunyikan aset hasil tindak pidana korupsinya di luar negeri sehingga untuk penuntasan kasus diperlukan kerja sama internasional, yang salah satu persyaratannya adalah prinsip dual criminality. Tindak pidana korupsi yang utama di Indonesia memiliki unsur ldquo;merugikan keuangan negara rdquo;. Unsur ldquo;merugikan keuangan negara rdquo; tidak diatur dalam UNCAC yang telah diratifikasi Indonesia maupun dalam ketentuan tindak pidana korupsi di banyak negara lain. Melalui penelitian yuridis normatif yang didukung dengan wawancara ingin diperoleh jawaban tentang unsur merugikan keuangan negara ditinjau dari prinsip dual criminality. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keberadaan unsur ldquo;merugikan keuangan negara rdquo; yang merupakan unsur tertulis dalam ketentuan tindak pidana korupsi di Indonesia, dapat menyulitkan kerja sama internasional, khususnya bila prinsip dual criminality dianut secara mutlak. Namun sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang telah dianggap sebagai kejahatan transnasional, dual criminality tidak lagi dimaknai secara mutlak. Bahkan UNCAC telah mengatur kerja sama internasional tanpa prinsip dual criminality sepanjang kerja sama internasional dilakukan untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

ABSTRACT
Corruption is now happening not only in Indonesia, but also in many other countries. In some cases of corruption, sometimes the corruptor s fled abroad or hide the assets from corruption abroad so that for the completion of the case required international cooperation, which one of the requirements is the principle of dual criminality. The main corruption crime in Indonesia has the element of harm the state 39 s finances . The harm the state 39 s finances is not regulated in UNCAC which has been ratified by Indonesia as well as in terms of corruption in many other countries. Through normative juridical research supported by interviews, writer wants to get answers about the elements of harm the state 39 s finances in terms of dual criminality principle. From the results of the study it can be concluded that the existence of the element harm the state finance which is the element written in the provisions of corruption in Indonesia, can complicate international cooperation, especially when the dual criminality principle is embraced absolutely. But in line with the spirit of corruption eradication that has been considered a transnational crime, dual criminality is no longer interpreted in absolute terms. Even UNCAC has arranged international cooperation without dual criminality principle as long as international cooperation is conducted for prevention and eradication of corruption crime. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Trypu Vevianto
"Tindak pidana pada awalnya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara. dalam perkembangannya kondisi yang diciptakan akibat tindak pidana korupsi adalah membahayakan keamanan negara, dan akhirnya tindak pidana korupsi menimbulkan bahaya keamanan asimetrik atau non-tradisional yaitu bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena dampak negatifnya telah menambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan, keagamaan dan fingsi fungsi pelayanan sosial lainnya.

Criminal acts were initially acts that were detrimental to state finances. in its development the conditions created due to criminal acts of corruption are endangering the security of the state, and ultimately corruption acts pose asymmetric or non-traditional security hazards, namely the danger to the security of mankind, because the negative effects have added to the world of education, health, food and religious clothing, religious and function of other social service functions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fajri Nursyamsi
"Istilah 'Presiden' dapat diartikan sebagai suatu jabatan dan juga pejabat yang mengisi jabatan tersebut Dari sisi jabatan Presiden mengemban tugas dan kewenangan dalam menjalankan fungsinya sedangkan sebagai pejabat Presiden adalah seorang manusia yang tidak dapat lepas dari sifat manusiawi termasuk kondisi sakit atau disabilitas Dalam sistem pemerintahan Presidensiil Presiden menjadi posisi yang sentral karena bertindak sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Salah satu konsekuensinya adalah jabatan Presiden yang tidak mudah dijatuhkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensiil juga mengatur konsekuensi itu dalam Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu masa jabatan Presiden yang tetap selama lima tahun dan kedudukan Presiden yang tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR sehingga lembaga itu tidak dapat menjatuhkan Presiden secara langsung Namun Presiden juga manusia yang dapat berada dalam kondisi sakit atau disabilitas yang menyebabkan dirinya tidak mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara tetap ditengah masa jabatan Dalam kondisi itu penting untuk diatur dalam konstitusi suatu negara mengenai pergantian jabatan Presiden yaitu mengganti Presiden dengan Wakil Presiden sampai selesai sisa masa jabatan Pergantian jabatan Presiden dilakukan agar tidak terjadi kekosongan jabatan Namun menjadi permasalahan ketika ketentuan mengenai pergantian jabatan Presiden dengan dasar 'tidak dapat melakukan kewajibannya' dalam Pasal 8 ayat 1 UUD NRI 1945 tidak dilengkapi dengan ruang lingkup dan kewenangan pengambilan keputusan sehingga proses pergantian jabatan Presiden menjadi mudah untuk dilakukan dengan hanya didasarkan kepada pertimbangan politik Kondisi itu berpotensi melanggar prinsip dalam sistem pemerintahan Presidensiil dan juga prinsip checks and balances pada teori separation of power yang dianut juga di Indonesia Oleh karena itu diperlukan kajian mendalam untuk merumuskan ruang lingkup dari dasar 'tidak dapat melakukan kewajibannya' dalam Pasal 8 ayat 1 UUD NRI 1945 serta kewenangan pengambilan keputusannya sehingga Presiden tetap menjadi jabatan yang sulit dijatuhkan tanpa mengabaikan kemungkinan seorang Presiden harus diganti ditengah masa jabatannya karena dasar 'tidak dapat melakukan kewajibannya'.

The term of President can be interpreted as a position and also the officials who fill these positions In terms of office the President has the duty and authority to perform its functions while as an officer the President is a man who can not be separated from human nature including illness or disability In the Presidential system the President is in a central position because it acts as head of government and head of state A consequence is the position of President which is not easily to be remove Indonesia as a country which adheres to the Presidential system regulate the consequences of it in the Indonesian Constitution 1945 the presidential term fixed for five years and the position of the President that are no longer accountable to MPR so that the agency can not be dropped President directly However the President also people who may be in illness or disability condition which made him unable to carry out their duties and obligations in middle of a term permanently In that condition it is important to regulate in the constitution of a country on the removal of the office of President namely replacing the President with the Vice President to complete the remaining term Replacement of the President is done in order to avoid a vacancy However it will becomes a problem when the provisions on the removal of presidential because of inability in Article 8 paragraph 1 Indonesian Constitution 1945 not equipped with the scope and authority of decision making so that the process of changing the office of President becomes easier with only based on political considerations The condition is potentially not only violates the principle of the Presidential system but also the principle of checks and balances on the separation of power theory which also adopted in Indonesia Therefore in depth study to define the scope of 'inability' in Article 8 paragraph 1 Indonesia Constitution 1945 are required as well as the authority for decision making so that the President still difficult to remove without ignoring the possibility of a President to be replaced in the middle of his tenure for reason of inability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Chyntia Djabu
"Penelitian ini membahas tentang kelalaian yang dilakukan oleh Notaris dalam hal pembacaan akta yang tidak dilakukan oleh Notaris melainkan oleh pegawai kantornya kepada para penghadap dan ketidakhadiran saksi pada saat penandatanganan akta. Sehingga perbuatan notaris tersebut mengakibatkan ketidaktahuan akan isi akta yang ditandatanganinya dan berujung pada perkara perdata. Permasalahan yang diangkat adalah mengenai dampak hukum terhadap Notaris yang membuat akta tidak sesuai dengan tata cara dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan perubahannya serta keabsahan Akta Pengakuan Hutang yang proses pembuatannya pembuatannya tidak sesuai dengan Akta Jabatan Notaris. Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan studi kasus dengan tipologi penelitian eksplanatori, metode analisis data kualitatif dengan membandingkan kasus-kasus yang memiliki unsur masalah yang sama mengenai akta yang belum dibaca dan hasil penelitian analisis deskriptif. Hasil penelitian ini adalah Notaris yang tidak membacakan akta yang dibuatnya kepada para penghadap telah melanggar ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf (m) Undang-Undang Jabatan Notaris dan tidak diberikan penyuluhan hukum dalam proses pembuatannya. akta tersebut telah melanggar Pasal 15 ayat 2 huruf (e) UUJN dan karena perbuatannya Notaris dapat dijerat sebagai turut tergugat dan dapat dipidana pemberhentian sementara dan atas pelanggaran yang dilakukannya, kekuatan pembuktian akta pengakuan utang yang dibuat Notaris tidak sempurna dan terdegradasi menjadi akta di bawah tangan dan hilangnya kekuasaan pelaksana atas akta tersebut karena tidak dipenuhinya persyaratan mengenai pembacaan akta dan kehadiran saksi. Notaris dalam menjalankan jabatannya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, agar tidak terjadi perkara perdata atas produk hukum yang dihasilkannya.

This study discusses the violations committed by the Notary in terms of reading the deed which was carried out not by the Notary but by his office employees to the appearers and the absence of witnesses at the time of signing the deed. So that the notary's actions lead to ignorance of the face of the contents of the deed he signed and lead to civil cases. The problem that is taken is regarding the legal impact on the Notary which makes the deed not in accordance with the procedures in the Law on Notary Positions and the validity of the Deed of Recognition of Debt which the process of making is not in accordance with the Notary Position Act. To answer these two problems, a normative juridical research method with an explanatory research typology was used, and a qualitative data analysis method with descriptive analysis research results. The result of this research is that the Notary who does not read the deed he made to the appearers has violated the provisions of Article 16 paragraph 1 letter (m) of the Notary Position Act and because of his actions the Notary can be sanctioned and for the violation he has committed, the power of proof of the deed Authentic that he made was not perfect and was degraded into a deed under the hand. Notary in carrying out his position must apply the precautionary principle, so that there are no civil cases for the legal products they produces."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Ahmad Chairun
Depok: Universitas Indonesia, 1983
S25386
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antony Putra Abraham
"ABSTRAK
Salah satu bentuk penegakan hukum tindak pidana perikanan adalah penenggelaman kapal
asing. Pihak yang diberi kewenangan yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan,
Penyidik Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), dan/atau Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 69 ayat (4)
Undang-Undang Perikanan dapat dilakukan tindakan berupa pembakaran dan penenggelaman
kapal asing dalam kondisi memaksa (forced major), seperti adanya perlawanan dari Nakhoda
atau anak buah kapal (ABK) kapal asing yang dapat membahayakan keselamatan kapal
pengawas perikanan. Dalam perkembangan selanjutnya, penenggelaman kapal yang semula
bertujuan untuk memberikan efek jera dinilai kurang efektif karena proses peradilan selama
ini hanya menjerat Nahkoda dan awak mesin kapal namun tidak menjerat pemilik kapal.
Permasalahan lainnya yaitu pengawasan yang lemah serta proses hukum yang berlarut-larut.
Selain itu, penerapan Pasal 69 ayat (4) dalam pelaksanaan di lapangan menimbulkan distorsi
dan banyak kritik dari berbagai pihak karena terkait dengan ketentuan-ketentuan hukum
internasional khususnya Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982). Dengan
demikian, isi dari Pasal 69 Ayat (4) Undang-Undang Perikanan yang mengatur ketentuan
penenggelaman kapal asing dengan didasarkan bukti permulaan yang cukup ke depannya
menjadi sulit untuk dilaksanakan. Tindakan penenggelaman kapal ikan berbendera asing yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum memerlukan uji materiil terhadap Pasal 69 ayat
(4) Undang-Undang Perikanan

ABSTRAK
One form of criminal law enforcement in law of the sea is an act of sinking foreign vessels.
Parties whom authorized to do that action are Civil Servant Investigators Fisheries,
Investigators Navy officer, and / or Investigator of the Indonesian National Police. Until now,
there is no other better way in handling vessels that allegedly used in the crime of fisheries.
As stipulated in Article 69 paragraph (4) Indonesia Fisheries Act when in a state of forced
major, such as the resistance of the captain or crew of foreign vessels that may endanger the
safety of fishery patrol ship, then it could be the reason to burn and sink them. On further
developments, sinking ship that was originally intended to provide a deterrent effect,
considered less deterrent for the vessels owner. Legal sanction has been given to the captain
and chief of engine room crew, but have not been able to ensnare the ship owner because
proceedings for the perpetrators of illegal fishing has not ensnare vessel owner and is still
constrained weak supervision and a dragged on legal process. In addition, the application of
Article 69 paragraph (4) the implementation of a practice cause a lot of distortion and get
criticism from various parties including countries that are victims of sinking as in the case of
foreign vessel sinking associated with the provisions of international law, especially the UN
Convention on the law sea (UNCLOS 1982). Thereby, the content of Article 69 Paragraph (4)
Fisheries Act provisions governing foreign vessel sinking with sufficient evidence based on
the future becomes difficult to implement. In order for sinking action of foreign fishing vessel
could be accounted for by law then it required judicial review of Article 69 paragraph (4) of
the Fisheries Act"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Anugroho
"Pengujian Terhadap Undang-Undang Ketenagalistrikan). Skripsi ini membahas tentang kesesuaian makna dari unsur ?efisiensi berkeadilan? yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diperbarui dengan niat awal para Bapak Bangsa mengenai perekonomian Indonesia. Pembahasan tersebut dilakukan dengan menganalisis bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan unsur "efisiensi berkeadilan" dalam Uji Materil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa makna dari ?efisiensi berkeadilan? dalam Pasal 33 ayat (4) adalah perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Dalam kaitanya dengan sektor ketenagalistrikan Indonesia, interpretasi tersebut sesuai dengan niat awal para Bapak Bangsa selama diartikan bahwa efisiensi dalam penyediaan penyediaan tenaga listrik demi kepentingan umum dicapai melalui penguasaan negara dalam bentuk pengurusan, pengaturan, pengelolaan, serta pengawasan terhadap sektor usaha ketenagalistrikan Indonesia. Penguasaan negara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjamin keadilan bagi rakyat, yaitu tidak adanya penindasan ekonomi dan terjaminya ketersediaan listrik bagi seluruh rakyat dengan harga terjangkau.

This paper discusses whether the meaning of "equitable efficiency" contained in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution After the 4th Amendment is in line with the original intent of the Founding Fathers regarding the Indonesian economy. Discourse is conducted by analyzing how the Constitutional Court interpret the element of "equitable efficiency" in the judicial review of Law Number 20 Year 2002 and Law Number 30 Year 2009 on Electricity.
The outcome of this research concludes that the meaning of "equitable efficiency" in Article 33 paragraph (4) of the 1945 Constitution after the 4th Amendment is that the national economy should be organized to use the least amount of resources to achieve the greatest amount of welfare which could be enjoyed equitably by the all citizens. In regards to Indonesia's electricity sector, such interpretation is in accordance with the original intent of the Founding Fathers as long as it is interpreted that efficiency in regards to the provision of electrcity for the public is achieved state control in the form management, regulation, and supervision of the Indonesian electricity sector. The aim of such state control is to ensure justice for the people; namely freedom from economic oppression and the guarantee that electricity is available to all members of society at affordable prices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43103
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>