Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106966 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: PERNEFRI, 2009
616.61 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kristina Joy Herlambang
"ABSTRAK
Penyakit ginjal kronik PGK merupakan penyakit kronik progresif yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan bersifat irreversible. Pasien PGK stadium akhir membutuhkan terapi pengganti ginjal untuk memertahankan tubuh dari toksisitas uremia. Prosedur dialisis bersifat katabolik, sehingga pasien yang menjalani hemodialisis HD mengalami peningkatan kebutuhan energi dan protein yang penting untuk mencegah terjadinya protein-energy wasting PEW . Empat orang pasien dalam serial kasus ini mengalami PGK stadium akhir dan telah menjalani hemodialisis dengan rentang waktu yang berbeda, 2 orang dalam rawat inap dan dua orang lainnya rawat jalan. Pasien didiagnosis dengan PGK stadium 5 dengan HD, hipertensi, diabetes melitus, dan ensefalopati uremikum. Walaupun saat pemeriksaan status gizi pasien normoweight dan satu orang mengalami malnutrisi ringan, seluruh pasien memiliki riwayat asupan protein 10 dalam 6 bulan, sehingga dibutuhkan terapi medik gizi yang mencakup penentuan kebutuhan makro dan mikronutrien, nutrien spesifik, sesuai dengan toleransi dan kondisi klinis pasien. Hasil pemantauan menunjukkan pasien mengalami perbaikan klinis, toleransi asupan dan kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien dapat dipertahankan. Terapi medik gizi berperan penting pada semua pasien PGK yang menjalani HD dengan mencegah PEW, memperbaiki kondisi klinis, serta meningkatkan kapasitas fungsional pasien.Kata kunci: terapi medik gizi, penyakit ginjal kronik, hemodialisis, hipertensi.

ABSTRACT
Chronic kidney disease is a irreversible progressive chronic process that causes worsening renal function. Patients with end stage renal disease needs renal replacement therapy to protect themselves from uremia toxicity. Patients who have to undergo dialysis are in high catabolism state and has an increased energy and protein expenditure. Adequate energy and protein for these patients are needed to prevent protein energy wasting PEW . Four cases from this serial case has ESRD and has been on hemodialysis with different time frames. Two outpatient and two inward patients who have CKD stage V with hypertension, diabetes mellitus, and uremic encephalopathy. Although only one patient I categorized as mildly malnourished, 3 of four patients experienced weigth loss 10 in 6 months. Thus, medical nutritional therapy is needed to determine energy and protein requirements in these patients. Evaluation and monitoring form these cases shows that all patients have better clinical outcome, better nutrition intake, and functional capacity were preserved. Medical nutrition therapy has an important role in all CKD patients with dialysis to prevent PEW, to improve their clinical outcome and to increasetheir functional capacity. Key words medical nutrition therapy, chronic kidney disease, hemodialysis, hipertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rhodia
"Latar Belakang: Kerusakan ginjal dapat berkembang ke arah penyakit ginjal kronik PGK dan gagal ginjal terminal. Penyakit ginjal kronik berkaitan dengan tingginya angka mortalitas dan pembiayaan yang dibutuhkan. Data mengenai PGK pada anak di dunia masih terbatas terutama di negara berkembang. Belum adanya data secara nasional yang dapat menggambarkan karakteristik penyakit ginjal pada anak di Indonesia menjadi alasan dilakukannya studi ini dengan mengolah data yang didapatkan dari Riskesdas 2013, sebuah riset kesehatan berbasis komunitas yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balitbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI .
Tujuan: Mengetahui karakteristik penyakit ginjal pada anak usia 15-18 tahun di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013.
Metode: Studi potong lintang dengan mengolah data sekunder yang didapatkan dari Riskesdas 2013. Terdapat dua kelompok data berdasarkan pencatatan di lapangan. Kelompok data 1 meliputi subjek yang diikutkan pada pengumpulan data kuesioner berupa riwayat batu ginjal, gagal ginjal kronik, riwayat hipertensi, dan minum obat antihipertensi, serta pemeriksaan fisis berupa pengukuran tekanan darah TD . Kelompok data 2 juga diikutkan pada pencatatan data kuesioner dan pemeriksaan fisis, namun disertai data laboratorium kadar hemoglobin Hb dan kreatinin serum. Setelah itu dilakukan pengklasifikasian data sesuai status nutrisi, estimasi LFG, TD, dan kadar Hb.
Hasil: Sejumlah 52.454 subjek diikutkan pada kelompok data 1, didapatkan hasil 20.537 subjek dengan penyakit ginjal, dengan karakteristik sebagian besar perempuan dan status nutrisi gizi baik. Terdapat riwayat batu ginjal 0,2 , gagal ginjal kronik 0,1 , riwayat hipertensi 0,6 , minum obat antihipertensi 0,1 , serta pra-hipertensi dan hipertensi berdasarkan pemeriksaan fisis sejumlah 51,4 dan 48,3 . Pada kelompok data 2 didapatkan hasil subjek dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 1,4 .
Simpulan: Angka hipertensi dan pra-hipertensi pada remaja 15-18 tahun di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menyebabkan upaya pemeriksaan TD secara teratur perlu digiatkan kembali sebagai upaya deteksi dini, mencari etiologi dan tata laksana mencegah berkembangnya penyakit. Kata kunci: penyakit ginjal, hipertensi, gagal ginjal, batu ginjal, remaja, Riskesdas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hans Tandra
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019
616.61 HAN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Medan: USU press, 2008
616.132 HIP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sihaloho, Harnold Parulian
"Latar Belakang
Terganggunya fungsi ereksi merupakan hal yang sering dijumpai pada penderita penyakit ginjal kronik, di mana prevalensi DE meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Belum didapatkan data prevalensi DE pada penderita penyakit ginjal kronik dengan dan tanpa hemodialisis.
Tujuan Penelitian
Mengetahui prevalensi DE pada penderita penyakit ginjal kronik dengan dan tanpa hemodialisis di RSHS Bandung, yang dinilai dengan IIEF-5.
Metode Penelitian
Dilakukan penelitian secara prospektif di instalasi rawat jalan subbagian Urologi/Nefrologi RSHS, pada penderita penyakit ginjal kronik yang dinilai dengan AEF-5.Data yang didapatkan, dikelompokkan berdasarkan umur, derajat DE, dengan HD, dan tanpa HD.
Hasil Penelitian
Distribusi umur penderita penyakit ginjal kronik dengan dan tanpa hemodialisis, terbanyak pada umur 50-59 tahun (34,33% dan 35,29%).Pada penderita penyakit ginjal kronik dengan dan tanpa hemodialisis, derajat DE berat adalah terbanyak (29,85% clan 45,09%). Didapatkan 11,94% dan 7,84% penderita penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis dan tanpa hemodialisis yang tidak mengalami DE.Prevalensi DE pada penderita penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis dan tanpa hemodialisis adalah 88,06% dan 92,16% dengan rentang umur terbanyak masing-masing sama yaitu 50-59 tahun.
Kesimpulan
Prevalensi DE pada penderita penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis 88,06%, sedangkan yang tanpa hemodialisis 92,16%.

Background
Erectile dysfunction is commonly found in patient with chronic kidney disease, which the prevalence increased with aging. There is no data prevalence erectile dysfunction in chronic kidney disease patient with or without haemodialysis.
Objective
To investigate prevalence of erectile dysfunction in patient with chronic kidney disease with and without dialysis in Hasan Sadikin Hospital Bandung, which evaluated by IIEF-5.
Method
The prospective study is conducted at outpatient Department of Urology and Nephrology Hasan Sadikin Hospital, in patient with chronic kidney disease with and without dialysis which is evaluated by IIEF-5.The data is classified based on age, severity of erectile dysfunction, with and without haemodialysis.
Results
Distribution of patient with chronic kidney disease with or without haemodialysis mostly at 50-59 years old (34,33% and 35,29%).Severe erectile dysfunction is mostly found in chronic kidney disease with or without haemodialysis (29,85% and 45,09%).There are 11,94% and 7,84% chronic kidney disease patient with or without haemodialysis have no erectile dysfunction. The prevalence of erectile dysfunction in chronic kidney disease patient with or without haemodialysis is 88,06% and 92,16%, both is commonly found at the same age (50-59 years old).
Conclusions
The prevalence of erectile dysfunction in chronic kidney disease patient with haemodialysis is 88.06% and without haemodialysis 92,16%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swanty Chunnaedy
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru yang dikeluarkan oleh the National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) pada tahun 2002 untuk pasien yang mengalami kerusakan ginjal paling sedikit selama tiga bulan dengan atau tanpa penurunan LFG atau pasien yang memiliki LFG < 60 mL/menit/1,73 m2 lebih dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Progresivitas PGK ditentukan oleh beberapa faktor risiko seperti hipertensi, proteinuria, anemia, genetik, ras, usia dan jenis kelamin. Terminologi PGK belum banyak digunakan di Indonesia, sehingga karakteristik dan kesintasan PGK stadium 3 dan 4 pada anak belum banyak diteliti.
Tujuan: Mendapatkan karakteristik dan kesintasan PGK stadium 3 dan 4 pada anak yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort prospektif historikal yang diambil dari rekam medis di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM sejak Januari 2004 hingga 30 November 2012, kemudian diamati luaran akhirnya sampai penelitian dinyatakan selesai. Kriteria pemilihan subjek meliputi usia 2-18 tahun dan memenuhi kriteria PGK stadium 3 dan 4 menurut NKF KDOQI. Data ditabulasi untuk melihat karakteristik subjek. Kesintasan dianalisis dengan menggunakan Kaplan Meier dengan event yang dinilai adalah PGK stadium 5 atau kematian.
Hasil: Dalam kurun waktu 8 tahun ditemukan 50 rekam medis yang masuk dalam analisis, terdiri atas 36 subjek PGK stadium 3 dan 14 subjek PGK stadium 4. Median usia adalah 7,9 (2-15) tahun dengan jenis kelamin perempuan (58 %) sedikit lebih banyak dari pada lelaki (42 %). Etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (56 %) dengan sindrom nefrotik memiliki proporsi terbesar. Gambaran klinis yang ditemukan adalah hipertensi (42 %), gizi kurang (40 %), anemia (70 %), gangguan elektrolit (78 %), asidosis (34 %), proteinuria (72 %), perawakan pendek (56 %), osteodistrofi renal (2 %), dan kardiomiopati dilatasi (14 %). Median kesintasan keseluruhan adalah 57,13 bulan (IK 95 % 11,18 sampai 103,09).
Simpulan: PGK stadium 3 dan 4 sedikit lebih banyak terjadi pada perempuan (58 %) dengan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (56 %). Komplikasi PGK di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM yang paling sering adalah gangguan elektrolit (78 %), anemia (70 %), perawakan pendek (56 %), gizi kurang (46 %), dan hipertensi (42 %). Median kesintasan keseluruhan adalah 57,13 bulan (IK 95 % 11,18 sampai 103,09).

Background: Chronic kidney disease (CKD) is a new terminology in 2002, defined by the National Kidney Foundation Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) Group to classify any patient who has kidney damage lasting for at least 3 months with or without a decreased GFR or any patient who has a GFR of less than 60 mL/min per 1.73 m2 lasting for 3 months with or without kidney damage. The progression of established CKD is influenced by several risk factors, such as hypertension, proteinuria, anemia, genetic, race, age, and sex. In Indonesia, the term of CKD is not widely used so that its characteristic and renal survival remains sparse.
Objective: To find the characteristic and renal survival of pediatric chronic kidney disease in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: A historical prospective cohort study was conducted from medical record in Department of Child Health CMH from January 2004 to November 2012. The outcome was followed up until the end of the study. The inclusion criteria were 2-18 years old children with chronic kidney disease stage 3 and 4 according to NKF KDOQI classification. Renal survival was analyzed by using Kaplan Meier survival function. The event was progression to CKD stage 5 or death.
Results: A total of 50 medical records were included in the analysis. Of those, 36 patients had CKD stage 3 and 14 patients had CKD stage 4. The median age at admission was 7.9 (2 to 15) years and 58 % were female. The most common etiology was glomerulonephritis (56 %) where nephrotic syndrome was the most frequent cause. The common clinical manifestations were hypertension (42 %), malnourished (40 %), anemia (70 %), electrolyte disturbance (78 %), acidosis (34 %), proteinuria (72 %), short stature (56 %), renal osteodystrophy (2 %), and dilated cardiomyopathy (14 %). Overall renal survival was 57.13 months (CI 95 % 11.18 to 103.09).
Conclusion: CKD stage 3 and 4 are more common in female (58 %) with glomerulonephritis (56 %) is the most common etiology. The most frequent complications are electrolyte disturbance (78 %), anemia (70 %), short stature (56 %), malnourished (46 %), and hypertension (42 %). Overall renal survival is 57.13 months (CI 95 % 11.18 to 103.09).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2103
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Rahardja
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) dilaporkan berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian ulkus pedis dan amputasi pada diabetes melitus (DM). Namun, data mengenai hal tersebut masih terbatas termasuk di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh PGK terhadap kejadian ulkus pedis dan amputasi ekstremitas bawah dalam 3 tahun.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada DM berusia >18 tahun dengan menggunakan data sekunder di RSUP Fatmawati pada periode Januari – Desember 2016. Kesintasan terhadap ulkus pedis dan amputasi ekstremitas bawah berdasarkan LFG dihitung dan dianalisis melalui kurva Kaplan Meier. Adjusted hazard ratio (aHR) dinilai dengan menggunakan analisis multivariate Cox proportional hazards.
Hasil: Dari 204 subjek penelitian, 108 orang (52,9%) memiliki LFG > 60, 54 orang (26,5%) memiliki LFG 30-59, dan 42 orang (20,6%) memiliki LFG <30 ml/menit/1,73 m2. Kesintasan ulkus pedis dalam 3 tahun adalah 75,7% untuk LFG <30; 86,4% untuk LFG 30-59; dan 94,1% untuk LFG > 60 ml/menit/1,73 m2. Laju insidens ulkus pedis per 1000 orang per bulan adalah 7,98 untuk LFG <30; 4,08 untuk LFG 30-59; dan 1,61 untuk LFG >60 ml/menit/1,73m2. Pasien dengan LFG 30-59 dan LFG <30 ml/menit/1,73 m2 memiliki adjusted HR 1,36 (IK 95% 0,39-4,66) dan 4,39 (IK 95% 1,18-16,4) terhadap ulkus pedis dibandingkan dengan LFG > 60 ml/menit/1,73 m2. Tidak dilakukan analisis lebih lanjut pada luaran amputasi ekstremitas bawah karena tidak ada pasien yang mengalami luaran pada kelompok LFG >60 ml/menit/1,73 m2
Kesimpulan: PGK mempengaruhi kejadian ulkus pedis dalam 3 tahun pada pasien DM dan risiko ulkus pedis dalam 3 tahun semakin meningkat seiring dengan semakin berat derajat PGK. Pengaruh PGK terhadap kejadian amputasi ekstremitas bawah masih belum dapat disimpulkan pada penelitian ini.

Background: Chronic kidney disease (CKD) has been reported associated with poor prognoses in foot ulcers and lower extremity amputation (LEA) in patients with diabetes melitus (DM). However, the study is still limited and never been done in Indonesia. The objective of this study is to evaluate the impact of CKD on foot ulcers and LEA in patients with diabetes.
Methods: This was a retrospective cohort study in Internal Medicine out-patient clinic in Fatmawati General Hospital. All subjects were enrolled between January-December 2016 who had history of DM, age >18 years old and had a history of DM. Foot ulcer-free and amputation-free survival for estimated glomerular filtration rate (eGFR) >60, 30-59, and <30 ml/min/1,73 m2 were calculated and analyzed by Kaplan-Meier curves. Adjusted hazard ratio (HR) was analalyzed using multivariate Cox proportional hazards. multivariate model.
Results: A total of 204 individuals were included: 108 (52,9%) in eGFR >60, 54 in eGFR 30-59, and 42 in eGFR <30 ml/min/1,73 m2. Foot ulcer free survival for patient with eGFR <30, 30-59, >60 ml/min/1.73 m2 were 75,7%; 86,4%; and 94,1% respectively. Unadjusted foot ulcer incidence rates per 1000 patients per month were 7,98 for eGFR <30; 4,08 for eGFR 30-59; and 1,61 for eGFR >60 ml/menit/1.73m2. For the development of foot ulcer compared with eGFR > 60 ml/min/ 1.73 m2, adjusted HR for patient with eGFR 30-59 ml/min/1.73 m2 was 1,36 (CI 95% 0,39-4,66) and for eGFR < 30 ml/min/1.73 m2 was 4,39 (CI 95% 1,18-16,4). HR for LEA could not be analyzed because there were no patient who had been amputated after 3 years follow up in group eGFR >60 ml/min/1.73 m2.
Conclusion: CKD increased the risk of foot ulcer in 3 years among DM patients. The risk was increased concomitant with the severity of CKD. The impact of CKD on LEA could not be concluded in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Ayu Ary Antari
"Kualitas hidup merupakan tujuan penting dari keseluruhan perawatan pasien dengan gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Studi terbaru menunjukkan bahwa parameter subyektif lebih penting dalam mengukur kualitas hidup dibandingkan parameter obyektif seperti biokimia darah. Instrumen pengukuran kualitas hidup memiliki varian yang cukup banyak, namun belum ada instrumen yang sederhana, mudah diisi dan nyaman untuk diterapkan. Modified ESAS merupakan salah satu instrumen pengkajian beban gejala yang menurut hasil penelusuran ilmiah mampu mempredikasi kualitas hidup.
Tujuan dari penerapan EBN ini adalah teridentifikasinya instrumen kualitas hidup yang valid, reliabel, sensitif dan spesifik serta mudah diterapkan di tatanan klinik. Proses pelaksanaan EBN ini terdiri dari penelusuran ilmiah menggunakan pertanyaan klinis dan dilanjutkan dengan implementasi EBN terhadap 54 pasien GGT yang menjalani hemodialisis.
Hasil penerapan menunjukkan modified ESAS merupakan instrumen yang valid, reliabel, memiliki sensitivitas dan spesifisitas dalam mengukur kualitas hidup. Selain iu, secara teknis instrumen ini mudah diterapkan baik ditinjau dari aspek perawat maupun pasien.

Quality of life is an important goals for patients undergoing hemodialysis. Recent studies showed that the subjective parameters are more important in measuring the quality of life than objective parameters such as blood biochemistry. The quality of life instrument is still many variants and there is no simple, easy to filled and comfortable instrument to apply. Based on scientific research, modified ESAS is one of the instruments that can predict the quality of life.
The implementation of evidence based nursing was aimed to identify the validity, reliability, sensitivity, specificity and applicability instrument of quality of life patients undergoing hemodialysis in clinical settings. The process EBN implementation consist of searching scientific clinical question and followed by 54 patients undergoing hemodialysis.
The EBN results showed that ESAS was a valid, reliable, sensitive and specific instrument to measure the quality of life. In addition, this instrument is easy applied both of nurses and patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Merlyn Meta Astari
"Latar belakang: Anak dengan penyakit ginjal kronik (PGK) memiliki tantangan risiko gangguan cemas dan depresi yang besar karena stres fisis dan psikologis yang dialami. Kadar kortisol meningkat pada kondisi stres. Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 91 anak dan remaja usia 8- 18 tahun dengan PGK di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Gangguan psikososial melalui pengisian kuesioner screen for anxiety and related disorders dan children depression inventory. Kadar kortisol saliva diperiksa melalui pemeriksaan ELISA. Hasil: Prevalens gejala kecemasan pada stadium 1-3 sebesar 38,6% dan stadium 4-5 sebesar 40,4%. Prevalens gejala depresi pada stadium 1-3 sebesar 29,5% dan stadium 4-5 sebesar 38,3%. Median kadar kortisol pada anak dengan PGK yang mengalami gejala depresi 4,48 µg/dL tidak bermakna secara statistik dibandingkan yang tidak 3,85 µg/dL. Median kadar kortisol pada anak dengan PGK yang mengalami gejala kecemasan 4,57 µg/dL tidak bermakna secara statistik dibandingkan yang tidak 3,87 µg/dL. Median kortisol pada stadium 1-3 dan stadium 4-5 terhadap CDI tidak bermakna secara statistik. Median kortisol pada stadium 1-3 terhadap SCARED tidak bermakna secara stastistik, tetapi bermakna pada stadium 4-5 dengan p=0,034. Kesimpulan: Kortisol saliva pada PGK stadium 4-5 terdapat perbedaan bermakna antara yang mengalami gejala kecemasan dan tidak.

Objective: Children with chronic kidney disease (CKD) have a higher risk of anxiety and depression due to the physical and psychological stress. Cortisol levels increase under stressful conditions. Methods: This cross-sectional study involved 91 children and adolescents aged 8-18 years with CKD at Cipto Mangunkusumo Hospital. Psychosocial disorders through filling out screen for the anxiety and related disorders and children depression inventory questionnaires. Salivary cortisol levels were checked via ELISA. Results: The prevalence of anxiety symptoms in stages 1-3 was 38.6% and stages 4-5 was 40.4%. Prevalence of depressive symptoms in stages 1-3 was 29.4% and stages 4-5 was 38.3%. Median cortisol level in children with CKD who experienced depression symptoms was 4.48 µg/dL which was not statistically significant compared to 3.85 µg/dL for those who did not and who experienced anxiety symptoms was 4.57 µg/dL which was not statistically significant compared to 3.87 µg/dL for those who did not. Median cortisol at stages 1-3 and stages 4-5 for CDI was not statistically significant. Median cortisol at stages 1-3 of SCARED was not statistically significant, but was significant at stages 4-5 with p=0.034. Conclusion: There is a significant difference in stage 4-5 CKD who experienced anxiety symptoms and those who did not."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>