Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14492 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Helmi
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
617.87 HEL o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Noviati Sri Racha
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
T58806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harim Priyono
"Manfaat madu untuk penyembuhan luka sudah banyak diteliti, namun informasi manfaatnya untuk penyembuhan luka timpanoplasti masih terbatas. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efek madu manuka (Mn) dan madu trigona (Tr) asli Indonesia pada re-epitelisasi membran timpani (MT) melalui potensi proliferasi fibroblas, keratinosit, sekresi KGF dan basic-FGF.
Penelitian in vivo berupa uji klinis acak, tersamar ganda, pada 64 pasien dewasa otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe aman tenang yang menjalani timpanoplasti di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Juni 2021–Agustus 2022. Pasien diacak dan disamarkan ke dalam dua kelompok, yaitu diberikan gelfoam plus gel Mn 100% medical grade (intervensi) atau hanya diberikan gelfoam (kontrol) di liang telinga saat timpanoplasti. Tampon telinga diangkat setelah dua minggu dan pasien diminta kontrol setiap minggu selama enam minggu. Penelitian in vitro dilakukan di Laboratorium Universitas YARSI. Kultur fibroblas dan keratinosit yang diisolasi dari pasien OMSK diberikan pajanan Mn dan Tr dengan tiga konsentrasi yaitu 0,04%, 0,1%, dan 0,25%, kemudian dilakukan uji proliferasi, KGF dan bFGF juga diukur dan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Proporsi pengeringan luka pascatimpanoplasti kelompok intervensi lebih banyak secara bermakna dibandingkan kontrol pada minggu ke-3, ke-4, dan ke-6. Madu manuka dan Tr tidak meningkatkan jumlah sel kultur fibroblas, tetapi mempersingkat durasi doubling time. Jumlah sel kultur keratinosit lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kontrol pada semua kelompok Mn dan Tr 0,04%. Sekresi KGF meningkat seiring pertambahan sel. Pada hari ke-6 dan hari ke-8, sekresi KGF lebih tinggi pada beberapa kelompok intervensi dibandingkan kontrol. Sebaliknya, kadar bFGF menurun seiring pertambahan sel. Terdapat korelasi positif antara lama pajanan kedua jenis madu dengan proliferasi fibroblas. Lama pajanan Mn 0,04%, 0,1%, dan Tr 0,04% berkorelasi positif dengan jumlah sel kultur keratinosit.
Disimpulkan pemberian Mn saat timpanoplasti meningkatkan pencapaian re-epitelisasi MT sempurna melalui efeknya pada fibroblas dan keratinosit, serta berpotensi meningkatkan keberhasilan timpanoplasti. Penelitian ini juga menunjukkan efek positif Tr pada fibroblas dan keratinosit, sehingga potensi terapeutik madu ini dapat diteliti lebih lanjut

Benefits of honey on wound healing have been widely reported, but information about its effect on the re-epithelialization of the tympanic membrane (TM) is limited. This study aims to evaluate the effect of manuka honey (MH) and trigona honey (TH) from Indonesia, on TM re-epithelization through their potential action on the proliferation of fibroblasts, keratinocytes, secretion of KFG and basic-FGF.
The in vivo study was a randomized, controlled, double-blind clinical trial on 64 adult patients with mucosal type chronic suppurative otitis media (CSOM) undergoing tympanoplasty at Cipto Mangunkusumo General Hospital from June 2021–August 2022. Patients were randomized and blinded into two groups, receiving either gel foam soaked in 100% medical grade MH (intervention group) gel or only gel foam (control group) placed in the external auditory canal during tympanoplasty. The ear tampon was removed after two weeks, and patients were followed up weekly for six weeks. The in vitro study was conducted at the YARSI University Laboratory. Fibroblast and keratinocyte cultures isolated from CSOM patients were exposed to MH and TH with three dilutions: 0.04%, 0.1%, and 0.25%. The cells were then subjected to proliferation assays, KGF and bFGF were also assessed and compared with the control group.
The intervention group had a significantly higher proportion of dry tympanoplasty wounds than control at the 3rd, 4th, and 6th visit. Manuka honey and TH did not increase the number of fibroblasts but shortened the doubling time duration. A significantly higher number of keratinocytes than control was observed in all MH groups and the 0.04% TH group. KGF secretion increased as the number of cells increased. On day 6 and day 8, KGF secretion was higher in some of the intervention groups compared with the control group. In contrast, fibroblast bFGF secretion decreased as the number of cells increased. There was a positive correlation between the exposure time of all intervention groups and the number of cells in the fibroblast culture. Prolonged exposure time to 0.04% MH, 0.1% MH, and 0.04% TH were positively correlated with the number of keratinocytes.
The application of MH during tympanoplasty increased complete TM re-epithelialization through its effect on fibroblasts and keratinocytes proliferation. MH has the potential to improve tympanoplasty outcomes. This present study also illustrated the positive effects of TH on fibroblasts and keratinocytes; thus, its potential therapeutic properties could be further explored.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Astri Paramaramya
"Latar belakang: Timpanoplasti tipe 1 merupakan prosedur untuk menangani Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Prosedur ini bertujuan untuk memperbaiki membran timpani, menjaga telinga tengah dari patogen luar dan pada akhirnya memperbaiki fungsi pendengaran. Faktor yang memengaruhi hasil timpanoplasti yaitu faktor operator, alat dan pasien. Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik klinis preoperasi sebagai faktor yang memengaruhi fungsi pendengaran pascatimpanoplasti tipe 1. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif pada pasien OMSK tipe aman tenang yang telah menjalani timpanoplasti tipe 1. Subjek dengan membran timpani utuh pascaoperasi masuk dalam kriteria penelitian. Karakteristik klinis preoperasi berupa ukuran perforasi, letak perforasi dan fungsi Tuba Eustachius dikumpulkan melalui rekam medis. Fungsi pendengaran pascatimpanoplasti dinilai menggunakan audiometri nada murni. Hasil: Rata-rata ambang dengar preoperasi 44,7 dB ± 15,9dB menurun menjadi 33,2 dB ± 14,4dB. Rata-rata Air Bone Gap (ABG) preoperasi 41,9 dB menurun menjadi 14,4 dB. Tidak adanya perbaikan fungsi pendengaran 1 tahun pascatimpanoplasti terjadi pada 17,6% (n = 6). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ukuran perforasi, letak perforasi dan fungsi Tuba Eustachius preoperasi terhadap fungsi pendengaran pascatimpanoplasti tipe 1. Kesimpulan: Terdapat faktor selain ukuran perforasi, letak perforasi dan fungsi Tuba Eustachius preoperasi yang memengaruhi fungsi pendengaran.

Background: Type 1 tympanoplasty is a procedure in to treat Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM). It aims to repair the tympanic membrane, protect the middle ear from external pathogens and ultimately improve hearing function. Factors that affect the outcome of tympanoplasty, including operator, tools and patient factors. Objective: Identify preoperative clinical characteristics as factors affecting hearing function after type 1 tympanoplasty. Methods: The study was a prospective cohort design involving patients with tubotympanic type CSOM who had undergone type 1 tympanoplasty. Subjects with an intact tympanic membrane postoperatively were included in the study criteria. Data regarding preoperative clinical characteristics such as perforation size, perforation location, and Eustachian tube function were collected from medical records. Pure tone audiometry was performed to determine postoperative hearing function. Results: The preoperative hearing threshold of 44.7 dB ± 15.9dB decreased to 33.2 dB ± 14.4dB. The preoperative Air-Bone Gap (ABG) value of 41.9 dB decreased to 14.4 dB. There was no improvement found in 17.6% subjects (n = 6). There was no significant relationship between perforation size, perforation location, and preoperative Eustachian tube function on postoperative hearing function in type 1 tympanoplasty. Conclusion: There are factors other than perforation size, perforation location and preoperative Eustachian tube function that affect hearing function."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusra
"Dalam rangka penjualan rumah susun atas satuan-satuan rumah susunnya, dewasa ini banyak dilakukan dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual bell satuan rumah susun. Hal ini dilakukan karena Undang-Undang Nomor I6 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Undang Undang Rumah Susun) menetapkan persyaratan bagi rumah susun sebelum dapat diperjualbelikan. Pada prakteknya, dengan alasan ekonomis penjualan unit-unit satuan rumah susun sudah dilakukan, walaupun belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Rumah Susun, yaitu dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual beli.
Perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun ini pada umumnya sudah dibuat dalam bentuk standar (Kontrak Standar) yang sudah ditentukan oleh pihak pengembang selaku penjual. Konsumenlpembeii tinggal menyetujui atau tidak, tanpa bisa menegosiasikan isi perjanjian sesuai kehendak para pihak. Apabila setuju, "take it", tetapi kalau tidak setuju "just leave it".
Kontrak standar yang dibuat secara sepihak oleh pengembang yang mempunyai kedudukan lebih dominan tersebut seringkali memuat klausula-klausula yang sudah baku yang isinya lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha (dalam hal ini pengembang/penjual), tetapi mengeliminir kepentingan pihak konsumen/pembeli, sehingga pihak konsumen dirugikan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Perlindungan Konsumen), pada dasarnya sudah mengatur mengenai ketentuan klausula baku (dalam Pasal 18). Namun dalam pelaksanaannya, klausula-klausula baku yang dimuat dalam perjanjian pengikatan jual beli, khususnya pengikatan jual bell satuan rumah susun masih melanggar ketentuan baku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Dwiputeri Erwidodo
"Latar belakang: Microscopic Ear Surgery (MES) memiliki kelebihan berupa stereoskopis dan operator dapat menggunakan kedua tangan untuk memegang alat. Mikroskop memiliki karakteristik penglihatan sudut pandang lurus dan terbatas, sehingga mulai diperkenalkan Endoscopic Ear Surgery (EES) memiliki sudut pandang luas dan panoramik. Korda timpani berisiko mengalami cedera iatrogenik selama operasi yang mengakibatkan dysgeusia (sensasi logam, pahit, asin, perih, mulut kering atau lidah mati rasa). Penggunaan endoskop memungkinkan visualisasi nervus korda timpani lebih jelas, menghindari reseksi korda dan manipulasi. Tujuan: Mengetahui perbedaan prevalensi dysgeusia pasca-timpanoplasti pada kelompok endoskop dibandingkan dengan mikroskop, serta membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran dan durasi operasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan endoskop. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, melibatkan pasien yang merupakan pasien otitis media supuratif kronik dan sudah menjalani timpanoplasti transkanal, dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang teKelompok terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok 1 menggunakan alat mikroskop dan kelompok 2 menggunakan alat endoskop. Pengambilan data berdasarkan rekam medis. Data bersifat dysgeusia subjektif berdasarkan keluhan pasien, diambil pada minggu 1, 2, 4, dan 6. Hasil: Pada penelitian ini didaptkan total subjek penelitian 62 pasien, terdiri atas 35 pasien kelompok 1 dan 27 pasien kelompok 2. Rerata usia pada masing-masing kelompok yaitu, 31,26±9,43 tahun pada kelompok 1 dan 33,81±9,17 tahun pada kelompok 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna prevalensi komplikasi dysgeusia pasca-timpanoplasti transkanal pada kelompok endoskop dibandingkan dengan kelompok mikroskop. Total 21 pasien mengalami dysgeusia pada minggu pertama, p=0,94 (RR=1; 95% CI=0,64-1,61). Terdapat penurunan pada minggu ke 2,4 dan 6. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran, dan durasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan kelompok endoskop. Kesimpulan: Penggunaan alat operasi endoskop dapat menjadi alternatif mikroskop. Dysgeusia akibat cedera nervus korda timpani inta-operasi bukanlah suatu kejadian yang mengancam nyawa dan tidak bersifat permanen, namun hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Background: Microscopic Ear Surgery (MES) has the advantage of being stereoscopic, and the operator can use both hands to hold the instrument. However, microscopes have the characteristics of a straight and limited viewing angle. This limitation led to Endoscopic Ear Surgery (EES), which offers a comprehensive and panoramic viewing angle. An endoscope allows for more precise visualization of the chorda tympany nerve, potentially avoiding cord resection and manipulation. Objective: To determine the difference in the prevalence of post-tympanoplasty dysgeusia in the endoscope group compared with the microscope and to prove that there is no difference between graft completion, improvement in hearing function, and duration of surgery in the microscope group compared with the endoscope. Methods: This study is a retrospective cohort study involving chronic suppurative otitis media patients who have undergone transcanal tympanoplasty, inclusion and exclusion criteria divided into two groups: group 1 using a microscope and group 2 using an endoscope. Data collection is based on medical records. Data are subjective dysgeusia based on patient complaints taken at weeks 1, 2, 4, and 6. Results: Study, 62 research subjects were obtained, consisting of 35 patients in group 1 and 27 in group 2. The average age for each group was 31.26 ± 9.43 years in group 1 and 33.81 ± 9.17 years in group 2. The prevalence of dysgeusia of post-transcanal tympanoplasty in the endoscopy group was no different compared to the microscope group. A total of 21 patients experienced dysgeusia in the first week, p=0.94 (RR=1; 95% CI=0.64-1.61). There was a decrease at weeks 2, 4 and 6. There were no differences between graft success, improvement in hearing function, and duration in the microscope group compared to the endoscope group. Conclusion: Using an endoscope operating tool can be an alternative to a microscope, offering potential patient outcomes and quality of life benefits. Dysgeusia due to injury to the chorda tympanic nerve during surgery is not a life-threatening event and is not permanent, but it can affect the patient's quality of life."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yadita Wira Pasra
"ABSTRAK
Latar belakang : Hampir seluruh penduduk dunia pernah mengeluhkan masalah di telinga. Salah satu kelainan pada telinga adalah akibat penyakit infeksi telinga Otitis media supuratif kronik (OMSK). Data yang digunakan di Indonesia pada saat ini sudah sangat lama sehingga diperlukan data epidemiologi baru untuk menentukan strategi pencegahan dan pola tatalaksana yang tepat sesuai dengan karaktersitik penyakit dan penderita di masyarakat Indonesia saat ini.
Metode: Penelitian ini bersifat survei deskriptif potong lintang, sebagai bagian dari penelitian ?Profil Otitis Media? untuk mengetahui prevalensi dan hubungannya dengan faktor risiko OMSK, di Jakarta.
Hasil : Prevalensi OMSK di Jakarta tahun 2012 berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi penduduk Kotamadya Jakarta Timur adalah 3,4%. Faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMSK adalah usia (p=0,047), tingkat pendapatan keluarga (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) dan pajanan rokok (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Faktor risiko yang secara statistik tidak bermakna terhadap kejadian OMSK adalah rinitis alergi (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), jenis kelamin (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) dan status gizi (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)). Berdasarkan penelitian ini, didapatkan dua dari tiga subyek penderita OMSK di bawah lima tahun, memiliki riwayat pemberian ASI.
Diskusi: Prevalensi OMSK pada penelitian ini sebesar 3,4%, angka ini menurut WHO digolongkan sebagai negara dengan prevalensi OMSK yang tinggi (2-4%). Strategi penatalaksanaan komprehensif diperlukan untuk menurunkan prevalensi OMSK.

ABSTRACT
Introduction: Almost all of world populations complain of ear disturbance once in their life. Chronic supurative otitis media (CSOM) is one of chronic infection of middle ear. The data use in Indonesia is out of date, new data is needed to make new policy of treatment and preventive strategy.
Method: This is cross sectional survey study, as one of ?Profil Otitis Media? study. The aims of this study are to describe prevalence and risk factor of CSOM in Jakarta.
Result: The prevalence of CSOM in Jakarta in year 2012 based on this study is 3.4%. Risk factor that significantly correlated to CSOM are age (p=0.047), family economical status (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) and smoke (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Allergic rhinitis (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), sex (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) and nutritional state (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)) are not significantly correlate with CSOM. Based on this study 2 of 3 children with CSOM below 5 years age, are given breast feeding.
Discussion: CSOM prevalence based on this study is 3.4%, according to WHO recommendation this is high CSOM prevalence (2-4%). Comprehensive treatment strategy needed to decrease CSOM prevalent in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Kolesteatoma adalah lesi keratin non-neoplastik yang berhubungan dengan proliferasi sel epitel dengan karakteristik morfologi yang menyimpang. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) yang disertai dengan adanya kolesteatoma dapat mengganggu keseimbangan antara pembentukan tulang dengan resorpsi tulang. Kolesteatoma dapat menghasilkan sitokin-sitokin seperti interleukin-6 (IL-6) yang berperan dalam proses destruksi tulang pendengaran. Tujuan: Mengetahui distribusi derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma, rerata kadar IL-6 pada kolesteatoma, dan adanya hubungan antara kadar IL-6 pada kolesteatoma dengan derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma. Metode: Penelitian ini melibatkan 6 pasien dengan OMSK dengan kolesteatoma yang dilakukan operasi mastoidektomi. Satu pasien menderita OMSK dengan kolesteatoma bilateral dan dilakukan operasi mastoidektomi pada kedua telinganya. Derajat kerusakan tulang pendengaran dinilai dengan menggunakan kriteria Saleh dan
Mills, sedangkan kadar IL-6 pada kolesteatoma diukur dengan menggunakan instrumen ELISA. Hasil:
Derajat kerusakan tulang pendengaran tertinggi yang ditemukan adalah derajat 3 (28,57%), sedangkan derajat kerusakan tulang pendengaran yang terbanyak adalah derajat 2 (42,86%). Kadar IL-6 pada kolesteatoma yang tertinggi adalah 2290 pg/mL, sedangkan rerata kadar IL-6 pada kolesteatoma adalah 1778,57±392,616 pg/mL. Kesimpulan: Kadar IL-6 pada kolesteatoma tidak berhubungan dengan derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma (p=0,885)."
ORLI 44:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Retno S. Wardani
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T58983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
"Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring.
Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak.
Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring.
Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01).
Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.

Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux.
Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME.
Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not.
Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01).
Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>