Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116125 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kang, Young Soon
Jakarta: UI-Press, 2008
324.2 KAN a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kang, Young Soon
"Penelitian ini bermaksud mengetahui gambaran kepolitikan NU sejak Muktamar ke-27 NU tahun 1984, yang telah memutuskan kembali ke Khittah '26 untuk tidak berpartisipasi politik secara struktural. Sejauh mana PKB yang difasilitasi oleh PBNU, telah menjadi partai politik yang signifikan melalui kekuatan massa NU dalam perolehan suara sewaktu pemilu 1999. Sejauh mana kekuatan tradisi NU sejak Khittah '26 hingga memasuki era sistem multipartai, pemilu, dan suksesi. Kemudian menganalisis prakondisi perubahan dan konflik kepolitikan NU, terutama melalui PKB dan berbagai partai pendukung lainnya, serta interaksi antara berbagai kekuatan politik dalam sukseksi kepemimpinan nasional.
Dengan permasalahan penelitian tersebut, maka digunakan kerangka teori; Pertama, tradisi pesantren, yaitu nilai-nilai hubungan antara santri dan kyai, hubungan antara kyai dan politik, dalam bentuk budaya patron-klien yang bersifat paternalistik. Hubungan antara kyai dan santri, atau pemimpin NU dan pengikut tetap bersifat patron-klien, tetapi masalah pertukaran tidak hanya berbentuk materi yang ditegaskan dalam teori patron-klien. Imbalan santri terhadap kyai berupa kepatuhan dan ketaatan. Dalam hubungan kyai-santri, yang diberikan kyai tidak hanya kebutuhan hidup, tetapi juga berbagai ilmu pengetahuan dan pengajaran, terutama pelajaran agama Islam, sedangkan para santri dituntut untuk taat pada ajaran-ajaran kyai sebagai bentuk imbalan. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi perilaku para kyai dan santri dalam berpolitik. Kedua, konflik, yaitu perbedaan pendapat, pertentangan, dan persaingan antar dua kelompok atau lebih dalam bentuk non-fisik atau fisik konflik dalam NU terjadi antara kyai, antara elite NU, dan konflik karena intervensi pemerintah. Ketiga, reformasi yang di dalamnya terdapat isu demokratisasi merupakan kondisi eksternal yang juga berpengaruh terhadap kepolitikan NU, yaitu pembentukan wadah politik NU yang kemudian bermuara terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden.
Penelitian ini menggunakan metode analisis proses perkembangan politik NU dalam konteks NU sejak kembali ke Khittah '26 pada tahun 1984 sampai terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden tahun 1999. Untuk memperoleh data-data mengenai NU dari tahun 1984 sampai 1999, digunakan studi dokumen, wawancara, dan pengamatan. Unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi NU. Unit pengamatannya adalah individu. Setelah data diperoleh kemudian dianalisis dengan mengkategorikan, mengelompokkan, dan memberi tafsiran makna-maknanya. Melalui cross check dan wawancara yang mendalam dengan key informan diharapkan diperoleh verifikasi data.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren (Jama ah) begitu kuat mempengaruhi perilaku orang-orang NU, misalnya dalam hubungan antara kyai dan santri dalam bentuk paternalisme dan patron-klien. Hubungan antara kyai dan santri penuh dengan kepatuhan, keterikatan, kewibawaan kyai dalam hal ini kekuasaan keturunan kyai, sehingga kewibawaan dan pengaruh kyai yang dorninan sudah membudaya di NU. Oleh karena itu, dimensi individu dalam NU lebih menonjol dibandingkan dengan dimensi lembaga atau sistem.
Reformasi berpengaruh terhadap organisasi (Jam'iyyah) NU. Reformasi merupakan peluang bagi NU untuk terlibat dalam percaturan politik nasional secara organisatoris. Tanpa mengesampingkan Khittah '26, bahwa secara organisasi, NU tidak boleh berpolitik maka orang-orang NU kemudian mendirikan partai politik. Ada empat partai politik yang didirikan oleh orang-orang NU, yaitu PKU, PNU, SUNI, dan PKB. Beragamnya partai politik dari orang-orang NU merupakan refleksi adanya perbedaan pandangan atau pendapat. Perbedaan pandangan yang kemudian memunculkan pluralisme merupakan suatu kenyataan. Perbedaan pandangan tersebut merupakan konflik. Konflik internal NU selain karena perbedaan pandangan juga karena perebutan kekuasaan, sumber-sumber ekonomi, dan aliansi politik.
Tradisi dan konflik dalam wujud perilaku warga NU ternyata cenderung berperanan dalam kepolitikan NU, baik secara internal maupun unsur eksternal (politik nasional). Ini bisa dilihat NU dalam pemilu dan ketokohan individu Gus Dur dalam pencalonan Presiden. Sejalan dengan perubahan politik nasional, NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan tetapi mempunyai wadah perjuangan politik, yaitu PKB. Konflik politik nasional telah mendorong NU ke posisi puncak politik nasional dengan terpilihnya Ketua Umum PBNU sebagai Presiden.
Implikasi teoritiknya adalah membangun jaringan antara tradisi pesantren, konflik internal, dan reformasi dengan isu demokratisasi yang berperan dalam kepolitikan NU. Kepolitikan NU dilihat sebagai suatu kontinuitas, pada masa Orde Baru kepolitikan NU cenderung menekankan pada level individu, sedangkan pada masa reformasi kepolitikan NU lebih pada level organisasi. Pergeseran politik tersebut karena kondisi eksternal, yaitu keadaan politik nasional juga berubah, selain peranan paham keagamaan Ahlus-sunnah walyama'ah, yang merupakan landasan berpikir dan bertindak warga NU."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D507
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Einar M.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
297.272 SIT n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Muflihah
"Menurut beberapa Hadis Nabi Muhammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya, bahwa Islam yang diakui oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah golongan yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya. Golongan ini lebih dikenal dengan sebutan kelompok ahli_ sunnah wal jamaah. Maka, dalam penyebarannya, agama Islam muncul dalam berbagai bentuk dan mengaku kelompok Ahli sun_nah wal jamaah yang datang dari berbagai penjuru dunia. Hal inipun dialami oleh penduduk Indonesia, khususnya pemeluk agama Islam. Selain itu, Islam juga bertemu dengan berbagai macam kebudayaan, yang sudah terlebih dahulu dikenal oleh masya_rakat setempat. Pertemuan Islam dengan kebudayaan atau ke_percayaan masyarakat setempat tersebut tidak dapat dihinda_ri. Karena suatu masyarakat betapapun rendah dan terasing_nya, biasanya sudah berkebudayaan tertentu dan menganut ke percayaan tertentu. Akibat pertemuan dua unsur tersebut, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, nilai baru men_jadi dominan dan nilai lama menjadi hilang. Kedua, nilai lama tetap dominan dan nilai baru tidak bisa diterima. Ketiga, kedua nilai saling mengisi atau berasimilasi de-ngan salah satu nilai sedikit lebih dominan. Ketika Islam masuk ke Indonesia, ia bertemu dengan agama Hindu/Budha dan kepercayaan lama lainnya. Hal ini dapat diketahui dengan adanya dua pendapat dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia, yaitu pendapat Sunan Giri dan Sunan Kalijaga. Penyebaran agama Islam yang diinginkan oleh Sunan Giri, yaitu dengan cara memberantas kepercayaan lama adat-istiadatnya dan menggantikannya dengan agama/ke-percayaan baru (Islam). Sedangkan cara yang diinginkan oleh Sunan Kalijaga, dengan memasukkan ajaran Islam ke dalam adat-istiadat/kepercayaan lama tanpa memberantasnya sekaligus. Dengan demikian, tersebarlah dua macam ajaran Islam di Indonesia, yang satu berkembang di daerah perkotaan dan satu lagi berkembang di daerah pedesaan. Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan/organisasi kegamaan Islam yang mempunyai basis massa di daerah pedesaan. Melalui lembaga pendidikan Islam, Pesantren. Dan ter_nyata sebagian besar pendukung utama Nahdlatul Ulama adalah masyarakat santri, yang sedang menuntut dan mendalami ilmu agama di pondok pesantren. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin menuntut ilmu agama di bawah bimbingan Pa_ra ulama. Para santri inilah yang nantinya akan menjadi penerus gerakan dan perjuangan Nahdlatul Ulama di masa mendatang. Karena Pesantren banyak terdapat di daerah pedesaan, maka ciri-ciri masyarakat desa sekitar pondok pesantren banyak menyerap pengaruh dari pondok pesantren tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya daya kreatifitas dan pengetahuan tentang agama dalam masyarakat pedesaan tersebut. Kebiasaan santri yang selalu taat dan patuh di bawah kewibawaan ulama mempengaruhi masyarakat desa di lingku_ngan pesantren. Sifat demikian menjadi sikap masyarakat desa yang selalu menunggu petunjuk dan bimbingan dari ula_ma sebagai pemimpin agama. Ciri masyarakat desa seperti ini merupakan tempat subur bagi peranan ulama. Maka, pera_nan ulama sebagai pemimpin informal (bukan pemerintahan) di desa sampai saat ini lebih menonjol dibanding unsur pimpinan lain.Uraian tersebut menunjukkan, bahwa pondok pesantren dan masyarakat desa mempunyai hubungan erat. Ciri dan hu_bungan ini, selanjutnya membentuk watak/ciri khas organisasi ini. Perwatakan tersebut terlihat, misalnya saja pa_da kekuatan Nahdlatul Ulama bukan terletak pada organisa sinya, melainkan pada solidaritas yang secara tradisional tertanam pada pendukungnya yang sebagian besar terdiri dari masyarakat santri pedesaan dan kiainya. Dengan demi_kian, utama dianggap sebagai pemeran utama baik dalam bidang keagamaan maupun bidang sosial. Karena Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan dalam bi_dang keagamaan, maka salah satu motivasi lahirnya pun di_landasi oleh semangat keagamaan, yaitu mempertahankan pa-ham Ahli sunnah wal jamaah. Karena begitu kuatnya Nahdlatul Ulama memegang paham tersebut, maka setiap pembicaraan tentang jamiah ini, tidak dapat lepas dari mas'aiah Allisunnah wal jamaah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S8120
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Wari
"Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan Islam tradisional dan senantiasa terlibat dalam wacana keagamaan dan kenegaraan, menyikapi persoalan kepemimpinan pcrempuan dengan mengeluarkan keputusan-keputusan organisasi. Ada beberapa keputusan besar yang dikeluarkan NU terkait kepemimpinan perempuan, yaitu: (a) Keputusan Konbes Syuriah NU tahun 1957 di Surabaya yang membolehkan perempuan menjadi anggota DPR/DPRD; (b) Keputusan Rapat Dewan Partai NU tahun 1961 di Salatiga yang tidak membolehkan perempuan menjadi kepala desa, kecuali karena darurat; (c) Keputusan Munas Alim Ulama tahun 1997 di NTB, membolehkan peran publik perempuan, hingga menjadi presiden dan wakil presiden.
Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan menganalisis keputusan-keputusan NU terkait kcpcmimpinan perempuan, khususnya dalam mereileksikan komitmen NU terhadap kesetaraan jender dan hak-hak perempuan Serta implementasi keputusan-keputusan organisasi tersebut di lingkungan NU. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, Kcputusan-keputusan NU tentang kepemimpinan perempuan secara umum belum sepenuhnya merefleksikan kornitmen NU terhadap kesetaraan jender dan hak-hak perempuan yang tercantum dalam Konvensi Penghapusan Segala Bcntuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1987 dan Konvensi Hak Politik Perempuan tahun 1953, khususnya keputusan NU tahun 1961 tentang tidak bolehnya pcrcmpuan menjadi kepala desa kecuali dalam kcadaan darurat. Kedua, Keputusamkeputusan NU tentang kepemimpinan perempuan temyata tidak terimplementasi dengan baik di kalangan NU khususnya perempuan karena kurangnya sosialisasi secara struktural lewat organisasi maupun kultural melalui kyai dan jaringan pesantren.
Pada hakikatnya keputusan-keputusan itu diperlukan untuk melegitimasi kiprah kepemimpinan perempuan NU. Akan tetapi latar belakang keluamya keputusan-keputusan tersebut yang disebabkan oleh faktor sosial politik berakibat pada kurang optimalnya keputusan untuk jangka panjang. Ambivalensi NU dalam kcputusannya tentang kepemimpinan perempuan nampaknya discbabkan oleh oleh konteks sosial politik pada waktu keputusan tcrscbut dikeluarkan. Keriga, mnmculnya keputusan yang progresif di tahun 1997 tentang peran publik percmpuan dan Qarar tahun 2004 yang menekankan aspek kompctensi capres/cawapres menunjukkan semakin terbukanya paradigma para ulama menuju sikap yang lebih obyektif dan kritis dalam persoalan aktual kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan.

Nahdlatul Ulama as a traditional religious organization being continuously involved in religious and national discourses has responded to women?s leadership issues by issuing organizational decisions. Major decisions related to women?s leadership that have been passed are: (a) Decision of the Major Conference of Syuriah NU in 1957 allowing women to become parliament members; (b) Decision of Board Meeting of the NU Party in 1961 prohibiting women to become village heads except in emergency; (c) Decision of the Alim Ularna National Delibcration in 1997 allowing women?s public roles till the posts of president and vice president.
This study aims to document and analyze NU decisions relating to women?s leadership, particularly as reflection of NU?s commitment to gender equality and women?s rights and their implementation in the NU circle. The study has identified several findings: First, that the decisions under study are not fully reflective of NU?s commitment to gender equality and women's rights as contained in the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) 1987 and the Convention on Women?s Political Rights 1953, particularly NU decision of 1961 which bans women from becoming village heads except in emergency. Second the NU decisions on women?s leadership are not well implemented because of lack of socialization both structurally through the organization and culturally through kyais and the pesantren network. The decisions are basically needed to legitimize NU women's public roles.
However, because of the socio-political reason underlying their passing, the decisions do not have long-term impacts. NU ambivalence in its decisions regarding women's leadership appears to have been influenced by the socio-political contexts. Third, the emergence of a progressive decision in 1997 on women?s public role and Qarar in 2004 emphasizing competences of presidential and vice presidential candidates have indicated NU ulama?s more open paradigms towards more objective and critical attitudes in responding to actual problems ofthe society and nation.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T32083
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : PBNU, 2007,
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Fathurin Zen
"Munculnya pemerintahan Habibie pada pertengahan tahun 1998 mengakibatkan terpencarnya pusat-pusat kekuatan politik massa yang selama orde Soeharto terpusat hanya pada Golkar. Kondisi yang mirip tahun 1950-an ini telah meneguhkan ingatan kita akan munculnya kekuatan-kekuatan yang berbasis pada paham "primordialisme". Salah satu kekuatan massa Islam yang selama ini eksis adalah warga NU (nahdhiyin).
Kesepakatan para ulama NU pada tahun 1984 di Situbondo untuk mengembalikan organisasi ini kepada "khittah 1926" yang menyatakan bahwa NU bukanlah organisasi politik dan sekaligus mempersilahkan warganya untuk bersikap netral dan bebas masuk ke partai politik manapun membuat warga NU `kebingungan' untuk menyalurkan aspirasi politik pada Pemilu demokratis tahun 1999 yang telah dirancang oleh Pemerintahan Habibie.
Atas dasar itulah, beberapa pengurus PBNU dan para politisi NU yang selama ini dipinggirkan oleh PPP, seperti Matori Abdul Jalil, dengan dukungan Abdurrahaman Wahid yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai ini merupakan jendela' (window) yang digunakan oleh para elit politik NU yang memiliki keinginan untuk menjawab kehendak warganya di satu sisi disamping keinginan mereka sendiri untuk terjun langsung ke dalam kancah perpolitikan Indonesia. Munculnya PKB yang mewakili kelompok Islam tradisionalis dan secara historis sangat `dekat' dengan kelompok nasionalis sekuler, membuat golongan Islam modernis terpaksa mengencangkan barisan dengan membentuk "poros tengah".
Pertentangan dan manuver politik antara ketiga kelompok kekuatan massa - kaum nasionalis, tradisionalis, dan modernis - melawan kekuatan lama Partai Golkar dalam perebutan kekuasaan telah menjadikan peristiwa ini sebagai komoditas politik para peliput berita. Mereka melakukan liputan dan suguhan berita-berita mengenai hal itu berdasarkan sudut pandang dan kepentingan masing-masing.
Tesis ini menganalisis berita-berita mengenai NU dari empat surat kabar (Republika, Duta Masyarakat Baru, Kompas, dan Media Indonesia) tentang komunikasi dan konflik politik yang dilakukan tokoh NU - terutama Gus Dur -- dan para tokoh dari ketiga kekuatan lainnya dalam perebutan kekuasaan menjelang SU MPR 1999. Ada empat item berita yang diambil dari masing-masing surat kabar tersebut (jumlah seluruhnya 16 item berita). Dua berita mewakili komunikasi dan persuasi politik, yakni berita tentang Istighotsah dan Doa Politik Warga MI dan Pertemuan Ciganjur sebagai Persuasi Politik. Sedangkan dua berita lainnya mewakili konflik politik yakni berita tentang wacana Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Islam dan konflik Perebutan Sisa Kursi hasil Stambuss Accord pada Pemilu 1999.
Perspektif konstruksionisme Berger yang dipakai dalam memandang berita-berita mengenai NU dengan framing analysis model Pan dan Kosicki diharapkan mampu melihat "realitas simbolik" tentang `pergulatan politik' diatas yang secara tidak langsung juga akan berpengaruh bagi pencitraan masing-masing organisasi yang dibawahinya. Tentu saja pilihan angle berita dan penggalan kalimat yang sengaja dikemas oleh media sangat ditentukan oleh gagasan para wartawan, praktek-praktek wacana dan terutama ideologi organisasi media itu sendiri.
Ideologi pada tesis ini diartikan sebagai sekumpulan sistem ide dalam pengertiannya yang juga termasuk pengertian yang oleh Gramsci disebut `ideology organic' yang bersifat historis dan diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. Kuatriya `hegemoni ideologi' media dominan dalam menciptakan realitas simbolik mengakibatkan munculnya `hegemoni tandingan' (counter hegemony) yang memberikan ruang publik bagi kelompok atau media yang dirugikan dan dipinggirkan untuk memberikan `konsep tandingan' sebagai alternatif ideology. Dengan demikian, realitas social yang dikonstruksi tidak bersifat tunggal melainkan muncul sebagai "realitas yang beragam" (multiple reality). "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Aisyah
"Di seluruh dunia dan khususnya Indonesia, narasi radikalisasi agama menemukan ruang di internet. Di satu sisi, kemunculan internet mendorong partisipasi demokrasi karena dapat menjadi ruang bagi beragam anggota masyarakat untuk menyuarakan pendapat, namun di sisi lain juga memudahkan penyebaran paham yang anti terhadap demokrasi. Penelitian ini menggunakan kerangka konstruksi sosial teknologi dalam melihat kontradiksi demokrasi dalam internet yang di satu sisimembentuk narasi yang mendukung demokrasi, namun di sisi lain juga membentuk narasi yang anti demokrasi. Selama satu dekade terakhir, pembentukan ruang bagi penyebaran paham Islam moderat berusaha menandingi radikalisasi agama, khususnya Islam, di internet.
Penelitian ini mengenai konstruksi narasi Islam Nusantara yang dilakukan oleh organisasi Nahdlatul Ulama yang mendukung agenda demokrasi. Dengan menganalisis data hasil wawancara dan konten website NU Online-yang merupakan media online resmi dari organisasi Nahdlatul Ulama-penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana NU Online mengkonstruksikan narasi Islam Nusantara dalam memoderasi radikalisasi Islam di internet. Penelitian ini menemukan bahwa NU Online mengkonstruksikan narasi Islam Nusantara dengan mempromosikannya secara spesifik serta secara implisit melalui konten yang mencerminkan nilai-nilai Islam Nusantara. Konten implisit NU Online yang mengandung narasi Islam Nusantara terbagi lagi ke dalam kategori yaitu kisah keteladanan tokoh Islam serta interpretasi konsep keislaman secara kontekstual.

Around the world and specifically Indonesia, religious radicalization narratives find space on the internet. On the one hand, the emergence of internet encourages democratic participation because it can be a space for various members of society to voice their opinions, on the other hand it also helps spread anti democratic ideology. This study uses social construction of technology in analyzing the contradictions of democracy in the internet which forms a narrative that supports democracy, but on the other side it can also form the anti democratic narrative. Over the last decade, the spread of the moderate Islamic understanding is trying to counter the radicalization of religion, especially Islam, on the internet.
This research is about the construction of Islamic Archipelago narrative conducted by Nahdlatul Ulama organization that supports the democratic agenda. By analyzing the data of interviews and content of NU Online which is the official online media of the Nahdlatul Ulama organization this study aims to see how NU Online constructs Islamic Archipelago in moderating the radicalization of Islam on the internet. The study found that NU Online constructed the narrative of Islamic Archipelago by promoting it specifically and implicitly from content that reflects the values of Islamic Archipelago. Implicit content of NU Online that contains narrative of Islamic Archipelago is divided into two category which are spreading inspiring of Islamic figure and interpretation of contextualized Islamic concept.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Baso
Jakarta: Yayasan Garuda Bumandhala, 2021
297.272 AHM h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>