Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5747 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Secara antropologis,terdapat perspektif bahwa sistem kepercayaan atau religi mengalami perkembangan evolutif dari animisme,dinamisme,totemisme hingga monoteisme.Masyarakat awam cenderung memahami bahwa dimensi religius dalam konsep "agama" sebagai konsepsi puncak dari perkembangan sistem kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan manusia...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaesih Maulana
"ABSTRAK
Di Jawa Barat peninggalan-peninggalan keagamaan
yang bersifat monumental, seperti Candi misalnya relatif sedikit, namun oukup banyak sumber tertulis yang menguraikan perihal keagamaan, misalnya kitab Sewaka Darma, Sanghyang Sihsakanda ng karesian, Amanat
Galunggung, dan Serat Dewabuda. Banyak sarjana telah
menulis keagamaan di Jawa Barat, namun yang menulis
secara khusus dapat dihitung dengan jari, di antaranya
J.L. Moens, Hariani Santiko dan Agua Aris Mnnandar.
Moens dan Hariani Santiko menulis tentang agama yang
mungkin dianut raja Poernawarman dari kerajaan Taruma,
dan Agus Arismunandar mengenai keagamaan masa kerajaan
Sunda.
Peneliti yang menulis khusus keagamaan di Jawa
Barat, umumnya di Jawa secara menyeluruh dapat dikatakan belum ada. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode fenomenolo-
gi dengan data-data berupa sumber-sumber tartulis, yaitu prasasti dan karya susastra Serta berita~berita Cina.
Untuk dapat mengungkapkan suatu pengertian tentang
pemujaan atau keperoayaan yang tersirah dari isi
prasasti, penulis berusaha memperbandingkannya dengan
kitab-kitab keagamaan dan kitab-kitah susastra, serta
berita-berita Cina.
Atas dasar sumber-sumber tertulis tersebut diduga
bahwa kehidupan keagamaan masyarakat Jawa Barat masa
Hindu Buddha, yaitu masa kerajaan Taruma, lebih kurang
abad V sampai dengan abad VII Masehi adalah agama Veda
(Hindu Kuna) yang mengutamakan pamujaan terhadap Visnu
Triwikrama. Adapun keadaan keagamaan sesudah kerajaan
Taruma, masa kerajaan Sunda dan sesudahnya, sejak awal
abad kedelapan Masehi hingga akhir abad keenambelas
Masehi kehidupan keagamaan di Jawa Barat adalah agama
Hindu Buddha yang telah berbaur dengan unsur-unsur agama leluhur, yaitu ajaran patikrama sebagai "agama pribumi"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Vanny Fayanur
"Mempelajari agama dan mengikuti perintah-Nya merupakan salah satu kewajiban yang harus dikerjakan oleh penganut agama sesuai dengan ajaran agamannya tersebut. Hal ini dilakukan salah satunya untuk mencapai kebaikan, mengetahui hal-hal yang berada di luar alam, serta menjaga keseimbangan hidup di dunia dan di akhirat nanti. Kebanyakan masyarakat Indonesia mengangap agama adalah hal yang penting bagi hidupnya. Agama juga merupakan salah satu pendidikan formal di Indonesia. Namun hal ini sagatlah berbeda dengan masyarakat Jepang. Walaupun mereka menganut agama tertentu, bukan berarti mereka akan mempelajari dan mengikuti aturan atau perintah agamannya. Mereka kebanyakan mengangap agama sebagai sebuah tradisi dan kebiasaan. Mereka juga mengikuti upacara ataupun kegiatan keagamaan yang berbeda dari agamanya tanpa merasa bersalah dan toleran.

Learned and followed the commandments of God is one obligation that must be carried out by adherents of religion in accordance with the teachings of the their religion. This is done one of those to achieve goodness, know the things that are beyond nature, as well as maintain life balance in the world and in the hereafter. Most people in Indonesia regard that religion is important to his life. Religion is also one of formal education in Indonesia. But this is different with the Japan society. Although their follow a particular religion, does not mean they will learn and follow the rules or follow the command of their religion. They are mostly regard a religion as a tradition and habit. They also follow the ceremony or religious activities that are different from their religion without feeling guilty and tolerant."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ngatawi
"Disertasi ini membahas fenomena menarik yang terjadi di kalangan pesantren pasca reformasi, yaitu munculnya orang kaya baru dengan gaya hidup mewah, harta melimpah dan rumah mewah. Mereka berkeliling dari hotel berbintang satu ke hotel berbintang lainnya dengan mobil mewah. Selain itu, banyak diantara mereka yang menduduki jabatan tinggi negara, menjadi menteri, bupati, pemimpin parta bahkan ada yang jadi komisaris beberapa perusahaan besar.
Bagi penulis fenomena ini menarik untuk diteliti, karena komunitas pesantren selama ini dikenal sebagai komunitas agamis, kehidupannya sarat denga nilai, moral dan ajaran tentang hidup sederhana, empati pada sesama. Penulis mencurigai, di balik fenomena ini ada proses ekonomisasi agama, yaitu upaya mengkonversi simbol-simbol agama ke dalam berbagai bentuk material yang memiliki nilai ekonomis. Atas dasar ini maka penulis mengambi fenomena ini sebagai topik penelitian disertasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode partisipatif. Dan untuk penggalian data, penulis terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari para responden dan subyek penelitian. Subyek penelitian ini adalah para kiai pengasuh pondok pesantren, para orang dekat kiai, dan para agen yang terlibat dalam pertarungan untuk memanfaatkan kapital simbolik yang dimiliki oleh para kiai dan komunitas pesantren.
Karena berkaitan dengan gaya hidup dan selera, penelitian ini menggunakan konsep Bourdieu mengenai ranah, habitus dan kapitalis sebagai pijakan untuk melakukan analisis terhadap fenomena yang diteliti. Selain itu penulis juga menjadikan beberapa hasil penelitian mengenai pesantren sebagai bahan rujukan sekaligus sebagai alat ukur untuk melakukan analisa.
Dari penelitian ini terlihat, bahwa telah terjadi proses konversi kapital simbolik agama ke dalam kapital ekonomi di kalangan komunitas pesantren. Proses ini dilakukan oleh orang-orang dekat kiai, yang memiliki hubungan spesifik dengan kiai sehingga memiliki akses terhadap beberapa kelompok atau aktor yang ingin memanfaatkan posisi dan otoritas kiai dan pesantren, untuk kepentingan ekonomi-politik. Hal ini terjadi karena kiai sebagai pemegang otoritas pesantren tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan yang transaksional dengan pihak lain. Kiai tidak dapat melakukan kapitalisasi atas berbagai kapital yang dimiliki, yang sebenarnya secara potensial memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Nilai-nilai dan habitus pesantren tidak memungkinkan kiai melakukan semua itu.
Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh para broker yang berasal dari komunitas pesantren itu sendiri. Para broker ini dengan mudah mengambil alih peran kiai untuk melakukan transaksi dengan memanfaatkan kapital simbolik yang dimiliki oleh para kiai, karena mereka memiliki hubungan yang dikat dengan kiai baik secara emosional maupun sosial, bahkan ada yanggenetik. Selain itu mereka juga berasal dari komunitas pesantren yang memahami habitus pesantren dan dianggap menjadi bagian dari pesantren, sehingga kiai sangat percaya pada mereka. Sementara itu, di sisi lain, kelompok kepentingan yang hendak mendekati pesantren merasa perlu memanfaatkan jasa mereka karena dianggap lebih memahami pesantren. Dengan demikian pendekatan dengan pesantren akan mudah dilakukan.
Proses konvensi ini ternyata menghasilkan keuntungan materi yang cukup banyak bagi broker, sehingga dari sini mulai terjadi perubahan haya hidup di kalangan mereka. Mereka tidak lagi menjadi komunitas modern dengan habitus metropolis dengan memanfaatkan kapital yang dimiliki oleh pesantren. Kelompok inilah yang oleh penulis sebut sebagai komunitas kelas transkultural, yaitu kelas yang muncul sebagai hasil perpaduan antara habitus pesantren dengan habitus modernis-metropolis, antara gaya hidup tradisional dengan gaya hidup pragmatis-hedonis.
Ada beberapa tipologi dan pola terbentuknya kelas transkultural ini. Pertama, pola affinitas yaitu melakukan pendekatan pada kiai sehingga pada titik tertentu dipercaya untuk melakukan konvensi terhadap kapital simbolik yang dimiliki oleh kiai dan pesantren. Kedua pola geneti yaitu mereka yang berasal dari keturunan atau keluarga kiai sehingga merasa berhak untuk melakukan transaksi dengan memanfaatkan kapital simbolik yang diliki oleh pesantren.
Secara sepintas kelas ini menguntungkan bagi pesantren karena bisa memperoleh kapital ekonomi/material yang bisa digunakan untuk pembiayaan pengelolaan pesantren. Namun dalam jangka panjang kelompok ini sangat berbahaya bagi eksistensi pesantren karena bisa menyebabkan terjadinya demoralisasi pesantren. Selain itu, secara faktual, keuntungan yang diterima pesantren tidak sebanding dengan yang diperoleh oleh kelas transkultural. Dengan demikian kelas transkultural ini sebenarnya sangat merugikan pesantren, karena tidak saja bisa mengancam eksistensi pesantren tetapi bisa menjadi "parasit sosial" bagi komunitas pesantren maupun sistem ekonomi.
Keberadaan kelas transkultural agama ini juga menunjukkan terjadi perubahan konstruksi sosial pesantren dari bipolar ; kiai-santri, menjadi multipolar, yaitu kiai, santri kelas transkultural dan kelompok kritik yang merupakan antithesis dari kelas transkultural. Dengan konstruksi sosial multipolar ini jelas akan terjadi relasi dan interaksi sosial dengan kiai kompleks dalam dunia pesantren pada masa-masa mendatang. Hal ini akan berpengaruh terhadap peran, posisi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan agama. Sehingga dari sini perlu adanya reaktualisasi, reinterpretasi dan reformulasi terhadap berbagai ajaran, sistem nilai dan pemahaman keagamaan pesantren."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D641
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Febriyandi Y.S
"ABSTRAK
Beragam konflik telah tercatat dalam perjalanan panjang sejarah agama manusia. Dalamkonteks Indonesia juga telah terjadi sederetan konflik yang mengatasnamakan agamasepanjang sejarah kehidupan bernegara. Konflik tersebut tidak hanya terjadi antara pemelukagama yang berbeda, tetapi juga antara pemeluk agama yang sama. Dengan mengikutipemikiran Elizabeth Nottingham mengenai dualisme agama, teori fungsionalisme konflikAlfred Coser, serta meminjam contoh kasus konflik agama dalam artikel John Bowen, sayamencoba menyampaikan empat hal: pertama, konflik dalam kehidupan beragama adalahsuatu keniscayaan; kedua, konflik yang terjadi antara pemeluk agama yang sama disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan praktik ritual agama; ketiga, ritual agama tidak hanya memilikiaspek religius semata, tetapi juga aspek sosial-politik; keempat, konflik keagamaan sejatinyatidak hanya bersifat merusak, tetapi juga memiliki fungsi bagi agama dan masyarakat itusendiri, seperti: memperkuat integrasi suatu kelompok atau komunitas, memotivasi pemelukagama untuk lebih memahami ajaran agamanya, mendorong terbentuknya komunitas ataukelompok yang baru, serta menjaga solidaritas kelompok.
ABSTRACT
Various conflicts have been recorded in the long history of human religion. In Indonesiancontext, a series of conflicts in the name of religion taken place throughout the life historyof the state. The religious conflict does not only occur between people of different religions,but also followers of the same religion. Referring to Elizabeth Nottingham's thoughts onreligious dualism, Alfred Coser's conflict functionalism theory, and considering samplecase of religious conflict in John Bowen's article, i tried to convey four things: first, conflictin religious life is inevitable; second, the conflict occurred between followers of the samereligion is caused by differences in the interpretation and practice of religious rituals; third,the religious rituals do not only have religious aspect, but also socio-political aspects;fourth, the religious conflict is not only destructive, but also has functions for religion andsociety itself, such as strengthening the integration of a group or community, motivatingreligious followers to understand their religious teachings better, encouraging the forma-tion of new communities or groups, and maintaining the group solidarity."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2019
900 HAN 2:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hadari Nawawi
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995
297.2 HAD d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
HB. Hery Santosa
"Heterogenitas agama pada suatu masyarakat/bangsa, sangat rentan untuk terjadinya konflik. Konflik yang terjadi karena masalah ini, seringkali menjadi sumber terjadinya konflik yang lebih besar, dan berpotensi untuk terjadinya disintegrasi suatu bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa masalah agama merupakan masalah yang paling mudah untuk dijadikan sasaran provokasi, baik yang berasal dari dalam kelompok maupun dari kelompok lain. Hal ini tampak dari konflik yang terjadi di berbagai wilayah akhir-akhir ini, yang selalu dikaitkan dengan masalah agama.
Heterogenitas agama di wilayah Indonesia, sebenarnya sudah terjadi sejak zaman dulu, tepatnya sejak zaman Majapahit. Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah hampir sama dengan wilayah NKRI sekarang, juga terdiri dari banyak suku dan agama. Sifat agama dari kerajaan Majapahit dapat dilihat dari banyaknya peninggalan yang sudah diketemukan, yang sebagian besar mempunyai latar belakang agama. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada fungsi agama dalam pemerintahan, terutama masa kejayaan Majapahit.
Secara operasional, permasalahan yang akan dicari jawabannya adalah bagaimana fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan Majapahit, dan sejauhmana para penguasa memanfaatkan agama didalam penyelenggaraan pemerintahan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan warga masyarakatnya.
Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia masa lampau. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan yang telah diketemukan hingga saat ini, baik yang berupa peninggalan yang bersifat monumental, maupun peninggalan-peninggalan yang berupa naskah atau prasasti. Meskipun demikian, beberapa peninggalan yang sudah diketemukan, masih banyak yang belum diidentifikasi dan belum dapat dijelaskan keberadaannya. Oleh karenanya, penelitian mengenai kerajaan Majapahit ini masih sangat terbuka, baik yang bersifat pendahuluan maupun penelitian-penelitian lanjutan yang pernah dilakukan sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pembahasan masalah fungsi agama pada masa kejayaan Majapahit ini diharapkan dapat memberi gambaran kehidupan keagamaan pada masa kejayaan Majapahit, terutama mengenai fungsi dan peranannya di dalam penyelenggaraan Negara.
Guna mencapai tujuan tersebut, kajian ini akan membentangkan suatu pemikiran yang mengacu pada suatu kerangka analisis yang dapat dipakai untuk lebih memahami unsur-unsur dan aspek-aspek keagamaan yang pernah ada dan berkembang pada masa kejayaan Majapahit. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat positif sebagai sumbangan data dan pemikiran tentang fungsi dan peran agama dalam suatu pemerintahan di masa lampau. Dengan kata lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan peninggalan-peninggalan yang berasal dan masa yang bersangkutan. Harapan ini tidaklah berlebihan, karena peninggalan-peninggalan dari masa kejayaan Majapahit, hampir semuanya berhubungan dengan pemerintahan pada masa itu.
Oleh karena data yang digunakan semuanya berupa peninggalan purbakala, baik yang berupa naskah, prasasti, relief maupun peninggalan purbakala lainnya, maka pendekatan yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pendekatan arkeologis. Sedangkan dalam menganalisa data untuk mendapatkan jawaban permasalahan, digunakan pendekatan structural-fungsionalisme, dengan harapan dapat memperoleh gambaran tentang fungsi dari masing-masing sistem dan subsistem yang terkait dengan pemerintahan pada waktu itu.
Berdasarkan sumber sejarah dan peninggalan-peninggalan yang sudah ditemukan, dapat diketahui bahwa agama, yang dalam hal ini diartikan sebagai norma atau aturan yang menjamin agar hubungan antar manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan Tuhan-nya tidak kacau, memiliki peran yang sangat penting di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai suatu negara yang bersifat kosmis, agama difungsikan sebagai tuntunan atau pedoman di dalam menyusun birokrasi pemerintahan. Suatu kerajaan yang dianggap sebagai jagat kecil (mikrokosmos), menempatkan pejabat-pejabat pemerintahan dan para penguasa daerah seperti dewa-dewa lokapala, sehingga keseimbangan (equilibrium) antara makrokosmos dan mikrokosmos dapat tercapai. Di samping itu, agama juga difungsikan sebagai sarana legitimasi oleh para penguasa. Raja Jayanagara yang mengawali masa kejayaan Majapahit, melegitimasi dirinya sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Di dalam beberapa prasasti yang sudah ditemukan, Jayanagara menggunakan symbol (lancana) ikan/mina (matsya). Malaya atau ikan ini merupakan salah satu awatara dewa Wisnu.
Pelegitimasian yang dilakukan oleh Jayanagara ini berhubungan dengan situasi politik pada waktu itu, terutama yang terkait dengan usaha dan keberhasilan Jayanagara di dalam menghalau dan mengembalikan takhta kerajaan, yang sebelumnya dipenuhi dengan serangkaian pemberontakan. Hal yang sama juga dilakukan oleh raja Tribhuwanatunggadewi, yang juga menggunakan nama Wisnu di dalam abhisekanama-nya. Raja Hayamwuruk, meskipun tidak menggunakan unsur dewa dalam nama gelarnya, tetapi juga memanfaatkan agama di dalam melegitimasi dirinya. Usaha Hayamwuruk dalam melegitimasi diri dilakukan dengan cara memberikan penghormatan terhadap para leluhur, dan mengakui serta mengakomodasi seluruh komponen agama yang ada dan berkembang pada masa pemerintahannya. Upacara-upacara ritual, seperti upacara Sraddha, dan pembangunan serta membangun kembali candi-candi tempat pendarmaan pendahulunya, merupakan bentuk nyata dari raja Hayamwuruk yang memanfaatkan agama sebagai sarana legitimasi.
Di samping sebagai sarana legitimasi, agama juga memiliki fungsi sebagai sarana integrasi. Secara politis, penempatan tokoh-tokoh agama di dalam birokrasi pemerintahan merupakan suatu bentuk nyata dari usaha untuk mempersatukan perbedaan yang ada. Mpu Tantular, sebagai pujangga kraton, membuktikan adanya pengakuan dan pengakomodasian berbagai agama yang ada dengan memunculkan semboyan yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, seperti yang tertulis dalam salah satu karyanya yang berjudul Sutasoma. Bentuk integrasi di tingkat kerajaan ini juga ditunjukkan dengan adanya toleransi antar kelompok agama. Toleransi antar agama tampak dari bangunan-bangunan keagamaan yang memiliki sifat dari dua atau lebih kelompok/sekte agama. Pembangunan dan pemugaran beberapa candi yang dilakukan oleh raja Hayamwuruk, seperti candi Jago, candi Jawi, candi Panataran dan beberapa candi lain yang memiliki dua atau lebih ciri kelompok agama, merupakan bukti nyata dari fungsi agama tersebut.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, agama juga memiliki fungsi sebagai pengendali sosial. Di tingkat pusat, secara nyata kitab perundang-undangan kerajaan Majapahit diambil dari kitab agama, yang dikenal dengan nama Kutaramanawadarmasastra. Kitab yang merupakan perpaduan dari naskah-naskah India dan disesuaikan dengan situasi politik dan sosial masyarakat Majapahit ini dijadikan kitab perundang-undangan kerajaan Majapahit. Di samping itu, adanya sapatha yang selalu mengikuti sebuah ketetapan hukum, merupakan kontrol sosial yang sekaligus menjadi pengendali sosial, sehingga ketetapan dari suatu putusan dapat dijamin pelaksanaannya. Fungsi agama sebagai pengendali sosial, atau fungsi agama di bidang peradilan ini juga ditunjukkan dengan penempatan tokoh-tokoh agama sebagai pejabat peradilan. Kenyataan ini membuktikan bahwa agama memiliki fungsi yang cukup penting di dalam sistem peradilan Majapahit, terutama sebagai kontrol atau pengendali sosial, sehingga hubungan antar manusia, manusia dengan lingkungan alam serta manusia dengan Tuhan-nya tidak kacau. Fungsi agama sebagai sarana pengendali sosial ini cukup efektif, terbukti dengan tidak adanya gejolak politik maupun gejolak sosial yang muncul pada masa pemerintahan raja Hayamwuruk.
Di samping memiliki fungsi atau difungsikan oleh para penguasa, agama juga memiliki peran yang cukup besar dalam bidang sosial. Hal ini dapat dilihat dari fungsi agama dalam bidang politik, ekonomi maupun dalam kehidupan masyarakat umum. Dalam bidang politik, agama berfungsi sebagai penyeimbang dalam penyusunan birokrasi pemerintahan. Keberadaan tokoh-tokoh agama di dalam susunan birokrasi pemerintahan dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai golongan agama dalam masyarakat. Hal ini sangat perlu, karena sebuah negara dengan berbagai kelompok agama merupakan kerawanan tersendiri, atau merupakan sumber konflik terbesar apabila tidak diatasi sejak dini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tokoh-tokoh agama dalam birokrasi pemerintahan ditempatkan pada jabatan yang berhubungan dengan masalah pengendalian sosial.
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, maka kerajaan Majapahit tidak dapat meninggalkan hal-hal yang bersifat spiritual. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upacara-upacara ritual selalu mewarnai dalam kegiatan pertanian. Penghitungan musim yang didasarkan pada gejala alam, kegiatan pertanian yang selalu dimulai dengan upacara ritual, masa panen yang juga selalu dimulai dengan upacara-upacara ritual, sampai dengan pengakuan dewi Sri sebagai dewi kesuburan yang dikaitkan dengan tanaman padi, merupakan bukti nyata bahwa agama memiliki fungsi dan peran yang cukup besar dalam bidang pertanian.
Dalam bidang perdagangan, agama juga memiliki fungsi dan peran yang cukup penting, meskipun tidak secara nyata seperti dalam bidang pertanian. Dalam bidang perdagangan, agama berfungsi sebagai pengontrol hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli. Pada masa kejayaan Majapahit, perdagangan tidak merupakan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga merupakan kegiatan sosial. Hal ini tampak dari sistem perdagangan di daerah-daerah yang ditetapkan menjadi sima, dimana perdagangan dibatasi, baik mengenai jumlah maupun jenis dagangannya. Pembatasan jumlah dan jenis dagangan ini semakin ketat pada daerah-daerah yang ditetapkan menjadi sima yang disebabkan karma daerah tersebut terdapat bangunan suci. Pembatasan jumlah dan jenis dagangan ini apabila diperhatikan secara seksama, dimaksudkan untuk menjaga kelestarian alam, sehingga hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya tetap harmonis. Demikian pula hasil pajak atau denda dari pelanggaran sistem perdagangan, sebagian juga diperuntukkan bagi kepentingan bangunan suci. Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama, meskipun tidak secara eksplisit, memiliki fungsi dan peran yang cukup besar di dalam sistem perdagangan yang berlangsung pada waktu itu. Peran dan fungsi agama ini semakin nyata dengan diaturnya sistem perdagangan di dalam kitab perundang-undangan agama.
Sedangkan di dalam bidang perindustrian, agama berperan sebagai pengendali teknologi, sehingga perlakuan manusia terhadap peralatan yang digunakan tidak semena-mena. Anggapan terhadap peralatan industri yang memiliki sifat kedewaan dan upacara ritual yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan, merupakan bukti nyata dari peran agama dalam bidang perindustrian. Kecenderungan masyarakat untuk tidak melepaskan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan dan teknologi ini merupakan bukti bahwa masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang religius.
Sebagai masyarakat religius, maka kehidupan sosial budaya masyarakat Majapahit juga diwarnai oleh hal-hal yang bersifat keagamaan. Di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, agama memiliki fungsi dan peran sebagai pengendali jarak sosial, pemberi fenomena integrasi dan menumbuhkan rasa toleransi antar warga masyarakat. Mengenai jarak sosial, yang biasanya disebabkan karena identitas kelompok maupun kedudukan salah satu kelompok agama di dalam masyarakat yang mengakibatkan kecemburuan antar kelompok agama, dapat diminimalisasikan dengan pengakuan seluruh agama yang ada serta pemberian hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang memberi pengakuan dan kesempatan yang sama terhadap tokoh-tokoh agama untuk duduk dalam pemerintahan. Sedangkan mengenai integrasi sosial, masing-masing kelompok memberi pengakuan terhadap kelebihan dari kelompok lain. Adanya satu bangunan suci (candi) yang memiliki dua atau lebih sifat keagamaan, merupakan bukti dari integrasi sosial dalam bidang agama. Hal ini juga merupakan bukti adanya toleransi antar kelompok agama, yang pada akhirnya akan memunculkan bentuk-bentuk budaya yang diberi warna agama.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa pada masa kejayaan Majapahit, masyarakatnya bersifat agamis, dalam arti segala kegiatan dan kehidupannya diwarnai unsur agama. Pemerintah yang menyadari keanekaragaman agama yang ada dan berkembang pada waktu itu, memanfaatkan secara maksimal fungsi agama, dan mengakui peran agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada kenyataannya, agama dapat memberi sumbangan yang cukup besar dalam menuju puncak kejayaan, dan kerajaan Majapahit telah membuktikannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T11028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mamad Sa`bani S.
Semarang: Aneka Ilmu , 2002
297 MAM m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Harris, Sam
Jakarta: Abdi Tandur, 2006
297.31 HAR e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rubenstein, Richard E.
Jakarta : Serambi, 2005
232.9 RUB wt
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>