Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Masitherina ladigesi is one of the famous rainbow fish species from Sulawesi.This endemic fish species from Sulawesi is one of the Indonesia export commodity since more than 30 years ago..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ikan Pelangi Biru (Melanotaenia Lacustris) disebut juga Rainbow Turkeys, warna tubuh bagiandorsal menampilkan warna biru turkeys, sedangkan pada bagian ventral berwarna putih. Ikan ini berasal dari Danau Kutubu Papua dan popular sebagai ikan hias dalam golongan Rainbowfish. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH air terhadap penampilan ikan Rainbow biru. Parameter yang diamati yaitu warna, pertumbuhan (panjang dan berat) dan sintasan. Perlakuan yang diberikan adalah empat kisaran pH berbeda yaitu 4-5; 5-6; 6-7; dan 7-8 dengan ulangan sebanyak tiga kali. Masing-masing 10 ekor anak ikan ukuran 4,2 - 5,7 cm diuji dalam akuarium (80 x 40 x 40 cm) dan diberi pakan Chironomus. Penelitian berlangsung selama 3 (tiga) bulan dengan periode pendataan setiap dua minggu. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan pH tidak berbeda nyata terhadap penampilan warna (p>0,05). Hasil uji menunjukkan pertumbuhan panjang dan berat pada perlakuan kisaran pH 4-5 berbeda nyata jika dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya (p<0,05). Pertumbuhan panjang dan berat terbesar pada kisaran pH 7-8 masing-masing sebesar 0,0116 cm/hari dan 0,0108 g/hari. Sedangkan sintasan (SR,Survival Rate) ikan tidak berbeda pada semua perlakuan, namun pH rendah telah menurunkan nilai sintasannya."
Lengkap +
2010
551 LIMNO 17:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Study estuarine fishes in Mimika district,Papua was carried out at six estuaries from 2000 to 2006, as apart of monitoring program conducted by PT Freeport-Indonesia...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rothmadani
"The research conducted to see the influence of the sperm preserve to confront with fertilization of degree and hatch capacity of jambal siam fish. The research conducted in BBI Rambah Village from June until August 2002...."
Jakarta: Jurnal Akademika, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Langkosono
"resulth of growth the barramundi cod (Cromilepstes altivelis) ,flowery cod (Epinephelus juscoguttatus) and estuary grouper (E., Tauvina) at the best in float net cages conducted at December month 2004 until June 2005 in the coastal waters Telok Kodek Malaka village,west Lombok...."
Jakarta: Neptunus: Majalah Ilmiah Kelautan, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yushinta Fujaya
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional , 2002
639.3 YUS f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Heintje Ndahawali
"Danau Tondano yang terletak di Kabupaten Minahasa merupakan salah satu sumber daya alam perairan yang sangat strategis dan penting bagi perkembangan perekonomian di Propinsi Sulawesi Utara. Hal ini dapat dilihat dari manfaatnya sebagai sumber bahan pangan (ikan), sumber air minum (PDAM Manado), pengairan sawah, kebun, keperluan rumah tangga penduduk sekitar danau, sumber air untuk industri, sumber energi PLTA, media transportasi dan pariwisata. Saat ini salah satu kegiatan masyarakat yang menonjol di sekitar Danau Tondano adalah memelihara ikan dalam budidaya jaring apung (BJA). Kegiatan tersebut berdampak positif karena dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pelaku usaha budidaya dan juga meningkatkan produksi perikanan di Kabupaten Minahasa. Selain berdampak positif, jika berkembang tanpa kendali kegiatan BJA yang kelewat intensif ini bisa menimbulkan dampak negatif karena kegiatan tersebut menghasilkan limbah organik (terutama pencemaran unsur nitrogen dan fosfor) yang besar akibat pemberian pakan yang tidak efisien sehingga sisa pakan dan kotoran ikan akan menumpuk di dasar perairan. Penumpukan limbah organik ini akan mencemari danau, mulai dari eutrofikasi yang menyebabkan ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air seperti eceng gondok (Eiclzhornia crasssipes (Mart.) Solms), Hydrilla verticillata ((L.F.) Royle), Ceratophyllum demersum (L.) , dan lain-lain diikuti dengan terbentuknya gas-gas yang dapat menyebabkan kematian organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta diakhiri dengan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau.
Penelitian ini bertujuan: (a) membandingkan kualitas perairan pada wilayah yang ada kegiatan BJA dan yang tidak ada kegiatan BJA, (b) mengetahui kualitas dan tingkat kesuburan perairan Danau Tondano, (c) mengetahui jumlah limbah organik dan kegiatan budidaya ikan jaring apung dan. daya dukung serta daya tampung perairan Danau Tondano terhadap kegiatan tersebut, (d) mengetahui dampak pencemaran air terhadap ekosistem danau yang meliputi keberadaan dan fungsi Danau Tondano serta terhadap lingkungan dan kehidupan manusia yang memanfaatkannya.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: (a) kegiatan budidaya ikan jaring apung paling mempengaruhi kualitas dan tingkat kesuburan perairan Danau Tondano, (b) Apabila kegiatan BJA berlangsung terus tanpa terkendali maka akan berdampak terhadap keberadaan dan fungsi Danau Tondano serta bagi kehidupan manusia yang memanfaatkannya.
Penelitian dilaksanakan dengan metode survei dan ekspos fakto selama 1 bulan dari tanggal 11 Juni sampai 16 Juli 2001. Pengambilan sampel air dilakukan di empat stasiun pengamatan. Tiga stasiun di mana terdapat aktivitas BJA dan satu stasiun tidak terdapat kegiatan BJA. Stasiun-stasiun yang dimaksud adalah: Stasiun I di Desa Eris (2078 unit jaring apung), Stasiun II di Desa Kakas (350 unit jaring apung) , Stasiun III di Desa Remboken (40 unit jaring apung) dan Stasiun IV di Desa Tolour (tidak BJA). Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali meliputi: suhu, kecerahan, pH, DO, BOD, nitrat, nitrit, amoniak dan fosfat. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan membandingkannya dengan PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kelas III (pembudidayaan ikan air tawar) dan pendapat para ahli.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk parameter kualitas air tertentu yaitu: BOD, NH3, NO3, dan P04 di stasiun I, II, dan III telah melewati ambang batas (daya tampung) yang dipersyaratkan dalam PP Nomor 82 tahun 2001 untuk kelas III dan menurut pendapat para ahli. Hal ini diduga disebabkan oleh limbah organik dari aktivitas BJA yang telah berlangsung dari tahun ke tahun. Stasiun IV (tidak ada kegiatan BJA) masih menunjukkan kualitas air yang lebih baik dibandingkan stasiun I, II, dan III. Selama tahun 1994-2000, jumlah rata-rata beban pencemar yang dihasilkan dari aktivitas BJA di Danau Tondano adalah sebanyak 2.951,5 ton limbah organik yang mengandung 138,8 ton nitrogen dan 29,004 ton fosfor.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan: (a) Perlu adanya peraturan daerah (PERDA) yang mengatur tentang zonasi (pewilayahan) perairan Danau Tondano untuk usaha budidaya ikan, penangkapan, reservat/perlindungan, dan zona penyangga berdasarkan pada fungsi, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta kesesuaian ruang dengan mengacu pada UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan , UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, memperbaiki cara pemberian pakan dan jumlah pakan yakni 3% dari bobot ikan peliharaan per hari dan diberikan tiga kali sehari. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk ke perairan, sehingga dapat mencegah pencemaran perairan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian pakan yang tepat untuk satu unit jaring apung dengan padat penebaran 1750 ekor ikan, berat awal total biomassa ikan 50 kg, dan masa pemeliharaan tiga bulan adalah 337,5 kg pakan, tidak seperti yang terjadi sekarang di mana selama masa pemeliharaan tersebut jumlah pakan yang dihabiskan rata-rata sebanyak 450 kg pakan/unit. Metode budidaya ini akan dapat terlaksana dengan baik jika disosialisasikan kepada para petani ikan melalui berbagai program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan, memperbaiki konstruksi BJA dan jarak antarunit jaring apung sebaiknya 10-30 m agar supaya reaerasi dapat berlangsung dengan baik di samping perlu dilakukan pengaturan musim tanam dan panen serta diversifikasi jenis ikan yang dipelihara (ikan gurami, ikan nila dan ikan patin), (d) Perlunya pengembangan teknologi BJA yang ramah iingkungan sebagai suatu teknologi yang efektif, efisien dengan produktivitas tinggi serta dampak negatifnya terhadap lingkungan perairan diupayakan seminimal mungkin. Teknologi yang dimaksud contohnya adalah satu petak keramba dengan 2 tingkat jaring (ganda), jaring pertama (lapisan atas) berukuran 5 x 5 x 3 m dengan ukuran mata jaring 1 atau 1,5 inci dipelihara ikan mas (Cyprinus carpio) dengan padat penebaran 50-105 kg/unit dan jaring kedua (di lapisan bawah) berukuran 7 x 7 x 4 m dengan ukuran mata jaring 0,5 atau 0,75 inci dipelihara ikan nila (Tylapia niloiica) dengan padat penebaran 18-50 kg/unit. Dengan rasio konversi pakan untuk ikan mas 1,3-1,68 dan ikan nila 0,5-0,9 dan masa pemeliharaan 2,5-3,5 bulan, diperoleh produksi ikan mas antara 944-1276 kg dan ikan nila 143-263 kg. Selanjutnya disarankan perlunya penelitian lanjutan tentang penggunaan jaring apung rangkap tiga yang mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik di mana bisa meningkatkan efisiensi pemberian pakan dan produksi ikan, (e) sebagai salah satu upaya untuk mengurangi populasi eceng gondok di Danau Tondano maka disarankan untuk melakukan studi tentang pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan makanan ternak, pemupukan, penghasil gas bio, penyerap limbah, dan bahan baku untuk pembuatan kertas, (f) perlu penelitian lanjutan tentang jumlah limbah organik dari aktivitas permukiman, pertanian, pariwisata dan lain-lain sehingga dapat diketahui kegiatan apa yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pencemaran di Danau Tondano. Dengan demikian dapat dilakukan tindakan penanggulangan menurut skala prioritas, dan (g) untuk pengelolaan Danau Tondano ke depan maka peneliti menyarankan agar dibentuknya semacam badan kaordinasi (pengelola) yang bertugas untuk mengintegrasikan semua kepentingan para stakeholder dengan konsep one lake, one plan, one management.

Tondano Lake located in Minahasa Regency is one of the strategic and important natural resource for the economic development in North Sulawesi Province. This is due to its multifunction such as sources of food stuff (fish), drinking water, water for industries, water for PLTA, transportation media and tourism object. One of the prominent community activities at Tondano lakeside is floating net fish culture (BJA). This activity provides positive impact on the increase of fishery production and increasing the fish farmer income in Minahasa. On the other side, this activity also creates negative impact on water quality since by the inefficiency of feed consumption by fish population, a lot of organic waste will pollute the water quality and as the results of fish metabolism which will accumulate on the lake's bed. This accumulation will deteriorate water quality of the lake from eutrophication that stimulates blooming of phytoplankton and water hyacinth such as Eichhornia crassipes ((Mart.) Solms), Hydrilla verticilata ((L.F.) Royle), Ceratophylum demersum (L.) followed by the emergency of poisonous gases that may kill aquatic organisms (especially cultured fishes) and finally ended by thickness of anaerobic layer in the water body.
The objectives of this research are: (a) to compare water quality in the area which has BJA activity and in the area which has no BJA activity, (b) to find out the water quality and the eutrophication level of Tondano Lake, (c) to find out the amount of organic waste produced by floating net fish culture and the carrying and absorbing capacity of Tondano Lake on this activity, (d) to find out the impact of deteriorated water on the lake ecosystem which include the existence and function of Tondano Lake for human life.
The hypotheses of this research were: (a) fish floating net culture most influence the quality and fertilization level of Tondano Lake, (b) the quality and fertilization level of water will influence the existence and function of Tondano Lake and for the human life.
Survey was conducted for one month from 11 June - 16 July 2001. Water samples were taken at four stations. Three of them were used for BJA activity and one station has no BJA activity. The stations were in Eris Village (2078 units of floating net), Kakas Village (350 units of floating net), Remboken Village (40 units of floating net) and Tolour Village. Sampling of water quality was conducted three times a day including: temperature, pH, dissolved oxygen, biological oxygen demand, carbon dioxide nitrate, nitrite, ammonia and phosphate then the obtained data were analyzed descriptively and compared with Government Regulation No. 82 of 2001 about Water Quality Management and Water Pollution Control for class III (freshwater fish culture).
It was concluded that water quality parameters such as BOD, NH3, NO3, and PO4 in station I, station II and station III have exceeded the threshold level as required by Government Regulation No. 82 of 2001 (class III) and according to the experts opinion. Station IV showed better water quality than station I, station II and station III. Since 1994-2000, the average amount of organic waste produced by B.IA in each year was of 2.951,5 tons that content 138, 8 tons of nitrogen and 29,004 tons of phosphor.
Based on these results, it was suggested that: (a) Regional regulation (PERDA) is needed to regulate the zoning of fish culture activity, fish catching, reservation and buffer zone based on the function, carrying capacity, absorbing capacity of living environment and space conformity according to Act No. 9 of 1985 about Fishery, Act No. 24 of 1992 about Spatial Management, Act No. 23 of 1997 about Management of Living Environment, and Government Regulation No. 82 of 2001 about Water Quality Management and Water Pollution Control, (b) improving of fish feeding accordance efficiently up to 3% of fish weight and feeding is done three times in a day. According to the method, the requirement of fish food (pellet) to culture 1.750 of fish seeds which have initial weight 50 kg and culture time 3 months was 337,5 kg of pellet, (c) improving of KJA construction and the distance between each unit must be 10-30 m so that aeration take place continuously, arrange the harvest time and diversification of fish culture (i.e. gurami, nila and Patin fishes), (d) it is needed to develop BJA with an environmental friendly attitude namely by double floating net technique to minimize food waste into water. This technique has been tested to gold fish (Cyprinus carpio) and nila fish (lyalapia nilotica) and showed satisfied result. Furthermore it is suggested that three layers of nets may provide and increase efficiency in this net fish culture, balancing fish production and fish feeding pellets, (e) as an effort to minimize the water hyacinth population in Tondano Lake, it is suggested to make research the utilization of eceng gondok as livestock food, fertilizer, biogases producer and waste absorbing, (f) further study is needed the extend of organic waste produced by agriculture, settlement, tourism and other activities at Tondano Lake so that water pollution control can be carried out according to its priority scale, and (g) it is suggested to form a management coordination board of Tondano Lake that function to integrate all the interests of the stakeholder based on the concept of one lake, one plan, and one management.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T5211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutardjo
"Budidaya ikan dalam keramba jaring apung (WA), marupakan salah satu kegiatan yang berkembang pesat di waduk Jatiluhur. Dasar pertimbangan pengembangan BJA ialah untuk pemanfaatan sumber air waduk dan untuk memberikan sumber pendapatan altematif bagi masyarakat di sekitamya. Dampak positif dari pengembangan BJA antara lain meningkatnya lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya dan meningkatnya produksi ikan untuk konsumsi dalam negeri. Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) yang beroperasi di waduk Jatiluhur terus mengalami peningkatan dari 15 unit KJA pada tahun 1988 menjadi 2.100 unit KJA pada tahun 1997 dengan total produksi ikan yang di panen hingga tahun 1997 sebanyak 1.545.32 ton.
Namun demikian perkembangan WA tersebut telah menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas perairan, dan menyebabkan kegagalan panen akibat kematian ikan budidaya secara masal pada tahun 1996 dan 1997.
Dalam rangka pengendalian dampak negatif BJA tersebut, telah dilakukan berbagai upaya antara lain : penataan ruang waduk dan pengembangan KJA sistem ganda. Kematian ikan akibat perubahan kualitas air biasanya terjadi pada awal musim penghujan saat cuaca mendung, dimana intensitas cahaya matahari sangat rendah, sehingga menyebabkan rendahnya laju fotosintesis dan rendahnya produksi oksigen (02) dalam air. Berdasarkan data time series kualitas air di Ciganea terdapat peningkatan kandungan nutrien yang dihasilkan dari dekomposisi limbah organik yang berasal dari BJA. Peningkatan nutrien tersebut mengakibatkan meningkatnya kesuburan perairan dan densitas fitoplankton, sehingga akan meningkatkan kebutuhan 02 yang diperlukan fitoplankton pada malam hari. Pada kondisi populasi fitoplankton yang padat dan padatnya ikan dalam KJA, menyebabkan terjadinya defisit 02 yang lebih besar, akibatnya jumlah ikan dalam KJA yang mengalami kematian juga meningkat.
Jadi masalah utama yang menyebabkan menurunnya kualitas air di lingkungan budidaya adalah limbah organik dari kegiatan BJA, sehingga permasalahan yang di kaji pada studi ini ialah terjadinya perubahan kualitas air waduk akibat kegiatan BJA, dan proses terjadinya kematian ikan budidaya secara masal dalam KJA.
Tujuan dari studi ini ialah untuk mengetahui : 1) pengaruh kegiatan BJA terhadap perubahan kualitas air di lingkungan budidaya, waduk Jatiluhur, 2) perubahan kualitas air dari waktu ke waktu melalui indikator parameter kunci kualitas air yang terkait dengan kegiatan BJA, dan 3) perbedaan kualitas air antara daerah WA (Ciganea) dan non BJA (Ubrug) di waduk Jatiluhur.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam studi ini dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
Pertama : Tidak ada perbedaan kualitas air antara daerah BJA dan daerah non BJA.
Kedua : Ada kecenderungan penurunan kualitas air dari waktu ke waktu di Ciganea, mulai sebelum ada kegiatan BJA sampai timbul masalah kematian ikan.
Studi ini dilaksanakan di perairan waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, dari tanggal 12 Pebruari - 5 Maret 1999. Lokasi penelitian berada di perairan Ciganea yang merupakan areal BJA dan perairan Ubrug yang merupakan areal non budidaya. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ialah metode surval dengan pendekatan observasi lapang di daerah terpapar dan daerah non terpapar pada kedalaman yang berbeda. Luas perairan Ciganea sekitar 40 ha dengan kedalaman ± (34 - 50) m, keadaan perairan relatif tenang karena jauh dari masukari air sungai, sedangkan perairan Ubrug luasnya sekitar 50 ha dengan kedalaman } (16 - 30) m terletak di sebelah selatan Ciganea, keadaan perairan relatif dangkal dan berarus sedang karena merupakan muara sungai Cilalawi dan Cisomang. Pengambilan sampel air dilakukan di perairan Ciganea pada 5 titik pengamatan (stasiun) dengan jarak antar titik 750 m dan di perairan Ubrug pada 3 titik pengamatan yang dianggap mewakili dengan jarak antar titik 1500 m. Pengambilan dilaksanakan sekali seminggu, selama satu bulan dan dilakukan secara vertikal untuk 3 lapisan kedalaman yang berbeda (permukaan, tengah dan dasar perairan) dengan menggunakan Bottle Water Sampler volume 3,5 L. Pengambilan sampel dilakukan dari pagi hingga siang hari, dengan
1) Perlu pengendalian jumlah KJA yang terdapat di perairan Ciganea, waduk Jatiluhur, karena jumlah KJA yang ada telah melampaui dada dukung lingkungan atau jumlah optimum yang di perbolehkan yaitu 400 unit KJAlwilayah. Pengendalian tersebut harus dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab yaitu Dinas Perikanan Propinsi Dati I Jawa Barat, dengan menerapkan sangsi hukum antara lain dengan tidak menerbitkan Surat ljin Usaha Perikanan (SIUP) untuk BJA dan mengurangi jumlah KJA yang ada dengan memindahkan ke lokasi lain diluar Ciganea sesuai dengan Rencana Tata Ruang Waduk yang ada seperti di daerah Cipariuk, Pasir Jangkung, Batu Kerong, Tegal Malaka dan Cilingga. Hal tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakatlpetani BJA, dengan pendekatan penyuluhan, pelatihan dan peningkatan kesadaran, agar mereka ikut berperanserta aktif dalam menjaga pelestarian perairan waduk.
2) Perlu disosialisasikan tentang cara pemberian pakan yang sesuai dengan ketentuan, yaitu sebanyak 3 % dari berat badan ikan yang dibudidayakan. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk ke perairan, sehingga dapat mencegah terjadinya pencemaran perairan. Berdasarkan hasil penelitian jumlah sisa pakan yang terbuang ke perairan waduk adalah sekitar 5 kgMari, sehingga agar supaya tidak menimbulkan pencemaran perairan, maka jumlah sisa pakan yang terbuang harus lebih kecil dari 5 kg/hari (< 5 kg/hari) atau sekitar (1-1,5) kg/hari, sehingga hal itulah yang menjadi pedoman yang harus dipatuhi oleh semua prang yang melakukan kegiatan WA di waduk Jatiluhur. Agar hal tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka harus disosialisasikan kepada masyarakat khususnya kelompok usaha BJA/petani BJA melalui berbagai pendidikan/pelatihan dan percontohan agar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dapat dipatuhi dan dilaksanakan.
3) Perlu peningkatan pemantauan, pengendalian dan pengawasan, terhadap kegiatan BJA di Ciganea, waduk Jatiluhur, balk dari aspek kualitas air maupun jumlah KJA yang beroperasi. Untuk pemantauan kualitas air tersebut harus dilakukan secara rutin, diikuti dengan pengendalian jumlah KJA yang beroperasi yang dilakukan melalui koordinasi dengan instansi terkait dan melibatkan lembaga masyarakat yang ada di daerah tersebut, dengan Dinas Perikanan sebagai koordinator dan penanggung jawabnya. Selanjutnya dalam pelaksanaan pengawasan perlu peningkatan penegakan hukum (law enforcement) baik kepada pengusaha BJAlpetani BJA maupun kepada aparat pemerintah. Agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan balk, perlu diterapkan sanksi hukum yang tegas bagi setiap pelanggar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (UU. No. 911985 tentang Perikanan, 2311997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan apabila perlu pencabutan S1UPBJA agar mereka patuh. Disamping hal tersebut perlu dibarengi dengan upaya pemberdayaan kepada kelompok usaha BJAI petani BJA melalui sosialisasi, penyuluhan, pendidikan/pelatihan dan penyadaran hukum, sehingga diharapkan mereka dapat ikut berperan serta aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan perairan dan mengawasi tindak pelanggaran yang terjadi.
4) Perlu pengembangan teknik BJA yang ramah lingkungan yaitu Keramba Jaring Apung Ganda (Berlapis) untuk mengurangi Iimbah pakan yang masuk ke perairan waduk. Berdasarkan hasil penelitian teknik budidaya ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan mencegah pencemaran perairan. Namun demikian untuk dapat dikembangkan dimasyarakat, hal tersebut masih perlu dikaji lebih mendalam terutama dari aspek ekonomi agar dapat terjangkau oleh masyarakatlpetani BJA dan aspek kemudahannya agar dapat dicontohldipraktekkan, dan sebelum dikembangkan secara luas hangs disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat melalui kelompok usaha BJA/petani BJA.

The Effects of Fish Culture on the Water Quality of Reservoir (A Case Study on Fish Cage Culture in Ciganea, Jatiluhur Reservoir, Purwakarta, West Java)Fish cage culture was carried out intensively in Jatiluhur reservoir. This activity was developed to utilize the available water resources in the reservoir and to provide alternative income source for the community around the reservoir. Beside that, positive impact the development of cages culture such us the increasing fish production for domestic consumtion and job opportunity for local community. Based on the statistical data the number of cage culture used for fish culture increased steadily for 15 unit in 1988 to 2.100 unit in 1997. Total production of fish harvested in 1997 is 1.545,32 tones. However, this considerable development of the cage culture has resulted in an adverse impact of water quality which in few resulted in the failure of production. It is reported that in 1977 about 50 % of the cages could not be hatvested as the fishes were died. The collaps of production resulting from the low water quality, usually happens during early raining season where the solar radiation is quite low. This results in the low rate of photosynthesis and consequently low oxygen production. In order to control the adverse impact of the cage culture the spatial planning was set up by reservoir management authority in collaboration with the provincial government and interrelated institution.
Based on the time series data of water quality in Ciganea, there is increase in the concentration nutrient resulted of the decomposition of the great concentration production waste of cage culture. Increases in concentration nutrient resulted in eutrophication and increasing phytoplankton density, which In few increase consentration of oxygen required by phytoplankton during night time. Increasing phytoplankton and fish densities resulted in hightly defisit oxygen, consequently the number of fish cultivated in the cage that were dead also increase.
It is clear that the main problem causing dateriotation of water quality is production waste that consisted of feed waste and metabolite. Therefore, this study is focused on the changes of the water quality in aquaculture areas of reservoir resuldted by cage culture activity. The objectives of the study are, {1) to find out the effects of cage culture activity on water quality change in waters environment; (2) to evaluate of the environmental impact of the cage culture on the water quality in Ciganea areas Jatiluhur reservoir.
The objectives of the study are, (1) to find out the effects of cage culture activity on water quality change in waters environment; (2) to evaluate of the environmental impact of the cage culture on the water quality in Ciganea waters, Jatiluhur reservoir.
The hypothesis in this study to be tested are :
First There are not the differences of water quality in both the cage culture compared with in non cage culture areas.
Second : There are the tendences of water quality decrease on periodically in Ciganea areas, before cage culture development until case of death fishes.
The area of sudy are Ciganea and Ubrug waters of Jatiluhur reservoir, Purwakarta, West Java. The study was conducted during February 12 to March 5 1999. The Ciganea waters was used for cage culture, while Ubrug waters was free of cage culture activity. The methode of study used are survey methode, survey was conducted to collect water samples and to observe aquaculture activities reservoir and environment condition.
The Area of Ciganea waters was about 40 ha, it's depth varied between (35-50) m. The waters was relatively stagnant quaite a far from the inlet of reservoir. Area of Ubrug waters was about 50 ha, it's depth varied between (16-30) m, it is south word of Ciganea. The waters condition relatively shalow, moderate curent and as the estuary from Cilalawi and Cisomang rivers. The water samples were collected weekly from 5 stations in Ciganea and 3 stations in Ubrug, using 3.5 liters Kemmerer Bottle sampler in vertical depth of surface, centre and at the bottom water. Distance between station in Ciganea and ubrug are about 750 m and 1500 m representatively. The depth of water sampled were the (0-0,5) m layer, the (1,4-1,8) m layer and the (34-49) m layer. Sampling was carried out during the day time. The physico-chemical characteristic of the water quality measured ware temperature, transparancy, pH, DO, BOD, alkalinity, amonia, amonium, nitrite, nitrate, posphate, and suspended of organic matter. Water samples ware analysed in the chemical laboratory belong to the Research Institute of Fresh Water Fisheries, compared to the standard quality of C catagory, stipulated through Governor of West Java Decree No. 38/1991. The hypothesis were tested by using statistical analysis.
Results of the study show that :
1. The water quality in Ciganea waters to degradation as long as cage cultures activity development. It is indicated by condition of water quality parameters such us NO2, NO3, NF14, NH3 and P04, have been over of threshold value for water quality standard (C criteria), it was caused by input of feeding to waters and number of feeding tend to increases as long as cage cultures activities on going.
The water quality in Ubrug is better than Ciganea waters, it is indicated by condition of water quality parameters such us NO2, NO3, NH4, NH3 and P04, was still good and still under threshold value of water quality standard (C criteria), It is because no pollutant from feeding to waters.
The result of this study can be used. to sugestion of waters environment management in Jatiluhur reservoir, as follow :
1) It is nacessary for local government (Fisheries of Services Office) to control of number cage cultures was operated in Jatiluhur reservoirs, it is because have been carying capacity over. Base on the research, the number of cage culture recommended to operation is 400 unit/areas. Ways to control of cage culture through letter of effort, limitation of cage culture operating in waters through moving of cage culture to other areas and implemented of monitoring and surveillance.
2) It is nacessary for local government (Fisheries of Services Office) to control of number feeding to water a number of 3 °Io from weight of fish biomass to culture. Its means to prevent of polluted waters from feeding. Base on the research the number of feeding waste to waters is 5 kg/day, so recommended that less than 5 kg/day or (1-1,5) kglday of feeding waste to guiden of water quality. To impernented this program mus be following to law enforcement, extention and public awerenees to local community, especially to group of fish farmers in Jatiluhur reservoir.
3) it is necessary to enhancment of monitoring, controling and surveillance for net cage culture activity in Jatiluhur reservoir, it is involving the water quality and number of net cage culture aspect and also strengthening of law enforcement through doubt of law to farmers and official government. In order to implematation this activity is needed coordination with inter instituation and non government organisation. Biside that it is needed empowerment to local community so they can do self management and surveillance of violance to cage culture activity in Jatiluhur reservoir.
4) One of alternative to decrease of organic waste to waters is development of technical culture of environmental friendly. This technical was called double net cage cultures. Base on the research this technical can increase of use feeding efficiency and prevention of pollutted waters. Howerver it is necessary to study in detail especially including economic and assesibility aspect before introduced to community.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abinawanto
"The study on the dimethylformamid (DMF) optimization for maintenance sperm quality of the carp fish (Cyprrnus carpio L.) post-thawing has been performed. Sperm were collected by stripping method and were dissolved in the extender solution (DMF : Kurokura solution = 1 : 3). DMF concentrations were 0%, 5%, 10%, and 15%, respectively. The soluble sperm were kept on the 0.2mL of straw and were cryopreserved by the slow freezing method.
Sperm analysis were carried out at the time of collection, post-equilibration, and post-thawing, respectively. Some parameters of the sperm quality observed were spermatozoa motility, viability, and abnormality. All data were analyzed by Analysis of Varians (ANOVA). DMF 10% were significantly (cc = 0.01) kept spermatozoa motility, viability, and abnormality relatively higher than DMF 0%, 5%, and 15%. These results suggest that DMF 10% is the optimize condition for maintenance sperm quality post-thawing."
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Anny Wantania
"Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai laut yang luas sehingga merupakan produsen ikan laut yang potensial. Salah satu wilayah produsen ikan laut yang potensial di Indonesia adalah Sulawesi Utara. Kotamadya Bitung merupakan wilayah penghasil ikan laut terbanyak dari aspek jumlah dan nilai produksi se-Sulut. Salah satu potensi perikanan yang dijadikan komoditi perdagangan di Kotamadya Bitung adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sehingga dikenal sebagai Kota Cakalang. Penelitian tentang perdagangan ikan cakalang di Bitung relatif belum terjamah. Di sisi lain, penelitian tentang sejarah perekonomian Indonesia didominasi hasil perkebunan.
Masalah penelitian ini adalah perkembangan perdagangan ikan cakalang di Bitung, Sulawesi Utara periode tahun 1975 sampai dengan 2001. Secara lebih khusus, penelitian ini difokuskan pada dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap perdagangan ikan cakalang. Penentuan periodesasi itu adalah pada tahun 1975 dibentuknya Kotamadya Bitung dan 2001 adalah dua tahun pelaksanaan otonomi daerah yang menekankan pada desentralisasi pengelolaan potensi kelautan berdasarkan Undang-Undang No.22/1999. Dalam periode itu, kebijakan pemerintah dibagi dalam tiga karakteristik, yaitu kebijakan ekonomi sentralistik (1975-1982), liberalisasi ekonomi (1983-1999) dan otonomi daerah yang menekankan pada desentralisasi kelautan (1999- saat ini) Pertanyaan penelitiaan dalam disertasi ini adalah bagaimana dampak kebijakan pemerintah pada periode ekonomi sentralistik, liberalisasi ekonomi dan otonomi daerah terhadap dinamika perdagangan ikan cakalang di Kotamadya Bitung?
Kebijakan perdagangan perikanan menimbulkan dampak terhadap dinamika perdagangan ikan cakalang pada pada periode ekonomi sentralistik (1975-1982). Kebijakan merupakan intrumen pelestarian kekuasaan. Konteks periode ekonomi sentralistik yang meraup keuntungan adalah pedagang Cina, militer, dan pejabat biokrasi. PT. Perikani, sebagai contoh dikendalikan oleh aparat militer yang relevan sehingga sektor perikanan berada di bawah kontrol negara baik secara politik maupun ekonomi. Temuan itu semakin mendapatkan pembenaran dengan hadirnya perusahaan perikanan yang dikelola oleh Puskopal Armatim. Keterlibatan menimbulkan dampak yang positif dan negatif. Dampak yang ditimbulkan cenderung menguat kepada negatif, yaitu bisnis militer menjadi semakin monopolistik dan otoritarian.
Kemudian, kenyataan itu menimbulkan kesadaran baru untuk menetapkan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pasar internasional. Keuntungan yang lebih besar akan diperoleh dan bisa menciptakan pemerataan hasil pembangunan. Kebijakan liberalisasi menimbulkan dampak negatif dan positif. Liberalisasi yang diterapkan dijadikan instrumen pelestarian kekuasaan politik oleh penguasa. Kondisi itu saya nyatakan liberalisasi yang berbasis pada pemerintahan pusat. Temuan penelitian saya berbeda dengan Mallarangeng (2002). Pendapatan regional yang tinggi tidak berbanding lurus dengan dana pembangunan yang diterima. Kondisi itu sering menimbulkan kekecewaan dan diekspresikan dalam bentuk kritik-kritik, resistensi simbolik, terselubung maupun yang fisik. Kenyataan itu membutuhkan perubahan orientasi perekonomian dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah. Temuan penelitian saya, liberalisasi yang berdampak positif dipertahankan sedangkan orientasinya berbasis di pemerintahan daerah.
Periode otonomi daerah berlangsung mulai 1999- 2001. Periode ini diawali dengan penetapan Undang-Undang No.22 Tabun 1999 tentang otonomi daerah. Esensi dari otonomi daerah itu sebenarnya penetapan kebijakan liberalisme yang dikendalikan oleh pemerintah daerah. Kebijakan itu berbeda dengan periode sebelumnya yang menerapkan kebijakan liberalisme ekonomi yang dikendalikan oleh pemerintah pusat.
PT. Perikani mengalami kebangkrutan di era otonomi daerah, karena perusahaan itu besar karena dukungan penguasa melalui kebijakan-kebijakan BUMN. Periode otonomi daerah menimbulkan konflik horisontal antarnelayan yang dipicu oleh konstruksi mereka tentang batas teritorial mencari ikan yang dimantapkan dengan mitos Toar dan Limumuut, belum jelasnya undang-undang yang mengatur pembagian hasil kekayaan sumber daya alam, dan ketidakjelasan aturan antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah tentang otonomi. Pada periode ini perdagangan perikanan meningkat karena didukung penetapan Bitung sebagai KAPET dan pelabuhan internasional. Perdagangan ikan cakalang memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi regional, tenaga kerja, dan pemenuhan kebutuhan protein."
Lengkap +
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
D482
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>