Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157386 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moogy Frianto Hartomo
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37504
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Moogy Frianto Hartomo
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25198
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dine Evantara
"Perubahan Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan terhadap pembagian urusan Metrologi Legal Tera dan Tera Ulang, yang awalnya urusan provinsi menjadi urusan kabupaten/kota. Sejak Perubahan urusan ini  baru 202 Unit Metrologi Legal (UML) dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Beberapa daerah kabupaten/kota mengalami stagnansi pelayanan tera dan tera ulang karena berbagai hambatan dalam pembentukan Unit Metrologi Legal, kekurangan SDM Tera, sarana prasarana dan kesadaran kepala daerah dalam pembentukan Unit Metrologi Legal. Peran Metrologi Legal menjamin keadilan dalam perdagangan, khususnya di bidang penimbangan dan pengukuran, perlindungan konsumen, harmonisasi standar dan persyaratan teknis membentuk kondisi dan meningkatkan daya saing produk produk domestik di pasar internasional. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif di Provinsi Jawa Barat dengan tiga daerah Kabupaten Karawang, Kota Depok dan Kabupaten Purwakarta ini berusaha menganalisis bagaimana urusan metrologi legal sebelum dan sesudah Undang Undang No. 23 Tahun 2014, distribusi pembagian urusan metrologi legal yang tepat di Indonesia dan desain urusan metrologi legal yang ideal di Indonesia ke depannya. Analisis dilakukan dengan informasi dan data yang diperoleh di lapangan dengan didukung berbagai informasi yang diperoleh dari buku, publikasi, laporan dan pendapat pakar ahli metrologi legal dan otonomi daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan urusan metrologi legal merupakan 'tugas pembatuan yang tidak disadari', sebelum Undang Undang No. 23 Tahun 2014 berpola tugas pembantuan yang tidak disadari sampai provinsi, sedangkan setelahnya tugas pembantuan tidak disadari sampai kabupaten/kota. Distribusi urusan metrologi legal saat ini tidak tepat, ada urusan-urusan yang tidak konsisten diserahkan/diemban oleh pusat. Selain itu urusan ini tidak tepat dilakukan di daerah karena metrologi legal berdampak nasional, berkaitan dengan standar yang harus seusai dengan standar nasional dan internasional dan perlindungan konsumen yang memang harus menjadi urusan pusat. Peran sawsta sangat dibutuhkan dalam pengukuran metrologi legal skala besar dengan standar yang ditetapkan oleh pusat. Distribusi pembagian urusan metrologi legal ideal ke depan dapat dilakukan dengan dua pilihan yaitu: Pilihan 1 membenahi tugas pembantuan yang tidak disadari, pilihan 2 diambil kembali oleh pusat dengan cara dekonsentrasi.

Amendment to Law No. 23 of 2014 concerning Local Government brought changes to the distribution of Legal Metrology Calibration and Re-calibration, which were initially provincial affairs into regency/municipality affairs. Since the change of this matter, there are only 202 Legal Metrology Unit from 514 regencies/municipalities in Indonesia. Some regencies/municipalities experienced stagnation of calibration and recalibration services due to various obstacles in the formation of Legal Metrology Legal, lack of  calibrasi human resources, infrastructure and awareness of regional heads in the formation of Legal Metrology Unit. The role of Legal Metrology guarantees fairness in trade, particularly in the areas of weighing and measuring, consumer protection, harmonization of standards and technical requirements to shape conditions and improve the competitiveness of domestic products in the international market. This research was conducted through a qualitative approach in West Java Province with three regions of Karawang Regency, Depok Municipality and Purwakarta Regency trying to analyze how legal metrology matters before and after Law No. 23 of 2014, the proper distribution of legal metrology functions in Indonesia and the ideal design of legal metrology in Indonesia in the future. The analysis is carried out with information and data obtained in the field supported by various information obtained from books, publications, reports and opinions of experts in legal metrology and regional autonomy. The results of the study showed that the implementation of legal metrology matters was 'unconscious co-administration', before Law No. 23 of 2014 has a pattern of co-administration tasks that are not realized up to the provinces, whereas after co-administration tasks are not realized up to the regencies/municipalities. The distribution of legal metrological affairs is currently inaccurate, there are functions that are not consistently assigned/ carried by the central government. In addition, this matter is not appropriate to be carried out in the regions because legal metrology has a national impact, related to standards that must be in line with national and international standards and consumer protection which must indeed be a central matter. Private involvement is needed in the implementation mass calibration legal metrology in the future with the standars set by central government.The distribution of ideal legal metrology distribution in the future can be done with two choices, namely: Option 1. fixes unconscious co-administration, option 2 is taken back by the center government by deconcentration.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
T55144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Alfariz Maulana Reza
"Adanya degradasi sumber daya alam dalam upaya perolehan nilai ekonomi melahirkan gagasan green economy yang merujuk pada rekonfigurasi bisnis dan infrastruktur untuk memperoleh manfaat lebih baik dari investasi alam, manusia dan modal ekonomi yang pada saat bersamaan mengurangi emisi gas rumah kaca, sebagai bentuk dari perhatian pada isu tersebut maka Uni Eropa mengeluarkan resolusi terkait dengan energi terbarukan yang dikenal dengan European Union Renewable Energy Directive (RED). Kebijakan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip fundamental perdagangan internasional yaitu most favoured nation dan national treatment. instrumen kebijakan lainnya dikhawatirkan akan membuat hambatan perdagangan internasional dimana hambatan tersebut secara teknis melalui kebijakan ramah lingkungan dengan dasar general exception Article XX GATT, namun RED belum memiliki cukup dasar untuk dapat dijustifikasi dengan kaidah tersebut, alasan yang digunakan masih dikatakan cukup abstrak dan sulit untuk membuktikan secara scientific antara tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang diambil. RED berimplikasi pada sektor perekonomian Indonesia dimana hal tersebut mengganggu stabilitas perdagangan minyak sawit Indonesia yang mengakibatkan berkurangnya devisa negara karena Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor minyak sawit terbesar dunia, selanjutnya implikasi yang dirasakan adalah dari segi sosial dimana munculnya stigma negatif akan minyak sawit pada masyarakat, namun terdapat implikasi positif yang muncul dalam merespon RED yaitu implikasi hukum dimana melalui instrumen hukum yang dibuat dapat memicu perbaikan tata kelola sawit yang berkelanjutan dan menciptakan peluang-peluang lain sebagai alternatif efektivitas konsumsi minyak sawit dalam negerti melalui program energi baru terbarukan berbasis minyak kelapa sawit, dengan adanya instrumen hukum tersebut dianggap sudah cukup dalam menjamin keberlanjutan minyak sawit, namun tantangan lain yang harus dihadapi adalah tentang bagaimana mengimplemantasikan nilai tersebut di sektor hulu dan hilir.

The existence of natural resource degradation in an effort to gain economic value gave birth to the idea of ​​a green economy which refers to the reconfiguration of businesses and infrastructure to obtain better benefits from investments in nature, human and economic capital while at the same time reducing greenhouse gas emissions, as a form of attention to the issue of Therefore, the European Union issued a resolution related to renewable energy known as the European Union Renewable Energy Directive (RED). The policy is considered contrary to the fundamental principles of international trade, namely the most favoured nation and national treatment. it is feared that other policy instruments will create barriers to international trade where these barriers are technically through environmentally friendly policies based on the general exception of Article XX GATT, but RED does not yet have sufficient basis to be justified by these rules, the reasons used are still quite abstract and difficult to prove scientifically between the goals to be achieved and the policies taken. RED has implications for the Indonesian economic sector where it disrupts the stability of Indonesia's palm oil trade which results in a reduction in the country's foreign exchange because Indonesia is known as one of the world's largest palm oil exporters, then the implication is from a social perspective where there is a negative stigma about palm oil in society. However, there are positive implications that arise in responding to RED, namely legal implications where through legal instruments created can trigger improvements in sustainable palm oil governance and create other opportunities as an alternative to the effectiveness of domestic palm oil consumption through new renewable energy programs based on palm oil. , the existence of such legal instruments is considered sufficient in ensuring the sustainability of palm oil, but another challenge that must be faced is how to implement this value in the upstream and downstream sectors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"
Dalam penerapan standar diperlukan prasarana teknis dan institusional yang meliputi SNI, lembaga akreditasi, lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, laboratorium uji, personal, serta peraturan perundang-undangan. Contohnya pada industri pupuk yang telah diberlakukan wajib SNI untuk beberapa produk. SNI wajib tersebut, wajib dipenuhi oleh produsen dan importir menyusul diterbitkannya Permenperin No. 19/M-IND/ Per/2/2009 tentang pemberlakuan SNI Pupuk secara wajib. Beranjak dari pemberlakuan SNI untuk produk pupuk secara wajib dapat dijadikan sebagai referensi kualitas produk yang perlu ditingkatkan bagi komoditi industri pupuk lainnya, juga dapat menjadi mekanisme perlindungan sekaligus pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap komoditi industri pupuk tersebut. Namun demikian pemberlakuan SNI secara wajib pupuk inipun haruslah dilakukan pada kondisi yang tepat mengingat adanya sejumlah konsekuensi yang melekat dari keputusan pemberlakuan SNI pupuk secara wajib tersebut. Makalah ini akan membahas upaya pemberlakukan SNI wajib industri pupuk untuk penerapan TBT yang akan menguntungkan berbagai pihak antara lain produsen pupuk yang memiliki tanda SNI, konsumen pengguna pupuk dan perdagangan/pasar pupuk dari serbuan pupuk ilegal/palsu dan pupuk impor yang kualitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hasil kajian menunjukkan bahwa yang menjadi prioritas pertama untuk TBT adalah Pupuk NPK padat, Pupuk Kalium Klorida dan Pupuk urea dengan total skor > 15 yang artinya sangat siap dijadikan sebagai TBT, prioritas kedua adalah Pupuk Tripel Superfosfat (TSP), Pupuk Amonium Sulfat (ZA) dan Pupuk Super Fosfat Tunggal (SP-36) dengan total skor 11 - 15, prioritas terakhir Pupuk Fosfat Alam untuk Pertanian, Pupuk Amonium Klorida, Pupuk Tripel Superfosfat Plus-Zn, Pupuk Dolomit, Pupuk Mono Amonium Fosfat (MAP), Urea Amonium Fosfat (UAP), Pupuk Diamonium Fosfat (DAP), Pupuk SP-36 Plus Zn, Pupuk Cair Sisa Proses Asam Amino (Sipramin) dan Pupuk Borat dengan skor dibawah 11. Dengan mengacu pada hasil studi tersebut maka penerapan wajib SNI industri pupuk dapat diimplementasikan sebagai TBT, dengan melakukan upaya antara lain pembenahan sistem, penguatan kelembagaan, koordinasi yang terpadu dan upaya diplomatis kepada WTO dan anggotanya untuk meyakinkan penggunaan SNI untuk TBT semata-mata melindungi konsumen dan lingkungannya."
JSTA 12:3 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Amesta Yisca Putri
"Pengenaan tariff kepada barang impor merupakan salah satu hambatan dalam perdagangan internasional. Hal ini dalam perdagangan internasional disebut juga sebagai hambatan tariff. Namun semenjak adanya General Agreement on Trade and Tariff (GATT), tariff yang diadakan dengan maksud sebagai proteksi yang dilakukan negara-negara untuk melindungi pasar dalam negerinya semakin berkurang. Hal ini menyebabkan negara-negara mencari jalan lain untuk memproteksi barang dalam negerinya yaitu dengan cara membuat hambatan non tariff.
Menyadari akan akibat dari adanya hambatan non tariff dalam perdagangan internasional, maka dalam Perundingan Putaran Uruguay negara-negara tidak hanya membahas masalah hambatan tariff namun juga masalah hambatan non tariff. Salah satu perjanjian yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay mengenai hambatan non tarif yaitu Perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT)
Perjanjian TBT bertujuan untuk menjamin bahwa peraturan teknis dan standar, termasuk syarat pengemasan, penandaan dan pelabelan serta prosedur penilaian kesesuaian tidak menimbulkan hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan internasional. Dalam Perjanjian TBT disebutkan bahwa peraturan teknis maupun standar yang dibuat harus mengacu pada standar internasional.
Penerapan Perjanjian TBT di Indonesia mengalami beberapa hambatan, hal ini dikarenakan standar internasional yang terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan Indonesia, infrastruktur yang tidak memadai serta kurangnya pengawasan terhadap standar yang diwajibkan terhadap suatu produk."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S26140
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Arfianti Kusuma Wardhani
"Tesis ini menganalisis ketentuan Mode 4 General Agreement on Trade in Services (GATS} dan membahas mengenai kepentingan Indonesia dalam liberalisasi perdagangan di bidang jasa. Tujuan penulisan tesis ini adalab untuk mengetahu i bagaimana pelaksanaan liberalisasi Mode 4 dan hasit yang dicapai, untuk mengetahui peran Mode 4 dan upaya liberalisasi bagi Indonesia, _serta untuk mengetahui hal-hal apa yang akan Indonesia lakukan dalam forum pe-raagangan internasional untuk memenuhi kepentingannya di dala m Mode 4. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian nonnatif yang bersifat preskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitati f.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Mode 4 GATS tidak ada pembatasan mengenai ruang lingkup Mode 4, yaitu definisi Mode 4 dan kategori individu (natura/ person ) tidak jelas, serta tidak adanya definisi temporary dan tingkat keterampilan. Mode 4 adalah moda penyedia jasa yang paling kecil liberalisasinya di dalam GATS. Hal ini disebabkan oleh banyaknya hambatan-hambatan dala m Mode 4, antara lain visa dan izin kerja, masalah definisi Mode 4 GATS, dan pengakuan kualifikasi.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa Mode 4 penting bagi Indonesia karena Indonesia mempunyai kepentingan ekspor berupa keunggulan komparatif pada Mode 4 dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari Mode 4. Untuk memanfaatkan Mode 4 dalam li beralisasi perdagangan di bidang jasa, Indonesia melakukan strategi ekspor dan sttategi impor. Penelitian ini antara lain menyarankan bahwa Indonesia tidak lagi dapat mengandalkan keunggulan komparatifnya di bidang jasa ketenagakerjaan, tetapi harus beralih ke keunggul an kompetitif, yaitu dengan mcningkatkan kualitas TKL.

This thesis analyzes the provisions of General Agreement on Trade in Services (GATS) Mode 4 and discusses Indonesia's interests in the liberalization of trade in services. The aim of this thesis is to determine how the implementation of the liberalization of Mode 4 and the results achieved, to determine the role of liberalization of Mode 4 and the effort of liberalization for Indonesia, and to know·what lndonesia is going to do in the i·nternational trade forum to meet its interests in . Mode 4.
This thesis uses methods that are prescriptive normative research using qualitative approaches. The results of t his study indicate that in GATS Mode 4 there are no limitations on the scope of Mode 4, i.e. the unclear definition of Mode 4 and the category of natural persons, and there are no definitions in the term of temporary and the level of skills. Mode 4 is the least liberalized mode of services supply in the GATS. This is caused by a number of constraints in Mode 4. including visas and work pem1its. the GATS Mode 4 definition problems, and the recognition of qualifications.
The results of this study also show that Mode 4 is important for Indonesia because Indonesia has a comparative advantage in the form of export interests in Mode 4 and the benefits derived from Mode 4. In order to take advantage of the liberalization of Mode 4 trade in services:>, Indonesia is pursuing export and import strategies. This research, among others, suggested that Indonesia can no longer rely on its comparative advantage in the service sector employment, but must switch to a competitive advantage. namel y by improving the quality of Indonesian workers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T28506
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fasradi Satriawan
"Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Marokko, naskah final yang memuat hasil-hasil Putaran Uruguay (Uruguay Round) tentang negosiasi perdagangan multilateral termasuk Perjanjian Umum di Bidang Jasa atau General Agreement on Trade in Services (GATS). GATS merupakan perjanjian payung atau Framework Agreement dan menjadi dokumen utama yang mencakup aturan main yang berlaku umum untuk semua sektor jasa.
Dalam rangka menganalisa model penyediaan jasa pada bidang asuransi, Penulis mencoba melakukan analisa hukum secara terbatas pada produk hukum tingkat Undang-Undang untuk sektor perasuransian yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Asuransi), mengingat Indonesia telah membuka akses pasar sektor perasuransian bagi penyedia jasa asing, maka analisa atas UU Asuransi dikaitkan pula dengan komitmen Indonesia sebagaimana tercantum dalam Schedule of Specific Commitment Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T15567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>