Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70692 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mularsih
"Tesis ini membahas mengenai efektivitas dari Peraturan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 (Perda Nomor 6 Tahun 1999) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 dikaitkan dengan kebutuhan akan tanah pemakaman. Ternyata keterbatasan tanah bukan terjadi bagi orang yang hidup saja akan tetapi berlaku pula bagi orang yang sudah meninggal. Besarnya angka kematian dalam setiap harinya dan kebutuhan akan tanah pemakaman yang terbatas di wilayah DKI Jakarta ditekankan dalam penulisan ini. Dalam Perda tersebut diatur mengenai Persentase Ruang Terbuka Hijau yang ditargetkan untuk DKI Jakarta sampai tahun 2010, dimana tempat Pemakaman merupakan salah satu klasifikasi dari Ruang Terbuka Hijau.
Tempat Pemakaman dalam Pasal 14 Perda Nomor 6 Tahun 1999 di kategorikan sebagai kawasan hijau binaan sedangkan dalam Pasal 5 dan Pasal 1 ayat (19) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan merupakan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) Publik. Dalam Pasal 14 ayat (5) Perda Nomor 6 Tahun 1999 diatur bahwa kawasan yang termasuk dalam bagian kawasan hijau binaan tidak dapat diubah peruntukannya dan Pasal 12 ayat (3) PMDN juga dijelaskan bahwa RTHKP Publik tidak dapat dialih fungsikan. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan empiris dengan tipologi penelitian deskriptif analitis.
Hasil dari penelitian dilapangan terdapat penyimpangan terhadap Perda Nomor 6 Tahun 1999, Pasal 14 ayat (5) dan Pasal 12 ayat (3) PMDN, salah satunya Perubahan peruntukan sebagian tanah pemakaman yang menjadi areal hunian dan non hunian milik swasta, yakni TPU Menteng Pulo, Tebet, Jakarta Selatan yang ditukar oleh pemerintah dengan pihak swasta dengan cara ruilslag atau tukar guling.
Banyak pertimbangan pemerintah memberikan izin perubahan peruntukan tersebut akan tetapi hasil penelitian menyarankan agar pemerintah konsisten terhadap Perda nya dan lebih selektif dan bijak dalam memberikan izin perubahan peruntukkan lahan terutama apabila tanah tersebut sebelumnya merupakan bagian dari urgensi kepentingan umum. karena pemberian izin yang menyimpang dengan RTRW dikenakan sanksi pidana dan apabila Perda tersebut dianggap sudah tidak dapat memenuhi perkembangan kota DKI Jakarta baiknya Pemerintah meninjau kembali dengan merubah atau merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau Perda tersebut.

This thesis discusses the effectiveness of the Regulation of the Special Region of the Capital City of Jakarta Number 6 of the Year 1999 (Local Government?s Regulation Number 6 of the Year 1999) regarding the regional spatial planning of 2010 linked to the needs of cemetery area. Apparently the scar city of land is not only towards the living but it is also applicable to the dead. The mortality rate each day and the needs of limited cemetery area in the territory of the Special Region of the Capital City of Jakarta are emphasized in this thesis. In the Local Government?s Regulation, it is stipulated that the percentage of Green?s Opened Spaces which is targeted for the Special Region of the Capital City of Jakarta up to the year 2010, in which cemetery Area constitutes one of the classifications of Green?s Opened Spaces.
Cemetery Area in Article 14 of the Local Government?s Regulation Number 6 of the year 1999 is categorized as fostered green zone, whereas in Article 5 and Article 1 paragraph (19) of the Regulation of the Minister of Domestic Affairs no. 1 of the Year 2007 regarding the Structure of Green?s Opened Space of Urban Area, it constitutes Public Urban Area?s reen?s Opened Spaces. In Article 14 paragraph (5) of the Local Government?s Regulation Number 6 of the Year 1999, it is stipulated that zones included in fostered green zones cannot be changed/replace with regard to its allocation and in Article 12 paragraph (3) of the Regulation of the Minister of Home Affairs, it is normative and empirical law research with descriptive analitycal research?s typology.
From the result of field research, there are difference between the Local Government?s Regulation Number 6 of the Year 1999, Article 14 paragraph (5) and Article 12 paragraph (3) of the Regulation of the Minister of Home Affairs, one of them is the change of allocation of parts of cemetery area to become privately owned residential and non residential area, which is Menteng Pulo Public Cemetery Area, Tebet, South Jakarta, which is replaced by the government and the private party by menas of exchange or swap.
There are many considerations of the government in granting such permit for the change of allocation, however, the result of research suggests that the government should be consistent with is own Local Government?s Regulation and should be more selective and wise in granting permit for the change of allocation of area, especially if such area previously constitutes a part of public interest urgency, because the granting of permit which is deviating from Local Spatial Planning will be penalized by criminal sanction and if such Local Government?s Regualtion is no longer considered accommodating the urban development of the Special Region of the Capital city of Jakarta, it would be better that the Government review it by menas of amending or revising the Local Spatial Planning or such Local Government Regulation."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T25171
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Indah Susilowati
"Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mengamanatkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari wilayah kota. Sedangkan RTH yang dimiliki oleh Jakarta baru mencapai 9.6 %. Pada kota-kota besar yang terlanjur sudah berkembang seperti Jakarta sulit memenuhi target tersebut termasuk di dalamnya RTH Pemakaman. Jakarta mengalami krisis lahan pemakaman dimana sudah banyak areal pemakaman yang penuh dan terjadi alih fungsi guna lahan. Hal ini menuntut penelitian untuk mencari faktor-faktor yang mempengaruhi dalam implementasi kebijakan penataan ruang pada RTH dengan fokus areal pemakaman di Jakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan positivism/ kuantitatif. Pengumpulan data sekunder dan wawancara mendalam dilakukan pada pihak pemerintah, swasta dan masyarakat. Faktor-faktor diperoleh dalam proses penelitian adalah ketersediaan anggaran, regulasi penataan ruang, struktur organisasi dan dukungan politik. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketersediaan anggaran terbatas, regulasi penataan ruang menyimpang, struktur organisasi belum mendukung, dan dukungan politik tidak konsisten dalam membela kepentingan umum.

The Law Number 26 of the Year 2007 on space management mandates that the proportion of the green open space in the city area is at least 30% out of the city area. Meanwhile, the Green Open Space (GOS) owned by Jakarta only reaches 9.6%. In the big cities which have been developed like Jakarta, it is difficult to accomplish the target, including the target on the Cemetery GOS. Jakarta suffers from the cemetery land crisis as many cemetery areas are full, and the function of some of these cemetery areas has been altered. This situation requires research to seek for factors influencing the implementation of the space management policy on the GOS with the focus of the cemetery area in Jakarta.
This research uses the positivism/quantitative approach. The secondary data collection and the in-depth interview were conducted to the government, the private sector, and the society. The factors obtained in the research process are the budget availability, the space management regulations, the organizational structure, and the political support. The research results show that the budget availability is limited, the space management regulations deviate, the organizational structure has not supported, and the political support is not consistent in defending public interests.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuni
"Penelitian ini berupaya mengungkap respon masyarakat atas persoalan fenomena deprivasi akses yang terjadi pada permukiman di perkotaan. Kota sebagai ruang publik dituntut untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan penghuninya. Hal ini membuat persoalan deprivasi akses selalu diidentikan dengan hilangnya hak untuk mendapatkan kebutuhannya dalam bertinggal di ruang kota. Fokus pengamatan ditujukan pada cara bertinggal penghuni asli maupun pendatang menanggapi persoalan di lingkungan tempat tinggalnya dan bagaimana campur tangan pemerintah daerah setempat atas kondisi tersebut, serta keterkaitannya dengan ruang yang terbentuk.
Metode yang dipilih adalah etnografi,yang artinya berhubungan dengan ide suatu kelompok, kepercayaannya, budayanya, organisasi sosialnya dan bagaimana mereka memproduksi hal-hal tersebut. Selanjutnya tesis akan disusun diakhir analisis. Fokus utama adalah untuk mengungkap detail fenomena spasial atas respon masyarakat dengan persoalan deprivasi akses. Penelitian yang sesuai untuk tujuan penelitian adalah studi kasus yang mengambil tempat di Kampung Poncol, Condet, Jakarta Selatan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah deprivasi akses tidak selalu berimbas pada hilangnya hak-hak masyarakat. Ada saatnya kebijakan dan proses urbanisasi di Jakarta berjalan bias terhadap kelompok masyarakat tertentu saja. Secara umum terungkap bahwa pola permukiman urban di Jakarta terjadi secara adhoc baik itu terbentuk oleh praktek kapitalisme maupun tradisionalisme masyarakat berbasis komunitas tertentu, namun permukiman semacam ini tidak terdapat integrasi spasial secara menyeluruh dan tanpa melihat aspek legal hukum pertanahan yang akibatnya terjadi kesenjangan yang sangat lebar.

This research tried to reveal the community response to the problem of access deprivation phenomenon that occurs in urban settlements. City as public space is required to provide the needs of its residents. The issue of deprivation of access always has a relation with the loss of the right to receive the needs to live in the urban space. The focus is aimed at the way of the original inhabitants and migrants to respond the problems in the formed space.
The research was done by using ethnography method, therefore the research was which means dealing with the idea of a group, beliefs, culture, social organization and how they produce these things. Furthermore, the thesis statement will be stated at the end of the analysis. The main focus is to reveal the details of the spatial phenomena of society's response to the issue of deprivation of access. Appropriate research for the purpose of research is a case study that took place in the Kampung Poncol, Condet, South Jakarta.
The finding of this research is the deprivation of access does not necessarily impact on the loss of the rights for community. The policy and urbanization in Jakarta is biased towards certain groups of people. In general, it was revealed that the pattern of urban settlement in Jakarta is formed by the practice of capitalism and traditionalism community-based society, but the kind of this settlement doesn?t get a spatial integration as a whole and isn?t seen with the legal aspects of land law that is resulting in a huge gap.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T39127
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Violla Putri
"Pada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Rencana Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2011-2031 ditetapkan bahwa ruang terbuka hijau adalah 30%. Namun ruang terbuka hijau yang tersisa hanya 12%. Skripsi ini membahas tentang implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 dan faktor yang mempengaruhi implementasi peraturan daerah tersebut. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam dengan beberapa narasumber.
Hasil dari penelitian ini adalah implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Kota Bekasi belum berjalan dengan maksimal dan faktor yang mempengaruhi jalannya implementasi peraturan daerah tersebut adalah komunikasi, sumber daya manusia, anggaran, struktur birokrasi dan partisipasi masyarakat.

At the Regional Regulation No. 13 Year 2011 Bekasi City Spatial Plan Year 2011-2031 established that green space is 30%. But now the rest of the green open land in Bekasi only 12%. This research discusses the implementation of the Regional Regulation No. 13 Year 2011 and the factors that affect the implementation of local regulations. Research is a qualitative study using in-depth interviews with several informant.
The results of this research is the implementation of the Regional Regulation No. 13 Year 2011 Kota Bekasi not run with the maximum and the factors that influence the course of the implementation of local regulations is communication, human resources, budget, bureaucratic structures and public participation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S52651
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yumeldasari,author
"Penelitian ini berfokus pada keberadaan dua pasar malam di Jalan Puri KelurahanKembangan Selatan Kecamatan Kembangan Jakarta Barat dengan unit analisisnyaadalah pedagang pengunjung pendukung dan Pemerintah Kota Jakarta Barat sertapihak pihak lain yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengankeberadaan pasar malam di lokasi ini Keberadaan pasar malam di Jalan Puri Moleksejak tahun 2009 merupakan fenomena yang tidak dapat diabaikan di tengahpesatnya pertumbuhan pusat perbelanjaan modern seperti mal Para pelaku yangberada di pasar malam Jalan Puri Molek yang berasal dari berbagai latar belakang memaknai pasar malam tersebut tidak hanya sebagai tempat belanja tetapi lebihsebagai ruang publik bagi mereka untuk berinteraksi dan menjalin keakraban satusama lain serta kesempatan memperoleh pekerjaan dan tempat untuk mendapatkanhiburan yang murah meriah khususnya bagi masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode instrumental casestudy Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan parapelaku yang ada di kedua pasar malam di Jalan Puri Molek yaitu pasar malam ldquo PuriWalk rdquo dan pasar malam ldquo CNI rdquo serta melakukan observasi dan juga mengumpulkandata data sekunder baik data institusional bahan bahan kepustakaan berupa bukubukureferensi artikel karya ilmiah dan sumber sumber internet serta foto foto yangdiambil selama melakukan penelitian Dari analisis diketahui 1 selain karena letaknya yang sejak dulu menjadi lokasiwarga berkumpul dan berinteraksi keberadaan pasar malam di Jalan Puri Molek jugatidak lepas dari adanya kekuatan komuniti yaitu kekuatan para pedagang denganfaktor etnisitas patron klien situasi nilai tawar dan kesamaan nasib ataukepentingan kepentingan para pengunjung dengan faktor hiburan proximity danmedia interaksi serta peluang dari pendukung dengan faktor kekuatan kekuasaan eksistensi kelompok dan penghasilan 2 kedua pasar malam dapat bertahandikarenakan komuniti yang berada di dalamnya memiliki posisi yang lebih kuatdibandingkan Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat yang lebih fokus padapembangunan pusat belanja modern sehingga penyediaan fasilitas publik bagimasyarakat miskin kota seperti pasar malam terabaikan.

This research is focused on existence between two night market at Jalan Puri Molek Kelurahan Kembangan Selatan Kecamatan Kembangan West Jakarta With theseller customer supporter and the government as the analysis unit and include otherparties who related directly or indirectly with the existence of night market at thislocation Since 2009 the existence this night market at Jalan Puri Molek is aphenomenon that can not be overlooked in the midst of the rapid growth of a modernshopping center such as shopping mall The subject are in Jalan Puri Molek nightmarket from different backgrounds to interpret the night market not only as places toshop but rather as a public space for them to interact and establish familiarity witheach other as well as an opportunity to get a job and a place to get cheapentertainment especially for the lower middle class economy This research used a qualitative approach with an instrumental case study method Data was collected through in depth interviews with the subject who are on the twonight market in Jalan Molek Puri the night market Puri Walk rdquo and the night market CNI as well as observation and also collect secondary data whether the datainstrumental library materials such as reference books articles scientific papers andinternet resources as well as the photographs taken during the research From this analysis it could be conclude that 1 aside because it was long a crowdgather and interact where the night market in jalan molek puri also can not beseparated from the local community strength specifically the strength of the traderswith the ethnicity patron client the value of bargaining situation and the fatesimilarities or interests the interests of the visitors to the entertainment factors proximity and interaction of media as well as the opportunity of supporting thepower of power factor the existence of groups and income 2 The two night marketcan survive because the local community who are in it have a stronger position thanWest Jakarta administration city government which is more focused on theconstruction of a modern is more focused on the construction of a modern shoppingcenter so that the provision of public facilities for the urban poor such as the nightmarket neglected "
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mara Oloan
"ABSTRAK
Berkembangnya kehidupan demokrasi di Indonesia telah disusul dengan tuntutan demokratisasi dalam berbagai bidang termasuk dalam penataan ruang. Menguatnya tuntutan masyarakat agar diikutsertakan dalam perencanaan tara ruang kota merupakan salah satu indikasi perubahan tersebut. Sebelumnya, kebijakan nasional yang mengadopsi PSM dalam perencanaan sudah banyak. Fakta lapangan, penyelenggaraan PSM dalam perencanaan tata ruang masih terus dipertanyakan banyak pihak. lni berani pendekatan PSM belum terinstitusionalisasi dalam arti belum diterima, belum dinilai tinggi, dan belum dipaluhi.
Rencana tata ruang kota merupakan kebijakan publik (public poiicy). Pemasalahan kebijakan akan terjadi apabila kebutuhan-kcbutuhan (needs), nilai-nilai (valtrex), dan potensi/peluang untuk perbaikan belum tercalisasi padahal seharusnya dapat didorong melalui public action. Munculnya tunlulan masyaral-:al berperan serla dalam perncanaan lata ruang kota mengindikasikan adanya kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi, nilai-nilai terdistorsi, dan peluang perbaikan yang tidak termanfaatkan. Kesenjangan yang ada antara kebijakan pnblik dengan harapan masyarakat merupakan persoalan kebijakan (policy probiem).
Berdasarkan permasalahan dikemukakan diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah persoalan kebijakan (policy problem) PSM dalam perencanaan tata ruang kota di kota Jakarta? 2) Bagaimana model PSM yang diinginkan stakeholders dapat ditransformasikan dalam proses pelembagaan perencanaan tata ruang kota Jakarta? 3) Bagaimana institusionalisasi PSM tersebut di dalam perencanaan tata ruang kota Jakarta?
Penelitian ini berlolak dari asumsi, proses perencanaan tata ruang kota merupakan proses pembuatan kebijakan publik. Berdasar asumsi ini, proses perencanaan tata ruang pada dasarnya mengikuti kerangka proses pembuatan kebijakan publik (public policy making). Untuk mengkaji persoalan kebijakan mengenai PSM, dilakukan analisis secara policy content terhadap tatanan peraturan nasional serta tatanan peraturan dan kebijakan yang terkait langsung dengan PSM dalam perencanaan di DKI Jakarta. Ada beberapa teori yang digunakan sebagai alat analisis. Pertama, A ladder of citizen participation dari Arnstein. Kedua, lnstitusionalisasi yang diangkat dari teori institution building dari The Inter-University Research Programme for Instituion Building. Ketiga teori tentang instrumen kebijakan dari Howlett & Ramesh.
Eksplorasi terhadap model PSM yang diinginkan stakeholders, didekati dari teori tentang lingkup PSM oleh Ronald McGill dan Margareth, teori tentang obyek PSM dari Fagence, teori tentang isu-isu panting dalam penyelenggaraan PSM dari Margareth. Untuk mengetahui pola interaksi antar kelompok stakeholders, didekati dengan paradigma jaringan kolaboratif PSM yang dikemukakan Innes & Booher, serta teori social capital khususnya pola interaksi antar institusi yang dikemukakan Ismail Serageldin & Christian Grootaert. Sedangkan untuk mengetahui institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang Kota Jakarta, didekati dari teori institution building dikemukakan diatas.
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif-eksploratif. Disebut deskriptif karena merupakan penelitian klarifikasi PSM sebagai fenomena sosial. Sebagai penelitian eksploratif penelitian ini berupaya mencari jawaban-jawaban mengenai How dan Why perihal PSM. Data kuantitatif diperoleh dari pengolahan terhadap jawaban responden atas kuesioner, dan data kualitatif diperoleh dari wavtancara mendalam dengan para informan, hasii telaahan terhadap tatanan peraluran, kebijakan, dan dokumen terkait lainnya, Serta observasi lapangan. Responden dipilih dari stakeholders kelompok government, pi-ivote sector, dan civil society secara purposive yang diwakili institusi, asosiasi, organisasi, dan kelompok yang berpartisipasi dalam penataan ruang.
Temuan penelitian menyingkapkan bahwa tatanan peraturan nasional membatasi PSM hanya pada tingkatan informing, consultation, dan plocotion (tangga ke 3, 4, dan 5), dan sedikit pada taraf kemitraan ("partnership?). PSM yang lelah diterapkan oleh Pemda DKI Jakarta mencapai tingkatan kemitraan (partnership) melalui perwakilan institusi dari Perguruan Tinggi, Asosiasi Profesi, Asosiasi Pelaku Bisnis, institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah, dan LSM sehingga PSM bersifat institusional. Sedangkan PSM yang diharapkan stakeholders mencapai tingkatan delegated power dan citizen control (tangga ke 7 dan 8 Arstein). Namun khususnya kelompok civil society, memilih tetap dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan private sector secara terbuka.
Sebagian besar stakeholders menyatakan tingkat pelibatan PSM selama ini tidak cukup, padahal dinilai sangat panting. Nilai-nilai keadilan, dan pernerataan sosial-ekonomi dinilai belum terealisasi. Stakeholder menyatakan bahwa tujuan utama PSM adalah untuk memastikan aspek keadilan dan pemerataan sosial ekonomi diakomodasikan dalam rencana tata ruang kota. Penelitian ini menyimpulkan tidal( efektifnya pelaksanaan PSM dalam perencanaan, bersumber dari tidak adanya pcngaturan PSM pada sebagian besar unsur/sub-unsur institusionalisasi, baik pada tatanan peraturan nasional maupun daerah. Kebijakan strategis (UU Penataan Ruang) yang telah mengadopsi pendekatan PSM, temyata juga tidak ditindaklanjuti dengan penetapan instrumen-instrumen kebijakan yang memadai agar kebijakan strategis tersebut efektif sehingga untuk menyelenggarakan PSM pedomannya tidak memadai.
Model PSM dalam perencanaan tata ruang kota yang diinginkan stakeholders, memiliki pola benjenjang/bertahap. Bukan seperti PSM paradigma tradisional lagi, tetapi tidak pula seperti paradigma jaringan kolaboratif yang dikemukakan Innes and Booher. Untuk tahap awal, stakeholders menghendald forum-forum informal, dimana kelompok civil society harus dipisah dengan kelompok bisnis (private sector). Selain itu, stakeholders menginginkan adanya Komisi Perencanaan, bertugas mengembangkan pendekatan, menyusun strategi, mengagendakan, dan membahas hasil akhir dari proses PSM dalam perencanaan tata ruang kota.
Penelitian ini menunjukkan bahwa institusionalisasi PSM masih rnenghadapi masalah besar. Sebanyak 21 dari 27 unsur/sub-unsur institusionalisasi kondisinya masih "tidak memadai? sebagai persyaratan berlangsungnya proses institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang kota. Dinas Tata Kota DK1 Jakarta sebagai institusi perencanaan, tidak disiapkan untuk menyelenggarakan PSM dengan partisipasi yang lebih luas dari civil society, private sector dan government sebagai implementasi pendekatan PSM yang sudah diadopsi UU Pcnataan Ruang . Hal ini terkait dengan tidak memadainya instrumen kebijakan dari UU tersebut.

ABSTRACT
The evolvement of democratic life in Indonesia has been followed by the need of democratization in all sectors including in spatial planning. lnvigorating contention from community demanding to be involved in the urban planning process is one ofthe indications of such evolvement. Prior to that, the national policy adopting Public Participation (hereinafter ?PP?) in planning had reached numerous numbers. ln contrary, the empiric Facts show that the implementation of PP in urban planning process remains questioned frequently by many parties. This implies that the approach of PP has not been institutionalized, in a way that it has not been well-accepted, not highly praised, and has been neglected.
Urban planning is a public policy. Policy problems will occur if needs, values, and opportunities for improvement have not been executed, whereas they could be encouraged through public action. The existence of public contention to be involved in urban planning indicates that there arc unfullilled needs, distorted values, and unutilized opportunities for invoking improvement. Gap occurred between settled public policies with public?s expectations constitutes as a policy problem. According to problems elaborated above, this research questions: l) ?What are policy problems of implementating PP in urban planning process in Jakarta?? 2) ?How could the PP model desired by stakeholders be transformed in institutionalization process of urban planning of .lakarta'?? 3) ?How has the institutionalization of PP in the urban planning of Jakarta been institutionalized??
This research is based on the assumption that the process of urban planning is a process of public policy making. Evolving from such assumption, the process of urban planning basically follows the frame of public policy making process. In reviewing policy problem of PP in urban planning, analysis through policy content is conducted towards the set of national regulations and provincial regulations directly attached with PP in the planning of Jakarta. There are several theories utilized as tools of analysis in this research. The first theory is ?A ladder of Citizen Participation" from Amstein. The second theory is the institutionalization which arises from the theory of institution building from ?The Inter-University Research Programme for Institution Building?. The third theory is concerning the policy instrument by Howlett & Ramesh.
Exploration of the PP model intended by the stakeholders is observed by the approach using several theories; the theory on the coverage of PP by Ronald McGill and by Margareth, the theory on the object of PP by Fagence, and also the theory conceming major issues in the implementation of PP also by Margareth. In identifying the interaction pattern among the stakeholders, a theory on the paradigm of colaborative network of PP by Innes & Booher, and also a theory on social capitol specifically on the interaction pattem among institutions by Ismail Serageldin & Christian Grootaert, are applied. In the other hand, in identifying the institutionalization of PP in the Jakarta urban planning, the aforementioned institution building theory is applied.
This research is built as descriptive-explorative research. It is descriptive because it is a research on the clarification of PP as a social phenomenon. It is an explorative research because it aims to find solutions on ?how? and ?why? regarding PP. Quantitative data is obtained through the analysis of respondents? answers to questionnaires, and qualitative data is obtained through profound interviews with informants, critical review on the set of regulations, law, related documents and field observation. Respondents are chosen from groups of stakeholders, government, private sector, and civil society in purposive order represented by institutions, associations, organizations, and groups of participants on spatial planning.
Research finding reveals that the set of national regulation enacts limitation to PP only to the degree of informing, consultation, and placation (the 3rd, 4th, and 5th ladder), and a little to the degree of partnership. PP implemented by the provincial government of Jakarta has reached the degree of partnership through institution representatives from universities, professional associations, business associations, central and regional govemmental institutions, and non-governmental organizations that makes PP institutional. However, PP aspired by stakeholders reaches the degree of delegated power and citizen control (the 7th and 8th Amstein?s ladders). Though, groups of civil society in particular, prefer to participate together with government and private sector transparently.
Most of stakeholders narrated that the involvement degree of PP up to the present is not suflicient, whereas its value considered being very substantial. Values of justice and redistribution of social-economics are argued to be not realized yet. Stakeholders affirm that the main objective of PP is to ensure that the aspects of justice and social-economics equality are being accommodated in urban planning process. This research concludes that the ineffectivencss of the implementation of PP in planning is rooted from the absence of the regulation of PP in most of institutionalization elements in both national and regional/provincial set of regulations and policies. The strategic policy (The Spatial Planning Act No.24/1992) adopting PP implementation is infact not equipped with sufficient policy instruments in order to make the strategic policy becomes effective. Thus, the directive of PP implementation is also insufficient.
Model of PP in urban planning process intended by the stakeholders has a grading pattern. It is not similar to the traditional paradigm of PP or either to the collaborative network paradigm stated by limes & Booher. In the first grade of the model, stakeholders yearn for informal forums, in which civil society groups must be separated from private sector groups. Moreover, stakeholders request for a Commission of Planning. This commission has the obligation to develop model of approach, set strategies, arrange agenda and discuss the linal results of PP process in urban planning.
This research illustrates that the institutionalization of PP still faces problems. 21 out of 2? elements/sub-elements of institutionalization still struggle with the condition of ?insufficiency? as a requirement to implement PP institutionalization process in the urban planning. City Planning Agency of Jakarta?s Government, as a planning institution, is not prepared to perform PP implementation with a wider range of participation from the civil society, private sector, and the govemment, as an implementation of PP approach that had been adopted by The Spatial Plaruiing Act No.24/1992. This is in accordance to the fact of the insufficient policy instrument in the derivative of such act."
Depok: 2007
D818
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifda Marwa Ufaira
"Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memahami tujuan dan bagaimana taman kota berfungsi. Mengambil Taman Tematik yang sedang gencar dibangun di Bandung sebagai objek studi kasus, tulisan ini mencoba menganalisa dan mengkritisi bagaimana pemberian tema pada taman kota tidak selalu berdampak positif dalam meningkatkan kualitas sosial yang seharusnya taman kota tawarkan. Dengan memahami cara kerja dan tujuan taman, kita dapat memahami bagaimana mendesain dan merencanakan taman kota yang hidup dan mengundang orang untuk datang. Studi tentang taman ini akan dilandasi dengan teori mengenai taman kota dan membandingkannya dengn kondisi pada Taman Tematik yang berada di Bandung. Untuk mendapatkan pemahaman tentang tujuan taman kota Bandung, telah dilakukan juga wawancancara dengan Walikota Bandung.

The aim of this writing is to understand the purpose and how a city park works. By taking the emerging Taman Tematik in Bandung as a case study, this writing criticize how giving theme to the parks may harm the park rather than promoting the social quality of the parks. By understanding the purpose and how parks works, we can understand how to design and plan a lively parks in the city that invites the people in rather than blocking them out with their visible or invisible fences. The study will based on theories about parks and compared it to the condition in Taman Tematik of Bandung. An interview is also conducted to get an insight on how parks in Bandung are planned and designed.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S61716
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risha Aisyah
"Taman kota sebagai bagian dari ruang terbuka publik, memiliki peran penting dalam menyelaraskan pola kehidupan kota yang sehat. Taman kota memiliki fungsi ganda yaitu fungsi sosial dan fungsi estetika, yang memberikan manfaat yaitu sebagai wadah aktivitas sosial, paru-paru kota, dan juga memperindah wajah kota. Kebayoran Baru merupakan kota taman (Garden City) pertama di Indonesia yang dirancang oleh arsitek lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas taman kota di Kecamatan Kebayoran Baru, baik sebagai fungsi sosial maupun sebagai fungsi estetika serta untuk melihat hubungan kualitas taman kota dengan karakteristik lokasi pelayanan publik, yang dilihat dari locational efficiency, locational accessibility, dan personal accessibility dari taman tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan keruangan.
Hasil penelitian didapatkan kualitas taman kota sebagai ruang publik di Kecamatan Kebayoran Baru, sebagian besar memiliki kualitas fungsi sosial dan kualitas fungsi estetika yang termasuk kategori sedang. Hubungan kualitas taman kota dengan karakteristik lokasi pelayanan publik beragam. Hal ini disebabkan kualitas fungsi sosial juga terpengaruh dari kualitas fungsi estetikanya. Namun, kualitas fungsi estetika yang baik saja tidak cukup untuk menjadi penentu keberhasilan taman sebagai fungsi sosial, apabila tidak disertai dengan lokasi yang efisien dan mudah dicapai oleh pengguna ruang publik.

As a part of public open space, city parks have an important role in aligning the pattern of a healthy city life. City park has double functions those are social function and aesthetic function, which provide various benefits such as a place for doing social activities, city lungs, and also beautify the city faces. Kebayoran Baru is a first garden city in Indonesia who designed by local architect. This study aims to determine the quality of the city parks in the District of Kebayoran Baru, both as social function and aesthetic function, and also to see the correlations of city parks quality with characteristics of public services location, which is explored from ‘locational efficiency, locational accessibility, and personal accessibility’ of the parks. This research is a descriptive study using a spatial approach.
The study results showed the quality of city parks as public spaces in the District of Kebayoran Baru, mostly have quality both of the social function and aesthetic function are classified as moderate quality. The correlations between quality of city parks and characteristics of public services locations are diverse. This is due to the quality of social function was also detracted from the quality of aesthetic function. However, the good quality of aesthetic function alone is not enough to be a determinant of successful parks as social function, if not accompanied by an efficient location and easily accessible by public space users.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S44301
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evita Nidyasari
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S1804
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asmarul Amri
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2005
T39407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>