Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101148 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Imparsial, 2007
343.014 3 REF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Markas Besar ABRI. Badan Pembinaan Hukum, 1985
343.01 YUR I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maha, T.S.
"Di lingkungan Peradilan Militer dikenal adanya Perwira penyerah Perkara (PAPERA), yaitu perwira ABRI yang ditunjuk dan diberi wewenang menyerahkan perkara pidana anggotanya kepada Mahkamah/Pengadilan yang berwenang. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) adalah Papera Tertinggi terhadap tersangka anggota ABRI dan atau mereka yang dipersamakan menurut ketentuan undang-undang.
Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1958, yaitu UU No. 6 Tahun 1950, sepanjang mengenai pemeriksaan permulaan, segala sesuatu dipusatkan pada Jaksa Tentara, dan semua pejabat-pejabat lain yang mempunyai peranan dalam penyelenggaraan pemeriksaan permulaan, semuanya bekerja di bawah pimpinan/perintah Jaksa Tentara. Dan setelah pemeriksaan berakhir, maka Jaksa Tentara menentukan apakah perkara yang bersangkutan harus diserahkan ke Pengadilan atau tidak.
Sistem ini sangat mengurangi peran serta kedudukan komandan sebagai penyelanggara dan pembina disiplin dan sangat rawan terhadap terjadinya bentrokan antara pihak Kejaksaan dengan pihak pimpinan pasukan. Sistem baru yang diatur pada UU No. 1 Drt Tahun 1958, yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No. 29 Tahun 1954, tentang Pertahanan Negara yang berbunyi "Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan komandan komandan mempunyai hak penyerahan perkara", maka keseluruhan wewenang Jaksa Tentara sebagaimana diatur pada UU No. 6 Tahun 1950 dibebankan kepada Ankum/Komandan, kedudukan Jaksa Tentara berada di bawah Ankum/Jaka Tentara. Menjadi masalah ialah apakah Ankum/Komandan sudah siap ?
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa Ankum/Komandan ternyata tidak siap; agaknya pemerintahpun menyadari kondisi ini, maka Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 1 Drt Th 1958 ini tidak kunjung ada. Sementara peradilan harus tetap berjalan, maka sebagai peraturan pelaksanaan dikeluarkan oleh Kasad selaku pimpinan Angkata Darat dan Kas Angkatn lain, sehingga akibat lain yang timbul adalah tidak adanya kesatuan hukum. Maka pelaksanaan hukum acara pada peradilan militer secara formal menggunakan sistem baru, namun secara materiel menggunakan sistem lama. Komandan sering tidak lagi memahami perkara tersangka, tetapi hanya terima tanda tangan saja apa yang disodori oleh Jaksa Tentara.
Hasil kajian penulis tentang kemampuan hukum Ankum/Komandan berdasarkan kurikulum Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Tahun 1974, menunjukkan bahwa pembekalan materi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) sejumlah 62jam, yang setara dengan 2,61 SKS (Satuan Kredit Semester) dibandingkan dengan 12 SKS sebagaimana diwajibkan bagi Fakultas Hukum berdasrkan SK Dirjen Dikti No.30/DJ/Kep/l983 tentang Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum.
Hasil penelitian penulis dilapangan menunjukkan bahwa kelambatan proses penyelesaian suatu perkara lebih sering terjadi karena tidak ditandatanganinya (oleh Papera) Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera). Setelah mengkaji penyebab terjadinya kendala-kendala selama ini, dihubungkan dengan beberapa sistem di negara lain, penulis condong kepada sistem negeri Belanda, yaitu adanya "officier CommissarrisM sebagai Perwira Staf Ahli Ankum/Komandan. Dengan demikian penulis mengemukakan dua hal yang harus diperhatikan dalam upaya mengatasi kendala tersebut di atas, yaitu: l) pengadaan Perwira Staf Ahli untuk semua jajaran mulai dari satuan dengan jabatan Komandan selaku Ankum yang secara teknis dibina oleh Direktorat Hukum TNI-AD; dan 2) kewajiban mengikuti Kursus Ankum/Ke-Papera-an, sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan promosi yang dimulai dari jabatan komandan setingkat Kompi, yang dapat dilakjukan oleh Pusat Pendidikan Hukum TNI-AD. Dengan demikian seorang Komandan tidak perlu lagi dibebani dengan masalah khusus, sehingga dapat memusatkan perhatian pada kemampuan teknis kesatuannya masing-masing. Khusus untuk teknis hukum berada di bawah pembinaan Direktorat Hukum TNI-AD. (TS. Maha)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T36437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Indra Djaja, 1976
343.014 3 TIG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yuddy Crisnandi
"Internal reform of Tentara Nasional Indonesia, the Indonesian Armed Forces, to disengage itself from political activities post the Soeharto government; study"
Jakarta: LP3ES, 2005
355.033 5 YUD r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jaenal Aripin
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
347.01 JAE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kaligis, Otto Cornelis, 1942-
Bandung: Alumni, 2007
345.023 365 KAL n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kaligis, Otto Cornelis, 1942-
Bandung: Alumni, 2002
345.023 365 KAL n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Universitas Indonesia bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung, 2010
355.009 598 REF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Buaton, Tiarsen
"Sistem peradilan militer yang berlaku di dunia berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada tiga sistem hukum yang berlaku di dunia ini, yaitu common law sysrem, roman law system dan socialist law sysrem. Namun beberapa ahli yang lain menggolongkan sistem peradilan militer berdasarkan kewenangan mengadili atau jurisdisksi dari pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1) peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan miiiter dan (4) peradilan militer mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Kebanyakan peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang berwenang mengadili kejahatan secara umum Rencana DPR untuk mengubah system peradilan militer dengan membatasi yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas mengadili kejahatan militer menimbulkan pro dan kontra, dimana masing masing mempunyai alasan yang berbeda.
Penelitian ini menjadi penting untuk memberikan pertimbangan dan masukan kepada DPR dan Pemerintah dalam rangka menyusun Rancangan Undang Undang Peradilan Militer yang baru dan sekaligus memberijawaban atas beberapa pertanyaan berikut lni. Pertama, bagaimana kedudukan dan yurisdiksi peradilan militer di Indonesia setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, bagaimanakah kedudukan asas-asas militer yang? merupakan bagian dari asas-asas peradilan militer seperti asas kesatuan komando, komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer, apabila prajurit yang melanggar tindak pidana umum diadili pada peradilan umum. Ketiga, sistem Peradilan Militer yang bagaimanakah yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, bahwa setelah ditétapkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, telah membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, sehingga tidak perlu lagi mengubah sistem peradilan militer yang ada saat ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengadilan umum tidak tepat untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit. Pengadilan militer tetap dibutuhkan untuk menegakkan standard disiplin militer karena militer dianggap sebagai komuniti khusus, yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan kedaulatan Negara. Kedua, bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggungiawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas umum yang trdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak berlaku lagi. Demikian juga fungsi pembinaan yang dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang sehingga ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka efisiensi, kesiapan dan efektifitas pasukan akan sulit dicapai; Ketiga, bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum.

There is no the same military court system in the world. Every state has its own military system. Some experts make the classification of the military justice system on the three main existing system of law, that is, common law system, roman law. system and socialist law system. However the other experts suggested a classitication based on the jurisdictional powers of military courts. They distinguished four different system as follows: (1) one in which military courts have general jurisdiction; (2) one in which they have general jurisdiction on a temporary basis; (3) one in which jurisdiction is limited to military offences; and (4) one in which they have jurisdiction solely in time of war or military operation. Beside these two classification, there are another types of military jurisdiction: firstly, the traditional kind, based on the principle of ?he who gives the orders sits injudgement? made up of members of military and endowed with broad jurisdictional powers; secondly, one in which military justice is incorporated into ordinary jurisdiction as a specialized branch of the latter; and, thirdly, one in which military justice is abolished in peacetime. According to the Act Number 31/ 1997 conceming Military Court, the military justice System in Indonesia has general jurisdiction and is incorporated into ordinary jurisdiction. It means that Indonesian Military court has general jurisdiction to try civil offences and military offences. The plan of the Council of Indonesian Representative to limit the military court jurisdiction just to try military offmrces has caused diierent opinion between the government and the Council.
This dissertation is conducted in order to give the answer of the three questions, that is: first, how is the occupation and the jurisdiction of Indonesian Military Court alter the Act Number 4/ 2004 conceming The Judicial Authority; Secondly, how is the military principles as the pan of the principles of military court such as the principle of unity cfeomrnand, the principle of every commanueer be responsible for this subordinate, and the principle of military necessity; and, thirdly, which court system is suitable to be implemented in Indonesia. The research has been done by using the methodology of normative to analyze the development oflndonesian Military Court jurisdiction after Indonesian Independence until 2008.
After conducting research and making descriptive and prescriptive this dissertation has make some conclusion. First, after concluding the Act Number 4/2004 conceming the Judicial Power, in which the position of military court is undertlre Supreme Court has madethe military court become more independent and impartial, 'dee from 'command intervention. So, no need to change the jurisdiction of Military court. It can be mentioned that the involvernenteof civilian court to fry the military would be detrimental to morale and discipline of military as a special community and would thus pose grave danger to national security. Secondly, all the principles of military court that is, the principle of unity of command, the principle of every commandeer be responsible for his subordinate, and the principle of military necessity should exist in military judicial system beside the general principle of civil court. If those principles are not available, the role of the commandeer as the senior oiiicer that has authority to condemn his subordinate does not function. if it happens, the efiicient, the readiness and the effectiveness of military unit will be ditiicult to be achieve.. Third, the military judicial system implied in Indonesia should be in accordance with the military culture in which the military court still has the jurisdiction to try the member of military who conducts either military offences or civil offences.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1137
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>