Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146396 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zuherman Rustam
"Komputasi intelejensia yang digunakan dalam masalah klasifikasi pola dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu yang berbasis pada Neural Network dan yang berbasis pada Pembelajaran Statistika (Statistical Learning). Pembelajaran yang berbasis statistika, pertama kali ditemukan oleh Vapnik pada dekade tujuh-puluhan. Untuk masalah klasifikasi pola Vapnik mengembangkan metode hyperplane optimal separation, atau dikenal juga dengan nama metode Support Vector Machines (SVM). Pada awalnya SVM dirancang hanya untuk menyelesaikan masalah klasifikasi biner, yaitu dari data-data yang ada, diklasifikasikan menjadi dua kelas. Untuk mengklasifikasikan data yang terdiri dari lebih dari dua kelas, metode SVM tidak dapat langsung digunakan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah klasifikasi multikelas SVM yaitu: metode One-vs-One dan metode One-vs-Rest. Kedua metode ini merupakan perluasan dari klasifikasi biner SVM. Kedua metode tersebut akan dibahas di artikel ini dan akan dilihat kinerjanya dalam mengklasifikasikan aroma. Data aroma yang digunakan dalam percobaaan ini terdiri dari 3 jenis aroma, masing-masing aroma terdiri atas 6 kelas. Pembagian kelas ini berdasarkan pada konsentrasi alkohol yang dicampurkan pada masing-masing aroma. Misalkan untuk aroma A, terdapat 6 jenis aroma A dengan kandungan alkohol : 0%, 15%, 25%, 30%, 45% dan 75%. Kinerja dari kedua metode diukur berdasarkan kemampuan untuk mengenal dan mengklasifikasikan aroma, dengan tepat dan sesuai dengan jenis atau kelas, dari data yang diberikan.

Aroma classification using one-vs-one and one-vs-rest methods. Computational Intelligence used in pattern classification problem can be divided into two different parts, one based on Neural Network and the other based on Statistical Learning. The Statistical Learning discovered by Vapnik on 70-est decade. For the pattern classification, Vapnik developed hyperplane optimal separation, which is known as Support Vector Machines Method (SVM). In the beginning, SVM was designed only to solve binary classification problem, where data existing are classified into two classes. To classify data whose consist of more than two classes, the SVM method can not directly be used. There are several methods can be used to solve SVM multiclasses classification problem, they are One-vs-One Method and One-vs-Rest Method. Both of this methods are the extension of SVM binary classification, they will be discussed in this article so that we can see their performance in aroma classification process. Data of aroma used in this experiment is consisted of three classes of aroma, each of them has six classes. The division of this class is based on alcohol concentration mixed into each of those aromas. For example, for aroma A, there are six kinds of aroma A with different alcohol concentration: 0%, 15%, 25%, 30%, 45% and 75%. The performance of these methods is measured based on their ability to recognize and classify aroma, precisely and match with the right class or variety of data existed."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Call number bagaikan nama panggilan seseorang atau nomor punggung pemain bola.Kita kita lebih mengenal Si nomor 17 untuk Christian Ronaldo ,atau si nomor 7 untuk David Beckham....."
SEBUPUI
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"There are many information which can be processed in many emails. Clasisification is a way to organize the informations which are be in the emails....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Seiring derasnya arus informasi berita elektronik, timbul kebutuhan untuk mengatur informasi tersebut sehingga pengguna dapat mengaksesnya dengan lebih mudah. Akan tetapi jika pengelompokan berita dilakukan secara manual, maka akan memakan waktu yang lama dan mahal. Klasifikasi dokumen secara otomatis sekiranya diperlukan untuk mengurangi biaya dan mempercepat pengaturan informasi. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengklasifikasian yaitu Naïve Bayes Classifier. Fokus penelitian ini adalah meneliti karakteristik Naïve Bayes Classifier untuk memperoleh kinerja yang optimal dalam proses klasifikasi. Cara yang diterapkan pada penelitian ini yaitu dengan mengujicobakan metode tersebut dengan 3 perlakuan yaitu membandingkan kinerja sistem terhadap stemming maupun non stemming, berbagai proporsi dokumen pembelajaran dan jumlah kategori dalam klasifikasi. Tahapan penelitian dilakukan mulai dari studi pustaka, menerapkan metode Naïve Bayes Classifier dalam pengklasifikasian berita berbahasa Indonesia, melakukan uji coba dan analisa mengenai karakteristik metode ini serta menarik kesimpulan dari hasil analisa. Penelitian dilakukan terhadap 1351 dokumen berita berbahasa Indonesia dari situs www.suarapembaruan.com yang diambil pada bulan Januari 2004 sampai dengan bulan November 2004.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Naive Bayes Classifier merupakan metode yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Kinerja akan lebih baik jika metode ini diterapkan dengan stemming dibanding tanpa stemming walaupun selisih kinerja keduanya tidak terpaut jauh yaitu sekitar 3,87%. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukan bahwa kinerja metode ini dipengaruhi oleh jumlah dokumen pembelajaran. Semakin banyak dokumen pembelajaran yang digunakan, maka akan semakin tinggi tingkat keakuratan metode ini. Hal ini terbukti dari uji coba kombinasi stemming dengan proporsi dokumen pembelajaran 90% yang mampu mencapai kinerja tertinggi selama penelitian yaitu recall sebesar 93,5%, precision 94,125% dan F-measure 93,81%. Hal menarik yang terjadi adalah akurasi masih tetap relatif tinggi walaupun dokumen pembelajaran secara ekstrim dikurangi menjadi 10%. Hal ini ditunjukan dengan recall sebesar 89,82%, precision 90,36% dan F-measure 90,1%.
Pada penelitian ini juga mengamati apakah Naïve Bayes Classifier merupakan metode klasifikasi yang stabil. Hal ini diteliti dengan membandingkan kinerja sistem terhadap banyaknya jumlah kategori dalam klasifikasi. Hasilnya ternyata jumlah kategori tidak mempengaruhi kinerja metode ini. NBC merupakan metode yang stabil jika dilihat dari segi kuantitas kategori."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsyian Rizki Pratama
"Telur ayam kampung atau telur ayam buras adalah telur ayam umum dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai makanan biasa atau juga sebagai obat. Pengklasifikasian kualitas telur ayam kampung. Dilakukan untuk dapat membedakan telur yang layak konsumsi dan tidak layak konsumsi. Beberapa penelitian serupa menggunakan Arduino dan sensor photodioda untuk melakukan klasifikasi, selain itu juga ada beberapa penelitian yang menggunakan machine learning untuk membedakan jenis telur. Dari penelitian yang telah di lakukan dilihat bahwa akurasi masih kecil, dan dirasa masih bisa di ditingkatkan. Dalam penelitian ini dibuat sistem klasifikasi kualitas telur ayam kampung dengan menggunakan algoritma you only look once (YOLO) versi 4. Data set yang digunakan pada penelitian ini berupa data set dari 4 kategori kondisi telur atau 4 class antara lain telur baik, busuk, fertil, dan telur retak. Data set diakuisisi dengan disinari dengan lampu led yang diberikan tegangan 12V pada kotak akuisisi, dan citra ditangkap dengan webcam Logitech c270. Dari pelatihan data set citra telur ayam kampung dihasilkan akurasi sebesar 96.76% di pengujian pada validation set dan sebesar 95.26% pada test set. Dari kasus pendeteksian kualitas telur ayam kampung dengan deep learning berbasis algoritma YOLOv4 ini memungkinkan adanya pengembangan lebih lanjut.

Local breed chicken eggs or local breed chicken eggs are chicken eggs that are commonly consumed by Indonesian people as ordinary food or also as medicine. Classification of local breed chicken egg quality. This is done to be able to distinguish eggs that are suitable for consumption and not suitable for consumption. Several similar studies used Arduino and photodiode sensors to carry out classification, besides that there were also several studies using machine learning to distinguish types of eggs. From the research that has been done, the accuracy is still small, and it is felt that it can still be improved. In this research, local breed chicken egg quality classification system was created using you only look once (YOLO) version 4 algorithm. The dataset used in this study was a data set of 4 categories of egg conditions or 4 classes including good eggs, rotten, fertile, and cracked eggs. The dataset was acquired by irradiating it with a led lamp supplied with a 12V voltage on the acquisition box, and the image was captured with a Logitech c270 webcam. From the local breed chicken egg image dataset training, an accuracy of 96.76% was obtained in the validation set test and 95.26% in the test set. From the case of detecting local breed chicken egg quality with deep learning based on the YOLOv4 algorithm, it allows for further development.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricki Hendriyana
"The NTIS classification system has simpler notation than DDC. It does not recognize supporting table so that it can determine the notation faster. The number of the main class in NTIS classification system is 39 while DDC is 10. NTIS is most suitable for special libraries in the field of technology such as the Agency for the Assesment and Application of Technology (BPPT) since the system has a more specific technology subject. DDC is also effective for collection data exchange since 2010, referring that generally libraries in Indonesia has not recognized NTIS. Both systems actually have its advantages and disadvantages. In determining notations, both NTIS and DDC use the same initial step that is to determine the collection subject. NTIS is faster especially in handling technology subject. It is also more specific in referring technology subject. The number of the main class in NTIS is 39 while DDC is 10. Both systems have index. NTIS does not have supporting table while DDC has. NTIS uses a simpler notation because it uses only 2 digits. According to a key informant, the NTIS classification system does not recognize supporting table. In terms of notation search, NTIS's scheme is faster because it uses limited classification numbers. Index is mostly used for determining classification notation. Index in both systems is a clue represented in a systematically arranged letters. In NTIS, it can be figured out that subjects on technology is more specific yet in some certain categories is not as detail as DDC."
Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012
020 VIS 14:3 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Putri Apriza
"Epilepsi merupakan penyakit kronik dengan gejala yang cukup khas yaitu adanya bangkitan kejang tanpa pemicu. Angka prevalensi epilepsi tergolong tinggi di Indonesia dan hal ini merupakan masalah yang harus segera diatasi. Selain itu, epilepsi pada anak dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan. Salah satu pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis klasifikasi epilepsi yang tersedia saat ini adalah EEG yang memberikan gambaran pola gelombang spesifik tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dianalisis hubungan antara epilepsi pada anak dengan gambaran EEG serta perkembangan anak. Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan menggunakan data sekunder rekam medik dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 1995-2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 115 anak (61,5%) dengan klasifikasi epilepsi simtomatik, 105 anak (56,1%) dengan gambaran EEG abnormal, dan 96 anak (51,3%) dengan perkembangan terlambat. Dari hasil analisis hubungan antar variabel menggunakan Chi-Square, terdapat hubungan bermakna antara perkembangan anak dengan klasifikasi epilepsi (p<0,001) disertai dengan hubungan bermakna antara aspek perkembangan yaitu motorik kasar (p<0,001), sosial personal (p=0,024), dan bahasa (p<0,001) tetapi tidak ada hubungan bermakna antara aspek motorik halus terhadap klasifikasi epilepsi.Tidak ada hubungan bermakna antara gambaran EEG secara umum dengan klasifikasi epilepsi tetapi terdapat hubungan bermakna antara adanya gambaran epileptiform multifokal (p=0,018) dan nonspesifik (p=0,015) terhadap klasifikasi epilepsi.

Epilepsy is a chronic disease with typical symptom, seizure without provocation. The prevalence of epilepsy in Indonesia can be classified as high which creates another health problem to overcome. Furthermore, epilepsy in children may cause variety of development impairment. EEG is one of the current available examination to diagnose the classification of epilepsy through specific wave pattern findings. Therefore, this study is determined to analyze the association between epilepsy in children with EEG recording and child development. This study is a cross-sectional study using secondary data from Child Health Department of RSUPN Cipto Mangunkusumo medical records from 1995-2010.The result of the study shows that 115 subjects (61,5%) has symptomatic epilepsy, 105 subjects (56,1%) with abnormal EEG finding, and 96 subjects (51,3%) with delayed development. After performing Chi-Square test, there is a significant association between child development and epilepsy classification (p<0,001)followed by significant association between gross motoric (p<0,001), social personal (p=0,024), and language (p<0,001), however there were no association between gross motoric and epilepsy classification.There were no association between EEG recording with epilepsy classification,however there were a significant association between multifocal epileptiform finding (p=0,018) and nonspecific wave finding (p=0,015) to classify epilepsy
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryatul Qiptiah
"Tesis ini disusun untuk mengetahui korelasi antara derajat kebiasaan merokok dengan Arus Puncak Batuk, Arus Puncak Ekpirasi dan kekuatan otot kuadriceps pada laki-laki dewasa muda perokok aktif. Penelitian menggunakan desain uji potong lintang (crosssectional). Subjek penelitian merupakan pasien laki-laki keturunan asli Indonesia, perokok tembakau aktif minimal 6 bulan, usia 18-40 tahun, tidak obesitas dan memiliki kekuatan otot ekstremitas bawah dengan penilaian MRC 5 tanpa ada riwayat kelemahan sebelumnya. Semua subjek (n=41) dilakukan penilaian derajat kebiasaan merokok berdasarkan Indeks Brinkman, pengukuran Arus Puncak Batuk (APB) dan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter serta pengukuran kekuatan otot kuadriceps dengan Hand-held dynamometer sesuai dengan prosedur di Poliklinik Departemen Rehabilitasi Medik RSCM Jakarta. Selain itu, dilakukan pengukuran fungsi respirasi menggunakan Spirometri. Hasil keluaran penelitian ini berupa derajat kebiasaan merokok subjek, yaitu 27 perokok ringan dan 14 perokok sedang, serta didapatkan nilai APE, APB, dan kekuatan otot kuadriceps. Selain itu berdasarkan hasil spirometri didapatkan 3 subjek dengan gangguan obstruksi, 1 subjek gangguan restriktif dan sisanya dalam batas normal. Pada karakteristik pekerjaan, didapatkan terbanyak pada kategori manual (58,5%), diikuti non-manual (24,4%) dan bidang jasa (17,1%). Analisa statistik uji korelasi Spearman dilakukan untuk menilai korelasi antara derajat kebiasaan merokok dengan nilai APB, APE dan kekuatan otot kuadriceps. Kesimpulan penelitian menyatakan bahwa terdapat korelasi bermakna secara statistik antara Indeks Brinkman dengan nilai APE, tapi tidak demikian pada nilai APB dan kekuatan otot kuadriceps. Rerata nilai APE pada subjek dewasa muda perokok ringan dan perokok sedang sebesar 429,76±76,89 L/menit dengan nilai p = 0,026. Sedangkan rerata nilai APB dan kekuatan kuadriceps masing-masing sebesar 445,61±73,38 L/menit dan 19,36±4,28 kg pada kaki kanan, serta 18,92±4,03 kg pada kaki kiri, tanpa ada korelasi yang signifikan. Penelitian lebih lanjut mencakup subjek perokok berat dan faktor level aktivitas fisik serta marker biomolekuler diperlukan untuk menilai dampak merokok terhadap fungsi respirasi dan kekuatan otot.

This thesis was aimed to determine correlation between the degree of cigarrette smokers to peak cough flow, peak expiratory flow and quadriceps muscle strength in young adults male active smokers. The design was cross-sectional. The subjects were Indonesian male, actively cigarette smoking for at least 6 months, aged 18-40 years, not obesity and had lower limb muscle strength with MRC value 5 and no history of weakness. All subjects (n=41) were assessed the degree of smoking habits based on the Brinkman Index, measurements of Peak Cough Flow and Peak Expiratory Flow with Peak Flow Meters and measurements of quadriceps muscle strength with a Hand-held dynamometer according to procedures at Polyclinic of the Medical Rehabilitation Department at the RSCM Hospital Jakarta. In addition, the respiratory function measurements were taken using Spirometry. The study results include the degree of smoking habits, 27 subject mild smokers and 14 subject moderate smokers, the value of peak cough flow, peak expiratory flow, and quadriceps muscle strength on both legs. Based on spirometry examination, there are 3 subjects with obstructive, 1 subject restrictive and the others within normal limits. Based on working type, the highest on manual category (58,5%), followed by nonmanual (24,4%) and services (17,1%). Statistical analysis was performed to assess the correlation between Brinkman Index with the three variables. The study concludes that the higher Brinkman Index value, the lower peak expiratory flow value, but not on the peak cough flow and quadriceps muscle strength results. The average peak expiratory flow value in young adult subjects with mild and moderate smokers was 429.76 ± 76.89 L/min with significant difference was obtained with p value = 0.026. While the average peak cough flow and quadriceps muscle strength were 445.61 ± 73.38 L / min and 19.36 ± 4.28 kg in the right leg, and 18.92 ± 4.03 kg in the left leg, with no significant correlation. Further research including heavy smoker subjects, evaluation of physical activity level and biomolecular markers is needed to assess the impact of smoking on respiration function and muscle strength"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Azzahra Erdison
"Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang mengalami banyak kejadian gempa bumi serta memiliki area penduduk yang lebih padat dibanding daerah lain di Indonesia. Dampak gempa bumi pada wilayah yang padat penduduk memiliki ancaman dan resiko yang lebih besar. Untuk memetakan daerah potensi bencana tersebut, dibutuhkan metode yang efektif, murah, dan efisien sehingga mampu mempercepat analisis mitigasi bencana. Metode memanfaatkan data mikrotremor seismik pasif untuk estimasi frekuensi resonansi, terutama pada lapisan sedimenter atau lapisan tanah di atas batuan dasar. Hasil yang diperoleh adalah area dengan indeks kerentanan terhadap kejadian gempa bumi. Akuisisi data dilakukan menggunakan Broadband Seismograph Trillium PH 120 pada 18 stasiun seismograf. Studi ini menggunakan 4 parameter, yaitu: parameter frekuensi natural (f0), amplifikasi tanah (A0), periode dominan (t0), dan indeks kerentanan tanah (Kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai frekuensi dominan tingkat menengah yang diperoleh adalah 0,11 - 11,88 Hz dengan identifikasi oleh batuan alluvial yang terdiri dari sandy-gravel, sandy hard clay, dan loam. Amplifikasi tanah didominasi oleh nilai klasifikasi sedang sebesar 1,4-6,21. Periode dominan dengan rentang nilai 0,09-8,59 s yang diidentifikasi oleh batuan alluvial yang terdiri dari hasil sedimentasi delta, top soil, maupun lumpur. Indeks kerentanan seismik bernilai tinggi dalam rentang 0,2-118,805. Untuk kecepatan gelombang geser hingga kedalaman 30 m (Vs30)di daerah tersebut memiliki rentang nilai 218-5000 m/s yang terdiri dari 3-4 lapisan. Dengan demikian, daerah penelitian tergolong dalam jenis tanah dengan frekuensi tinggi, dimana batuan penyusunnya berupa batuan tersier yang terdiri dari soil hasil pelapukan batuan vulkanik. Apabila daerah Jawa Barat mengalami kejadian gempa besar, maka akan menyebabkan resiko kerusakan yang cukup tinggi pada wilayah yang memiliki indeks kerentanan tinggi dan lapisan tanah yang tebal.

West Java is one of the areas that experiences many earthquakes and has a denser population area than other regions in Indonesia. The impact of an earthquake on a densely populated area has a greater threat and risk. To map these potential disaster areas, an effective, inexpensive, and efficient method is needed so as to accelerate disaster mitigation analysis. The Horizontal to Vertical Spectral Ratio method utilizes passive seismic microtremor data to estimate the resonance frequency, especially in the sedimentary or soil layer above the bedrock. The results obtained are areas with an index of vulnerability to earthquakes. Data acquisition was carried out using the Broadband Seismograph Trillium PH 120 at 18 seismograph stations. This study uses 4 parameters, namely: natural frequency parameter (f0), soil amplification (A0), dominance period (T0), and soil susceptibility index (Kg). The results showed that the mid-level dominant frequency values obtained were 0.11-11.88 Hz by identification by alluvial rocks consisting of sandy gravel, sandy hard clay, and loam. Soil amplification is dominated by moderate classification values of 1.4-6.21. The dominant period with a value range of 0.09-8.59 s identified by alluvial rocks consisting of delta sedimentation, topsoil, and mud. The seismic vulnerability index has a high value in the range 0.2-118.805. Then, for shear wave velocity to a depth of 30 m (Vs30) in that area, it has a value range of 218-5000 m/s consisting of 3-4 layers. Thus, the study area can be classified as a type of soil with high frequency, where the constituent rocks are tertiary rocks consisting of soil weathering of volcanic rocks. If the West Java area experiences a large earthquake, it will cause a fairly high risk of damage to areas that have a high vulnerability index and thick soil layers."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Multamia Retno Mayekti Tawangsih
"Penelitian Dialektologi pada berbagai bahasa daerah sudah berjalan selama 50 tahun di Indonesia. Reevaluasi terhadap konsep pemilah bahasa dan dialek untuk bahasa Nusantara perlu dilakukan. Berdasarkan kajian terhadap 129 penelitian dialektologi di seluruh Indonesia, terlihat adanya kecenderungan yang tinggi untuk menggunakan isoglos dibandingkan dialektometri maupun mata rantai pemahaman. Konsep pemilah berdasarkan mata rantai pemahaman, isoglos, maupun dialektometri tetap dapat digunakan untuk bahasa-bahasa nusantara. Dengan catatan, perlu modifikasi atau penyesuaian agar sesuai dengan situasi dan kondisi kebahasaan yang multilingual di Indonesia. Modifikasi untuk mata rantai pemahaman terutama untuk teknik pengujian, penentuan titik-uji serta titik-acuan, dan pemilihan teks. Modifikasi untuk isoglos terfokus pada penentuan kriteria derajat kemiripan bunyi dan kriteria pembuatan berkas isoglos. Modifikasi untuk dialektometri berkonsentrasi pada persentase pemilahan bahasa dan dialek.

Even today, there is disagreement among experts over how many languages and dialects there are in Indonesia. The methodological tools for classifying languages consist of mapping isoglosses, dialectometry, and measures of mutual intelligibility. The present article surveys the methodology used in N = 129 researches performed over the last 50 years and finds that researchers based their conclusions about languages and dialects predominantly on isoglosses while dialectometry and mutual intelligibility were much less used. It is also suggested that these three research methods be reevaluated in the light of the multilingual situation in Indonesia. We could possibly get better results with the isogloss method if we reconsidered the criteria for degree of sound similarity and the criteria for bundling isoglosses. For dialectometry, we should consider modifying the current percentages used to distinguish language-dialect divisions. For establishing mutual intelligibility, the factors that could be reassessed include techniques of testing, the procedures for choosing test-points and reference-points, and the criteria for choosing valid texts for testing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>