Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12419 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"West new Guinea (Irian Barat) adalah wilayah jajahan terakhir pemerintahan kolonial Belanda yang dikembalikan kepada Indonesia melalui resolusi 2604 Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah melalui perundingan panjangdan konfrontasi militer, (Trikora) di bawah tekanan Amerika Serikat dan Inggris...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Surabaya: FISIP-Unair, ...
MKP 18(2-3)2005
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Bahtiar Effendy
Jakarta: Galang Press, 2001
297.63 BAH m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
El-Affendi, Abdelwahab
Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS), 2001
297.272 AFF wt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Akram Dhiyauddin Umari
Jakarta: Gema Insani , 1999
361.61 AKR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Mayelly
"Dalam era reformasi hubungan komunikasi antara pemerintah, DPR dan masyarakat mengalami stagnasi kemacetan atau ketidakharmonisan itu akibat biasanya visi, isi dan interpretasi tentang arti sebuah negara demokrasi. Reformasi yang ingin memposisikan "Civil Society" dalam bingkai demokrasi diterjemahkan sebagai tindakan serba 'boleh'. Bahkan elite-elite politik pun tidak memiliki ofinitas bersama baik dengan sesama penyelenggara negara maupun dengan masyarakat pihak pentingnya suatu perubahan menuju negara yang lebih demokratis. Apalagi perbedaan kepentingan begitu tajam diantara elite-elite politik yang cenderung menanggalkan aturan main konstitusi (UUD 1945), maka tak heran pakar-pakar hukum ketatanegaraan juga ikut meramaikan polemik seputar sistem pemerintahan yang kita anut.
Di satu pihak, ada pakar hukum ketatanegaraan yang menyatakan Indonesia menganut sistem presidensial tidak murni. Artinya, presiden dipilih oleh MPR dan Presiden memiliki hak perogatif untuk mengangkat atau memberhentikan pembantu-pembantunya (menteri) Pasal 17, UUD 1945 hasil amandemen kedua. Sedangkan dilain pihak, ada anggapan bahwa UUD '45 menganut sistem parlementer tidak murni. Anggapan ini berangkat dari beberapa Pasal UUD '45 yang menyatakan setiap kekuasaan presiden harus mendapati persetujuan DPR. Bahkan, dalam interpretasi ini presiden harus dipilih langsung oleh rakyat, dan pembentukan kabinet harus berkonsultasi dengan DPR.
Nampaknya, interpretasi para pakar menimbulkan masalah tersendiri ketika pemerintah KH Abdurrahman Wahid kehilangan legitimasinya akibat sistem hubungan komunikasi antara lembaga tinggi dan tertinggi negara yang telah terbangun ditinggalkan. Padahal, dalam sistem hubungan itu telah terjalin komunikasi yang cukup efektif seperti terlihat dalam pasal-pasal UUD '45. Apalagi, dalam pasal-pasal tersebut cukup jelas otoritas atau kewenangan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara. Dari sinilah kemudian muncul penafsiran seakan legislatif sedang membangun proses "Check and Balanced" agar eksekutif tidak terlalu 'kuat' seperti di era orde baru yang cenderung Powerful. Proses hubungan komunikasi antar lembaga-lembaga tinggi dan masyarakat di era transisi ini memang tidak terlepas dari pengaruh kultur politik. Artinya, untuk mengubah proses sosialisai politik masyarakat diperlukan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan tingkah laku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal itu, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru.
Berangkat dari pemikiran di atas pertikaian pemerintah versus DPR, yang berimplikasi langgsung kepada masyarakat menjadi menarik ketika presiden bersikeras untuk mengeluarkan dekrit dan respon oleh MPR/DPR dengan segera melakukan Sidang Istimewa yang dipercepat. Tentu saja, kemacetan hubungan kemacetan hubungan komunikasi jadi di saat era reformasi menjaga konsolidasi demokrasi. Oleh karena itu, penulisan tesis ini akan meneliti lebih jauh subtansi masalah kemacetan hubungan komunikasi antara pemerintah dan DPR, serta implikasinya terhadap mesyarakat. Penelitian ini juga akan mengkaji peran media dalam pertikaian pemerintah-DPR yang disinyalir ikut memankan peran sehingga opini publik terbentuk untuk berpihak kepada salah satu kekuatan. Dan maksud mencari temuan-temuan dibalik pertikaian pemerintah versus DPR yang diduga ada perbedaan secara subtantif mengenai aktualisasi reformasi dan implementasi kekuasaan lintas pantai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Maluku - Irian Jaya, 1999
306.2 MEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Milki Amirus Sholeh
"Aktivitas dunia jawara memiliki ciri khas yang unik. Selain didukung oleh bentuk struktur sosiologis masyarakat Madura, para jawara melakukan banyak cara untuk mempertahankan diri dalam upaya perebutan legitimasi. Di Kabupaten Pamekasan, jawara dikenal dengan sebutan bhejing yang memiliki realitas unik dibandingkan dengan ciri-ciri jawara di kabupaten lain di Madura. Dilihat dari cara produksi simbol kuasa, terlihat usaha para bhejing agar tetap dianggap sebagai sosok berpengaruh. Di sisi lain, minimnya sarana budaya penunjang dan tekanan arus legitimasi kelompok sosial keagamaan membuat mereka secara kreatif dan aktif membentuk citra dan aktivitas yang acak. Melalui modal sosial yang ada seperti ketangkasan mengolah infomasi dan pertahanan diri, mereka berusaha membangun relasi kuasa dengan cara membentuk satu ruang ekosistem dan penampilan pengaruh yang beruba-ubah. Hal ini dianggap lebih efektif mengingat sempitnya sumber daya penghasilan di Pamekasan. Sumber daya sekecil apapun berpengaruh pada mode relasi kuasa bhejing kepada lingkungan di luarnya. Penelitian ini juga menyoroti etos hidup dan cara mereka dalam melakukan pendekatan kultural di bawah tekanan stigma sosial. Pada akhirnya penelitian ini melihat bhejing dalam melakukan kontestasi kultural dan resiliensi dengan sumberdaya yang mereka miliki.

Jawara's world activities have unique characteristics. In addition to being supported by the sociological structure of the Madurese society, the jawara carried out many ways to defend themselves in the struggle for legitimacy. In Pamekasan Regency, jawara is known as ‘bhejing’ which has a unique reality compared to the characteristics of jawara in other districts in Madura. Judging from the way the production of the power symbol, it can be seen that the “bhejing’ are trying to remain considered influential figures. On the other hand, the lack of supporting cultural facilities and the pressure of the legitimacy of religious social groups make them creative and active in forming random images and activities. Through existing social capital such as agility to process information and self-defense, they attempted to build power relations by forming an single ecosystem space and the appearance of changing influences. It is considered more effective given the limited income resources in Pamekasan. The slightest resource affects the mode of bhejing's power relation to the environment outside. This research also highlights their ethos of life and the way they approach culturally under the pressure of social stigma. In the end, this research looks at bhejing in conducting a cultural contestation and resilience with the resources they have."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>