Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145886 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Monika Anton Putri
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T36963
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Natalia
"Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusia, tetapi kadang-kadang takdir Ilahi menentukan lain. Sehingga berbagai usaha dilakukan untuk mempunyai anak, antara lain dengan cara mengangkat anak. Pada masa pemerintahan Belanda dahulu, penduduk Indonesia dibagi atas 3 golongan, yang diatur dalam Pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling. Pemerintah Belanda memberlakukan Staatsblad 1917 Nomor 129 yang mengatur tentang anak angkat untuk WNI keturunan Tionghoa. Staatsblad tersebut sekarang ini tidak lagi diperhatikan oleh Pengadilan di Indonesia karena tujuan pengangkatan anak adalah demi kepentingan kesejahteraan anak. Penulis ingin mengetahui pengangkatan anak dan kedudukan anak angkat menurut Penetapan Pengadilan Negeri, hak mewaris anak angkat setelah tidak diterapkannya Staatsblad 1917 nomor 129 oleh pengadilan, dan sikap notaris terhadap pengangkatan anak dan hak mewaris anak angkat tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan. Dalam pengumpulan datanya ditunjang dengan wawancara dengan beberapa narasumber yang terkait. Pengangkatan anak untuk WNI keturunan Tionghoa sudah tidak menggunakan Staatsblad 1917 Nomor 129 lagi karena pada saat ini sudah tidak ada penggolongan penduduk dan ketentuan dalam staatsblad tersebut bersifat diskriminasi, hal ini terlihat dalam Penetapan Pengadilan Negeri yang lebih menitikberatkan pengangkatan anak pada kesejahteraan anak tanpa perbedaan anak laki-laki atau perempuan. Kedudukan anak angkat adalah sebagai anak kandung dari orang tua yang mengangkatnya, maka anak angkat berhak mewaris dari orang tua yang mengangkatnya. Terhadap pengangkatan anak, para notaris masih mempunyai perbedaan sikap, yaitu ada yang menggunakan staatsblad tersebut dan ada yang sudah tidak menggunakannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T14585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadette Juliani
"Tesis ini membahas mengenai kewajiban Direksi sebagai organ Perseroan yang mempunyai tugas untuk melakukan kepengurusan Perseroan. Kewajiban Direksi tersebut terkait dengan kewajiban untuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) baik RUPS Tahunan maupun RUPS Lainnya sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang. Selain kewajiban Direksi dalam penyelenggaraan RUPS, tesis ini juga membahas mengenai peranan institusi peradilan dalam memberikan kepastian hukum terkait dengan permohonan Pemegang Saham Perseroan untuk melakukan pemanggilan sendiri RUPS karena Direksi tidak melaksanakan kewajibannya tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan secara deskriptif analisis melalui bahan-bahan kepustakaan dan analisa terhadap penetapan dan putusan institusi peradilan.
Hasil penelitian menyarankan agar Direksi tetap memenuhi permintaan Pemegang Saham yang meminta penyelenggaraan RUPS sebagai bagian dari hak Pemegang Saham. Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang untuk menetapkan permohonan Pemegang Saham dalam hal Pemegang Saham mengajukan permohonan penetapan pemberian ijin pemanggilan sendiri RUPS wajib memeriksa dengan cermat permohonan Pemegang Saham tersebut apakah sudah memenuhi persyaratan dan ada kepentingan yang wajar dari Pemegang Saham untuk menyelenggarakan RUPS tersebut.

This Thesis contains analysis of obligation of Board of Directors as an organ of a limited liability company to manage the company. Such obligation is related to conduct General Meeting of Shareholders (GMS) of the company, either Annual GMS or Extra-Ordinary GMS as mandated by the law. Besides analyzes the obligation to conduct GMS, this Thesis also analyzes the role of Court of Law institution in providing law assurance in relation with the right of shareholder of a company to by itself make convocation of/formal call for the GMS, in case the Board of Directors did not do that. This analysis is a legal normative analysis, which carried-out by descriptive analysis method to literature materials and analysis to decisions or verdicts of Court of Law.
Considering the result of this analysis, the Board of Directors should suggestively honor the right of shareholder who requested the GMS to be conducted. An authorized District Court is competent to examine if the request of shareholder has duly fulfilled all the requirements and if are there any normal interest of such shareholder in requesting the GMS."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27529
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Corietania Basri
"Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa seorang pria dan wanita yang hendak melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Bahwa macam atau corak aturan hukum kekayaan antara suami istri penting sekali artinya bagi pihak ketiga. Mengenai hal ini terkait dengan keberlakuan perjanjian perkawinan itu sendiri kepada pihak ketiga. Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga sejak perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Artinya perjanjian perkawinan yang telah dibuat harus disahkan dan dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan bersamaan dengan pencatatan perkawinan (dalam akta perkawinan) agar perjanjian perkawinan tersebut berlaku terhadap pihak ketiga. Timbul permasalahan dalam hal terjadi kelalaian dari para pihak suami istri untuk mencatatkan perjanjian perkawinan mereka pada waktu pencatatan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil dilakukan. Terutama dengan adanya kasus atau dimungkinkannya pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan setelah pencatatan perkawinan berlangsung sedangkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan seharusnya dilakukan bersamaan pada saat pencatatan perkawinan dilangsungkan. Skripsi ini membahas hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan, bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan dan dicatatkan pada saat perkawinan berlangsung terhadap pihak ketiga dan bagaimana upaya hukum pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah pencatatan perkawinan berlangsung. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Beberapa hal yang dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan seyogyanya hanya memuat hal-hal seputar hukum harta kekayaan perkawinan, perjanjian perkawinan yang tidak disahkan dan dicatatkan pada saat perkawinan berlangsung tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga dan agar suatu perjanjian perkawinan dapat disahkan dan dicatatkan setelah pencatatan perkawinan dilangsungkan maka dapat dilakukan upaya hukum pengajuan permohonan penetapan Pengadilan Negeri. Hal-hal yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan sebaiknya perlu diatur secara lebih jelas, pemerintah perlu mensosialisasikan pengaturan mengenai pengesahan perjanjian perkawinan untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat, dan batasan waktu sampai berapa lama permohonan penetapan Pengadilan Negeri masih dapat dilakukan sangat diperlukan untuk mengantisipasi penyelundupan hukum."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21537
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Manuella
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2009
S21539
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ina G. Mulatsih
"Keseriusan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan akan memgantarkan mereka pada suatu ikatan perkawinan untuk membentuk rumah tangga sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh masing-masing agamanya. Sejatinya seluruh agama mengajarkan agar perkawinan terjadi antara mereka yang seiman, namun perkembangan jaman tidak membatasi hubungan antara kedua manusia hanya karena berbeda agama. Hubungan cinta. Mellyana Manuhutu seorang perempuan yang beragama Kristen Protestan dengan Prakaca Kasmir yang Moslem menjadi halangan bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan karena berbeda agama, oleh karena itu mereka mengajukan surat permohonan ke Pengadilan agar dapat dikeluarkan penetapan atas ijin perkawinan berbeda agama. Penulis dalam menyeyelesaikan skripsi ini melakukan penelitian atas penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan tersebut, baik secara langsung yaitu melihat praktek dan efektifitas ijin perkawinan tersebut di lembaga yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan secara teori yaitu study perpustakaan guna mendapat data pendukung baik melalui undang-undang, peraturan , buku dan literature. Perkawinan berbeda agama bukanlah perkawinan campuran karena tidak mungkin mencampurkan dua aturan agama yang berbeda, oleh karena itu pengertian tersebut tidak dapat dimasukkan dalam UD No. 1 Tahun 1974 terutama pasal 57 tentang perkawinan campuran. Dalam peraturan perkawinan campuran Stb 18 98 No. 158 ditemukan yang mengatur bahwa perbedaan agama bukanlah menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 7 ayat (2)), sehingga. Majelis Hakim dalam membuat penetapan menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar pertimbangannya atas dikeluarkannya penetapan tersebut maka perkawinan dapat · dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat perkawinan dengan demikian perKawinan tersebut adalah "sah menurut hukum" maka akibatnya istri mengikuti hukum suami baik secara privat maupun publik. Karena perkawinan tersebut terjadi berdasarkan penetapan pengadilan, maka akibatnya jika muncul permasalahan dikemudian hari akan diselesaikan melalui Pengadilan, tidak berdasarkan agama suami- yang seharusnya diselesaikan di Pengadilan Agama karena suami seorang Moslem."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siregar, Riri Mela Lomika
"Skripsi ini membahas mengenai pengampuan atas anak (anak yang sudah dewasa menurut pasal 330 KUHPerdata), pun juga atas sesama anggota keluarga khususnya antara saudara sekandung. Bila salah satu anggota keluarga, yang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) pasal 433 tergolong orang yang patut diampu atau dikenal dengan sebutan Kurandus, (sakit otak, selalau dalam keadaan dungu atau mata gelap),maka anggota keluarga sedarah semendanya yang berhak mengajukan permohonan untuk itu. Anak yang sakit otak atau mengalami gangguan jiwa termasuk orang yang diampu dalam rangka memenuhi haknya. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah siapakah pihak-pihak yang paling berhak mengampu menurut KUHPerdata. Maka yang pantas menjadi Pengampunya adalah salah satu orang tuanya yang hidup terlama (pasal 434 KUHPerdata).
Terkait dengan apakah akibat hukum atas anak tersebut, maka kedudukannya sama dengan orang yang belum dewasa. Karena anak yang diampu adalah anak yang telah dewasa tapi tidak cakap mewakili dirinya sendiri untuk bertindak dalam lalu lintas hukum. Sehingga pengampu tadi bertugas dalam membantu melaksanakan, menggantikan ataupun mewakili Kurandus. Karena biasanya Pengampuan terkait dengan harta benda maka Pengampu dalam melaksanakan tugasnya diawasi oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai Pengampu Pengawas. Dari persetujuan Pengampu Pengawas inilah pengadilan mengeluarkan ijin untuk pemanfaatan harta benda milik ataupun atas hak waris Kurandus.
Begitu juga dengan masalah apakah Penetapan PN.Jkt.Sel Nomor 94/Pdt.P/2008/PN.Jkt.Sel dan Nomor 100/Pdt.P/2008/PN.Jkt.Sel telah sesuai dengan KUHPerdata. Peletakan seseorang dibawah pengampuan dan pengangkatan seorang pengampu harus melalui Penetapan Pengadilan. Pasal 433- 461KUHPerdata mengenai Pengampuan dan pasal-pasal tentang perwalian yang juga dipakai dalam Pengampuan telah diterapkan oleh hakim dalam Penetapannya. Penelitian diatas menggunakan metode penelitian deskriptifanalistis.
Dengan demikian yang berhak memohon pengampuan atas kriteria yang ada dalam pasal 433 diatas hanyalah keluarganya. Karena kurandus ditempatkan dalam keadaan belum dewasa sehingga dalam tindakan yang mempunyai akibat hukum tertentu ia dibantu oleh Pengampunya yang diawasi oleh Pengampu Pengawas baik sebelum atau sesudah pengadilan membacakan penetapan pengampuan.
Penelitian ini menemukan bahwa BHP jarang dipergunakan oleh Pengampu setelah sidang dipengadilan selesai. RUU BHP sebaiknya segera disahkan sehingga ada acuan hukum yang jelas dalam mengawasi Pengampu guna kepentingan Kurandus. Indonesia sudah selayaknya mempunyai peraturan produk nasional mengenai pengampuan.

The focus of this is about curatele due to relative. According to Article 434 Indonesian Civil Act, is the primarly person to take responsibility as custodian called curator from relative. A person with mental disorder, feeble person (Article 433) is the qualification that need custodian from curator, called curandus to support their life. The consequence is curandus disable to do legal act, the status of the curandus is similar with children. Therefore who?s to be the curator and what about the status of curandus in law will be the issue of this study.
Balai Harta Peninggalan (BHP) have obligation to supervise curator in curatele, because curatele usually connected to the curandus? affluence. BHP gives approval for curandus to get benefit from the affluence for curandus? daily needs. We can see in The Decree of South Jakarta State Court of Justice Number 94/Pdt.P/2008/PN.Jkt.Sel and Number 100/Pdt.P/2008/PN.Jkt.Sel) decision from judge affirm the status of curandus that they must helping by the curator to do legal act, and curator is their relative. This study use a descriptive-analytical research method. And the conclusions from this research are: only the relative of the curandus may invoke to ask decree from State Court Justice and curandus disable to do legal act. For proposition are curator should be pay attention to BHP according of prosedur on curatele and the elevation statute of BHP have to endorsement soon as possible.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S21526
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Mulyo Yanuar
"Perkawinan campuran adalah suatu perkawinan antara dua warganegara yang berbeda, dimana satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain warga negara asing. Calon suami istri sebelum atau pada waktu perkawinan atau suami istri setelah perkawinan, dapat membuat perjanjian kawin mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan mengenai harta kawin berupa hak atas tanah, tidak dapat berlaku surut terhadap hak atas tanah yang diperoleh sebelum adanya perjanjian kawin. Status hak atas tanah berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna, usaha, tidak dapat dipunyai atau dimiliki oleh warga negara asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagaimana jika hak atas tanah berupa hak guna bangunan yang diperoleh selama perkawinan campuran, dilakukan pemisahan harta berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam menjawab masalah tersebut, dipergunakan metode penelitian normatif, dengan mengkaji keabsahan perkawinan campuran,  subjek dan objek hak atas tanah dan waktu  hak atas tanah diperoleh, yaitu sejak atau sebelum  perkawinan campuran sah secara hukum. Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh sebelum perkawinan campuran sah, tetap merupakan milik pribadi masing masing suami istri, yang tidak dapat dijadikan objek pemisahan harta  Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh setelah perkawinan campuran sah, yang oleh undang-undang pokok agraria, dilarang dipunyai oleh warga negara asing melalui perkawinan campuran, tidak dapat dilakukan melalui pemisahan harta.

Mixed marriage is a marriage between two different citizens, where one party is an Indonesian citizen and the other is a foreign citizen. Prospective husband and wife before or at the time of marriage or husband and wife after marriage, can make a marriage agreement regarding property in marriage. Agreements for marriage in mixed marriages, which are made after the marriage takes place regarding the property of marriage in the form of land rights, cannot apply retroactively to the rights to land acquired prior to the marriage agreement. The status of land rights in the form of property rights, building use rights and usufructuary rights, business, cannot be owned or owned by foreign citizens either directly or indirectly. What if the land rights in the form of building usufructuary rights obtained during mixed marriages are carried out by the separation of assets based on court decisions. In answering the problem, normative research methods are used, by examining the validity of mixed marriages, the subject and object of land rights and when land rights are obtained, ie from or before a mixed marriage is legally legal. Marital assets in the form of land rights acquired before a mixed marriage are legal, still private property of each husband and wife, which cannot be the object of the separation of assets of married property in the form of land rights obtained after a legal mixed marriage, which is based on agrarian law, prohibited from being owned by foreign nationals through mixed marriages, cannot be done through the separation of property."
2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>