Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92702 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prittagustya Anggyani Permana
"Setelah keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) maka setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang yaitu PPAT. Hal ini disebutkan antara lain dalam peraturan pelaksanaan UUPA yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP 24/1997) tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 (PP 37/1998) tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Salah satu peralihan hak atas tanah yang harus dilakukan di hadapan PPAT adalah perjanjian hibah atau pemberian seseorang kepada pihak lain tanpa adanya imbalan. Dalam pembuatan akta hibah terkadang timbul suatu sengketa, karena ahli waris tidak menerima pewaris memberikan hibah kepada orang lain. Salah satu sengketanya, dimana sengketa tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan memberikan pertimbangan hukum bahwa hibah yang telah dilakukan oleh pewaris dengan pihak lain di hadapan PPAT adalah sah, karena ahli waris dalam gugatannya hanya mempermasalahkan mereka adalah ahli waris yang sah dari pewaris.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah praktik PPAT dalam perjanjian hibah sudah sesuai dengan PP 37/1998 serta peraturan-peraturan lainnya terkait dan untuk mengetahui bagaimana akibat dari peralihan hak atas tanah dalam perjanjian hibah yang dilakukan tanpa pembuatan akta PPAT. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan peranan PPAT dalam praktik hibah ditinjau dari PP 37/1998. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, artinya pendekatan yang mengutamakan tentang peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa peranan PPAT dalam praktik hibah sudah sesuai dengan PP 37/1998, karena dalam sengketa ini PPAT menurut Kantor Pertanahan setempat telah membuat akta Hibah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan untuk itu. Akibat dari peralihan hak atas tanah dalam perjanjian hibah yang dilakukan tanpa pembuatan akta PPAT menurut PP 37/ 1998 tidak akan memperoleh izin pemindahan hak dari Kantor Pertanahan dan Kepala Kantor Pertanahan akan menolak untuk melakukan pencatatan peralihan haknya.

After the enactment of the Agrarian Law Number 5 Year 1960, every land right transfer must be executed before an authorized Land Conveyancer. This provision is provided inter alia under Implementation regulations of the Agrarian Law Number 5 Year 1960, namely Government Regulation Number 24 Year 1997 regarding Land Registration and Government Regulation Number 37 Year 1998 regarding The Regulation on the Land Conveyancer Duties. One type of land right transfers that must executed before the Land Conveyancer is deed on grant of land right or land right transfer to someone without consideration. Sometimes there is a dispute in the process of the execution of the land right deed caused by any heirs that does not agree the said grant of land right to other party. The Supreme Court of Indonesia in one case held that any grant performed by the deceased to other party before the Land Conveyancer is legally valid for the heirs in their lawsuit dispute only the validity of their status as legal heir of the deceased.
The objective of this research is to get information whether the Land Conveyancer in practice has performed her duties in compliance with Government Regulation Number 37 Year 1998 and to get information in relation to legal consequences on the transfer of a land right performed without deed of Land Conveyancer. This research is based on analysisdescriptive, that is a research describing the role of Land Conveyancer in the practice of grant of land right in accordance to Government Regulation Number 37 Year 1998. the approach method used in this research is normativejuridical, means that the approach that weighs on the laws and regulations.
Based on the result obtained from the research, it is known that the role of a Land Conveyancer in the practice of grant of land right has been in accordance with Government Regulation Number 37 Year 1998, for in this the lawsuit Land Conveyancer according to the Land Registry Office has executed the deed of Land Right Deed in compliance with the applicable procedure. The legal effect of the transfer of land right in the grant of land right agreement performed without a Land Conveyancer deed according to Government Regulation Number 37 Year 1998 is that the Land Registry Office shall not give an approval to said transfer and the Chief of Land Registry Office shall deny to record the transfer of land right."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T23496
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Biyanda Rizky
"Peralihan hak atas tanah melalui perbuatan hukum hibah semestinya memenuhi syarat subjektif dan objektif dalam perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan ketentuan hibah dalam Pasal 1666 KUHPerdata, serta dituangkan ke dalam akta autentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT. Meskipun demikian masih ditemukan hibah yang tidak memenuhi syarat subjektif maupun objektif seperti kasus pada Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 25/PK/PDT/2018. Oleh karena itu masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang keabsahan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT berkenaan dengan hibah untuk mengalihkan hak atas tanah dari seorang isteri kepada suaminya, dan tanggungjawab PPAT dalam pembuatan Akta Hibah semacam itu. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan melalui studi kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT untuk mengalihkan hak atas tanah dari isteri kepada suaminya adalah tidak sah sehingga batal demi hukum karena tidak dipenuhinya syarat subjektif yaitu larangan pasangan suami isteri dalam melakukan hibah dan tidak dipenuhinya syarat objektif perjanjian yaitu mengenai kausa yang halal, dalam hal ini hibah tidak boleh menyalahi ketentuan perundang-undangan Pasal 1678 KUHPerdata tentang larangan hibah. Namun demikian hibah dari seorang isteri kepada suaminya dapat dilakukan apabila dibuat perjanjian kawin sebelum dilakukannya hibah. Adapun terkait tanggungjawab PPAT dalam pembuatan akta terkait hibah yang semestinya dilarang antara paasangan suami isteri adalah secara adminstrasi/kode etik berupa sanksi teguran dan peringatan tegas berdasarkan Pasal 6 Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Nomor 112/Kep-4.1/IV/2017 tanggal 27 April 2017. Apabila pemberian sanksi tersebut tidak dihiraukan oleh PPAT maka dapat diberikan sanksi berupa pemecatan.

The transfer of land rights through a grant legal act must fulfil the subjective and objective requirements in the agreement as outlined in Article 1666 of the Civil Code and the grant provisions in Article 1320 of the Civil Code. In addition, it must be documented in an authentic deed made by a Land Deed Official (‘PPAT’) as mandated in Article 2 of Government Regulation Number 37 of 1998 concerning Regulations on the Position of PPAT. However, there are still several grants that do not fulfil the subjective and objective requirements, such as the case in the Supreme Court Review Decision Number: 25/PK/PDT/2018. Therefore, the issue raised in this research is related to the validity of the Grant Deed made by PPAT regarding a grant to transfer land rights from a wife to her husband, and the responsibility of PPAT in making such a Grant Deed. This doctrinal legal research is conducted through a literature study to collect secondary data, which is then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be explained that the Grant Deed made by PPAT to transfer land rights from the wife to her husband is invalid so that it is null and void due to the non-fulfilment of subjective conditions, namely the prohibition of married couples in making grants and the non-fulfilment of the objective conditions of the agreement, namely regarding lawful causes. In this case, the grant must not violate the statutory provisions of Article 1678 of the Civil Code. As for the responsibilities of PPAT in making Grant Deeds, is administrative/code of ethics. The administrative responsibility/code of ethics of the PPAT related to the cancellation of the Grant Deed made by the PPAT is in the form of sanctions of reprimand and firm warning based on Article 6 of the Code of Ethics of the Association of Land Deed Officials Number 112/Kep-4.1/IV/2017 dated 27 April 2017. Moreover, if the sanction is ignored by the PPAT, the sanction can be given in the form of dismissal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julius C.Barito
"Tesis ini membahas mengenai sejauh mana kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam kasus Mangga Dua Court Apartemen, mengingat data yuridis pada Sertipikat Induk Hak Guna Bangunan Nomor 2981/Mangga Dua Selatan mengalami cacat hukum dikarenakan tidak adanya unsur Hak Pengelolaan yang ditampilkan pada Sertipikat. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan metode penelitian normatif dikarenakan menggunakan data sekunder sebagai alat pengumpulan datanya. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai hal apa yang harus diperhatikan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan Akta Jual Beli tanah yang berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) serta bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membantu Perhimpunan Penghuni Mangga Dua Court Apartemen agar dapat memperpanjang Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah Hak Pengeloaan (HPL) pada Mangga Dua Court Apartemen.
Hasil penelitian ini adalah dimana PPAT harus melakukan pengecekan pada Sertipikat Hak atas Tanah baik diatur maupun tidak diatur sebelum melakukan pembuatan Akta Jual Beli untuk menghindari adanya indikasi terdapat Hak Pengelolaan (HPL) pada tanah tersebut. Selain itu, langkah yang dapat digunakan untuk membantu Perhimpunan Penghuni Mangga Dua Court Apartemen agar dapat memperpanjang tempat tinggalnya adalah melalui beberapa tahap yakni permohonan rekomendasi pemegang Hak Pengeloaan (HPL), melakukan penghapusan hak melalui pembatalan hak, disertai dengan perubahan dengan pencoretan unsur-unsur Hak Guna Bangunan Nomor 2981/Mangga Dua Court Apartemen untuk diganti dengan Hak atas Tanah yang baru.

This thesis discusses the extent to which the authority of Official Land Deed Maker (PPAT) in the case of Mangga Dua Court Apartment, given juridical data on the parent certificate Right To Built Ground Number 2981/South Mangga Dua disability law because there is no substance of The Management Right Ground which is shown on the certificate. This research was conducted a qualitative study because using secondary data as a means of data collecting. Issues discussed is about what should be considered by Official Land Deed Maker (PPAT) to create The Deed Of Sale on Right To Built Ground which is standing on the Management Right Ground and how did the role of Official Land Deed Maker (PPAT) to assist residents associations of Mangga Dua Court Apartment in order to extend Built Ground which is standing on the Management Right Ground in Mangga Dua Court Apartment.
The result of research is Official Land Deed Maker (PPAT) had to check on the Land Right certificate both regulated and unregulated before create The Deed Of Sale to avoid any indication of there was the Management Right Ground on land. Other than that steps can be used to assist residents associations of Mangga Dua Court Apartment in order to extend the residence is through several stages that was need the application recommendations from holders of the Management Right, perform the removal of rights through cancellation rights accompanied by changes to the write off substances of Right To Built Ground Number 2981/South Mangga Dua to be replaced with a new land rights.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28983
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yasinta Chrisostoma I. L.
"Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang lalu digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah diatur bahwa dalam setiap peralihan hak atas tanah harus menggunakan formulir sesuai dengan bentuk yang telah ditetapkan. Formulir ini biasa dikenal dengan istilah blanko PPAT.Namun dengan terjadinya kelangkaan blanko PPAT beberapa tahun terakhir ini mengakibatkan segala kegiatan peralihan hak alas tanah menjadi terhambat. Kemudian Badan Pertanahan Nasional memberikan solusi untuk mengatasi kelangkaan blanko ini yaitu dengan mengeluarkan Surat Nomor 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 yang berisi :"memberikan kewenangan kepada Kepala Kanwil BPN Propinsi untuk membuat foto copy blanko akta PPAT dengan syarat di bagian kiri atas ditulis:disahkan penggunaannya dan ditandatangani oleh Kepala Kanwil BPN Propinsi atau pejabat yang ditunjuk Berta dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap halaman".
Beberapa masalah yang dikaji dalam penulisan tesis adalah. Bagaimana keabsahan akta PPAT yang dibuat di atas blanko PPAT yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak berwenang atau foto copy blanko yang dilegalisir dan bagaimana tanggung jawab PPAT atas akta yang dibuatnya oleh pihak yang tidak berwenang atau foto copy blanko yang dilegalisir.
Penulis meneliti masalah tersebut dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan empiris.Hasil penelitian memperlihatkan adanya pro dan kontra dalam masyarakat dan PPAT untuk menggunakan akta PPAT yang difoto copy dan dilegalisir oleh Kanwil BPN. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya Pemerintah berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam blanko akta PPAT ini agar permasalahan ini dapat diatasi secepatnya dan tidak dibiarkan berlarut-larut karena masalah kelangkaan blanko ini selalu terjadi setiap tahun dan di seluruh daerah Indonesia.

According to the Government Law No.10 year 1961 concerning Land Registration, which was subsequently replaced by the Government Law No.24 Year 1997, it is regulated that in every transfer of right of a land ownership, the concern party should use the form as had been already determined, often reffered as the blank form of the land certificate maker official (Blanko PPAT). However, the decreasing number of the form has caused burden to the land-ownership transfer activities. In responding this circumstances, the National Land Bureau provided a solution to overcome the problem, that is, by issuing the Verdict No.640-1884 dated July 31s` 2003. Ironically, there are plenty of such faked forms distributed among the people, issued by unauthorized parties (other than the one appointed by The National Land Bureau), in this case referring to the State Money Printing Company (PERURI).
The problems to be addressed in this thesis are as follow: how's the validity of the certificate made on a form issued by an unauthorized party, or a photocopied form which is legalized, and how is the responsibility of the official in facing the certificate made by unauthorized party,m or the legalized photocopied form?
The researcher applies the normative-empiric legal research method, and the result shows that the certificate made by unauthorized party is not valid according to the law, and thus, such a certificate is cancelled for the sake of law. Meanwhile the official made it is considered responsible for anything contain in the certificate, and for all possibilities could occur in the future. To solve this problem, it is necessary, that the government cooperates with the parties concerned with the form immediately and without much time letting such cases happen in other occasion, particularly recalling that the problem (the lack number of the forms) always happens annually throughout Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilmi Zaiyin Zahreini
"Pemekaran wilayah kantor pertanahan di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah pemecahan Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022, dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat, khususnya terkait peralihan hak atas tanah yang mesti didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Pemekaran wilayah ini dalam kenyataannya merubah daerah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sehingga meskipun PPAT dapat membuat akta akan tetapi akta tersebut tidak dapat didaftarkan karena berada di luar wilayah kantor pertanahan yang dipilihnya. Penelitian ini menganalisis implikasi hukum pemekaran wilayah kantor pertanahan terhadap daerah kerja PPAT dalam rangka peralihan hak atas tanah melalui kegiatan pendaftaran tanah di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Selain itu menganalisis pembuatan akta oleh PPAT terhadap bidang tanah yang masuk ke dalam wilayah daerah yang dimekarkan. Penelitian hukum ini berbentuk nondoktrinal dengan mengumpulkan data primer melalui wawancara terhadap beberapa narasumber yang relevan. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa implikasi pemekaran wilayah kantor pertanahan terhadap daerah kerja PPAT adalah munculnya ketidakpastian hukum karena akta autentik yang dibuat untuk mengalihkan hak atas tanah oleh PPAT menjadi tidak dapat didaftarkan ke kantor pertanahan hasil pemekaran yang bukan merupakan pilihan PPAT sebagai daerah kerjanya. Adapun terkait pembuatan akta oleh PPAT terhadap bidang tanah yang masuk ke dalam wilayah pemekaran daerah harus dilakukan secara cermat dan hati-hati melalui pengecekan sertipikat dan selanjutnya disesuaikan dengan data dan informasi terbaru. Apabila dalam kenyataanya akta tersebut tidak dapat didaftarkan oleh PPAT ke kantor pertanahan setempat karena daerah kerja PPAT tidak termasuk wilayah kantor pertanahan itu maka PPAT harus menyarankan kepada pihak yang hendak membuat akta untuk menghubungi PPAT yang berwenang sesuai dengan wilayah kantor pertanahan setelah pemekaran.

The territorial expansion of land offices in Indonesia, which includes the division of the Bogor Regency Land Office in West Java Province based on the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency of the Republic of Indonesia Regulation Number 12 of 2022, is intended to improve public services, particularly concerning the transfer of land rights that must be registered at the local land office. In practice, this territorial expansion alters the working areas of Land Deed Officials (PPAT), meaning that although a PPAT can create a deed, the deed cannot be registered if it falls outside the jurisdiction of the land office chosen by the PPAT. This study analyzes the legal implications of the territorial expansion of land offices on the working areas of PPATs in relation to the transfer of land rights through land registration activities in Bogor Regency, West Java Province. Additionally, it examines the creation of deeds by PPATs for land plots within the newly expanded regions. This legal research is non-doctrinal, collecting primary data through interviews with several relevant sources, while secondary data collection is conducted through literature studies. The collected data is then qualitatively analyzed. The analysis results indicate that the implication of the territorial expansion of land offices on the working areas of PPATs is the emergence of legal uncertainty. This is because the authentic deeds made to transfer land rights by PPATs become unregistrable at the expanded land offices that are not the PPAT's chosen working areas. Concerning the creation of deeds by PPATs for land plots within the expanded regions, this must be done carefully and meticulously by checking the certificates and aligning them with the latest data and information. If it turns out that the deed cannot be registered by the PPAT at the local land office due to the PPAT's working area not being within that land office's jurisdiction, the PPAT must advise the parties intending to create the deed to contact the PPAT authorized in accordance with the land office's jurisdiction after the territorial expansion"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Ahimsa Dwiputra
"Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam menjalankan jabatannya harus berhati-hati agar terhindar dari perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan dirinya sendiri dan PPAT lain, seperti dalam pembuatan Akta Jual Beli (AJB) yang berdasarkan perjanjian hutang piutang didasarkan surat kuasa mutlak sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 69/Pdt.G/2018/PN Bna. PPAT seharusnya paham bahwa surat kuasa mutlak tidak diperkenankan pada proses pemberian hak atas tanah sesuai dengan ketentuan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1982 dan Pasal 39 ayat (1) huruf d PP Nomor 24 tahun 1997 agar mencegah akta yang dibuatnya batal demi hukum, dan tidak merugikan pihak terkait ataupun PPAT lain. Persoalan mengenai bagaimana tanggung jawab PPAT atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan berdasarkan kuasa mutlak dan perlindungan PPAT Y yang terlibat atas AJB yang sebelumnya dibuat berdasarkan kuasa mutlak dihadapan PPAT lain menjadi dasar pembahasan penelitian ini. Guna mendapat jawaban atas kedua persoalan tersebut, sehingga metode penelitian yuridis normatif dilakukan melalui studi dokumen (kepustakaan). Adapun tipologi penelitian ini adalah eksplanatoris. Data sekunder didapat dari studi dokumen yang dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil analisis bahwa PPAT IR terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum, dan dapat dimintakan pertanggung jawaban perdata dan administratif, sementara PPAT Y tidak terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum. Perlindungan bagi PPAT Y dapat dilakukan setelah pemanggilan oleh Majelis Kehormatan Daerah untuk memberikan keterangan sesuai dalam Pasal 9 Kode Etik IPPAT.

Land Deed Making Officials (PPAT) in carrying out their positions must be careful to avoid unlawful acts that can harm themselves and other PPATs, such as in the making of a Sale and Purchase Deed (AJB) which is based on a debt agreement based on an absolute power of attorney as stated in the Decision. District Court Number 69/Pdt.G/2018/PN Bna. PPAT should understand that absolute power of attorney is not allowed in the process of transferring land rights in accordance with the provisions of the Instruction of the Minister of Home Affairs Number 14 of 1982 and Article 39 paragraph (1) letter d of PP Number 24 of 1997 in order to prevent the deed he made is null and void, and does not harm related parties or other PPATs. The issue of how PPAT is responsible for unlawful acts committed based on absolute power and protection of PPAT Y involved in AJB which was previously made based on absolute power before other PPATs is the basis for the discussion of this research. In order to get answers to these two problems, so that the normative juridical research method is carried out through document studies (library). The typology of this research is explanatory. Secondary data obtained from the study of documents which were analyzed qualitatively. Based on the results of the analysis, PPAT IR is proven to have violated the law, and can be asked for civil and administrative responsibility, while PPAT Y is not proven to have violated the law. Protection for PPAT Y can be carried out after being summoned by the Regional Honorary Council to provide information in accordance with Article 9 of the IPPAT Code of Ethics."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alisangihe, Amelia Sonja
"PPAT adalah Pejabat Umum yang bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai perbuatan hukum tersebut, selain PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, maka PPAT hanya dapat membuat akta pemindahan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun setelah Wajib Pajak menyerahkan tembusan Surat Setoran Pajak Penghasilan (SSP) dan BPHTB (SSB). Pokok permasalahan yang diangkat penulis dalam penelitian ini adalah: Bagaimana prosedur pelaksanaan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPTHB)? dan: Apakah hambatan dalam penagihan Pajak Penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif; data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka berupa studi dokumen, dimana tipologi dalam penelitian ini bersifat evaluatif yakni menganalisa mengenai prosedur pelaksanaan pembayaran PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan BPTHB serta hambatan dalam penagihan PPh dan BPHTB bagi PPAT. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pembayaran PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan BPTHB hanya dapat melalui bank-bank tertentu yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dan meminta validasi terhadap bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ke Kantor Pelayanan Pajak yang telah ditunjuk membutuhkan waktu yang lama. Hal ini merupakan salah satu hambatan bagi PPAT untuk melakukan pendaftaran ke Kantor Pertanahan, sehingga PPAT menyerahkan dokumen-dokumen untuk pendaftaran terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan, kemudian menyerahkan tembusan SSP dan SSB setelah mendapat validasi.

Land Deed Official is the General Official, who has duty to perform part of Land Registration Activities by iss uing deeds as legal proof of certain lawful acts conceming land and ownership rights on property, which will be used as Standard for land registration amendment resulting from such acts. Before issuing the deeds conceming such acts, official other than Land Deed Official, shall assess the actuality of the land and ownership rights certificate to the Land Office, afterwards Land Deed Official may issue the deed after the Taxpayer has submitted a copy of Tax Payment Slip (SSP) and Acquisition Duty of Right on Land and Building Payment Slip (SSB). The main issue that the writer desires to bring to this research is: what is the procedure of Income Tax Payment in respect of the Transfer of Right on Land and/or Building and Acquisition Duty of Right on Land and Building (BPHTB)? and: what is the barrier to land deed official in collecting income tax relating to such issue?. This research constitutes juridical normative research; using a secondary data obtained through materials such as documents. The typology in this research is evaluative, that is to analyze procedures of Income Tax Payment in respect of the Transfer of Right on Land and/or Building and Acquisition Duty of Right on Land and Building (BPHTB) and the barrier in collecting income tax by Land Deed Official relating thereto. By doing this research, it can be concluded that the payment of Income Tax in respect of the Transfer of Right on Land and/or Building and Acquisition Duty of Right on Land and Building (BPHTB) can only be made through certain banks appointed by the Directorate General of Taxation, and validation from the Tax Office generally takes a long period. This is one of the barriers to Land Deed Official in registering land to land Office, causing the copy of validation tax Payment Slip has to be submitted later after relating documents have been submitted."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26450
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nyimas Jasmine Rachmania
"Penelitian ini mengenai peralihan hak atas tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Peralihan hak atas tanah ini terjadi karena jual beli. Berdasarkan pada Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, hak atas tanah yang menjadi objek jual beli tersebut dapat dialihkan secara sempurna dengan dilakukannya pencatatan perubahan kepemilikan hak atas tanah. Akta PPAT sebagai alat bukti bahwa telah terjadi peralihan hak dari pemegang hak kepada pemegang yang baru. Permasalahan yang diangkat mengenai kekuatan pembuktian kuitansi dan keterangan saksi dalam peralihan hak atas tanah; dan keabsahan peralihan hak atas tanah yang dilakukan tanpa akta PPAT berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 6/Pdt.G/2019/PN.Cms. Metode penelitiannya yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian yakni kuitansi dan keterangan saksi dapat menjadi alat bukti yang kuat dalam persidangan peralihan hak atas tanah tanpa akta PPAT; peralihan hak atas tanah sah karena memenuhi syarat sah perjanjian dan asas jual beli dalam hukum adat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kuitansi diakui sebagai alat bukti dengan kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dan keterangan saksi bisa menjadi alat bukti; keabsahan peralihan hak atas tanah yang dilakukan tanpa akta PPAT disebabkan pihak tidak lengkap dapat diterima kuitansi sebagai bukti telah terjadi peralihan hak atas tanah. Saran adalah peralihan hak atas tanah karena jual beli sebaiknya dilakukan dengan akta PPAT, namun jika tidak terdapat akta PPAT, pencatatan perubahan kepemilikan hak atas tanah dapat dilakukan berdasarkan Pasal 37 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 dengan dasar kuitansi yang dikuatkan dengan putusan hakim.

This research discusses the transfer of land rights which done without deed by Official Conveyancer. The transfer of land rights which referred in this research is the transfer of land rights due to sale and purchase which must comply the provisions in Article 37 paragraph (1) Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration in order to legally transferred the rights of the land. The Deed by Official Conveyancer (OLC) which serves as evidence that there has been a transfer of rights from the former land rights holder to the recent land rights holder. This research examines about: The power of evidence in form of receipts and testimony of witnesses in transfer of land rights and the legality of the transfer of land rights without a deed by OLC. This research uses normative research methods with problem identification research type. The research found receipts and testimony of witnesses are defensible to be provided as evidence before the judge in a trial of the transfer of land rights which done without the deed of OLC, the transfer of land rights considered legitimate due to the fulfillment of requirement of legal agreement and costumary law of sell and purchase. This research found that receipts and testimony of witnesses are acknowledged in power to be provided as evidence under a private deed; the validity of transfer of land which done without the deed of OLC caused by incomplete parties accepts receipts as evidence that the transfer of land right has been exercised.This research suggests in process of transferring land rights due to sale and purchase, agreements should been conducted with the deed of OLC. However, in the absence of the OLC deed, registration of altered conveyance can be referred according to Article 37 paragraph (2) Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration, available receipts which strengthen by The District Court Decree."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Rubowo
"Tenaga listrik mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan
untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta
kegiatan ekonomi. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan penyelenggarakan
usaha penyediaan tenaga listrik (bisnis ketenagalistrikan) dalam jumlah yang
cukup, merata, dan dengan mutu serta keandalan yang baik. Dalam bisnis
ketenagalistrikan, khususnya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU), tanah menjadi unsur yang sangat penting. Cara pengadaan tanah ada
beberapa macam dengan cara yang berbeda-beda. Dalam praktek pengadaan tanah
untuk PLTU tersebut peran PPAT/Notaris hanya pada akhir proses pengadaan
tanah dan pengadaan tanah tersebut sering menjadi permasalahan dikemudian
hari. Hal ini merupakan resiko yang seharusnya dapat dihindari apabila proses
tersebut dilakukan secara benar dan mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Oleh karena itu sebaiknya proses Pengadaan Tanah dilakukan
dengan mengikut sertakan PPAT/Notaris sejak awal proses Pengadaan Tanah
hingga selesai untuk menghindari atau meminimalkan resiko atas penyimpanganpenyimpangan
dan/atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh oknumoknum
yang tidak bertanggung jawab.

Electric power has an important role in the implementation of development to
work on improving the welfare and prosperity of the people and economic
activity. To realize the necessary arrangements for the electricity supply business
(business electricity) in sufficient numbers, evenly, and with good quality and
reliability. In the electricity business, particularly the construction of Steam Power
(power plant), the soil becomes very important element. How to land acquisition
there are several kinds with different ways. In the practice of land acquisition for
the projects, the role of PPAT / Notary only at the end of the process of land
acquisition and land acquisition is often a problem in the future. This is a risk that
could have been avoided if the process is done correctly and comply with laws
and regulations. Therefore should be done with the Land Acquisition process
includes PPAT / Notary since the beginning of the process of Land Acquisition to
complete in order to avoid or minimize the risk of irregularities and / or illegal
actions carried out by rogue elements who are not responsible.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T42713
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Giffari Yahya Muhammad
"Semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, muncul ketentuan-ketentuan baru yang belum diatur sebelumnya. Salah satu ketentuan baru tersebut adalah mengenai hak atas tanah pada ruang atas dan ruang bawah tanah. Tesis ini akan membahas mengenai bagaimana implementasi dari ketentuan baru tersebut dan bagaimana peran dan tanggung jawab notaris dan pejabat pembuat akta tanah terhadap ketentuan baru tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, ketentuan baru ini masih belum dapat diimplementasikan secara sempurna karena masih diperlukan penyesuaian peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan juga Notaris dan PPAT memiliki peran yang penting berkaitan dengan hak atas tanah pada ruang atas tanah dan ruang bawah tanah namun beberapa peraturan saat ini masih belum memadai sehingga diperlukan perubahan peraturan.

Ever since the promulgation of the Law Number 11 of 2020 regarding Job Creation, there are new provisions that have never regulated before. One of the new provisions regarding land rights on underground space and overground space. This thesis is about how those new regulations can be implemented and how the notary and the official certifier of title deeds involved and what is their responsibilities. This research conducted using the normative method. Based on the result of this research, the new provisions regarding land rights on underground space and overground space for the time being can’t be properly implemented. If the new provisions about to be implemented, there are a few regulations that needed to be amended. The regulations concerning Notary and Official certifier of title deeds also needed to be amended to accommodate the new provisions regarding underground space and overground space"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>