Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60470 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Widjanarko Baiin
"Tesis ini adalah tentang Organisasi Detasemen Khusus 88 AT dalam menghadapi teror bom bunuh diri Masalah penelitian ini untuk mengetahui apakah Densus 88 AT sudah dapat dikatakan sebagai suatu organisasi yang cukup efektif dalam menghadapi teror bom bunuh diri, apakah yang menjadi kendala-kendala eksternal dan internal Densus 88 AT dalam menghadapi teror bom bunuh diri serta bagaimanakah upaya-upaya untuk meningkatkan organisasi Densus 88 Anti Teror guna menjadi suatu organisasi yang lebih efektif. Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan sistem penerapan organisasi yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 AT dalam menghadapi teror bom bunuh diri di depan Kedubes Australia serta melihat efektifitas dari organisasi ini dibentuk hingga dimasa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menerapkan beberapa teknik pengumpulan data berupa pengamatan, wawancara dan kajian dokumen. Melalui eksplorasi data laporan satuan Densus 88 AT, penyelidikan dan penyidikan peledakan bom didepan Kedubes Australia dipadukan dengan data penelitian, serta memperhatikan literatur ilmiah empiris dengan masalah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan organisasi Densus 88 AT belumlah efektif karena sejak dibentuknya pada tanggal 30 Juni 2003 dan tugas pokok yang dimilikinya ternyata fakta yang ada masih terjadi teror bom bunuh diri sebanyak tiga kali pertama peledakan bom di depan hotel JW. Marriot, Jakarta, kedua peledakan bom di depan Kedubes Australia (Sabtu, 9-9-2004, 10.00 WIB ) Jln. HR. Rasuna Said kuningan Jakarta-selatan, dan yang ketiga peledakan Born Bali I! ( Sabtu, 1-10-2005, 19.45 WITA ) dan faktor internal yang dimiliki oleh Densus 88 AT seperti kekuatan dan kelemahan masih cukup lemah dibandingkan dengan faktor eksternal yaitu ancaman dan peluang, sehingga satuan ini belum efektif. Dihasilkan empat langkah kebijakan strategi dalam meningkatkan efektifitas Densus 88 AT yaitu pertama strategi SO (strengths & opportunies) yaitu dengan menggunakan para perwira yg terbaik untuk membongkar jaringan teroris, mendapatkan bantuan dari negara lain, sesuai yang dibutuhkan oleh Densus 88 AT seperti "DF"(Detection Finder), Studi Banding antara personel Densus 88 AT guna sebagai perbandingan bagaimana satuan-satuan yang ada di luar negeri dalam melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan dalam menghadapi ancaman teror bom bunuh diri. Kedua strategi WO (weaknesses & opportunies) ,meningkatkan jumlah personel yg sekolah, latihan atau pendidikan kejuruan guna tingkatkan kemampuan Mencari keterangan dan alat bukti yg lebih banyak dan pelaku pengeboman dalam melakukan aksinya sebagai bukti dipersidangan. Lebih meningkatkan pembinaan dan komunikasi dengan masyarakat guna banyaknya informasi, berencana membentuk Subden Pusat Data Born. Ketiga strategi ST (Strengths & Treaths) yaitu dengan meningkatkan pengejaran para pelaku pengeboman dan kelompoknya ataupun orang-orang yang terlibat membantunya yang belum tertangkap. Meningkatkan penjelasan mengenai keberhasilan Polri kepada masyarakat melalui Div Humas. Keempat strategi WT (Weaknesses & Treaths), yaitu dengan membatasi personel baru masuk ke dalam organisasi Densus 88 AT guna menghindari personel baru yang tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi. Membatasi ketergantungan kepada alat "IT" tetapi dapat menggunakan kemampuan personel secara komitmen yang baik."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24326
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Trisdamayanti
"Pelaku serangan teror bom bunuh diri meyakini bahwa dirinya sedang melaksanakan aksi yang dianggap mulia. Sesungguhnya kelompok yang memiliki motif ideologi agama senantiasa membangun persepsi positif pada anggota kelompok mengenai serangan teror bom bunuh diri. Persepsi tersebut dibangun secara sistematis dengan merujuk pada atribut-atribut yang bersifat totemik, seperti ‘syahid’, ‘jihad’, ‘thaghut’, ‘mujahidin’’, ‘polisi Tuhan’, ‘singa-singa Allah’ untuk menjustifikasi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok. Hal tersebut melatarbelakangi analisis dalam kaitan dengan perspektif totemik di dalam penelitian ini. Dari 23 kasus yang terjadi di Indonesia, penelitian ini memerinci enam serangan teror bom bunuh diri, didasari oleh transformasi yang terjadi, yaitu transformasi target, kelompok, bahan baku bahan peledak yang digunakan, dan pelaku serangan. Data penelitian ini diperoleh dari studi dokumen, data kepolisian, dan wawancara dengan 15 narasumber. Para narasumber ini terdiri atas anggota kepolisian, pamong lembaga pemasyarakatan, anggota kelompok, perekrut di dalam kelompok, dan pelaku serangan teror bom bunuh diri. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan diproses menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik triangulasi data, untuk menghindari potensi terjadinya bias. Hasil penelitian mengidentifikasikan bahwa motivasi individu, kelompok, dan lingkungan masyarakat telah mendorong individu menjadi pelaku serangan teror bom bunuh diri. Pada tataran kelompok, otoritas di dalam kelompok memperkenalkan konsep tauhid dan ideologi kelompok, lalu menggiring individu agar patuh dan taat kepada otoritas, sehingga terciptalah kepatuhan buta. Individu kemudian digiring menjadi pelaku serangan, dengan cara diperkenalkan pada konsep keutamaan dari bom bunuh diri, demi memperoleh imbalan di dalam agamanya, imbalan bagi dirinya, dan imbalan dalam tataran sosial, sebagai bentuk pilihan yang rasional dan logis.

Suicide bombers believed that their actions were such an honourable ones. Groups with religious ideological motive tend to build a systematic, positive perception, on suicide terrorism to their members, referred to totemic attributes such as ‘syahid’, ‘jihad’, ‘thaghut’, ‘mujahedeen’, ‘police of God’, ‘lions of God,’ in order to justify their actions. These are background of this study. Among a total of 23 suicide bombing incidents occurred in Indonesia, this study analyzes six cases- based on their transformations, from the perspectives of target, group that masterminded the attacks, explosives that being used, as well as perpetrators who performed such attacks. Data are collected from previous studies, police reports, and interview sessions with 15 sources, which include police personnel, prison’s case manager, group members, recruiters of dedicated-suicide bombers, and the surviving designated-bombers. These data are then analyzed and processed using qualitative approach with triangulation techniques, in order to prevent bias. Result of this study shows that individual, group, and social motivational factors have transformed individual into a suicide bomber. In the group level, authorities to approach concepts of ‘tauhid’ (the belief in Allah as the one and only God) and group’s ideology, then followed by introduction to the obedience to the authorities. Such concept would then bring the individual into a blind obedience’ state of mind. A virtue of a martyrdor bombing is provided as the next lesson plan that an individual will learn, as rational and logical options, in order to gain religious rewards, personal rewards, and social rewards."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Abimanyu
Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005
303.625 Abi t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Wijaya, 1944-
Jakarta: Pustaka Jaya, 1991
899.221 PUT t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Abimanyu
Jakarta: Republika, 2006
303.625 BAM t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Yosita Perdana
"Tindak pidana terorisme yang berkembang di Indonesia tidak hanya ditangani dengan upaya represif, tetapi juga dengan deradikalisasi. Metode deradikalisasi bertujuan untuk mengubah paham radikal menjadi paham non radikal dan normal. Teori yang digunakan dalam penulisan ialah Teori Motivasi Kebutuhan, Teori Tindakan Sosial, Konsep Manajemen, dan Analisis SWOT. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan kualitatif. Deradikalisasi membutuhkan peran dari instansi terkait seperti Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Komunitas Sosial. Disarankan agar Densus 88 Anti Teror dapat memaksimalkan pengimplementasian metode deradikalisasi baik kepada narapidana teroris maupun keluarga narapidana teroris sehingga terorisme di Indonesia semakin berkurang.

The growing crime of terrorism in Indonesia is not only dealt by repressive efforts, but also by deradicalization. The deradicalization method aims to convert radical to non-radical and normalism. Theories used in this thesis is the Theory of Motivation Needs, Social Action Theory, Management Concepts, and SWOT Analysis. The approach used is qualitative approach. Deradicalization requires the role of relevant agencies such as Correctional Institution, Ministry of Religious Affairs, the National Agency for Counter-Terrorism, and the Social Community. It is recommended that Special Detachment Anti-Terror can maximize the implementation of deradicalization methods both to terrorist prisoners and families of terrorist prisoners so that terrorism in Indonesia is diminishing."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pensil-324 , 2002
364.1 BOM (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Viora Andari Yasman
"Terorisme merupakan sebuah permasalahan yang selalu menarik perhatian banyak orang. Kerusakan secara materiil bahkan hingga terancamnya nyawa seseorang menjadi hal yang tidak luput dari peristiwa terorisme. Tidak hanya skala kecil, terorisme juga menjadi ancaman untuk skala Internasional. Terbentuk dalam jaringan besar yang bergerak secara diam-diam, kelompok yang memiliki pemikiran dan tujuan ekstrimis ini menjadi salah satu musuh berbahaya di setiap negara. Tragedi pemboman yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia membuat pemerintah harus berfikir tepat dalam melakukan upaya dalam menghadapi kasus terorisme. Tidak hanya undang-undang, bahkan pemerintah juga membentuk suatu badan yang khusus menangani kasus terorisme. Perubahan alur dalam pembentukan undang-undang menjadi pewarna dalam usaha pemerintah untuk menghadapi kasus terorisme. Hal ini pun melahirkan sebuah pertanyaan mengenai seberapa besar efektivitas yang dihasilkan dari upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini dan juga mengenai penerapan penegakan hukum yang ideal berdasarkan UU No.5 Tahun 2018 yang dilakukan oleh POLRI. Berawal dengan dibentuknya Perppu No.1 Tahun 2002 yang membahas akan kasus terorisme dari segi hukum, nyatanya tak menghentikan pergerakan kelompok ekstrimis di Indonesia. Hal ini pun menjadi bahan evaluasi untuk disahkannya Perppu tersebut menjadi UU No. 15 Tahun 2003. Diharapkan menjadi payung hukum yang sah dan menjadi senjata mutakhir dalam menghilangkan terorisme, tak menjadikan UU ini cukup efektif dalam pelaksanaannya. Dengan segala diskusi dan pembahasan, pada akhirnya disahkanlah UU No.5 Tahun 2018 yang hingga saat ini menjadi aturan utama dalam kasus terorisme di Indonesia. Tak selalu berjalan mulus, UU yang disebut sebagai Security Act dan juga Patriot Act yang dalam pelaksanaannya sering mendapat kecaman karena ketidak sesuaiannya dengan Hak Asasi Manusia. Dalam penelitian ini, fokus masalah akan dibahas dengan metode penelitian hukum dengan kajian hukum normatif, empiris dan implementasi. Penelitian ini juga menggunakan teori efektivitas hukum, implementasi hukum dan tujuan hukum yang dikolaborasikan dengan hasil wawancara dan data lainnya hingga menghasilkan analisa data. Sebagai kesimpulannya, ditemukan bahwa dengan proses perubahan pada aturan dan perundang-undangan mengenai kasus terorisme telah menghasilkan perubahan yang signifikan sebagai upaya dalam menghadapi kasus terorisme. Meskipun beberapa upaya teror masih tetap dilakukan di sejumlah wilayah, namun upaya yang dilakukan Densus 88 dalam menangkap sejumlah tersangka yang tergabung dalam kelompok radikal menunjukan perubahan yang signifikan. Hal ini tentunya membantu dalam mengurangi upaya terjadinya peristiwa terorisme. Dengan disahkannya UU No.5 Tahun 2018 yang memberikan wewenang kepada pihak kepolisian untuk melakukan upaya preventif sebagai pencegahan kasus terorisme, memberikan keleluasaan atas penanganan kasus terorisme. Upaya preventif yang dapat dilakukan sebelum terjadinya kasus terorisme memudahkan pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan jaringan terorisme. Dengan dilakukannya penyidikan ini, tentunya membantu dalam menguak ide atau rencana yang direncanakan oleh jaringan terorisme tersebut. Sehingga bisa dikatakan pula bahwa UU anti terorisme yang saat ini digunakan telah memberikan dampak yang cukup efektif terhadap permasalahan terorisme di Indonesia . Namun, dalam pelaksanaanya haruslah selalu diperhatikan komponen pelaksanaan dan penggunaan wewenang agar tetap sesuai dengan kaidah Hak Asasi Manusia.

Terrorism is a problem that always attracts the attention of many people. Material damage, even to the point of threatening one's life, is something that is not spared from terrorism. Not only on a small scale, terrorism is also a threat on an international scale. Formed in a large network that moves secretly, this group that has extremist thoughts and goals has become one of the most dangerous enemies in every country. The bombing tragedy that occurred in several regions in Indonesia made the government have to think properly in making efforts to deal with cases of terrorism. Not only laws, even the government has also established a body that specifically handles terrorism cases. Changes in the flow in the formation of laws become coloring in the government's efforts to deal with cases of terrorism. This also raises a question about how much effectiveness has resulted from the efforts that have been made by the government to date and also regarding the ideal implementation of law enforcement based on Law No. 5 of 2018 carried out by POLRI. Starting with the formation of Perppu No. 1 of 2002 which discussed terrorism cases from a legal perspective, in fact it did not stop the movement of extremist groups in Indonesia. This has also become an evaluation material for the ratification of the Perppu to become Law no. 15 of 2003. It is hoped that this law will become a legal umbrella and become the latest weapon in eliminating terrorism, but this law will not be effective enough in its implementation. With all the discussion and discussion, in the end Law No. 5 of 2018 was passed which until now has become the main rule in terrorism cases in Indonesia. It does not always run smoothly, the law which is referred to as the anti-terrorism law is often equated with the anti-subversion law and also the Internal Security Act and the Patriot Act which in their implementation have often been criticize for their incompatibility with human rights. In this study, the focus of the problem will be discussed using legal research methods with normative, empirical and implementation legal studies. This study also uses the theory of legal effectiveness, legal implementation and legal objectives which are collaborated with the results of interviews and other data to produce data analysis. In conclusion, it was found that the process of changing the rules and regulations regarding terrorism cases has resulted in significant changes as an effort to deal with terrorism cases. Although several terror attempts are still being carried out in a number of areas, the efforts made by Densus 88 to arrest a number of suspects belonging to radical groups have shown significant changes. This certainly helps in reducing efforts to occur terrorist incidents. With the passing of Law No. 5 of 2018 which authorizes the police to carry out preventive measures to prevent terrorism cases, it provides flexibility in handling terrorism cases. Preventive efforts that can be carried out before the occurrence of terrorism cases make it easier for the police to carry out investigations of parties related to terrorist networks. By carrying out this investigation, it certainly helps in uncovering ideas or plans planned by the terrorist network. So that it can also be said that the current anti-terrorism law has had a fairly effective impact on the problem of terrorism in Indonesia. However, in its implementation it must always pay attention to the components of the implementation and use of authority so that it remains in accordance with the principles of human rights."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Wijaya Kesuma
"Resolusi DK PBB 1267 (1999) dan 1373 (2001), menyerukan kepada seluruh negara-negara di dunia untuk memberikan sanksi finansial terhadap kelompok Al-Qaeda dan Taliban, termasuk warga setiap negara yang berafiliasi dan membantu Al-Qaeda dan Taliban. Tahun 2012 FATF kembali menempatkan Indonesia sebagai “Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)”, kali ini berkaitan dengan penanganan tindak pidana pendanaan terorisme, karena menilai regulasi penanganan pendanaan terorisme yang ada di Indonesia belum memenuhi standar internasional yang ditetapkan dalam rekomendasi FATF dan menjadikan Indonesia sebagai negara beresiko tinggi pendanaan terorisme, yang berdampak pada perekonomian Indonesia karena seluruh negara dan institusi keuangan di dunia diminta waspada saat menjalankan hubungan perekonomian terhadap Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan penelitian ini bermaksud menemukan kendala-kendala yang dihadapi pemerintah Indonesia serta memberikan masukan bagaimana membagun kolaborasi antara pemerintah dan unsur lainnya dalam upaya penegahan tindak pidana tindak pidana pendanaan terorisme melalui pembekuan aset individu dan entitas yang tercantum pada Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT), sebagaimana Rekomendasi 6 FATF. serta upaya Indonesia menjadi anggota tetap FATF di tahun 2023.

UN Security Council Resolutions 1267 (1999) and 1373 (2001), call on all countries in the world to provide financial sanctions against Al-Qaeda and the Taliban, including citizens of every country affiliated with and helping Al-Qaeda and the Taliban. In 2012 the FATF again placed Indonesia as "Non-cooperative Countries and Territories (NCCTs)", this time relating to the handling of criminal acts of terrorism financing, because it assessed that the regulations for handling terrorism financing in Indonesia did not meet the international standards set out in the FATF recommendations and made Indonesia is a country at high risk of financing terrorism, which has an impact on the Indonesian economy because all countries and financial institutions in the world are asked to be vigilant when carrying out economic relations with Indonesia. Based on the data obtained, this study intends to find the obstacles faced by the Indonesian government and provide input on how to build collaboration between the government and other elements in efforts to prevent criminal acts of terrorism financing through freezing the assets of individuals and entities listed on the List of Suspected Terrorists and Terrorist Organizations (DTTOT), as per FATF Recommendation 6. as well as Indonesia's efforts to become a permanent member of the FATF in 2023,"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>