Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7608 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alvarino
"Tujuan: Mengevaluasi secara prospektif keamanan dan efektifitas penyuntikan lidokain 1% periprostat pada biopsi prostat transrektal dengan bimbingan USG transrektal.
Materi dan Metoda: sari 60 pasien yang dibiopsi prostat, dipilih secara random masing-masing 30 orang disuntikan lidokain 1% atau plasebo secara double-blind. Disuntikan 5 cc lidokain 1% atau Na CI 0,9% menggunakan jarum 22 dengan bantuan probe USG transrektal ke kumpulan syaraf dikedua sisi prostat. Nyeri yang dirasakan waktu biopsi dinilai dengan menggunakan skala nyeri "Visual Analogue Scale" (VAS) dan komplikasi yang terjadi setelah biopsi pada kedua grup. Skala nyeri dianalisa statistik menggunakan Student -T Test.
Hasil: Skala nyeri waktu biopsi antara yang disuntikan lidokain 1% dibandingkan NaCl 0,9% berbeda secara bermakna dengan VAS (2,1 ± 1,3 dan 5,7 ± 1,7 p<0,05). Komplikasi setelah biopsi seperti nyeri, hematuri, hematochezia dan demam pada kedua perlakuan tidak memberikan perbedaan yang bermakna.
Kesimpulan: Penyuntikan lidokain 1% periprostat merupakan metode mudah, aman dan efektif untuk mengurangi nyeri pada biopsi prostat.

Purpose : We prospectively evaluated the safety and efficacy of periprostatic 1 % lidocaine injection during transrectal prostate biopsy with transrectal ultrasound guided.
Materials and Methods: A total of 60 consecutive patients undergoing prostate biopsy were randomized into 1% lidocaine and placebo groups using 0,9% sodium chloride of 30 each in double-blind fashion. A 2,5 ml dose of 1% lidocaine or 0,9% sodium chloride was injected via 22 gauge needle inserted through and guided by the transrectal ultrasound probe at the prostatic neurovasculer bundle on each side. Pain during biopsy was assessed using a 0 to 10 point linear visual analog pain scale and other complications (pain after biopsy, hematuria, hematochezia and fever) were recorded to determine whether there was a difference between those two groups. Statistical analysis of pain score was performed by using Student T-Test.
Results : Pain scores were significantly lower in the periprostatic 1% lidocaine injection group compared to the placebo group (2.1 ± 1.3 versus 5.7 ±1.7 , p < 0.05 ). There was no significant difference in pain after biopsy, hematuria, hematochezia and fever rate among these two groups.
Conclusions : Per iprostatic 1% lidocaine injection is a simple, safe and efficacious method of providing satisfactory anesthesia to reduce pain in men undergoing transrectal prostate biopsy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Yarlitasari
"Tujuan : Mengetahui besarnya kegunaan dan keberhasilan pemasangan LMP yang menggunakan pelincir jeli lidokain 2% dibandingkan dengan yang dibasahi salin 0,9% pada anestesi umum inhalasi dengan N20 : 02 = 70% : 30%. Disain : Uji klinik tersamar ganda. Pasien : 56 pasien yang menjalankan operasi berencana dengan anestesi umum inhalasi dan tidak ada indikasi kontra penggunaan LMP di InstaIasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Oktober sampai dengan Desember tahun 2005, usia 18-60 tahun, ASA 1/1I, berat badan sesuai ukuran LMP no 3 atau 4. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, masing masing 26 pasien, kelompok 1 dilakukan pemasangan LMP dengan pelincir salin 0,9% dan kelompok II dilakukan pemasangan LMP dengan pelincir ieli lidokain 2%. Apabila LMP terinsersi dilakukan OGT. Selama pemasangan LMP tersebut dilakukan pengamatan dan pengukuran tekanan sungkup LMP setiap 30 menit sarnpai operasi selesai. Analisa statistik dilakukan dengan uji t untuk data numerik, uji x kuadrat untuk data nominal dan koreksi yaitu bila nilai ekspektasi kurang dari 5 dengan tingkat signifikan p<0,05.
Hasil : Angka keberhasilan pemasangan LMP dengan menggunakan pelincir lidokain sama dengan menggunakan pelincir salin (92,3 %><84,6 %) p>0,05. Sehingga pada uji statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p>0,05). Komplikasi "sore throat" yang timbal selama pemasangan LMP dengan pelincir lidokain dan salin pada 5 menit pasca ekstubasi di ruang pulih adalah sama yaitu "sore throat" ringan 3,8 % pada pelincir salin dan 7,7 % "sore throat" sedang pada pelincir lidokain, namun dari uji statistik perbedaan ini tidak signifikan (p>0,05). Begitu juga "sore throat" yang terjadi 24 jam pasca bedah pada pemasangan LMP dengan salin terdapat 3,8 % "sore throat" sedang dan pada lidokain 7,7 % "sore throat" ringan secara uji statistik perbedaan ini tidak signifikan (p>0,05).
Kesimpulan : Secara uji statistik keberhasilan pemasangan sungkup LMP pada kelompok salin dan lidokain tidak berbeda secara signifikan. Begitu pula dengan kekerapan "sore throat" dan derajat "sore throat" antara kelompok salin dan lidokain tidak berbeda secara signifikan.

OBJECTIVE : To compare the successfully of attempt LMP with correlation between lubricant lidocain 2 % or saline 0,9 % and incidence of post operative sore throat after general anesthesia inhalation with N20/02/Enflurance facilitated by LMP with lubricant lidocain 2 % or saline 0,9%.
STUDY DESIGN : Double blind randomized clinical trial. PATIENT : 56 patient, 18 to 60 years old, underwent elective surgery in IBP RSUPN -- CM, ASA I 1 II malampatie score 1, area of surgery not in the head and neck, in supine position with OGT placement. Patients were allocated into two groups. 26 patients in group I with saline lubricant, and 26 patients in group II with lidocaine lubricant. After the operation patients was recorded about successfully attempt of LMP and complaint of sore throat in the recovery room, and 24 hours after anesthesia. Statistics analysis with T-test for continues data, x2 test and Fischer's exact test for categorical data. Spearman correlations test with significant value P <0,05 and confidence interval 95%.
RESULTS : The incidence of successfully attempt LMP with lidocaine equivalent with saline (92,3% >< 84,6%) P >0,05, The incidence of mild sore throat at the recovery room 3,8% with saline and 7,7% moderate sore throat with lidocaine (P >0,05). The incidence of sore throat at 24 hours after surgery were 3,8% moderate sore throat with saline and 7,7% mild sore throat with lidocaine (P > 0,05).
CONCLUSION : The successfully attempt of LMP in the saline group not signifikan compare to lidocain group. Morbidity of sore throat not significant between saline group compare to lidocaine group and intensity of sore throat between saline group not significant compare to lidocaine group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Kumara Anindhita
"Latar Belakang: Penjadwalan operasi yang baik adalah yang mengoptimalkan workflow suatu kamar operasi, mengurangi kasus pembatalan operasi, dan ketidaktepatan prediksi waktu operasi. Unit Pelayanan Bedah Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo memiliki peran besar terhadap berlangsungnya operational efficiency sehingga hal-hal terkait efisiensi kerja yang termasuk didalamnya penjadwalan pasien di kamar operasi menjadi fokus perhatian utama. Penelitian ini bertujuan untuk menilai korelasi waktu persiapan, induksi, dan pemulihan anestesi berdasarkan pemilihan teknik anestesi terhadap anesthesia-controlled time (ACT). Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilaksanakan di Unit Pelayanan Bedah Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak Maret 2019 hingga Desember 2020, dengan total 1727 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Tim anestesi kamar operasi dengan menggunakan jam digital melakukan observasi, pengambilan, dan pencatatan data waktu secara manual kedalam lembar kuesioner yang disediakan di kamar operasi atau secara daring dengan mengakses tautan yang tersedia.Hasil: Terdapat hubungan linier positif yang bermakna antara waktu persiapan anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.1, p 0.009), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.253, p 0.028), dan anestesi umum-ETT/LMA, blok saraf perifer, CVC, ABP (r=0.489, p 0.013); waktu pemasangan monitor dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.125, p 0.001), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.502, p 0.000), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.372, p 0.001), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.436, p 0.006), sedasi (r=0.516, p 0.001), spinal (r=0.501, p 0.000), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.321, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.445, p 0.001); waktu induksi anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.513, p 0.000), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.391, p 0.001), anestesi umum-LMA (r=0.312, p 0.017), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.818, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC, ABP (r=0.559, p 0.000), spinal (r=0.503, p 0.000), kombinasi spinal-epidural (r=0.779, p 0.000), blok saraf perifer (r=0.729, p 0.000), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.511, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.543, p 0.000); waktu insersi CVC dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT/LMA, CVC (r=0.553, p 0.002), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.434, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.415, p 0.010), dan anestesi umum-ETT, epidural CVC, ABP (r=0.288, p 0.023); waktu pemulihan anestesi dengan ACT pada teknik anestesi umum-ETT (r=0.157, p 0.000), anestesi umum-ETT/LMA, CVC (r=0.664, p 0.000), anestesi umum-ETT, CVC, ABP (r=0.374, p 0.001), anestesi umum-LMA (r=0.299, p 0.023), anestesi umum-ETT/LMA, epidural (r=0.557, p 0.000), anestesi umum-ETT, epidural, CVC (r=0.338, p 0.035), anestesi umum-ETT, epidural, CVC, ABP (r= 0.343, p 0.006), sedasi (r=0.351, p 0.033), anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.424, p 0.000), dan anestesi umum pediatrik-ETT/LMA, kaudal (r=0.589, p 0.000). Simpulan: Waktu persiapan, induksi, dan pemulihan anestesi tidak berkorelasi dengan anesthesia-controlled time berdasarkan pemilihan teknik anestesi di Unit Pelayanan Bedah Terpadu Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo.

ackground: An ideal operating schedule is the one that optimizes the workflow of an operating room, reduces case cancellation and inaccurate prediction of total procedural time. Central Surgical Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital has a major role of ensuring the continuity of operational efficiency so that matters related to work efficiency, including patient scheduling in the operating room, are the main focus of attention. This study aims to assess the correlation of time of preparation, anesthesia induction and recovery time with anesthesia-controlled time (ACT) based on the choice of anesthesia technique. Methodes: This observational research was done in Central Surgical Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from March 2019 to December 2020, with a total of 1727 samples that fulfilled inclusion criteria, without exclusion criteria. By means of using a digital clock, anesthesia team performs observations, retrieval, and recording of time data manually into a questionnaire sheet provided in the operating room or an online document by accessing the link provided.Results: There is a significant positive linear correlation between anesthesia preparation time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.1, p 0.009), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.253, p 0.028), and general anesthesia-ETT/LMA, peripheral nerve block, CVC, ABP technique (r=0.489, p 0.013); basic monitoring placement time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.125, p 0.001), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.502, p 0.000), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.372, p 0.001), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.436, p 0.006), sedation (r=0.516, p 0.001), spinal (r=0.501, p 0.000), pediatric general anesthesia-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.321, p 0.000), and pediatric general anesthesia-ETT/LMA, caudal technique (r=0.445, p 0.001); anesthesia induction time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.513, p 0.000), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.391, p 0.001), general anesthesia-LMA (r=0.312, p 0.017), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.818, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC, ABP (r=0.559, p 0.000), spinal (r=0.503, p 0.000), combined spinal-epidural (r=0.779, p 0.000), peripheral nerve block (r=0.729, p 0.000), pediatric general anesthesia-ETT/LMA, CVC, ABP (r=0.511, p 0.000), and pediatric general anesthesia -ETT/LMA, caudal technique (r=0.543, p 0.000); CVC insertion time and ACT on general anesthesia-ETT/LMA, CVC (r=0.553, p 0.002), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.434, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.415, p 0.010), and general anesthesia-ETT, epidural CVC, ABP technique (r=0.288, p 0.023); anesthesia recovery time and ACT on general anesthesia-ETT (r=0.157, p 0.000), general anesthesia-ETT/LMA, CVC (r=0.664, p 0.000), general anesthesia-ETT, CVC, ABP (r=0.374, p 0.001), general anesthesia-LMA (r=0.299, p 0.023), general anesthesia-ETT/LMA, epidural (r=0.557, p 0.000), general anesthesia-ETT, epidural, CVC (r=0.338, p 0.035), general anesthesia-ETT, epidural, CVC, ABP (r= 0.343, p 0.006), sedation (r=0.351, p 0.033), pediatric general anesthesia-ETT/L anesthesia-ETT/LMA, caudal technique(r=0.589, p 0.000). Conclusions: Time of anesthesia preparation, induction, and recovery do not correlate with ACT based on the anesthesia technique used to fascilitate surgery in Central Surgical Unit of Dr Cipto Mangunkusumo Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond
"Latar Belakang: Tindakan pembedahan dengan invasi minimal seperti laparoskopi abdomen seringkali menjadi modalitas terpilih dengan perkembangan teknologi. Selama pembedahan, digunakan teknik anestesi umum pada pasien. Teknik anestesi yang ideal adalah teknik yang dapat menjaga kestabilan kardiovaskular dan respirasi, mengurangi kejadial mual muntah pascabedah, serta dapat mengurangi derajat nyeri pascabedah. Namun, prosedur laparoskopi menyebabkan perubahan fisiologis akibat kondisi pneumoperitoneum yang disebabkan oleh insuflasi gas karbon dioksida selama pembedahan, yang merupakan sebuah tantangan tambahan dalam pemberian anestesi yang ideal. Maka, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penggunaan kombinasi anestesi umum dan spinal dengan anestesi umum saja dalam pembedahan laparoskopi abdomen.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak terkendali tanpa penyamaran pada pasien laparoskopi abdomen di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemberian anestesi umum menggunakan lidokain, fentanyl, propofol, dan rocuronium. Pemberian anestesi spinal menggunakan bupivakain 10 mg. Luaran yang dinilai berupa kebutuhan opioid intraoperatif, kestabilan MAP, nyeri pascabedah, dan kejadian post-operative nausea and vomiting (PONV).
Hasil: Kombinasi anestesi umum dan spinal menyebabkan penurunan kebutuhan opioid fentanyl intraoperatif (p<0.001), kestabilan MAP yang lebih baik (p<0.009), dan penurunan nyeri pascabedah secara signifikan dibandingkan kelompok anestesi umum. Tidak terdapat perbedaan signifikan dari tingkat kejadian PONV. Simpulan: Kelompok anestesi umum dan spinal menunjukan penurunan kebutuhan opioid intraoperatif dan MAP yang lebih stabil pada tindakan laparaskopi dibandingkan dengan kelompok anestesi umum.

Background: Minimally invasive surgical procedures such as laparoscopic abdominal surgery have often become the preferred modality with technological advancements. During surgery, general anesthesia techniques are employed in patients. The ideal anesthesia technique is one that can maintain cardiovascular and respiratory stability, reduce postoperative nausea and vomiting, and alleviate postoperative pain. However, laparoscopic procedures induce physiological changes due to pneumoperitoneum conditions caused by the insufflation of carbon dioxide gas during surgery, posing an additional challenge in achieving ideal anesthesia. Therefore, this study aims to compare the effectiveness of using a combination of general and spinal anesthesia with general anesthesia alone in laparoscopic abdominal surgery.
Methods: This research is a controlled randomized clinical trial without masking on patients undergoing laparoscopic abdominal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. General anesthesia is administered using lidocaine, fentanyl, propofol, and rocuronium, while spinal anesthesia is administered using bupivacaine. The assessed outcomes include intraoperative opioid requirements, MAP stability, postoperative pain, and the incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV).
Results: The combination of general and spinal anesthesia resulted in a significant reduction in intraoperative fentanyl opioid requirements (p<0.001), better MAP stability (p<0.009), and a significant decrease in postoperative pain compared to the general anesthesia group. There was no significant difference in the incidence of PONV .
Conclusion: The combination of general and spinal anesthesia group showed decreased intraoperative opioid requirements and more stable in mean arterial pressure (MAP) during laparoscopic procedures compared to general anesthesia group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yasir
"Latar belakang : Telah dilakukan penelitian untuk waktu optimal pemberian fentanil 2 .tg/kg BB dengan tujuan menekan respon kardiovaskuler akibat laringoskopi dan intubasi dengan membandingkan waktu pemberian fentanil 5 dan 7 menit sebelum dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi.
Metode:Tiga puluh enam pasien ASA 1 dan ASA 2 dibagi dalam dua kelompok secara acak masing-masing tediri dari delapan belas pasien. Kelompok pertama diberikan fentanil dosis 2 µglkg BB waktu 5 menit sebelum laringoskopi dan intubasi, sedangkan kelompok kedua diberikan dosis yang sama dengan waktu 7 menit sebelum laringoskopi dan intubasi , data tekanan darah sistolik , diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung dari kedua kelompok dibandingkan sampai 5 menit setelah intubasi.
Hasil : Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok yang dibandingkan (p>0.05) dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung akibat laringoskopi dan intubasi.
Kesimpulan : Waktu optimal untuk injeksi fentanil 21tg kg BB-' untuk dapat menekan respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi adalah 5 dan 7 menit sebelum tindakan tersebut dilakukan.

Background :This study was designed to examine the optimal time of injection of 2 gg/kg fentanyl to Attenuate circulatory responses due to laringoscopy and tracheal intubation that compared between 5 minute and 7 minute before laringoscopy and tacheal intubation.
Method : Thirty six patients ASA 1 and ASA 2 were randomly in two groups which each group eighteen patients. The patients in group 1 received fentanyl 2 pg/kg 5 minute and group 2 received the same dose 7 minute before laringoscopy and tracheal intubation.
Result : The result of this study were no statistical significant values both of groups in systolic, diastolic, mean arterial pressure and heart rate due to laringoscopy and intubation
Conclusion : The effective time to administer fentanyl 2pg kg _I to protect circulatory response to laringoscopy and tracheal intubation are 5 minute and 7 minute before intubation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfathiah Safanissa
"Latar Belakang
Refleks okulokardiak (OCR) dapat menyebabkan penurunan denyut jantung signifikan dan peningkatan risiko mual muntah pascabedah. Kejadian refleks okulokardiak dilaporkan berkisar antara 14% hingga 90% yang dipengaruhi oleh agen anestesi, premedikasi, dan proses saat operasi.2 Terdapat banyak faktor yang memengaruhi kejadian refleks okulokardiak. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor yang memengaruhi refleks okulokardiak pada pembedahan mata di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang merupakan rumah sakit rujukan dengan karakteristik pasien yang bervariasi
Metode
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain potong lintang, menggunakan data pasien pembedahan mata dengan anestesi umum di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei 2023 - Februari 2024. Analisis perbedaan kelompok dengan OCR dan tanpa OCR dilakukan dengan uji Mann Whitney dan chi-square. Analisis multivariat dengan regresi logistik metode backward dilakukan pada variabel yang dianggap memiliki pengaruh yang signifikan dengan refleks okulokardiak.
Hasil
Dari 178 data pasien yang terkumpul dilakukan eksklusi sehingga terdapat 165 pasien yang dianalisis. Faktor usia anak (0-18 tahun) memiliki OR=0,143 (p=0,015), strabismus memiliki OR 14,843 (p=0,000), konsentrasi agen anestesi inhalasi (sevoflurane dan desflurane) < 1 MAC memiliki OR 5,070 (p=0,004) berpengaruh secara signifikan dengan kejadian OCR. Namun, dosis opioid tidak terbukti signifikan berpengaruh dengan kejadian OCR (p=0,840)
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara usia, jenis bedah, dan konsentrasi agen anestesi inhalasi terhadap kejadian refleks okulokardiak pada anestesi pembedahan mata di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Introduction
The oculocardiac reflex (OCR) can cause a significant decrease in heart rate and increase the risk of postoperative nausea and vomiting. Many factors influence the occurrence of OCR. The incidence of OCR ranges from 14% to 90%, depending on the anesthetic agents, premedication, and surgical procedure. This study aims to identify the factors influencing OCR during eye surgery anesthesia at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, a referral hospital with a diverse patient population.
Method
This was an analytical study with a cross-sectional design, using data from patients undergoing eye surgery under general anesthesia at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital from May 2023 to February 2024. The association was analyzed using the Mann-Whitney test and chi-square test. Multivariate analysis with the backward logistic regression method was performed on variables considered to have a significant relationship with the oculocardiac reflex.
Results
178 patient records collected and 165 patients of it were analyzed after exclusions. Younger age (0-18 years) was significantly associated with OCR (OR=0.143, p=0.015), as well as strabismus surgery (OR=14.843, p=0.000) and concentration of inhalation anesthetic (sevoflurane and desflurane) ≤ 1 MAC (OR=5.070, p=0.004). However, opioid dosage did not show a significant association with OCR (p=0.840). Conclusion This study shows a significant influence between age, type of surgery, and concentration of inhalation anesthetic with the incidence of OCR in eye surgeries anesthesia at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dobson, Michael B. author
Jakarta: EGC, 1994
617.96 DOB at
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, Riris
"Ada beberapa komplikasi respon fisiologis yang muncul setelah pemberian anestesi spinal diantaranya : retensi urine . Dimana klien tidak dapat berkemih selama 6 - 8 jam paska operasi Maka hal ini peneliti ingin melihat sejauh mana ketidakmampuan berkemih pada klien paska operasi. Penelitian deskriptif sederhana yang dilakukan oleh peneliti terhadap 20 responden paska operasi dengan anestesi spinal pada 24 jam pertama di ruang rawat dewasa RS Siloam Gleneagles pada bulan Juni - Juli 2001, membuktikan bahwa terdapat 17 responden (85 %) yang mempunyai nilai rentang antara 21 - 30 adalah merasa ingin berkemih tetapi tidak mampu. Hal ini menunjukkan adanya kebenaran konsep menurut Perry dan Potter (1993)yang mengatakan bahwa klien tidak dapat berkemih selama 8 jam paska operasi dan merasakan kandung kemih penuh atau distensi, sehingga pasien merasa tidak nyaman, menurut Lewis, Heitkemper, dan Dirksen (1999) mengatalcan bahwa anestesi dapat menekan sistem syaraf termasuk refleks berkemih. Dan menurut Miller (2000) mengatakan retensi urine terjadi karena anestesi spinal menghambat syarah neuroaksial. Metode pengumpulan data dilakukan sesuai prosedur dimana setelah menyerahkan surat ijin, peneliti mendatangi respnnden paska operasi dergi anestesi spinal pada 24 jam pertama untuk rnemberikan kuesioner. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa klien dengan paska anestesi spinal menunjukkan respon ketidakmampuan berkemih pada 24 jam pertama."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA5044
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Fardian
"ABSTRAK
Menggigil merupakan komplikasi paska anestesi spinal dengan insidens yang cukup tinggi dan memberikan dampak perubahan fisiologis yang merugikan bagi pasien sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi secepatnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian premedikasi obat golongan antagonis 5-HT3 Granisetron 10 μg/kgBB intravena terhadap kejadian menggigil paska anestesi spinal. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang bersifat eksperimental pada 32 pasien, dengan status fisik ASA 1-2 yang menjalani operasi dengan anestesi spinal yang terbagi dua kelompok yaitu yang mendapat perlakuan (kelompok G) dan kelompok kontrol (kelompok K). Hasil penelitian didapatkan perbedaan angka kejadian menggigil yang bermakna pada kedua kelompok serta terdapat perbedaan signifikan derajat menggigil maksimal pada kedua kelompok. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian premedikasi Granisetron dengan dosis 10 μg/kgBB intravena sebelum dilakukan anestesi spinal terbukti bermakna menurunkan angka kejadian menggigil dan mengurangi derajat atau intensitas menggigil paska anestesi spinal.

ABSTRAK
Shivering is a complication of spinal anesthesia with high incidence which has adverse physiological changes to patient. It is important to prevent and treat immediately. This study aims to determine the premedication effect of intravenous Granisetron 10 μg/kgBW on the incidence of post spinal anesthesia shivering. This study was designed as double blind experimental study to 32 patients with ASA 1-2, who underwent surgery under spinal anesthesia and divided into two groups The patients were randomized and divided into two groups : Group G who received premedication before spinal puncture, Group K as a control. The result showed that incidence of shivering between two groups were statistically different and there were significant difference in maximal intensity of shivering between two groups. The conclusion of this study is intravenous Granisetron 10 μg/kgBW as premedication before spinal anesthesia has decreased the incidence and intensity of post anesthesia shivering"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ade Meuratana
"Menggigil selama anestesi spinal adalah salah satu komplikasi yang paling sering dihubungkan dengan penurunan suhu inti tubuh. Insiden menggigil paska anestesi cukup tinggi dan memberikan dampak perubahan fisiologis yang merugikan pada pasien sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi secepatnya. Belum ada terapi gold standar untuk menggigil. Elektroakupunktur EA diketahui dapat mencegah menggigil dengan mempertahankan suhu inti tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh elektroakupunktur pada pencegahan menggigil pasien bedah urologi dengan anestesi spinal serta mengetahui pengaruh elektroakupunktur pada rerata penurunan suhu inti pasien bedah urologi dengan anestesi spinal. Uji klinis acak tersamar tunggal dengan pembanding dilakukan terhadap 36 subjek yang akan menjalani spinal anestesi pada pasien bedah urologi dialokasikan secara acak kedalam kelompok elektroakupunktur n=18 dilakukan penusukan titik LI4, PC6, ST36, dan SP6 bilateral sampai terjadi sensasi penjaruman, diberikan elektrostimulator frekuensi 2 Hz, gelombang continues pada kelompok eletroakupunktur sham n=18 dilakukan penusukan pada plester tanpa menembus kulit kemudian dihubungkan dengan elektrostimulator yang tidak dinyalakan. Elektroakupunktur dilakukan 1 kali selama 30 menit sebelum dilakukan anestesi spinal. Penilaian objektif menggigil menggunakan skala Crossley dan Mahajan serta penilaian suhu inti tubuh melalui suhu membran timpani menggunakan termometer infra red pada menit ke 5, 15, 30 dan 60. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna angka kejadian menggigil pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham p=0,22 namun secara klinis kejadian menggigil hanya ditemukan pada kelompok elektroakupunktur sham pada menit ke-60 16,7 dengan derajat menggigil 3 dan 4. Terdapat perbedaan bermakna suhu inti tubuh sebelum dan setelah dilakukan EA pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham p=0,03 , menit ke-15 p=0,03 dan menit ke-60 p=0,03 setelah anestesi spinal. Terdapat perbedaan tidak bermakna suhu inti tubuh pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham menit ke-5 p=0,11 dan menit ke-30 p=0,12. Kesimpulan penelitian ini penurunan suhu inti tubuh pada pasien dengan anestesi spinal dapat dicegah dengan menggunakan elektroakupunktur, namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada kejadian menggigil.

Shivering during spinal anesthesia is one of complications which are mostly associated with the decrease of body core temperature. The shivering incidents post anesthesia is quite high and provides an adverse physiological impact to patients that need to be prevented and addressed as soon as possible. There are no gold standards for shivering. Electroacupuncture EA is known to prevent shivering by maintaining the body core temperature. The aim of this research is to learn the impact of electroacupuncture to prevent shivering on urology surgery patients with spinal anesthesia as well as to discover the impact of electro acupuncture on the average decrease of urology surgery patient rsquo;s body core temperature with spinal anesthesia. Single blinded randomized clinical trial with comparison was performed to 36 subjects that would undergo spinal anesthesia to urology surgery patients allocated randomly into electroacupuncture group n=18 by performing needling at points LI4, PC6, ST36, and SP6 bilateral until the sensation of needling occurred, electrostimulator of 2 Hz frequency was given, continues wave given while in sham n=18 electroacupuncture group was performed needling on plaster without penetrating the skin then connected to electrostimulator that was not turn on. Electroacupuncture was performed once for 30 minutes before spinal anesthesia was conducted. An objective assessment of shivering was performed by using Crossley and Mahajan scale and the assessment of body core temperature through temperature tympanic membrane was conducted by using infra red thermometer in the 5, 15, 30 and 60 minutes. The result of the research suggested that there are meaningless differences of number of shivering incidents in electro acupuncture group compared to sham p=0,22 electro acupuncture group however clinically shivering incident was only found at sham electro acupuncture group in the 60 minutes 16,7 with the degree of shivering was 3 and 4. There are meaningful differences of body core temperature before and after EA was performed to electroacupuncture group compared to sham p=0,03 electroacupuncture group in the 15 p=0,03 minutes and 60 p=0,03 minutes after spinal anesthesia. There are meaningless differences of body core temperature in electroacupuncture group compared to sham electroacupuncture group in 5 p=0,11 minutes and 30 p=0,12 minutes. The conclusion of this research is the decrease of body core temperature of patients with spinal anesthesia can be prevented by using electroacupuncture; however there are no meaningful differences on shivering incidents. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>