Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199259 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sianturi, Eddy M.T.
"Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang mulai diberlakukan sejak awal tahun 200I merupakan salah satu agenda reformasi dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya demokratisasi dalam pengelolaan negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Pembagian sebagian besar kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sehingga pemerintah daerah memiliki kesempatan besar untuk menggali dan mengembangkan segenap potensi daerahnya untuk kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan di era Otonomi Daerah menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip demokrasi yaitu meningkatnya partisipasi masyarakat daiam proses pengambilan keputusan kebijakan publik, transparansi dan akuntabilitas pertanggungjawaban publik. Prinsip-prinsip tersebut mengamanatkan adanya sharing afpower antara lembaga-lembaga negara, khususnya eksekutif dan legislatif.
Departemen Dalam Negeri mengakui bahwa selama Iima tahun pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia belumlah menunjukkan basil yang memuaskan. Permasalahan yang paling sering ditemukan antara lain terjadinya konflik kepentingan antar elite di daerah, khususnya eksekutif dengan legislatif, hak-hak politik masyarakat yang belum terakomodasi secara memadai dan tidak konsistennya penegakan hukum. Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan yang berujung tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kota Bekasi sebagai salah satu kota penyanggah ibukota negara memiliki posisi yang semakin strategis dituntut untuk berkembang secara cepat. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi saat ini seiring dengan semakin derasnya arus urbanisasi ke Kota Bekasi mempersyaratkan terjalinnya koordinasi yang balk antar lembaga negara dengan berbagai elemen masyarakat, khususnya sinergi dan harmonisasi hubungan antara eksekutif (Walikota) dengan legislatif (DPRD).
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hubungan antara eksekutif dengan legislatif di Kota Bekasi, namun peningkatan tersebut belum optimal sesuai harapan dan keinginan masyarakat. Beberapa bidang pelayanan publik khususnya pendidikan, kesehatan, dan transportasi masih jauh dari yang diharapkah. Kurang fokusnya pemerintah Kota Bekasi dalam menetapkan prioritas sasaran program pembangunan dan lemahnya pengawasan internal birokrasi menjadi penyebab utama lambatnya perbaikan pelayanan publik. Kebijakan Pemkot Bekasi dengan slogan "Pelayanan Satu Atap" dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan publik belum menunjukkan basil yang memadai, karena tidak diikuti dengan perubahan perilaku dari aparatur. Dampak hubungan eksekutif dan legislatif di Kota Bekasi mulai menunjukkan adanya peningkatan partisipasi publik (partisipasi politik) dart kontrol sosial dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengawasan terhadap kinerja eksekutif dan Iegislatif. Partisipasi masyarakat Kota Bekasi tersebut masih Iebih banyak diinisiasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa, sementara peran partai politik belum memadai dalam meningkatkan pemberdayaan partisipasi politik masyarakat.

The policy of decentralization and autonomy that have been applied since 2001 is one of the reformation agendas to boost democratization in state management and governance. The dividing of central government's authorities to local governments in order to accelerate and improve people's prosperities, so that the local governments have a lot of opportunities to explore and develop their area's potencies. The government conducts its role in the era of area's autonomy guarantees the democracy principles including increase of people's political engagement in the decision making process of public policy, transparency and accountability. Those principles order a sharing of power among state institutions, especially between the executive and legislative.
The Department of Home Affairs states that during five years of the conduction of autonomy policy in Indonesia not enough yet show a satisfied result. The most problems have been found i.e.: the conflict of interest among local elites, especially the executive against the legislative, the public political rights that have not been accommodated equally and the inconsistency of Law enforcement. Those conditions hamper the development process, in turns it will impede the achievement of people's improvement and prosperity.
The Bekasi Municipality as one of the state's capital hinterland has a strategic position and it is expended to develop rapidly. The complexity of problems such as a growing number of urbanization to Bekasi Municipality is required a good coordination among the state institutions with several of society elements, especially a synergic and harmonic relationship between the executive (Mayor) and legislative (DPRD).
The result of this study indicates that there is an improvement in relationship between the executive and the legislative in Bekasi Municipality, nevertheless that improvement has not been optimal and it has not satisfied people's expectations and Needs. Some of public services especially education, health and transportation are still Far from the expectation. Since the Bekasi Municipality was failed to remain focus in determining its target priority of development programmed and the weakness of internal bureaucratic -control- become- -the--main--factor- of--the -lateness--of -public services Improvement. The policy of Bekasi Municipality by a slogan "One Roof Service" in conducting its roles and functions as a public servants still not yet shows a significant performance improvement, because of not yet followed by a changing of apparatus behavior. The impact of the relation between the executive and legislative in Bekasi Municipality indicates and improvement in public political engagement and social control in the process of public policy decision making and to control the performance of the Executive and legislative. The participation of Bekasi Municipality urban communities is still initiated by NGO's and mass media; other while the role of political parties are still not optimal yet in improving the empowerment of public political engagement."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Munandar
"Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah menjadi momentum bagi daerah untuk dapat lebih leluasa mengatur sendiri penyelenggaraan rumah tangganya berdasarkan aspirasi masyarakat lokal di daerah. Sehingga pemerintah daerah dapat menentukan sendiri pekerjaannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Untuk itu pemerintah daerah perlu segera melengkapi dirinya dengan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Karena kelembagaan perangkat daerah adalah `tools' bagi pemerintahan daerah untuk dapat bergerak dan bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya itu. Dengan penataan kelembagaan perangkat daerah yang disesuaikan dengan yang dibutuhkan di Kota Bengkulu, diharapkan Pemerintah Kota Bengkulu dapat bekerja dengan lebih optimal, efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Kota Bengkulu.
Agar dapat melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah maka diperlukan assesmen terhadap kebutuhan daerah itu sendiri. Dalam hal ini kebutuhan daerah ditentukan dari kebutuhan akan penyediaan pelayanan dasar (basic services) dan kebutuhan pengembangan potensi-potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Dengan mengidentifikasi kebutuhan basic services dan core competencies pemerintah daerah dapat diketahui kewenangan rill pemerintah Kota Bengkulu, berupa jenis-jenis pelayanan pemerintahan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu yang selanjutnya akan menjadi rujukan untuk melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah.
Basic services diidentifikasi dengan 5 indikator, yaitu : protective services, environmental services, personal services, recreation services dan commercial services. Dan core competencies diidentifikasi dengan melihat struktur mata pencaharian penduduk, struktur penggunaan lahan serta kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB Kota Bengkulu. Sementara penataan kelembagaan dioperasionalisasikan dengan merujuk kepada 5 komponen dasar organisasi, yaitu : strategic apex, middle line, techno-structure, support staff dan operating core.
Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 3 pertanyaan penelitian, yaitu: 'Bentuk pelayanan apa saja yang dibutuhkan dan perlu diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu `Bagaimana format kelembagaan perangkat daerah yang sesuai untuk Kota Bengkulu berdasarkan kebutuhan tersebul T dan ' Apakah kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah sesuai dengan yang dibutuhkan ?'
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, tahap pertama adalah studi dokumen dan kepustakaan sedang untuk tahap kedua dilaksanakan studi lapangan dengan 'observasi non partisipan' dan `interview'. Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif-deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendulum analisa.
Dari proses analisa data diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kebutuhan di Kota Bengkulu terdiri dari 49 jenis urusan. Sementara berdasarkan karakteristik potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya, di Kota Bengkulu dibutuhkan pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan bidang usaha jasa, perdagangan dan pertanian. Setelah dikurangi dengan 8 jenis pelayanan yang telah diselenggarakan oleh pihak-pihak lain diluar Pemerintah Kota Bengkulu, diketahui bahwa pelayanan yang perlu diselenggarakan di Kota Bengkulu terdiri dari 41 jenis pelayanan.
Dengan menggunakan teori-teori organisasi dan aturan-aturan norrnatif yang ada dirumuskan 3 alternatif bentuk kelembagaan untuk perangkat daerah Kota Bengkulu, Dan dari masing-masing alternatif itu dapat dibagi lagi ke dalam 2 altematif format susunan organisasi. Sehingga secara keseluruhan terdapat 6 alternatif kelembagaan perangkat daerah yang cukup sesuai untuk Kota Bengkulu.
Dari keenam alternatif tersebut teridentifikasi bahwa format kelembagaan yang dinilai paling ideal untuk Kota Bengkulu adalah format kelembagaan yang terdiri dari 28 jenis lembaga dengan kedudukan Sekretaris Daerah yang `kuat'.
Dan melalui proses komparasi diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup sesuai dengan yang dibutuhkan daerah, Ini terbukti dengan sudah tercakupnya semua unsur kebutuhan pelayanan oleh urusan-urusan yang diselenggarakan Perangkat Daerah Kota Bengkulu. Namun format kelembagaan yang telah dibentuk tersebut dinilai masih terlalu 'gemuk' dan tergolong cukup rawan untuk terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pejabat politis di daerah. Sehingga dalam rangka mendapatkan format kelembagaan yang lebih efisien dan ideal maka masih diperlukan perampingan dan penataan kembali terhadap susunan organisasi yang telah ada itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunarto Suhardi
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2006
342 GUN n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002
320.8 SUA o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S25381
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2002
320.8 REF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muntoha
"Lahirnya dua undang-undang di bidang pemerintahan daerah yailu UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, merupakan respons pemerintah terhadap tuntutan demokratisasi pada era reformasi, dengan memberikan kebijakan desentralisasi yang Iebih luas kepada daerah Implikasi dari kebijakan desentralisasi itu telah berdampak pada beberapa daerah di Indonesia yang berbasis Islam lcuat, mulai menuntut diberlakukannya syari?at Islam secara formal untuk diimplementasikan di masing-masing daerah itu. Lahirlah kemudian beberapa peraturan daerah (Perda) yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam sehingga perda-perda tersebut lazim dipersepsikan sebagai ?Perda-perda Bernuansa Syari?ah?.
Perda-perda bernuansa syari?ah? itu, telah menimbulkan pro clan kontra di kalangan umat Islam sendiri sehingga dalam penelitian ini diaiukan satu rnasalah pokok: Bagaimana merespons aspirasi masyarakat terhadap tuntutan pemberlakuan syari?at Islam scara formal ? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif sedangkan kerangka teoritis yang dibangun untuk pemecahan masalah pokok tersebut adalah mengacu pada teori reoeptio a contrario, teori hirarki nonna hukum, dan teori desentralisasi pemerintahan dalam negara kesatuan: Perrama, teori recepixb a contrario harus dipahami bahwa berlakunya syari?at Islam adalah sebuah keniscayaan; Kedua, teori hirarki norma hukum dimaksudkan untuk mengkaji aspek kepastian hukum dalam kaitannya dengan keberlakuan hukum secara yuridis, yang ditentukan oleh validitas atau kesesuaian hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, teori desentralisasi pemerintahan dalam negara kesatuan harus diposisikan dalam konteks pelimpahan kewenangan penmdangan dari pemerintah kepada daerah-daerah otonom.
Dalam penlitian yang dilakukan terhadap beberapa produk ?Perda dan Qanun bernuansa Syari?ah?, baik pada daerah otonomi khusus maupun daerah lain yang berstatus ownomi biasa ditemukan adanya berbagai hal sebagai berikut: Perramag formalisasi pemberlakuan syari?at Islam di Indonesia memiliki landasan historis-yuridis yang sangat kuat sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UU`D 1945; Kedua, kebijakan otonomi daerah di Indonesia pasoa reformasi berimplikasi pada adanya peluang bagi daerah-daerah untuk memberlakukan corak hukumnya masing-masing, termasuk pemberlakuan syari?at Islam; Ketiga, jenis-jenis ?Perda dan Qanun bemuansa syari?ah? yang telah diproduk beberapa pemerintahan daerah di Indonesia terdiri dari empat klasifikasi: (1) jenis perda yang terkait dengan isu moralitas masyarakat secara umum (Perda anti pelacuran dan perzinaan), (2) jenis perda yang terkait dengan fashion (keharusan mernakai jilbab dan jenis pakaian laixmya di tempat-tempat tertentu), (3) jenis perda yang terkait dengan ?keterampilan beragama (keharusan pandai baca-tulis A1-Qur?an), dan (4) jenis perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq, dan shadaqah). Hal ini pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan karena merupakan produk bersama antara eksekutif dan legislatif, tetapi dari aspek materi-muatan yang diatur di dalamnya banyak yang overlap dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat atasnya.
Atas dasar uraian di atas, maka perlu ditinjau kembali atas beberapa produk perda dan qanun tersebut, baik melalui judicial review maupun executive review.
The establishment of two legislations on local government, namely Act No. 22 Year 1999 and Act No. 32 Year 2004, highlights government?s response toward demand of democratization during Reformation era by issuing more decentralization policy for local govemment. The policy of decentralization has also shown robust implication particularly on several regions which possess strong Islamic character. They inquired to enforce legal Islamic syari?ah formally to be implemented locally. Accordingly, local regulation or laws were issued to lay down some aspects of Islamic teaching which is otten labeled as ?syari?ah based local laws".
The ?syari?ah based local laws? has attracted public attention specially among Muslim communities which is focused on this research by presenting a basic question; I-low to respond communities aspiration toward formally Shari 'a-isation of PERDA (Process of Making Regional Regulations based on Islamic Syari ?ah) ? This research adopts a normative judicial approach, while theoretical framework is based on the theory of reception a contrario, theory of hierarchy of legislation, and theory of decentralization in the context of unitary state system. First, theory of reception a contrario must be tmderstood in the context of basic value which obviously requires the formalization of syari?ah Secondly, that of hierarchy of legislation aims to examine aspect of rule of law in terms of legal enforcement which is determined by validity of legislation hierarchy. Finally, that of decentralization in the context of unitary state system must be positioned in the context of distribution of authority from central to local governments.
Based on this research, either in selected local governments with normal autonomy or in special autonomy, some basic Endings that can he described are as follow; first, forrnalization of syari?ah law enforcement in Indonesia has got it strong historical-judicial principle according to Article 29 (2) of the 1945 Constitution; Secondly, decentralization or autonomy policy in Indonesia after the Reformation era has brought to condition where some local government might produce their local laws in accordance with their characteristics including Islamic syari?ah. Thirdly, types of Perda and Qonun with Syari?ah basis issued by local govemments in Indonesia could be classified into four segments; (1) Type of Perda which deals with morality of communities in general (Perda of Anti-Prostitution and Adultery), (2) that of Perda which deals modesty and fashion (obligation to wear scarf or modesty in public places), (3) that of Perda which deals with religious skills (ability to read and write Al-Qur?an), and (4) that of Perda which deals with social charity funds raising (zakat, infaq and shadaqah). Those Perda must not be seen as problematic matters since those are joint products between local legislative and executive bodies. However, the matters stipulated in those Perda have overlapped with other higher legislations.
Based on that proposition, it needs to be considered that all Perda and Qonun should be reviewed, either through judicial review or executive review.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D1062
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dwi Andayani Budisetyowati
"ABSTRAK
Dalam upaya menangani masalah aktual dan konseptual otonomi daerah era reformasi, penelitian disertasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis mengenai (a) keberadaan dan hakikat otonomi daerah, (b) hubungan antara daerah otonom dan pemerintah, dan (c) hubungan antar daerah otonom di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tinjauan dari perspektif Ilmu Hukum Tata Negara.
Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Areal Division of Powers (ADP) dari Arthur Maass yang berakar pada Teori Kedaulatan Rakyat. Teori tersebut dapat diaplikasikan pada negara kesatuan ataupun negara federal dengan instrumen utama desentralisasi.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan analisis kualitatif berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum pimer, sekunder, dan tersier. Untuk memperkuat analisis, dilakukan kajian pustaka mengenai otonomi di berbagai bentuk negara. Dengan berbagai pertimbangan metodologis secara purposif negara-negara penelitian tersebut adalah Belanda, Inggris, Perancis, Filipina, dan Jepang sebagai negara kesatuan, serta Amerika Serikat dan Jerman sebagai negara federal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa otonomi daerah beserta daerah otonom dan/atau pemerintahan daerahnya di negara kesatuan merupakan ciptaan Pemerintah melalui pembagian kekuasaan menurut wilayah (ADP). keberadaan, status dan lingkup kekuasaan otonomi daerah sepenuhnya bergantung pada ketentuan konstitusi dan berbagai produk hukum penjabarannya. Kekuasaan yang tercakup dalam otonomi daerag, di luar kekuasaan yudikatif. Pembagian kekuasaan diatur dalam undang-undang. Dengan diberikannya kekuasaan yudikatif dalam otonomi khusus merupakan pertanda dilakukannya desentralisasi asimetrik yang lambat laun dapat mengarah kepada terjadinya metamorphose dari negara kesatuan ke negara federasi.
Dalam negara kesatuan, kekuasaan yang diserahkan (didesentralisasikan) kepada daerah otonom tidak bersifat eksklusif. Namun otonomi daerah dapat diperbesar ataupun diperkecil bergantung pada kerangka hukum sebagai hasil konstitusi ketatanegaraan.
Hubungan antara daerah otonom dan pemerintah serta antar daerah otonom tidak hierarkis tetapi merupakan hubungan antar organisasi. Namun produk hukum daerah otonom berada di bawah produk hukum pusat."
2004
D704
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>