Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44105 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fauzan Djamal
"Penelitian ini bermaksud menggambarkan strategi dalam perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar kawasan hutan Cagar Alam Gunung Simpang (CAGS). Kawasan hutan CAGS adalah kawasan konservasi yang mengalami tekanan dari penduduk sekitar kawasan berupa penebangan liar dan perambahan, yang mengakibatkan kerusakan hutan CAGS. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan diantaranya pasokan air berkurang dan munculnya isyu perebutan tanah. Pada gilirannya isyu-isyu tersebut telah memicu lahirnya konflik baik antar warga masyarakat maupun antara warga masyarakat dengan pihak pengelola kawasan CAGS (BKSDA). Dalam melihat hal tersebut, digunakan konsep adaptasi. Konsep ini mengasumsikan bahwa baik individu maupun masyarakat akan mengembangkan berbagai strategi untuk mengadaptasi berbagai persoalan yang dihadapi. Sedangkan untuk mendapatkan informasi tentang persoalan tersebut, dilakukan beberapa metode dan teknik, diantaranya dengan melalui pengamatan dan wawancara mendalam, kepada informan.
Hasil studi ini menunjukkan, bahwa faktor yang mendorong maraknya penebangan liar dan perambahan diantaranya penegakan hukum yang lemah dari aparat berwenang dan mekanisme keterlibatan warga masyarakat yang tidak jelas dalam proses pengelolaan kawasan hutan. Akibatnya, praktik pemafaatan hutan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak terkendali, sehingga merusak dan menganggu ekosistem kawasan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, masyarakat mengembangkan strategi adaptasi. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar kawasan CAGS adalah dengan cara membuat aturan berikut dengan organisasi yang bertangung jawab untuk mengontrol aktifitas warga masyarakat dalam mernanfaatkan sumber daya hutan CAGS. Keberadaan aturan dalam bentuk perda (peraturan desa) dan lembaga lokal (Raksabumi) dapat dipandang sebagai bentuk keterlibatan warga masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian kawasan hutan CAGS.
Keberadaan institusi lokal, sebagai salah satu bentuk pengejawantahan dari keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan konservasi, telah mampu mengatasi persoalan lokai yang dihadapi oleh masyarakat, seperti pcnebangan liar, perambahan, dan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Hal tersebut salah satunya, dibuktikan dengan tidak ada aktivitas warga dalam bentuk penebangan liar dan perambahan sejak tahun 2003.
Kendatipun demikian, pembangunan dan pengembangan lembaga lokal harus diikuli dengan pembanguan dan pengembangan pada sektor yang lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan warga masyarakat melakul-can tekanan terhadap kawasan hutan, diantara faktor lain tersebut adalah kesejahteraan dan pendidikan. Oleh karena itu perlu ada upaya perlingkatan ekonomi dan pendidikan warga masyarakat sekitar kawasan CAGS. Karena bukan tidak mungkin, pada gilirannya, persoalan ekonomi dan tingkat pendidikan rendah akan memicu kembali warga masyarakat untuk melakukan aktifitas yang dapat merusak kawasan CAGS."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Konstitusi hijau (green constitution) menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki konsekuensi yuridis konstitusional di dalam UUD 1945 untuk menerapkan prinsip-prinsip ekokrasi, yakni setiap kebijaksanaan atau pembangunan dibidang perekonomian selalu memperhatikan lingkungan hidup disegala sektor, termasuk kehutanan. Objek kajian ini adalah putusan MK No. 35/ PUU-X/2012 dengan subjek hukumnya masyarakat adat yang telah dilanggar hak konstitusionalnya. Tujuan dari pengkajian ini adalah: pertama, untuk menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan kajian socio-legal putusan Mahkamah Konstitusi; dan kedua, menjamin dan menganalisis terlaksananya prinsip-prinsip ekokrasi atas penguatan hak konstitusional masyarakat hukum adat sebagai living law dalam pengelolaan hutan adat, sebagai konsekuensi logis Indonesia penganut demokrasi berbasis lingkungan dan green constitution. Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal dalam putusan ini. Hasil kajian ini terungkap bahwa pertama, terdapat hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubunan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Adapun hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang tercakup dalam hutan Adat. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah. Kedua, Pelaksanaan pembangunan nasional ataupun daerah selama ini selalu memprioritaskan unsur ekonomi atau dalam konteks otonomi daerah lebih mengutamakan pendapatan asli daerah, tanpa memperhatikan demokrasi lingkungan berbasis pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Daan Dimara
"Studi ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi dan mendorong peladang di daerah Kurulu lembah Baliem melakukan kegiatan perladangan di lereng gunung. Proses konversi hutan di daerah lereng gunung untuk perladangan sudah berlangsung dari tahun 1954 dan makin meningkat pada tahun 1970-an. Proses konversi hutan yang ditransformasikan menjadi lahan perladangan untuk menghasil-
kan bahan makanan yang dapat dikonsumsikan keluarga peladang itu sendiri mulai beralih ke perladangan ekonomi subsistens arau ekonomi pasar. Kegiatan perladangan di daerah lereng gunung berlangsung dari tahun ke tahun yang mempercepat proses penggundulan hutan.
Sejak masyarakat Dani kontak dengan masyarakat dari dunia Iuar yang lebih maju, secara tidak langsung mereka terseret ke dalam suatu era baru dengan proses akulturasi yang cepat dapat memberikan dampak positif mau pun dampak negatif terhadap kehidupan sosial dan lingkungan fisiknya.
Dampak positif terhadap kehidupan sosial akibat proses akulturasi adalah mulai mengenal alat-alat perladangan baru dan hasil ladang mereka dapat ditukarkan dengan uang. Dengan demikian secara berangsur-angsur dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dampak negatif terhadap lingkungan fisik akibat penggunaan alat-alat perladangan baru ini adalah secara berlebih-lebihan merombak hutan di daerah lereng gunung yang ditransformasikan menjadi ladang yang hasilnya di jual ke pasar. Sistem manajemen tradisional yang tadinya dipergunakan secara ketat untuk mengatur penggunaan hutan dan daerah perladangan makin mengendor dengan hadirnya petugas pemerintah dan penyebar agama Kristen sebagai pemimpin formal menggeser pemimpin tradisional di daerah ini.
Penggundulan hutan di daerah lereng gunung merupakan masalah ekologi marmsia yang perlu dicari jalan pemecahannya tanpa menimbulkan masalah baru terhadap masyarakat di daerah ini yang menggantungkan hidup mereka pada kegiatan
perladangan ubi jalar. Program-program penghijauan kembali daerah gundul di lereng gunung yang dilakukan pemerintah daerah belum berhasil karena ada faktor-faktor penghambat baik yang berasal dari pihak pemerintah, pelaksana program maupun yang berasal dari masyarakat setempat.
Untuk keberhasilan program penghijauan kembali daerah gundul di lereng gunung dapat disusun suatu program terpadu yang melibatkan semua sektor yang ada kaitannya dengan program pembangunan masyarakat pedesaan. Dengan demikian
program ini bertujuan untuk menghijaukan kembali daerah lereng gunung yang sudah gundul, tetapi di sisi lain dapat memberikan peningkatan hidup kepada masyarakat Dani di daerah mereka."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elviqar
"Analisis vegetasi dan studi regenerasi di Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM), Desa Temenggung, Kabupaten Sarolangun, Provinsi jambi dilakukan pada bulan Oktober - Desember 2012. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode petak 1 hektare. Inventarisasi spesies-spesies pohon dilakukan dengan 100 petak yang masing-masing berukuran 10x10 m. Hasil inventaris pohon diameter ≥ 10 cm tercatat 79 spesies, dari 765 individu pohon dengan total luas bidang dasar 44,85 m2. Tercatat pula untuk tingkat belta sebanyak 82 spesies, dari 1404 individu dengan total luas bidang dasar 7,70 m2. Pada tingkat semai sebanyak 64 spesies, dari 797 individu dengan total luas bidang dasar 0,02 m2. Kepindis putih (Sloetia elongata) mendominasi pada tingkat pohon, yang diikuti oleh Kelat merah (Ctenolophon parvifolius) dengan nilai kepentingan (NK) berturut - turut 28, 97% dan 19,68%. Analisis sebaran spesies terdapat 21 spesies umumnya terdapat di hutan sekunder dan 75 spesies umumnya terdapat di hutan primer. Seluruh pohon yang terdapat di HAIM adalah tumbuhan asli yang tumbuh secara alami, dan beberapa di antaranya termasuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh hukum di Indonesia. Di antara 10 spesies utama S. elongata, Baccaurea javanica dan C. parvifolius merupakan spesies memiliki jumlah belta dan semai yang tinggi. Pohon Kepindis putih (S. elongata) merupakan spesies dengan jumlah kerapatan tinggi pada tingkat pohon dan pada belta sebaliknya pada tingkat semai menurun. Hal tersebut menunjukkan mungkin suatu saat nanti S. elongata akan berkurang di kawasan hutan adat dan digantikan oleh spesies lain, seperti B. javanica yang jumlahnya menjadi lebih dominan. Keadaan struktur dan komposisi flora HAIM yang sedang mengalami suksesi dapat menuju hutan klimaks jika kawasan tidak terganggu. Sebanyak 78 spesies atau 81,25% dari total keseluruhan spesies pohon yang tercatat mengalami regenerasi dalam kawasan. Di masa depan HAIM akan didominasi oleh spesies pohon hutan primer seperti Ctenolophon parvifolius dan spesies-spesies dari famili Dipterocarpaceae, dengan pohon induk saat ini tersebar di seluruh kawasan HAIM.

Vegetation analysis and tree regeneration study in the Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM), Temenggung Village, Sarolangun Regency, Jambi Province was conducted from October until December 2012. A tree species enumeration was carried out in a one-hectare plot. A total of 765 trees (diameter at breast high, dbh ≥ 10 cm) with total basal area of 44,85 m2 comprising 96 species were recorded. The sapling species recorded were 82, consisting of 1404 individuals, with a total basal area of 7,70 m2 while for the seedlings 797 individuals with a total basal area of 0.02 m2were recorded, representing 64 species. Kepindis putih (Sloetia elongata) and Kelat merah (Ctenolophon parvifolius) were dominant with the Importance Values of 28,97% and 19,68% respectively. The presence of S. elongata, C. parvifolius, Shorea spp., Pimelodendron griffithianum, among others , indicated that the forest was a regenerating natural forest leading to the primary forest. Among the 96 species recorded, 21 species were trees commonly found in secondary forests and 75 species of trees the primary forest. All tress in the forest are native plant that grows naturally, some of which are included in the category of rare and protected by the laws of Indonesia. Among the 10 prevalent species, S. elongata, Baccaurea javanica, and C. parvifolius contained the highest number of sapling and seedling. The Kepindis putih tree S. elongata, which was the species with highest in the sapling stage and contained high density in seedling stages may initially grow readily in the forest, but it will be eventually replaced as the dominant by other primary forest species, such as Ctenolophon parvifolius and Shorea spp. In term of structure and floristic composition, the forest at HAIM is undergoing succession leading to the climax forest if undisturbed. A total of 78 species (81,25%) have been regenerating in the plot. In the future the forest will be dominated by primary forest species, whose parent trees are currently scattered throughout the forest of HAIM."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T34605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andestian Wijaya
Bogor: Terbit Press, 2016
634.9 AND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmah
"ABSTRAK
Analisis komposisi, struktur, dan regenerasi pohon hutan pamah di zona inti
bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi dilakukan pada bulan
Oktober hingga November 2012. Pengambilan data dilakukan pada plot seluas
satu hektar yang diletakkan di daerah berbukit. Sebanyak 100 petak masingmasing
berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk memperoleh data tingkat pohon,
dan menyarang di dalamnya plot berukuran 5 m x 5 m dan 1 m x 1 m untuk
pengamatan data tingkat belta dan semai. Tercatat 414 pohon dengan diameter
setinggi dada (DSD) ≥ 10 cm, yang mewakili 113 spesies dari 38 keluarga,
dengan Luas area dasar (LAD) keseluruhan 25,71 m2 dan indeks keanekaragaman
Shannon - Wiener sebesar 4,29. Sebanyak 282 individu tercatat mewakili 88
spesies dari 34 keluarga pada tingkat belta dan 222 individu yang mewakili 67
spesies dari 32 keluarga pada tingkat semai. Spesies yang paling dominan
berdasarkan Nilai Kepentingan (NK) pada tingkat pohon adalah Prunus arborea
dengan NK sebesar 19,19%. Ficus fistulosa merupakan spesies pohon dengan
kerapatan tertinggi (24 pohon/ha). Kerapatan tertinggi tingkat semai ditempati
oleh Rinorea anguifera (24 pohon/ha) dan kerapatan tertinggi tingkat belta
ditempati oleh Ficus fistulosa (15 pohon/ha). Moraceae dengan NK sebesar
34,05% merupakan famili terpenting dalam plot penelitian pada tingkat pohon,
sementara Violaceae dan Burseraceae dengan masing-masing NK sebesar 28,31%
dan 25,67% menjadi famili terpenting pada tingkat semai dan belta. Sebanyak 71
spesies atau 62,8% dari total spesies pohon beregenerasi di dalam plot penelitian.
Berdasarkan kerapatan pada tingkat semai, belta, dan pohon, spesies-spesies dari
famili Euphorbiaceae menunjukkan kemampuan regenerasi yang baik dan
diharapkan menjadi famili yang dominan di masa depan pada plot penelitian.
Sebanyak 61 spesies terdaftar dalam checklist Sumatra dan salah satunya
endemik, yaitu Baccaurea dulcis. Berdasarkan Redlist IUCN, Shorea leprosula
memiliki status konservasi Endangered, Aquilaria malaccensis memiliki status
konservasi Vulnerable, dan 12 spesies lain memiliki status konservasi Low Risk.

ABSTRACT
Analysis of the composition, structure, and tree regeneration of the lowland forest
in the eastern part of the core zone of the Bukit Duabelas National Park, Jambi
was conducted in October and November 2012. The study was carried out on a
one-hectare plot laid out on a slope of a lowland hill forest. A total of 100
quadrats of 10 m x 10 m each was used to obtain data trees, and plots measuring 5
m x 5 m and 1 m x 1 m each were nestled in sapling quadrates to secure data of
saplings and seedlings. We recorded 414 trees with diameter at breast height
(DBH) ≥ 10 cm, representing 113 species of 38 families, with the total basal area
(BA) of 25.71 m2 and Shannon--Wiener diversity index of 4,29. A total of 282
individuals were recorded representing 88 species of 34 families at the sapling
stage and 222 individuals of seedlings representing 67 species of 32 families. The
prevalent species of tree was Prunus arborea with Importance Value (IV) of
19.2%. Ficus fistulosa was the tree species with the highest density (24 trees/ha).
The highest density of seedlings was Rinorea anguifera (24 trees/ha) and the
highest density of saplings was Ficus fistulosa (15 trees/ha). Moraceae with IV
34,05% was dominant in the study site at tree stage, while Violaceae and
Burseraceae with each IV 28.31% and 25.67% were dominant at seedlings and
saplings stage. A total of 71 species or 62.8% of all tree species were
regenerating in the plot. Based on the density of seedlings, saplings and trees, the
species of Euphorbiaceae showed a good regenerating capability and expected to
be the dominant family in the future in the area. A total of 61 species are
registered in the Sumatra checklist and one of them is endemic, which was
Baccaurea dulcis. Following the IUCN redlist we categorized Shorea leprosula
as an endangered species, Aquilaria malaccensis as a vulnerable species, and 12
others as species with low risk."
2013
T34982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sehati
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang komposisi dan struktur hutan pamah serta regenerasi pohon di zona inti bagian barat Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi pada bulan Oktober-November 2012. Plot seluas satu hektare diletakkan di tanah datar di punggung bukit. Plot dibagi menjadi 100 petak yang masing-masing berukuran 10x10 m untuk pencacahan pohon. Petak 5x5 m dan 1x1 m disarangkan dalam plot tersebut untuk pencacahan belta dan semai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon dengan diameter setinggi dada (DSD) ≥ 10 cm tercatat sebanyak 463 individu, mewakili 91 spesies dan 36 famili, dengan total area dasar (AD) 27,21 m2 dan indeks keanekaragaman shannon-wiener (H’) 4,04. Spesies dominan berdasarkan nilai kepentingan (NK) adalah Archidendron bubalinum dengan NK tertinggi sebesar 13,93%, diikuti Dacryodes sp. 12,32% dan Antidesma neurocarpum sebesar 12,17%. Archidendron bubalinum adalah spesies dengan kerapatan tertinggi (29 pohon/ha) dan frekuensi tertinggi (22). Koompassia malacensis dari famili Caesalpiniaceae memiliki AD tertinggi 2,23 m2 atau 8,18% dari total AD dalam plot. Burseraceae (32,73%) dan Dipterocarpaceae (25,78%) merupakan famili dengan NK tertinggi, sedangkan famili dengan spesies terbanyak tercatat pada famili Euphorbiaceae (7 spesies). Sebanyak 12 spesies (71 individu) masuk dalam kategori redlist IUCN, 2 di antaranya masuk dalam kategori Critically Endangered (Prashorea lucida dan Shorea acuminata), Endangered (Shorea leprosula), Lower Risk (8 spesies), dan vulnerable (1 spesies). Tercatat sebanyak 511 individu pada tingkat semai, yang diwakili oleh 57 spesies dan 32 famili. Pada tingkat belta tercatat 570 individu yang diwakili oleh 87 spesies dan 36 famili. Di antara 10 spesies pohon yang memiliki kerapatan tertinggi, terdapat 6 spesies (Archidendron bubalinum, Dacryodes sp., Antidesma neurocarpum, Ochanostachys sp., Knema laurina, dan Hydnocarpus sp.) memiliki sebaran lengkap. Empat spesies hanya memiliki sebaran anakan di tingkat belta (Koompassia malacensis, Parashorea lucida, Leptonychia caudata, dan Dacryodes rostrata). Sebanyak 65 spesies atau 71,43% dari semua spesies pohon beregenerasi dalam petak penelitian.

ABSTRACT
Study on the composition, structure, and regeneration of the lowland forest in the western part of the core zone of the Bukit Duabelas National Park, Jambi, was conducted in October-November 2012. A one-hectare plot was established on a flatland, over a ridge. It was divided into 100 quadrats of 10 x 10 m each for the enumeration of trees. Subplots of 5x5 m and 1x1 m were nested within the 10x10 m quadrats for enumeration of saplings and seedlings. The results showed that as many as 463 trees with a diameter at breast height (DBH) ≥ 10 cm were recorded, representing 91 species and 36 families, with a total basal area (BA) of 27.21 m2 and the Shannon-Wiener diversity index (H ') of 4.04. The prevalent species in the plot was Archidendron bubalinum with highest importance value (IV) of 13.93%, followed by Dacryodes sp. with IV of 12.32% and Antidesma neurocarpum with IV of 12.17%. Archidendron bubalinum was the species with the highest density (29 trees/ha) and highest frequency (22). Koompassia malacensis from Caesalpiniaceae was a species having the highest BA 2.23 m2 or 8.18% of the total BA in the plot. Burseraceae (32.73%) and Dipterocarpaceae (25.78%) were a families with the highest IV, while the families with the highest number of species recorded was Euphorbiaceae (7 species). A total of 12 species (71 individuals) occurring in the plot were listed in the IUCN redlist category, 2 of which were in the category of Critically Endangered (Prashorea lucida and Shorea acuminata), Endangered (Shorea leprosula), Lower Risk (8 species), and vulnerable (1 species). We recorded 511 individuals of tree seedling, representing 57 species and 32 families. At the sapling stage 570 individuals were recorded representing 87 species and 36 families. Out of 10 species of tree with the highest density, 6 species (Archidendron bubalinum, Antidesma neurocarpum, Dacryodes sp., Hydnocarpus sp., Knema laurina, and Ochanostachys sp.) had a good number of saplings and seedlings. Only four species had individuals at sapling stage (Koompassia malacensis, Parashorea lucida, Leptonychia caudata, and Dacryodes rostrata). A total of 65 species or 71.43% of all tree species were regenerating in plot."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T39237
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mawuntu, Joyce Helen
"ABSTRAK
Salah satu kelompok masyarakat hukum adat yang ada hingga saat ini adalah kelompok masyarakat adat di Kabupaten Lebong. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan pegunungan Bukit Barisan. Mereka hidup dari hasil memanfaatkan dan mengolah sumber daya hutan yang ada di sekitar mereka.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 192/Kpts-II/1996, tertanggal 1 Mei 1996, telah mengubah fungsi dan menunjuk sebagian kawasan hutan di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu seluas +/-1.368.000 Ha, menjadi Taman Nasional Kerinci Seblat. Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 901/Kpts-11/1999, tertanggal 14 Oktober 1999 Ditetapkan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang terletak di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan dan Bengkulu dengan luas 1.375.349,867 (satu juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu tiga ratus empat puluh sembilan delapan ratus enam putuh tujuh perseribu) hektar.
Bahwa berdasarkan UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1990, kedudukan Masyarakat Hukum Adat serta Hak Ulayat yang dimilikinya secara tegas diakui. Akan tetapi dalam UU No. 41/1999, pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi beberapa syarat, artinya keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam satu wilayah teritorial di Indonesia diakui sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dan keberadaannya harus diakui oleh Pemerintah Daerah setempat. Selanjutnya implementasi penyetenggaran otonomi daerah Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu terhadap peningkatan kesejahteraan' Masyarakat Hukum Adat akibat pelaksaaan surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 192/Kpts-II/1996 yang menetapkan kawasan TNKS sebagai kawasan cagar biosfer, belum memberikan tingkat kesejahteraan Masyarakat Hukum Adat yang maksimal dikarenakan ketika terjadi pembatasan akses terhadap Masyarakat Hukum Adat terhadap hutan, hal tersebut tidak diikuti dengan kebijakan pemberdayaan ekonomi Masyarakat Hukum Adat yang tinggal sekitar kawasan hutan.
"
2007
T 19650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhammad Bahtiar
"Penelitian ini tentang pengelolaan sumber daya madu hutan yang dilakukan oleh masyarakat di desa Keliling Semulung, Kecamatan Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan deskripsi tentang pengelolaan sumber daya madu hutan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka, pengamatan partisipasi dan wawancara. Penelitian saya menunjukkan bahwa terdapat tiga sumber daya madu hutan yaitu repak, lalau dan tikung. Pada ketiga sumber daya madu hutan tersebut terdapat tiga unsur sumber daya yaitu, tanah, pohon dan sarang lebah. Pengelolaan pohon dan tanah dan sarang lebah pada repak, lalau, dan tikung, dilakukan dengan cara berbeda. Adapun hak kepemilikan sarang lebah pada repak, lalau, tikung adalah sama yaitu sebagai pemilik, sedangkan hak kepemilikan pada tanah dan pohon berbeda. Pengelolaan tanah, pohon dan sarang lebah pada ketiga sumber daya madu tersebut dilaksanakan sesuai dengan pranata yang berlaku di masyarakat dan pranata yang berlaku merupakan aturan adat. Pranata ini memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya maduhutan.

This research is about the management of forest honey resources in Keliling Semulung. This study used a qualitative approach to get a description of forest honey resource management. The data was collected by the method of literature, participation observations and interviews. My research shows that there are three resources of forest honey that are repak, lalau and tikung. On the third of the forest honey resource, there are three elements of resources, that are land, trees and honeycomb. Management of land and trees and honeycomb on repak, lalau, and tikung, carried in a different way. The ownership rights honeycomb on repak, lalau, tikung are the same being as the owner, while the land and tree tenure is different, Management of the soil, tree and honeycomb on all three honey forest resources is implemented according with the institutions who prevailing in society and institutions which applicable constitute customary rules. This instituions holds an important role in the management of forest honey resources.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apri Dwi Sumarah
"ABSTRAK
Ekosistem hutan menyediakan berbagai manfaat bagi kehidupan yaitu nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung, dimana kemungkinan nilai tidak langsungnya lebih tinggi daripada nilai guna langsungnya. Dikarenakan tidak adanya harga pasar, maka perlu dilakukan perhitungan manfaat hutan secara menyeluruh. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi manfaat taman hutan wisata alam Grojogan Sewu secara menyeluruh, mengetahui tingkat membayar pengunjung dan faktor ? faktor yang mempengaruhinya. Nilai manfaat yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai manfaat wisata, nilai potensi kayu, nilai serapan karbon, nilai kesejukan dan nilai serapan air. Metode kontingensi dengan regresi logistik digunakan dalam penelitian ini untuk mengitung nilai guna wisata. Sedangkan untuk nilai kayu dan serapan karbon menggunakan pendekatan harga pasar yang berlaku dan nilai kesejukan dan nilai serapan air menggunakan pendekatan biaya pengganti. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini salah satunya adalah tingkat kemauan membayar pengunjung terhadap objek wisata TWA Grojogan Sewu. Nilai kemauan membayar pengunjung di objek wisata ini yang diperoleh masih lebih rendah daripada harga tiket masuk ketika penelitian dilakukan, yaitu dengan nilai terendah sebesar Rp10,622.56 yang diperoleh dari pengunjung dengan jenjang pendidikan tinggi dan memiliki jarak tempat tinggal ke lokasi wisata lebih dari 500 km, sedangkan nilai tertinggi adalah Rp12,406.39 yang diperoleh dari pengunjung dengan jenjang pendidikan menengah dan jarak tempat tinggal ke objek wisata kurang dari 500 km. Faktor ? faktor yang mempengaruhi nilai kemauan membayar tersebut adalah tingkat tawaran harga, umur, jenjang pendidikan tinggi, jumlah kunjungan, waktu berkunjung, persepsi responden terhadap ekosistem hutan di lokasi rekreasi sebagai daya tarik wisata dan persepsi terhadap TWA Grojogan Sewu sebagai asset nasional dan keamanan dalam melakukan kegiatan wisata di TWA Grojogan sewu. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai ekonomi penggunaan langsung lebih rendah daripada nilai penggunaan tidak langsung.dengan nilai total sejumlah Rp68.805.414.238,30.

ABSTRACT
Forest ecosystem provides many benefits for human being, those are use values and non-use values, which its non-use values may considerably exceed its use values. Due to lack of market price on forest ecosystem service, therefore needs a comprehensive method of forest ecosystem service valuation. Aims of this study are estimating the benefits value of Grojogan Sewu tourism forest, eliciting willingness to pay of tourist and drawing factors which influence to willingness to pay (wtp) level. The economic values which are estimated in this study are recreation value, commercial timber value, carbon storage value, micro-climate value and watershed service. Contingent valuation method along with logistic regression is used to evaluate the recreational value. However, commercial timber value and carbon storage value are based on market price approach; otherwise micro-climate and watershed value are based on substitution. Result of willingness to pay of tourist in this study is lower than the current price of entrance fee when this research was established which the lowest wtp is around Rp10,622.56 that generated from respondents who have a high education and home distance to attraction site more than 500 km; on the other hand the highest wtp is about Rp12,406.39 which generated from tourists with a medium education level and home distance less than 500 km. In this case, wtp is influenced by bid vehicle, age, a high education level, numbers of visit, the time-length of visit, perception on natural surroundings of forest ecosystem as recreational attraction, perception on statement that Grojogan Sewu as a national asset and safety feeling surrounding recreational site. Based on the study, it is defined that the use value is lower than the non-use value which the amount of total values around Rp Rp68.805.414.238,30."
2016
T46295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>