Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98622 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kharisma Rani Timur
"Sebagai Negara anggota WTO Indonesia telah meratifikasi ketentuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights), konvensi-konvensi serta traktat internasional dibidang HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Berdasarkan hukum internasional, persetujuan yang telah diratifikasi merupakan hukum nasional bagi negara itu sendiri. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan dibidang HaKI di Indonesia adalah hasil penyesuaian hukum secara internasional. Ketentuan mengenai merek di Indonesia saat ini diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. UU No. 15 Tahun 2001 ini menganut sistem konstitutif yakni hak merek hanya tercipta jika ada pendaftaran. Di dalam sistem pendaftaran merek dikenal dua macam sistem yaitu sistem deklaratif dan sistem konsitutif. Sistem konstitutif lebih menjamin kepastian hukum dengan salah satu alasan yaitu sertifikat merek diberikan oleh Direktorat Merek pada pemilik merek yang pertama kali mendaftarkan mereknya di Indonesia. Salah satu pokok permasalahan dalam tesis ini adalah ternyata pada prakteknya masih terjadi satu merek dimiliki oleh dua pihak yang masingmasing memiliki sertifikat merek sehingga kepastian hukum tidak tercapai; sama seperti halnya di dalam kasus merek Superviton antara PT Bogamulia Nagadi lawan PT Erela. Kasus merek Superviton ini dibawa sampai tingkat Peninjauan Kembali (PK) dan dirnenangkan oleh PT Bogamulia Nagadi. Untuk mengetahui penerapan sistem konstitutif yang dianut oleh UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek: studi kasus merek Superviton; penulis menggunakan teori hukum slam dan teori reward sebagai pisau analisa. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian normatif. Berdasarkan hasil penelitian, antara lain penulis berkesimpulan bahwa sistem konstitutif yang berlaku dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek benar-benar memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek Superviton, yakni PT Bogamulia Nagadi.

As a member of WTO, Indonesia has already ratified TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights), conventions, and international treaties of intellectual property rights. According to international law, an agreement or treaty ratified by a country constitutes national law of the country. Therefore, any laws of intellectual property rights of Indonesia are adjustment or adoption of international laws. The Indonesian Trade Mark Law is regulated in Indonesian Act No. 15, the year of 2001. This act adopts the constitutive system, that is, the rights of a company or an individual to a certain trademark is established by registration. There are two systems of trademark registration, namely; declarative an constitutive system. In terms of legal certainty, the latter gives a better guarantee, because the certificate of trademark is granted by the Directorate of Trademark to the owner of the trademark who first filed the trademark in Indonesia. ne of the legal issues brought up in this thesis is the fact that in practice, we can still find a certain trademark is owned by two parties or companies an this kind of practice leads to uncertainty. Similiar case takes place in Superviton trademark case between PT Bogamulia Nagadi versus PT Erela. This Supervtion case has been referred to Indonesian Supreme Court for "Judicial Review" and PT Bogamulia Nagadi won the case. In order to know the implementation of constitutive system adopted by Indonesian Act of the year 2001, the writer has applied Natural Law and Reward theory as the basis analysis, while the research method applied in normative research method. Based on the result of the research, the writer draws the conclusion that constitutive system applied by Indonesian Act No. 15 of the year 2001 really gives legal certainty to the owner of Superviton trademark, namely PT Bogamulia Nagadi."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T19892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria A. Nareswari
"Dengan berkembangnya dunia perdagangan, perlindungan akan merek pun menjadi hal yang sangat penting. Pada dasarnya, merek adalah sebagai tanda yang menunjukkan asal barang, membedakan antara satu produsen dengan produsen lainnya. Merek harus memiliki daya pembeda. Merek tidak dapat didaftarkan jika merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang/jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Kata/istilah generik yang menerangkan barang/jasa tersebut tidak dapat didaftarkan karena memiliki daya pembeda yang lemah. Dalam kasus Kopitiam, Mahkamah Agung mengabulkan kopitiam sebagai merek eksklusif individu karena kopitiam tidak memiliki arti kedai kopi seperti yang diutarakan pemohon Peninjauan Kembali. Pemberian arti kopitiam yaitu kopi berasal dari Bahasa Melayu, dan tiam dari Bahasa Hokkien yang berarti kedai (pemaknaan kopitiam yaitu sebagai kedai kopi), tidak dapat diterima Mahkamah Agung. Penggunaan istilah tersebut bukanlah sesuatu yang lazim, namun bagi masyarakat terutama daerah pesisir Sumatera, Kalimantan, dekat Singapura dan Malaysia, menganggap istilah kopitiam adalah identik dengan sebuah kedai kopi. Perbedaan pemahaman ini yang akhirnya membuat secara hukum kopitiam diterima sebagai merek dan tidak bagi masyarakat terutama para pengusaha Kopitiam di Indonesia.

With the fast development of tradingscene, the legal protection of trademarks becomes an important issue. Basically, trademark is a sign which indicates the origin of certain goods, and it can also distinguish one producer’s good from the competitors’. Trademark should have a distinctiveness. A mark cannot be registered if it is in some ways related to the product/service. In the Kopitiam case, the Supreme Court has granted the exclusive right of that mark with reasoning there is not enough evidence that “Kopitiam” translates to “Coffee Shop”, as Abdul Alek has stated. Kopitiam is originated from Kopi from Malay language and Tiam which means shop (from Hokkien dialect). The Supreme Court stated that the use of the term ‘Kopitiam’ is not common, but for the citizen, especially originating from Sumatera, Kalimantan, and around Singapore and Malaysia, the term Kopitiam is synonymous with “Coffee Shop”. The difference in understanding leads to legal acceptance of “Kopitiam” as an exclusive trademark in Indonesia, with the general public, especially other Kopitiam business, unable to use it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Nuraeni
"Skripsi ini membahas tentang ketentuan persamaan pada pokoknya dalam sebuah merek berdasarkan pada doktrin-doktrin merek yang dianut dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Doktrin-doktrin merek tersebut menjadi dasar pengujian dalam penolakan pendaftaran merek, oposisi, pembatalan , dan juga salah satu dasar gugatan dalam sebuah pelanggaran merek. Sebagai pembanding tentang ketentuan tersebut digunakan ketentuan yang dianut sistem Amerika Serikat dan Masyarakat Uni Eropa ( European Economic Community). Untuk memahami konsistensi penerapan ketentuan tersebut dalam kasus digunakan dua buah kasus yaitu kasus sengketa merek antara Extra Joss melawan Enerjos dan Kasus IKEA dengan IKEMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan desain preskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat inkonsistensi dalam penerapannya doktrindoktrin merek, sehingga diperlukan beberapa revisi terhadap undang-undang yang berlaku saat ini.

This thesis investigated the use of likelihood of confusion clause from its doctrine point of view as stated in Indonesia’s Mark Law No. 15 Year 2001.The doctrines serve as grounds for refusing registration, opposing application, canceling registration, and for claiming infringment of mark. The U.S System and Europan Economic Community (EEC) sytems are used as comparison to the Indonesian law. To understand the application of the doctrines in cases, two cases were selected, which are Extra Joss versus Enerjos and IKEA versus IKEMA. This thesis used doctrinal method as a research method with prescriptif design. The study found that there are inconsistencies in the application of the mark doctrines therefore some revisions to the law should be made accordingly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54072
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bastian Hasan
"Yang kita kenal dengan merek saat ini, awalnya hanyalah sebuah tanda agar masyarakat dapat membedakan produk barang/jasa satu dengan yang lainnya. Dengan merek masyarakat lebih mudah mengingat sesuatu yang dibutuhkan dan dapat menentukan barang/jasa yang akan dibelinya. Selain menjaga kualitas barang/jasa, produsen juga memerlukan upaya promosi untuk mengenalkan barang/jasanya lebih luas lagi, sehingga merek tersebut menjadi Merek Terkenal.
Perlindungan hukum atas Merek Terkenal ini sangat diperlukan, di Indonesia sendiri UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek sudah mengatur tentang perlindungan hukum Merek Terkenal namun penegakkan hukum untuk menentukan Merek Terkenal masih sulit dilakukan. Penelitian hukum yang digunakan dalam tulisan ini lebih dititik beratkan pada penelitian hukum normatif dan kepustakaan yaitu suatu teknik pengumpulan data primer dan sekunder dengan cara meneliti bahan pustaka yang bersumber pada undang-undang, putusan pengadilan, buku, literatur dan wawancara yang berhubungan dengan masalah-masalah yang diteliti.
Bagi pihak yang beritikad tidak baik secara ekonomi memang memanfaatkan Merek Terkenal mendatangkan keuntungan yang cukup besar dengan segala upaya mereka lakukan mulai dari menggunakan tanpa hak sampai mencoba untuk melegalkannya dengan mendaftarkan Merek Terkenal tersebut. Banyak juga pendaftaran dengan itikad tidak baik ini berhasil didaftarkan dan diperpanjang namun tidak sedikit yang berujung sengketa di Pengadilan.
Walaupun tidak ada parameter yang mengatur secara detail mengenai Merek Terkenal, namun seharusnya ada suatu upaya agar persepsi pemeriksa merek tentang Merek Terkenal khususnya di berikan persamaan persepsi tentang hal tersebut. Persamaan persepsi ini dapat juga dilakukan dengan pelatihan internal di Sub Direktorat Pemeriksa Merek, Direktorat Merek, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

We are familiar with the marks today, it was originally just a sign that people can distinguish the goods / services to one another. With the marks the people easier to remember something that is needed and can determine the goods / services to be purchased. In addition to maintaining the quality of the goods / services, manufacturers also require promotional efforts to introduce the goods / services more widely, so that the marks becomes Well-Known Marks. The legal protection of Well-Known Marks are very necessary, in Indonesia's own Law No. 15 year 2001 Regarding Marks already regulates the legal protection of Well-Known Marks but law enforcement to determine Well-Known Marks still difficult. The legal research used in this paper is more emphasis on normative legal research and literature, there are techniques of collecting primary and secondary data by examining the library materials are sourced in legislation, court decisions, books, literatures and interviews related with the problems studied.
For the economically, who are bad faith indeed utilize Well-Known Marks brings a considerable advantage. They efforts did start to use Well-Known Marks without the right and also try to legalize it by registering. Many registration of Well-Known Marks in bad faith have been successfully to registered and extended their marks but not least the endless disputes in court.
Although there are no set parameters in detail about Well-Known Marks, but there should be an effort to make the perception of the brand examiner especially for Well-Known Marks given the common perception about it. This perception can also be done with the internal training in Sub Directorate Trademark Examiner, Trademark Directorate of the Ministry of Justice and Human Rights of Republic of Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evita Eka Prasetaningtyas
"Merek merupakan tanda pengenal sebagai pembeda suatu barang dan/atau suatu jasa dengan barang dan/atau jasa lain yang sejenis maupun tidak sejenis. Penggugat PT. Monysaga Prima sebagai pemegang merek JELIJUS kelas 29 dan kelas 32 mengajukan gugatan Penghapusan Pendaftaran Merek karena menemukan bahwa tergugat PT. Manacoco Sari sebagai pemegang merek YEKO JELLYJUICE kelas 29 dan kelas 32 telah mengedarkan produk minuman dalam bentuk jelly dengan memakai atau menggunakan merek yang tidak sesuai dengan merek yang di daftar, yaitu menggunakan merek JELLYJUICE dengan karakter huruf lebih besar atau menonjol dan menyembunyikan kata YEKO dalam lingkaran karakter huruf lebih kecil yang ditempatkan secara terpisah dari rangkaian kalimat Jellyjuice, yaitu terletak di atas kata JELLYJUICE. Padahal merek yang terdaftar pada Daftar Umum Direktorat Merek seharusnya merek YEKO JELLYJUICE merupakan suatu rangkaian dengan karakter huruf yang sama dan dengan ukuran yang sama besar pula sebagaimana tercantusn dalam Sertifikat Merek atas nama Tergugat.
Maka dari itu yang menjadi pokok permasalahannya adalah hal yang menjadi landasan bahwa pada merek Yeko Jellyjuice yang terjadi adalah Penghapusan bukan Pembatalan Pendaftaran Merek dan Penggugat sebagai pemegang merek dagang Jelijus berhak atau tidak untuk mengajukan gugatan Penghapusan Pendaftaran Merek dalam hal Tergugat menyatakan bahwa Penggugat dalam hal ini juga telah melanggar ketentuan. Metode penelitian yaitu kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian evaluatif, Jenis data yang digunakan data sekunder.
Dari permasalahan tersebut disimpulkan bahwa Penggugat melakukan gugatan penghapusan pendaftaran merek karena adanya bukti yang lebih kuat yang terdapat pada produk barang Tergugat, dan Tergugat tidak dapat menyatakan bahwa Penggugat tidak dapat melakukan gugatan karena produk Penggugat juga mencantumkan merek yang tidak sesuai dengan yang didaftarkan karena pernyataan bahwa Penggugat menggunakan merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftarkannya hanya dapat diputuskan melalui Pengadilan Niaga atas prakarsa Direktorat Jenderal atau pihak ketiga yang berkeberatan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16535
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Natassa Raemavenzka
"Penerapan doctrine of foreign equivalents terhadap Merek AQUA yang merupakan merek untuk produk air minum dalam kemasan, menempatkan Merek AQUA sebagai merek generik dalam tingkatan kekuatan daya pembeda merek, sebab kata ‘aqua’ dalam Merek AQUA memiliki arti kata ‘air’ apabila diterjemahkan dari bahasa Latin ke dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang menerangkan nama barangnya yaitu air minum. Unsur berupa keterkenalan merek dan penggunaan merek secara terus-menerus oleh PT Aqua Golden Mississippi sekalipun tidak dapat memberikan secondary meaning terhadap Merek AQUA sebagai merek generik. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap Merek AQUA hanyalah Merek AQUA sebagai marks as per set dengan pengecualian terhadap kata ‘aqua’.

The application of doctrine of foreign equivalents to AQUA® which is the trademark for bottled drinking water products, placing AQUA® as a generic marks based on the spectrum of trademark distinctiveness, because the word 'aqua' in AQUA® means 'water' when translated from Latin to Indonesian describing the products namely bottled drinking water. Even elements such as famous and well-known marks and continuous usage of trademark by PT Aqua Golden Mississippi cannot achieve any secondary meaning to AQUA® as generic marks. The legal protection that can be given to AQUA® as trademark is only as marks as per set with the exception of the word 'aqua'.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Puspitasari
"ABSTRAK
Ambush marketing adalah kegiatan persaingan curang yang dilakukan suatu perusahaan dalam sebuah event, dimana kegiatan tersebut telah menggunakan merek atau lambang event yang dilindungi dan memposisikan perusahaannya sebagai pemberi sponsor resmi event tanpa memiliki hak lisensi. Ambush marketing telah merugikan penyelenggara event karena memanfaatkan merek event tanpa otorisasi dan merugikan pemberi sponsor resmi karena mencoba memanfaatkan goodwill yang dimiliki. Beberapa Negara telah menerapkan peraturam untuk melawan praktek ambush marketing, baik menggunakan peraturan terkait maupun membentuk suatu peraturan khusus yang ditujukan untuk event tertentu. Namun, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 belum dapat mengakomodir perlindungan hukum bagi penyelenggara event maupun pemberi sponsor resmi secara menyeluruh. Maka diperlukan sebuah pembaharuan hukum merek agar dapat memberikan perlindungan hukum bagi penyelenggara event maupun pemberi sponsor dari praktek ambush marketing. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode yuridis normatif.

ABSTRACT
Ambush marketing is unfair competition activities between the entities in the event, where they have been used the protected symbol of the trademark and its positioned which is the official sponsor without the legal license. Ambush marketing has adverse event organizers for unauthorized use of the trademark and an official sponsor for trying to take of goodwill. Some countries have adopted anti-ambush marketing legislation, even using either regulations or established a special rule aimed at a particular event. However, regulation No. 15 of 2001 has not been able to accommodate the legal protection for event organizers and official sponsors intirely. It would require a legal reforms to provide law protection for the event organizer or official sponsor from ambush marketing practices. In this study, the authors used juridice normative methods."
Universitas Indonesia, 2013
T32667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Dewi Kartika
"ABSTRAK
Pasal 41 Ayat (8) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur pengalihan hak atas merek yang dapat dilakukan pada saat proses permohonan pendaftaran merek. Kebijakan ini ditujukan sebagai bentuk penyesuaian terhadap Trademark Law Treaty. Akan tetapi, di dalam proses pelaksanaannya terjadi banyak kerancuan dan pertentangan, khususnya dengan Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2016. Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2016, mengatur mengenai hak eksklusif atas merek, dimana hak atas merek baru muncul atau terbit ketika suatu merek terdaftar, bukan pada saat proses permohonan pendaftaran merek. Terhadap hal ini, perlu dilakukan amandemen terhadap Pasal 41 ayat (8) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geogafis.

ABSTRACT
Article 41 Paragraph 8 of Law No. 20 Year 2016 Regarding Trademark and Geographical Indications regulates the transfer of trademark right at the application of trademark registration process. This rule is intended as a form of adjustment to the Trademark Law Treaty. However, in the process of implementation there has been a lot of confusion and conflict, especially with Article 1 paragraph 5 jo. Article 3 of Law No. 20 of 2016. Article 1 paragraph 5 of Law No. 20 of 2016, regulates the exclusive rights of the brand, where the rights to a new brand appear or are issued when a brand is registered, not when the process of applying for a trademark registration. Regarding this, amendments to Article 41 paragraph (8) of Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications
"
2019
T54956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Saka
"Skripsi ini membahas mengenai prinsip hukum “Genuine Use” dan “Pemakaian merek dalam perdagangan” sebagai dasar penghapusan Merek terdaftar yang tidak dipakai dalam perdagangan, menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, tidak ditentukan definisi dan kriteria sebagai penggunaan Merek dalam perdagangan. Prinsip “Genuine Use” adalah terminology dari Hukum Merek Uni Eropa yang memberikan kriteria, serta syarat penentuan sebuah Merek digunakan dalam perdagangan dengan prinsip “Genuine Use”. Merek dilindungi untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan badan hukum, dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa. Sehingga, atas ketidakpakaian Merek terdaftar tersebut, menghalangi pihak lain, yang dengan itikad baik untuk mendaftarkan dan menggunakan Mereknya dalam perdagangan. Ketentuan dari peraturan perundang-undangan Merek yang sudah ada, tidak memberikan definisi dan kriteria yang jelas mengenai pemakaian merek dalam perdagangan terhadap barang dan/atau jasa. Sehingga, hal tersebut membuat banyak interpretasi hukum dan menghasilkan ketidakpastian hukum.

This thesis discusses the legal principles of "Genuine Use" and "Use of trademarks in trade" as the basis for the deletion of registered trademarks that are not used in trade, according to Law no. 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, provides no definitions and criteria for the use of Marks in trade. The principle of "Genuine Use" is a terminology from the European Union Trademark Law which provides the criteria, as well as the conditions for determining a Mark to be used in trade with the principle of "Genuine Use". Marks are protected to distinguish goods and/or services produced by individuals or legal entities, in the activities of trading goods and/or services. Thus, for the non-use of the registered Mark, it prevents other parties, who in good faith, from registering and using their Mark in trade. The provisions of the existing Mark laws and regulations do not provide clear definitions and criteria regarding the use of marks in the trade of goods and/or services. Thus, it creates many legal interpretations and results in legal uncertainty"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>