Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44027 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desti Ernaningsih
"PenangguIangan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya merupakan usaha yang telah lama dilakukan. Tindak pidana korupsi perlu dicegah dan ditanggulangi bukan saja karena sifat ketercelaanya, tetapi juga karena secara ekonomis menimbulkan kerugian terhadap keuangan Negara dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Penyelesaian perkara tidak pidana korupsi sampai saat ini masih terdapat berbagai kendala dan kesulitan baik untuk penyelidikan, penyidikan penuntutan maupun peradilan pelaku tindak pidana korupsi, Sampai saat ini eksistensi dan kinerja lembaga kejaksaan masih dirasakan belum optimal dalam melaksanakan fungsinya, sehingga peran kejaksaan sebagai pengacara Negara belum dirasakan oleh masyarakat dalam hal mendukung penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Meskipun upaya yang dilakukan oleh kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi telah maksimal, namun hasilnya belum memuaskan hal ini disebabkan karena adanya kendala dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukan bahwa sesungguhnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang cukup jelas mengatur penanggulangan tindak pidana korupsi yaitu UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah direvisi dengan UU No. 20 Tahun 2001. Masih meningkatnya jurnlah tindak pidana korupsi disebabkan oleh faktor-faktor kurangnya pemahaman dad aparat penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya atas penanggulangan tindak pidana korupsi, rendahnya faktor moral aparat serta kurang berfungsinya lembaga pengawasan. Dalam penyelesaian suatu perkara korupsi hendaknya dilaksanakan secara sungguh-sungguh, hati-hati teliti dalam membuat konsep dakwaan dan mencocokan dengan rumusan delik dan asas-asas pidana, sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Perlunya meningkatkan kualitas dan memperbaiki sikap mental aparat penegak hukum, karena faktor integritas sangat menentukan dalam penegakan hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Antoro
"Pemberantasan korupsi merupakan prioritas utama penegakan hukum dewasa ini. Kejaksaan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya mewujudkannya. Sesuai peraturan yang berlaku lnstansi Kejaksaan dengan personil Jaksa-Jaksanya mernpunyai tugas yang cukup berat antara lain sebagai Penuntut Umum dan juga sebagai Penyidik perkaraperkara tertentu termasuk perkara korupsi. Atas kewenangan yang dirnil i ki sebagai penyidik perkara korupsi, Jaksa memi liki wewenang khusus yang tertuano dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nornor 20 Tahun 2001, yang isinya yaitu bahwa "Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tarhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukari lain dalam Undang-Undang ini, dan diperjelas dalam penjelasan Pasal 26 menyatakan bahwa "Kewenangan Penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk meiakukan penyadapan (wiretapping)". Dengan adanya kewenangan ini maka Jaksa memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretapping) dalam upaya penanganan perkara korupsi. Dengan kewenangan penyadapan (wiretapping) ini timbul permasalahan yang penting untuk dilakukan penelitian, yaitu tentang legalitas penyadapan (wiretapping) yang dilakukan oleh Jaksa penyidik, tentang kaftan penyadapan (wiretapping) dengan Hak Azasi Manusia, serta tentang nilai pembuktian dart hasil penyadapan dalam persidangan. Dengan permasalahan tersebut dikhawatirkan terjadi ketidak jelasan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi terhambat. Tulisan ini akan meneliti tentang permasalahan yang timbul akibat penyadapan (wiretapping) serta bagaimana mngatasinya, dengan mengemukakan hal-hal pendukung yang dapat memperjelas bagaimana sebenarnya Cara yang harus ditempuh guna mengatasi permasalahan ini dan dengan tulisan ini kita diharapkan akan memperoleh kejelasan tentang permasalahan-permasalahan lain yang timbul akibat kewenangan penyadapan (wiretapping) yang dimilik oleh Jaksa Penyidik.

Corruption Handling is the main priority in law enforcement now a day. Attorney General Office is open of the main essence to put it real. According to the rule, Attorney General Office and its personnel have the heaviest duty such as a prosecutor and also an investigator on s special cases included corruption cases. Based on the authority as an investigator in corruption cases, public attorney have special task in Article 26 Law Number 31 year 1999 which reform by Law Number. 20 Year 2001 Which says : "Investigating, Prosecuting, and Hearing in trial of corruption field based on the criminal procedure, unless it says differently in this Law" and clearance in the explanation of Article 26 which says "The Investigator authority in this article included the authority to wiretapping'. Based on this authority, public attorney can do the wiretapping while handling the Corruption Cases. With this wiretapping authority occurs some problem that important to researched, there are the legality of wiretapping by public attorney as investigator, the relation between wiretapping and Human Rights, and the valve of evidence from the result of wiretapping in the court. With those problems concern to be blur in law enforcement these thesis will discuss the problem occurred from wiretapping and how to solved and explain all those things to make it clearly of how to handling the problem, with this writing hopefully we will have clearness about the other problems which occur from the investigator authority of wiretapping."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Tati Vain
"Korupsi adalah tindak pidan yang cukup fenomenal di Indonesia karena merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satu contoh kasus korupsi yang cukup fenomenal adalah perkara Adrian Waworuntu yang terlibat dalam skandal pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Jakarta Selatan dengan mempergunakan L/C fiktif sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.214.648.422.331,43 (satu trilyun dua ratus empat belas milyar enam ratus empat puluh delapan juta empat ratus dua puluh dua ribu tiga ratus tiga satu rupiah empat puluh tiga sen). Majelis hakim pada tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi telah menjatuhkan pidana penjara seumur hidup terhadap Adrian Waworuntu dengan maksud untuk memberikan efek jera.
Meskipun Adrian Waworuntu telah dijatuhi pidana seumur hidup, hingga saat ini terdapat kesulitan pengembalian keuangan negara. Adrian Waworuntu menolak untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 300.000.000.000.-(tiga ratus milyar) yang dijatuhkan hakim kepadanya karena sudah maksimal dihukum seumur hidup. Selain itu penjatuhan pidana denda sebesar Rp l.000.000.000.-(satu milyar) dengan subsidair pidana kurungan 1 (satu) tahun juga tidak efektif karena meskipun Adrian tidak membayar pidana denda, tidak akan menambah maupun mengurangi lamanya pidana penjara yang dikenakan terhadapnya karena hukuman pokoknya adalah pidana penjara seumur hidup. Kenyataan ini menjadi dilema ke arah mana sebenarnya filosofi pemidanaan undang-undang tindak pidana korupsi, apakah ke arah pemidanaan pelaku korupsi dengan hukuman yang berat sebagai efek penjera ataukah lebih orientasi kepada pengembalian keuangan negara.

Corruption represents the phenomenal criminal action in Indonesia because represent a violation on social rights and community economics. One of phenomenal corruption case examples is Adrian Waworuntu case a fictitious L/C so that causing state financial loss in amount of Rp 1.214.648.422.331,43 (one trillion two hundred and fourteen million six hundred and forty eight million four hundred and twenty two thousand three hundred and thirty one point forty three cent). The board of Judges in first level, appeal level and supreme court was punished death (life time) Adrian Waworuntu in jail with intention to give cured effect.
Although Adrian Waworuntu was punished death (life time), until this recent time it is difficult to return state financial loss. Adrian Waworuntu refused to repay its substitution in amount of Rp 300.000.000.000,-(three billion rupiahs) punished by the board of judges to him because its punishment was maximal for its action. In addition the penalty in amount of Rp 1.000.000.000,- (one billion rupiahs) with in jail subsidiary of 1(one) year was also not effective because although Adrian did not pay its penalty, it would not add or decrease its time in jail because its main punishment was death (life time) penalty. This factual condition becomes dilemma to where actually the philosophy of corruption criminal acts punishment, whether to where the corruptor punishment direction with highly punishment as cured effect or it has more orientation to return the state financial loss."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24292
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2009
364.132 3 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gloria Lola Frederika
"Tugas karya akhir ini membahas kasus rekayasa rekam medis yang dilakukan oleh dokter X guna menghambat berjalannya proses penyidikan KPK dalam tindak pidana korupsi e-KTP pada tahun 2018. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis elemen obstruction of justice yang dikemukakan oleh Isra et al. dan kriteria dari professional occupational crime milik Green dalam kasus tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa rekayasa rekam medis yang dilakukan oleh dokter X merupakan obstruction of justice dan memenuhi kriteria sebagai salah satu bentuk kejahatan yang termasuk dalam kategori professional occupational crime.

The focus of this paper is the falsification of medical records by doctor X in order to obstruct the KPK's investigation on the e-KTP corruption in 2018. The study was carried out by analyzing the elements of obstruction of justice proposed by Isra et al. and the criteria of Green's professional occupational crime found in the case. The results show that the falsification of medical record by doctor X is an act of obstructing justice and meets the criteria as a form of professional occupational crime."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Wijaya
Jakarta: Penaku, 2008
345.023 FIR p (1);345.023 FIR p (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S22423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
"Corruption cases in Indonesia from the perspective of criminal law and government bureaucracy."
Jakarta: Diadit Media, 2007
345.023 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
Jakarta: Diadit Media, 2009
345.023 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Sukardi
"Tesis ini membahas mekanisme Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance) dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, Pelaksanaan serta Hambatan Dalam Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik tersebut. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana memiliki mekanisme yang sama dengan jenis Bantuan Timbal Balik lainnya. Pelaksanaan Bantuan belum maksimal karena ada hambatan baik internal maupun eksternal. Penelitian menyarankan agar pemerintah semakin aktif mengadakan perjanjian antar negara dan melakukan perbaikan Central Authority.

This thesis discusses the mechanism of Mutual Assistance in Criminal Matters (Mutual Legal Assistance) in the recovery of assets as results of corruption in Indonesia based on Law No. 1 of 2006, Implementation and Obstacles in the Implementation of the Mutual Assistance. Research using normative juridical methods. The study concluded that the assets obtained through corruption Mutual Assistance in Criminal Matters has a mechanism similar to other types of Mutual Assistance. Implementation Assistance is not maximized because there are both internal and external barriers. Research suggests that more active government entered into agreement and the Central Authority to make improvements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T28578
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>