Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andalia Rosnim
"Suatu ikatan perkawinan, meskipun dimaksud untuk berlangsung kekal dan abadi, namun pada suatu saat mungkin mengalami bahwa perkawinan tersebut berakhir yang disebabkan karena hal-hal dan keadaan terLentu. Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 UU Perkawinan No. 1 Thn. 1974 juncto Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 merupakan UU yang mengatur mengenai masalah perceraian. Dengan adanya suatu perceraian, baik itu melalui upaya cerai talak maupun cerai gugat, tentunya akan memberikan dampak atas ikatan perkawinan itu sendiri, tidak hanya bagi kedua pasangan suami istri itu sendiri, tetapi juga bagi keturunan yang lahir dalam perkawinan tersebut. Setelah terjadinya perceraian, dalam praktek sering terjadi perebutan antara suami dan isteri untuk menuntut ditetapkan sebagai pengasuh anak. Salah satu jalan keluarnya untuk mengatasi hal tersebut diatas adalah melalui perjanjian tentang pengasuhan anak. Perjanjian tentang pengasuhan anak ini dapat dilakukan dengan cara membuat akta di bawah tangan dan akta otentik. Untuk itu dibutuhkan peranan Notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat akta tersebut.
Untuk mencapai tujuan penulisan tesis ini, digunakan Penelitian Hukum Normatif bersifat Deskripttf, dan untuk mendapatkan data yang diperlukan dan membahas apa yang akan diuraikan digunakan metode Penelitian Kepustakaan dengan pengumpulan data sekunder. Adapun kesimpulan dalam rangka menjawab pokok-pokok permasalahan, dalam hal perkawinan putus karena perceraian, maka perkawinan dihapus dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan. Akibat putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan, terhadap harta bawaan tetap menjadi harta masing-masing, sedangkan harta bersama atau harta yang di peroleh sepanjang perkawinan, dinyatakan diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Sedangkan akibat perceraian terhadap kedudukan anak adalah baik bapak atau ibu selaku orang tua tetap berkewajiban serta bertanggungjawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak tersebut dewasa. Jalan keluar dari hambatan mengenai permasalahanpermasalahan yang mungkin timbul setelah terjadinya perceraian, dapat dituangkan dalam bentuk akta notaris."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavia Magdhaniar
"Terjadinya perkawinan antar bangsa di era globalisasi saat ini tidak dapat lagi dihindari mengingat semakin berkembangnya wadah komunikasi dan kegiatan yang melibatkan banyak negara yang membuat masuknya aneka budaya luar yang turut mewarnai perkembangan bangsa ini. Namun demikian hal ini tidak perlu dirisaukan karena Undang-Undang No 1/1974 tentang perkawinan mengatur hal ini.
Pasal yang mengatur mengenai perkawinan campuran adalah terbatas pada perkawinan terhadap mereka yang berbeda kewarganegaraan dan salah satunya adalah Warga Negara Indonesia yang tunduk pada Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Dan bagi mereka yang berbeda warga negara dan hendak melangsungkan perkawinan tidak memiliki kendala kecuali diantara mereka terjadi juga perbedaan agama yang hal ini tentu saja bertentanggan dengan ketentuan yang ada.
Kendala diantara mereka yang melakukan perkawinan campuran ini baru akan timbul pada saat perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian, hal ini dikarenakan apabila ada anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut dimana hak asuh dan kekuasaan orang tua ada pada kedua orang tua anak-anak tersebut, sebagaimana telah diatur didalam Undang-undang No 1/1974 tentang perkawinan, namun tidak demikian dengan masalah kewarganegaraan anak-anak tersebut yang berdasarkan perundangan kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan ayahnya.
Masalah-masalah yang timbul dapat menyebabkan seorang ibu kehilangan anaknya yang secara otomatis menjadi warganegara asing yang apabila tidak memiliki surat-surat resmi dapat terancam deportasi, sedangkan ia tidak dapat melindungi anak tersebut dengan memberikan kewarganegaraannya kecuali anak tersebut telah berusia 18 tahun sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang kewarganegaraan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana undang-undang No. 1/1974 dapat melindungi hak ibu dan seorang anak untuk tinggal bersama ibunya dan seorang ibu dalam memberikan perlindungan dan pengasuhan terhadap anak tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiyawati
"Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian selain berakibat bagi bekas suami dan isteri, juga membawa akibat terhadap anak dibawah umur. Perceraian suami isteri dapat terjadi karena berbagai upaya yang dilakukan kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik yang terjadi mengalami jalan buntu, maka perceraian merupakan jalan keluar yang paling baik bagi pasangan suami isteri yang tidak mungkin lagi dapat hidup rukun, sebagaimana yang dituju oleh ikatan perkawinan. Salah satu akibat dari perceraian antara suami isteri terhadap anak dibawah umur menimbulkan perwalian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada 3 macam perwalian, perwalian oleh suami/isteri, Perwalian dengan surat wasiat dan perwalian yang diangkat oleh hakim, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ada 2 macam, perwalian yang diangkat oleh hakim dan perwalian dengan surat wasiat. Akibat perceraian terhadap anak dibawah umur menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 229 ayat 1 Perwalian diserakan kepada seorang dari kedua orang tuanya sebagai wali, ini merupakan kekuasaan yang bersifat individual, sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41 (a) perwalian oleh bapak atau ibu, ini merupakan kekuasaan yang bersifat kolekti£. Tanggung jawab orang tua, terhadap anak dibawah umur berbeda antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa kewajiban itu bukan hanya sampai pada dewasa tetapi sampai mereka mampu untuk berdiri sendiri walaupun telah terjadi ikatan perkawinan antara orang tuanya putus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21211
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohana Amelia Putri H.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S26309
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prajnya Ratnamaya Notodisuryo
"Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah konsep multi-dimensional mengenai sejauh apa seseorang menjalankan fungsi-fungsi psikologisnya secara positif. Berdasarkan teori kesehatan mental, teori psikologi perkembangan, dan unsur-unsur gerontologi, Ryff mengemukakan 6 dimensi yang tercakup daiam kesejahteraan psikologis, yaitu 1) Penerimaan Diri (Self- Acceptance), yang mengacu kepada bagaimana individu menerima diri dan pengalamannya, 2) Hubungan interpersonal (Positive Relation with Others), yang mengacu pada bagaimana individu membina hubungan dekat dan saling percaya dengan orang lain, 3) Otonomi (Autonomy), yang mengacu pada kemampuan individu untuk Iepas dari pengaruh orang Iain dalam menilai dan memutuskan segala sesuatu, 4) Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery). yang mengacu pada bagaimana kemampuan individu menghadapi hai-hai di lingkungannya, 5) Tujuan Hidup (Purpose in Life), yang mengacu pada hal-hal yang dianggap penting dan ingin dicapai individu dalam kehidupan, serta 6) Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth), yang mengacu pada bagaimana individu memandang dirinya berkaitan dengan harkat manusia untuk selalu tumbuh dan berkembang.
Ada beberapa faktor yang memiliki pengaruh terhadap pembentukan dimensi-dimensi ini, yaitu: faktor demografis, daur hidup keluarga, dukungan sosial, serta evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman tertentu. Menurut Ryff (1995), evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis. Menurutnya, untuk dapat memahami kesejahteraan psikologis seseorang, perlu pemahaman terhadap pengalaman individu tersebut di masa lalu, dan memahami bagalmana individu tersebut mengevaluasi dan menghayati pengalamannya. Dengan adanya perbedaan dalam evaluasi dan penghayatan tersebut maka dapat saja terdapat perbedaan gambaran kesejahteraan psikologis pada individu-individu yang memiliki pengalaman sama.
Menurut Ryff (1995), pengalaman yang berpotensi mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah pengalaman-pengalaman yang dipandang individu sangat mempengaruhi komponen-kemponen kehidupannya. Perceraian orang tua diasumsikan memilikl karakteristik seperti itu. Menurut Holmes & Rahe (dalam Carter & McGoldrick, 1989) perceraian menempati urutan kedua dalam skala pengalaman hidup yang paling menimbulkan stres. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa perceraian orang tua dapat membuat anak memburuk prestasi sekolahnya, memiliki self esteem yang rendah, maupun menunjukkan kenakalan remaja (Papalia & Old, 1993; Roe, 1994). Walaupun demikian, dewasa ini ditemukan pula bahwa perceraian orang tua dapat juga menimbulkan dampak positif, seperti melecut anak menjadi lebih mandiri atau mengembangkan hubungan interpersonal yang sehat dengan orang lain karena tidak ingin mengulangi pengalaman orang tuanya (Ellis dalam Roe, 1994). Hubungan interpersonal, prestasi sekolah, dan lain-lain hal yang disebutkan di atas merupakan bagian dari dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu penelitian ini diadakan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai kesejahteraan psikologis pada anak-anak dari keluarga bercerai.
Kesejahteraan psikologis baru dapat diamati pada tahap usia dewasa. karena dimensi-dimensinya mencakup tugas-tugas perkembangan orang dewasa. Perbedaan jenis kelamln juga menunjukkan adanya perbedaan gambaran kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri terhadap perceraian orang lua. Untuk membatasi masalah, dalam penelitian ini digunakan hanya sampel perempuan saja. Pengaruh perceraian orang tua dikatakan paling sulit diatasi bila perceraian terjadi saat anak berusia remaja atau pra-remaja. Dengan demikian, sampel yang digunakan berkarakteristik utama: perempuan dewasa muda (22-28 tahun), dan orang tuanya bercerai ketika usia pra-remaja atau remaja (9-18 tahun). Karena sampel yang digunakan adalah perempuan, maka dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis pun dikaitkan dengan karakteristik perempuan.
Evaluasi dan penghayatan pengalaman mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis melalui 4 mekanisme: 1) Perbandingan Sosial (social comparison) dimana individu membandingkan diri dan pengalamannya dengan orang lain; 2) Perwujudan Penghargaan (Reflected Appraisal), yaitu bagaimana individu mempersepsikan sikap dan harapan orang di Iingkungan terhadap dirinya; 3) Persepsi Perilaku (Behavioural Perception), yaitu bagaimana individu memandang diri dan perilakunya dibandingkan sikap dan harapan umum; serta 4) Pemusatan Psikologis (Psychological Centrality) seperti yang telah dijabarkan di atas, yaitu sejauh apa suatu pengalaman dianggap individu mempengaruhi komponen kehidupannya.
Selain itu disebutkan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis, yaitu dukungan sosial dan daur hidup keluarga. Daur hidup keluarga adalah peran, sikap, harapan, dan tanggung jawab baru yang diterima anggota keluarga setelah adanya suatu pengalaman yang mengubah struktur keluarga tersebut. Dalam hal ini, daur hidup dikaitkan dengan tahap-tahap yang dilalui sebuah keluarga menjelang perceraian hingga mencapai struktur keluarga yang normal lagi. Di dalamnya tercakup konflik antar orang tua, bagaimana penyesuaian diri anak dan orang tua, dan sebagainya. Sedangkan dukungan sosial adalah persepsi individu mengenai dukungan lingkungan terhadap dirinya, yang ternyata dapat disalukan pengertiannya dengan mekanisme perwujudan penghargaan. Bagaimana pengaruh faktor-faktor ini terhadap kesejahteraan psikologis akan dilihat pula melalui penelitian ini.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitalif, dengan wawancara sebagai pengumpul data. Keabsahan penelitian ini dijaga dengan menggunakan metode triangulasi, balk teori maupun pengamat. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara yang sesuai. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 5 orang responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis perempuan dewasa muda yang mengalami perceraian orang tua adalah baik (penerimaan diri), cukup baik (hubungan interpersonal), cenderung baik (otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi), serta kurang (penguasaan lingkungan).
Perceraian orang tua tampak terutama mempengaruhi dimensi hubungan interpersonal dan tujuan hidup. Seharusnya kedua dimensi ini berfungsi baik, namun ternyata perempuan dewasa muda yang mengalami perceraian orang tua cenderung takut membina hubungan dekat dengan lawan jenis, apalagi memikirkan pernikahan. Sedangkan kurangnya penguasaan lingkungan dapat dikatakan sebagai hal yang wajar, sesuai dengan hasil penelitian Ryff sebelumnya.
Mekanisme perwujudan penghargaan (terutama yang positif/dukungan sosial) serta pemahaman atas konflik merupakan faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis. Sedangkan pemusatan psikologis secara mengejutkan ternyata dalam penelitian ini kurang mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis.
Faktor demografis, yang dikatakan dapat diabaikan karena sumbangannya yang sangat kecil terhadap kesejahteraan psikologis, ternyata dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh yang cukup besar. Urutan kelahiran sebagai anak pertama pada 4 dari 5 subyek terlihat mempengaruhi pembentukan dimensi otonomi. Demikian pula dengan faktor lingkungan budaya. Sedangkan latar belakang pendidikan psikologi terlihat dapat mendukung dimensi penerimaan diri responden.
Faktor kepribadian yang pada awalnya tidak disebutkan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh, juga menunjukkan pengaruh besar terhadap pembentukan kesejahteraan psikologis. Selain itu terdapat juga beberapa faktor yang memiliki sedikit andil terhadap pembentukan dimensi-dimensi tertentu, seperti faktor stimulasi lingkungan yang turut mempengaruhi dimensi pertumbuhan pribadi dan faktor besar-kecilnya resiko kesempatan yang turut mempengaruhi dimensi penguasaan lingkungan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2671
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Puspa Juita
"Salah satu kewajiban suami yang sekaligus merupakan hak seorang istri adalah pemberian nafkah yang berlangsung tidak hanya selama dalam perkawinan, tapi juga Pasca perceraian. Namun, walaupun sudah ada peraturan Yang mengaturnya, yakni Unang-undang NO.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tetap saja masih terjadi. kasus-kasus pelanggaran terkait nafkah istri pasca perceraian. Skripsi ini secara umum bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan secara hukum mengenai pemberian nafkah oleh suami kepada istri pasca perceraian. yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library research) yaitu Penelitian any dilakukan untuk memperoleh data sekunder di bidang hukum dengan cara melihat dan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen atau peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan topik penelitian serta artikel-artikel dari majalah dan internet, yang berhubungan dengan judul dan pokok bahasan an diteliti. Pada akhirnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat ditarlk kesimpulan bahwa walaupun telah terjadi perceraian namun rmntan suami dapat diwajibkan oleb Pengaddlan untuk membayar nafkah pada mantan istrinya. Pertimbang. yang dipakai Majelis Hakim diantaranya adalah ada atau tidaknya tuntutan nafkah, kesalahan istri, anak hasil perkawinan, dan mata pencaharian mantan istri. Terhadap pelanggaran dalam kasus nafkah ini, upaya yang dapat ditempuh adalah pengajuan permohonan eksekusi ke Pengadilan oleh pihak mantan istri."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2008
S21386
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Seba Silawati
"Tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta dapat melanjutkan generasi dan memperoleh keturunan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit perkawinan yang putus karena terjadinya perceraian. Perceraian dianggap telah terjadi, beserta segala akibat-akibat hukumnya sejak saat pendaftaran pada Kantor pencatat perceraian di Pengadilan Negeri, kecuali bagi yang beragama Islam sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.Putusnya perkawinan karena perceraian menimbulkan berbagai persoalan, bukan hanya mengenai harta benda dalam perkawinan, tetapi juga mengenai tanggung jawab orang tua dalam menjalankan kekuasaannya, khususnya terhadap anak yang masih dibawah umur.
Permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu pelaksanaan hak penguasaan dari orang tua terhadap anak sebagai akibat dari perceraian dan apakah yang dapat dilakukan jika kekuasaan orang tua setelah terjadinya perceraian tidak dapat berlaku effektif. Kemudian dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, dengan data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Sementara itu, metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif, yaitu mengacu pada data penelitian yang diteliti oleh peneliti. Sedangkan kesimpulan berdasarkan permasalahan di atas adalah pelaksanaan hak penguasaan dari orang tua terhadap anak sampai anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri yang merupakan kewajiban orang tua meskipun hubungan perkawinan orang tua putus akibat perceraian meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah terjadi perceraian. Upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan hak penguasaan dari orang tua terhadap anak sebagai akibat perceraian tidak dapat berlaku effektif, yaitu selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya, Jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya terhadap anak dapat dicabut untuk waktu tertentu dan seseorang atau badan hukum yang memenuhi syarat dapat ditunjuk menjadi wali melalui penetapan pengadilan.

The goal of the marriage is happy to found a family on the basis of the belief That the one true God and can continue generations and obtain offspring. But in reality not a bit disheartened because of the occurrence of marital dissolution. Divorce is considered to have taken place, with all its legal consequences since the moment of registration in the Office of the clerk of the District Court of divorce, except for the Muslim Religious Court ruling since the fall have had the force of law. The breakdown in the marriage as divorce raises a variety of issues, not just about material possessions in marriage, but also regarding the responsibility of the parents in the exercise of its powers, especially against children still under age.
Problems in the writing of the thesis is to take the implementation of the rights of parents towards the child as a result of a divorce and whether that can be done if powers of the parents after the divorce was not able to apply effective. Then in doing research, authors use research methods in library which is juridical-normative, with the main data used i.e. secondary data obtained from the materials in library of legal materials, primary and secondary legal materials of tertiary law. In the meantime, the methods of data analysis used in this research was conducted by means of qualitative, i.e. referring to the research data was examined by researchers.
Whereas the conclusion based on the above issue is the implementation of rights of parents towards the child until the child marries or can stand alone which is the duty of the parents even if the parents marital relationship break up due to divorce include textiles, food, education and health is a living child (alimentation) must meet the parents, especially fathers, both during marriage or after divorce. The efforts made in the implementation of rights of parents towards the child as a result of divorce cannot apply effective, i.e. as long as the child is not yet 18 years old or unmarried, parents should not move right or to pawn the goods remain the property of his son, if the parents neglect their obligations or act that was so bad, its power against children can be revoked for a certain time and a person or legal entity that is eligible to be appointed guardians through the establishment of the Court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30353
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Sara
"Holmes & Rahe (1967) pemah membuat sebuah tabel yang mengurutkan hal-hal apa saja yang dapat membuat orang menjadi stres. Pada tabel tersebut, perceraian merupakan urutan kedua setelah kematian pasangan hidup. Oleh karena itu orang yang bercerai harus segera menyesuaikan dirinya, sehingga orang tersebut dapat segera mengatasi rasa sedih, dan marah, menerima dirinya sendiri, anak-anak dan mantan suaminya, kembali bekeija dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan sekitar, dan Iain-lain masalah yang biasanya timbul setelah perceraian. Adapun masalah-masalah yang biasanya dialami oleh mereka yang bercerai adalah masalah secara psikologis/emosi, dalam mengasuh anak, pelaksanaan tugas-tugas rumah tangga, keuangan, sosial hingga seksual (Hurlock, 1980).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang dialami pada wanita dewasa muda yang berpisah/bercerai. Selain itu ingin dilihat pula gambaran dan dinamika penyesuaian diri mereka setelah berpisah/bercerai. Untuk menjawab tujuan penelitian di atas, maka dilakukan wawancara mendalam terhadap empat orang subyek. Hasil wawancara yang diperoleh akan dianalisis dan diinterpretasi dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. Penyesuaian diri tidak selalu dilakukan setelah terjadi perceraian, mengingat adapula orang yang telah melakukan penyesuaian diri jauh sebelumnya, yaitu pada saat mereka berpisah dengan suaminya (Lasswell & Lasswell, 1987). Oleh karena itu penelitian ini akan menggali penyesuaian diri subyek setelah bercerai, maupun pada subyek yang berpisah lalu bercerai. Adapun subyek penelitian ini adalah wanita yang berpisah/bercerai pada usia dewasa muda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang ditemukan pada keempat subyek penelitian adalah masalah secara psikologis/emosi, yaitu subyek merasa sedih dan kecewa karena rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Selain itu mereka juga merasa kesepian dan kehilangan sejak berpisah bercerai dengan suami mereka. Masalah lain yang ditemukan pada subyek adalah masalah dalam mengasuh anak, masalah dalam hal keuangan, dan sosial. Subyek dalam penelitian ini tidak raengalami masalah dalam pelaksanaan tugas rumah tangga sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan seks. Waktu yang diperlukan subyek untuk dapat menyesuaikan diri mereka setelah berpisah^e^cerai adalah bervariasi, antara satu/dua sampai lima tahun, bahkan hingga saat subyek diwawancara. Hal ini disebabkan faktor-faktor tertentu seperti apakah subyek masih mencintai suaminya atau tidak, lama dan kualitas perkawinan subyek, siapakah yang berinisiatif untuk bercerai, pandangan subyek terhadap perceraian, jumlah anak yang dimiliki, apakah subyek bekeija dan mempunyai penghasilan sendiri, dan lain.lain."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2701
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atim Laili
"Penelitian ini berfokus pada pengalaman stigmatisasi yang diterima oleh perempuan bercerai di Desa Pengadangan. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan tipe penelitian studi kasus untuk menjelaskan pengalaman stigmatisasi bagi lima informan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa semua informan dalam penelitian ini menerima stigma dari masyarakat. Perempuan bercerai dituduh sebagai perempuan perebut suami orang, difitnah telah menggoda semua laki-laki, dijadikan sebagai bahan candaan, serta menerima kekerasan secara fisik. Adapun stigma yang diterima oleh perempuan bercerai disebabkan oleh adanya sistem patriarki yang mengakar, adanya gender roles, konstruksi sosial terkait dengan perkawinan ideal, serta label negatif yang melekat pada kata janda itu sendiri. Stigma yang diterima oleh perempuan bercerai berdampak negatif terhadap kehidupan mereka. Perempuan bercerai mengalami trauma, menutup diri, membatasi semua pergerakan, memutus interaksi dengan masyarakat, takut untuk mengungkapkan status mereka, serta mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.

This research focuses on the experience of stigmatization received by divorced women in Pengadangan Village. By using qualitative research methods and type of case study research to explain the experience of stigmatization for the five informants in this study. The results of this study found that all informants received stigma from society. Widowed women accused of usurping another woman's husband, slandered for seducing all men, used as a joke, and become victims of violence. The stigma received by divorced women is caused by the existence of an entrenched patriarchal system, the existence of gender roles, social construction related to ideal marriage, and the negative label attached to the word widow. The stigma received by divorced women has a negative impact on their lives. Divorced women are traumatized, close themselves, limit all movements, cut off interactions with society, afraid to reveal their status, and difficulty in getting a job."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlis Litarosalia
"Dengan adanya suatu perkawinan, maka terbentuklah kelompok harta yang dapat berupa harta bawaan ataupun harta bersama, dan bagi suatu keluarga harta merupakan salah satu syarat untuk menjamin kelangsungan suatu rumah tangga. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan suatu perkawinan yang telah dibina bersama Kandas di tengah jalan yang mengakibatkan perceraian. Akibat hukum perceraian salah satunya menyangkut harta benda di dalam perkawinan. Mengenai harta bawaan jika terjadi perceraian akan kembali kepada masing-masing pihak, jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, sebagaimana didasarkan kepada penafsiran Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. Sedangkan terhadap harta bersama menurut Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 diatur menurut hukumnya masing-masing, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. Jika kemudian para pihak yang bersengketa tunduk pada hukum yang berbeda ataupun salah satu pihak mengklaim harta benda itu bukan merupakan harta bersama. Ini berarti bagi para penegak hukum di dalam pelaksanaannya berusaha untuk menyelesaikannya dengan prinsip keadilan yang sewajar nya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21193
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>