Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137548 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Lestari
"Keppres No. 4 Tahun 1984 dan Ka. BPN NO. 169/HPL/BPN/89 merupakan kedua peraturan yang mendasari diberikannya Hak Pengelolaan kepada Badan Pengelola Gelora Senayan yang sekarang dikenal dengan Gelora Bung Karno. Kedua peraturan ini memberikan wewenang yang cukup besar dan menyangkut tanah yang cukup luas di wilayah DKI Jakarta. Namun, pemberian ini dapat dan telah menimbulkan konflik sengketa pertanahan antara pemerintah dengan swasta dalam hal ini PT. Indobuildco (kasus Hilton). Karenanya perlu dibahas kedua peraturan tersebut baik dari segi riwayatnya, perolehan, maupun keberlakuan dari peraturan tersebut. Dengan demikian hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah Hak Pengelolaan dapat diberikan di atas tanah dengan Hak Perorangan dan apakah secara hukum dapat dibenarkan bahwa dengan suatu Keputusan Presiden tentang Badan Pengelola langsung secara otomatis membatalkan hak atas tanah yang telah ada sebelumnya serta memberlakukan hak baru di atas tanah tersebut. Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang bersifat ekplanatoris, dimana data berasal dari data hukum primer, sekunder, dan tertier.
Penelitian ini juga bertujuan agar para pemegang hak atas tanah mengetahui jaminan kepastian hukum atas haknya tersebut apabila berhadapan dengan suatu peraturan perundangan yang terkait dengan hak atas tanahnya tersebut, diharapkan pula dalam penelitian ini diperoleh suatu gambaran umum tentang salah satu sengketa pertanahan yang cukup menjadi fenomena di negeni ini dengan jumlah kerugian Negara yang cukup besar. Setelah dilakukan penelitan dalam tulisan ini, penulis berkesimpulan bahwa Hak Pengelolaan tidak dapat diberlakukan terhadap tanah yang masih dilekati dengan hak atas tanah lain. Bahwa tidak dibenarkan suatu Keputusan Presiden membatalkan Hak Atas Tanah yang telah ada sebelumnya.

Presidential Decree No. 4th , 1984 and The Head of National Land Body No. 1691HPLIBPN189 are the regulations which given an authority to Badan Pengelola Gelora Senayan (has known as Gelora Bung Karno). Those regulations have given a lot of authority to the lands in Jakarta. This authority or the governing right (Hak Pengelolaan) can make conflicts between government cq. Badan Pengelola Gelora Senayan and people who have the rights of the lands. Due to that reasons, it needs a research to those regulation in many aspects from the history, procedures and validity. This research are focus on "is the governing right can be valid on the others rights of land and Is it legal one presidential decree (No. 4th, 1984) can be automatically valid and denied the existing rights." This research has used based on explanatory law methods research which gain data from prime, second, third data.
The goals of this research are people have known their rights to the lands which proved by certificate of land and the guarantee of law in the certificate. From this research, we can have a big picture about land problems in Indonesia, especially in Jakarta (according to the governing right Badan Pengelola Gelora Senayan. The conclusion of this research are governing right (Hak Pengelolaan)can not be apply in the land which still exist the other rights of land and The President Decree No. 4th , 1984 can not cancel the existing rights of lands."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zunelda
"Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan (SKMHT) sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah untuk merubah ketentuan yang berlaku dalam praktek penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang pada masa itu dikenal dengan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH). Dengan diundangkannya Undang-undang Hak Tanggungan, maka tuntaslah Unifikasi Hukum Tanah Nasional sebagaimana diamanatkan dalam UUPA. Berlakunya UUHT, maka ketentuan mengenai Hipotik sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Pokok masalah yang diambil adalah (1) Apakah terdapat perbedaan persyaratan untuk pembuatan SKMHT jika dibandingkan surat kuasa pada umumnya dan SKMH, (2) Apakah permasalahan yang dihadapi kreditur dalam pelaksanaan SKMHT yang dibuat dihadapan Notaris X, dan (3) Apakah ketentuan SKMHT dalam memberikan perlindungan bagi kreditur sebagai pemegang kuasa.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Surat kuasa terdapat unsur persetujuan, unsur atas namanya dan unsur menyelenggarakan suatu urusan. Bentuk surat kuasa terbagi atas kuasa khusus dan kuasa umum. Dalam pemberian kuasa tersebut, maka akan ditentukan isi yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak. SKMHT adalah surat kuasa khusus yang dalam ketentuannya wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan: (a) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan; (b) tidak memuat kuasa substitusi dan; (C) mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah hutang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur bukan pemberi hak tanggungan. Untuk membebankan hipotik berbeda dengan membebankan hak tanggungan karena Hipotik harus dibuat dengan akta otentik dan pada waktu itu yang dimaksud dalam hal ini adalah akta Notaris. Ketentuan UUHT ini terdapat kesulitan dalam pelaksanaan, karena tidak dipatuhinya aturan tersebut oleh kreditur dalam membebankan hak tanggungan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T19841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nur Fathya
"Pada tanggal 26 April 2007 Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal {UU Penanaman Modal) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Penyebabnya adalah karena dirasakan peraturan perundangan yang terdahulu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional. Selain itu pertimbangan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional yang berakibat perlu diciptakannya suasana penanaman modal yang kondusif dan efisien serta memberikan kepastian hukum kepada para investor. Pengesahan UU Penanaman Modal menuai penolakan dari berbagai pihak, karena dinilai lebih berpihak kepada para investor khususnya mengenai jangka waktu pemberian hak atas tanah dalam rangka penanaman modal juga bertentangan dengan semangat dan filosofis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Yang menjadi pokok permasalahan adalah ketidak harmonisan akibat perbedaan jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dalam rangka penanaman modal. Untuk menjawab hal tersebut dilakukan penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif normatif yang menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku dalam bidang pertanahan dan penanaman modal dikaitkan dengan teori berkenaan dengan permasalahan yang ada. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pemberian hak atas tanah dalam rangka penanaman modal yang terlalu lama dikhawatirkan akan menjauhkan rasa keadilan sosial. Oleh karena itu diperlukan sinkronisasi dalam pembuatan peraturan pelaksana UUPA khususnya yang berkaitan dengan penanaman modal baik yang sudah ada maupun yang akan datang.

The Government Of Indonesia has enacted Law of The Republic Indonesia Number 25 Year 2007 on Investment (Investment Law) to replace Law Number 1 Year 1967 on Foreign Investment as amended by Law Number 11 Year 1970 on Amendment and Supplement to Law Number 1 Year 1967 on Foreign Investment and Law Number 6 Year 1968 on Domestic Investment as amended by Law Number 12 Year 1970 on Amendment and Supplement to Law Number 6 Year 1968 on Domestic Investment. The reasons of the enactment of Investment Law are both Foreign and Domestic Investment Law no longer keep pace with national economic enhancement and national law development and Indonesia's participation in various international cooperation regarding investment has consequences to create a conducive investment atmosphere, promoting and giving legal certainty. The enactment on Investment Law has posed into controversies from various parties especially regarding the period of land use approvals given by the government with respect to investments. This matter considered in opposite with spirit and philosophy of Law Number 5 Year 1960 on Agrarian Principal Regulation. The main issue of this research is the disharmony as consequences of the differences of land use approval period for Right of Use, Right to Build and Right to Cultivate. This research utilized library research with normative descriptive approach which describe land laws and investment laws connected with the land theories. The research found that the land use approval for investment will refrain sense of social justice in community. Therefore, it is .urgent to synchronize the implementing regulations of Law Number 5 Year 1960 related to investment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Azhar Abdurachman
"Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi industri, Kabupaten Karawang yang dulunya adalah sebagai daerah pertanian yang merupakan penghasil beras terbesar di pulau jawa, sebagian besar lahannya digunakan untuk bercocok tanam padi perlahan-lahan berubah menjadi daerah terbangun. Peneletian ini bertujuan untuk mengetahui diimana dan penyebab Perubahan Penggunaan lahan Pertanian menjadi daerah terbangun pada tahun 1984 dan 2008 serta pengaruh terhadap swasembada beras di Kabupaten Karawang dengan menggunakan Metode analisis deskriptif, super imposed peta, dan uji data statistik Multiple Regressi sehingga terlihat bahwa Perubahan Penggunaan lahan pertanian menjadi daerah terbangun yang tinggi pada Kabupaten Karawang secara umum terjadi pada Kecamatan yang mengalami pertambahan kepadatan penduduk yang tinggi, penurunan rata-rata pendapatan petani dan prosentase lahan terbangun yang direncanakan oleh RTRW yang tinggi. Perubahan lahan pertanian menjadi daerah terbangun memberikan dampak pada Kabupaten Karawang dalam memenuhi Swasembada beras kedua di Kabupaten Karawang. Secara Umum Kabupaten Karawang masih dapat melakukan Swasembada beras, namun terjadi penurunan surplus beras di setiap Kecamatan di Kabupaten Karawang."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S27849
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Petrus Yanto
"Akhir-akhir ini sering sekali terjadi banjir di daerah sekitar sungai Pesanggrahan. Banjir yang dialami oleh wilayah sekitar sungai Pesanggrahan merupakan imbas dari semakin banyaknya lahan yang tertutup oleh bangunan-bangunan baru yang tidak berlandaskan strategi dan perencanaan dari sistem drainase yang ada. Pada musim hujan debit air yang memasuki badan sungai menjadi lebih besar dan berakibat pada tidak mencukupinya kapasitas sungai.
Analisa dilakukan terhadap data-data hidrologi, tata guna lahan dan geometri serta data eksisting lokasi studi. Melalui analisa hidrologi diperoleh debit puncak banjir rencana, yang dilanjutkan dengan analisa hidrolika untuk mengecek kapasitas penampang sungai yang mampu melalukan debit banjir rencana tersebut. Pengolahan data selain dengan metode rasional juga dengan permodelan menggunakan software SMADA.
Dari hasil analisa didapat perhitungan dengan Program SMADA lebih besar daripada metode rasional dan kapasitas sungai tidak mampu menampung debit banjir rencana.

Recently floods happened in Pesanggrahan river and surrounding. The floods caused by the increasing covered land due to the unwell planned development and drainage system design. During raining season the water in high velocity and at the end get over flood in some places because the capacity of the river no longer able to convey the water.
The analysis is done using hydrology, land use and geometry data of the study area. The hydrology data is used to calculate the peak flow to examine the capacity of the river. The calculation is done by using the rational method and SMADA software.
The result shows the calculation SMADA software has greater value of the flow than the rational method.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S50559
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zelda Soraya
"ABSTRAK
Perkembangan dan Pembangunan di Negara Kesatuan Republik Indonesia
sangat pesat, salah satu bidang yang menunjang pembangunan ialah. Maka dari itu diperlukannya kepastian hukum di bidang pertanahan agar menjamin kepastian hukum. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah dan penerbitan sertipikat akan menjamin kepastian hukum. Namun terkadang dengan melakukan pendaftaran tanah dan kepemilikan sertipikat tidak menjamin kepastian hukum. Misalnya masih sering ditemui adanya penerbitan sertipikat ganda dimasyarakat, salah satunya dalam kasus yang terjadi di Jakarta Timur dimana diatas satu bidang tanah terdapat dua sertipikat. maka dari itu yang ingin diketahui penulis ialah apa penyebab terjadinya penerbitan sertipikat ganda dan bagaimana upaya penyelesaian sengketa penerbitan sertipikat ganda di kota Administrasi Jakarta Timur. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan tipologi penelitian eksplanatoris.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab terjadinya penerbitan sertipikat
ganda ialah dikarenakan tidak dilaksanakannya peraturan pemerintah yang berlaku, kurang pengawasan dari kantor pertanahan dan karena adanya celah yang memungkinkan pegawai kantor pertanahan melakukan kesalahan dalam penerbitan sertipikat. Upaya penyelesain sengketa sertipikat ganda dikantor pertanahan Jakarta Timur ialah dengan melakukan mediasi, penerbitan surat keputusan kepala kantor wilayah badan pertanahan provinsi daerah khusus ibukota Jakarta yang menyatakan pembatalan atas sertipikat nomor 2307/cibubur, sampai dengan yang terakhir ialah melalu putusan mahkamah agung nomor 639 K/TUN/2015

ABSTRACT
Development and construction in the Republic of Indonesia is very rapid, one of the areas that support the development is. The need for legal certainty in the land sector in order to ensure legal certainty. By doing the registration of land and issuance of certificate will ensure legal certainty. But sometimes by conducting land registration and ownership certificate does not guarantee legal certainty. For example, they often found their dual certificate issuance in the community, one of which in the case in East Jakarta where on one plot there are two certificates. Then wanted to know the author is what causes the issuance of multiple certificates and how mediation in issuance of double certificates in East Jakarta Administration City. This research method using normative juridical methods and typology of explanatory research. The survey results revealed that the cause of the double certificate publication is due to non-performance of the current government regulation, less oversight from the land office and because of the loopholes that allow employees office land made a mistake in issuing the certificates. Efforts completion of the disputed certificates dual office land east Jakarta is to mediate, the issuance of the decision heads of regional offices land agency provincial special areas of the capital Jakarta declaring cancellation of the certificate number 2307 / cibubur, until the latter was through the decision of the Supreme Court number 639 K / TUN / 2015."
2016
T45414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"One of the most important things in human life is land. It is sociologically as a step of human life and death. Therefore, it caused a number of problems deals with human interest. Concerning to development program especially in the space of local governance is always faced by land issues. One of the most current stuck out issue is land use for public interest. The land used for public interest through development program is always faced with land rights owned by public interest, government and local government need to carry out sociological approach as it is presented in this article."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendarin Ono Saleh
"ABSTRAK
Maraknya pembangunan perumahan (real-estate) di DKI sejak awal tahun 1980-an yang dilakukan oleh kalangan pengusaha swasta, menyusul dikeluarkannya Keputusan Gubernur DKI Nomor : Da. 11/23149/1972 sangat menarik perhatian. Terutama ketika media massa ramai mempublikasikan adanya tunggakan para developer perumahan dalam jumlah yang cukup banyak terhadap kewajiban penyediaan fasilitas umum dan sosial (fasos-fasum) di kawasan perumahan yang mereka bangun. Persoalan tersebut menjadi menarik, karena jika ternyata tunggakan para developer itu disebabkan oleh persoalan intern dari organisasi publik, seperti ketidakjelasan aturan, institusional, mekanisme kerja, kelemahan sumber daya manusia dan sebagainya, maka hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan yang berharga bagi pemerintah (Daerah maupun Pusat), sebelum melakukan privativasi - (penyerahan tugas-tugas publik kepada swasta) - dalam hal ini penyediaan rumah untuk rakyat dan pembangunan prasarana kota.
Penelitian ini di lakukan dengan menganalisis Keputusan Gubernur nomor: Da.11/23149/1972 dilihat dari tiga proses penetapannya; formulasi, implementasi dan evaluasi, dengan mengambil sampel kasus pembangunan perumahan di dua kawasan ; Kelapa Gading dan Citra Garden 1 dan 2. Hasil penelitian ternyata membenarkan perkiraan tersebut di atas. Bahwa benar Keputusan Gubernur tersebut mengalami hambatan terutama dalam proses implementasinya, yang mengkibatkan adanya tunggakkan dari para developer untuk membangun fasum-fasos. Untuk itu pula diberikan beberapa catatan di bagian akhir tulisan ini sebagai saran atau rekomendasi untuk Pemerintah Daerah DKJ Jakarta.
Teori yang digunakan untuk mendekati masalah tersebut ialah teori-teori umum kebijakan publik ( Theory of Public Policy ). Sedangkan metodologi yang digunakan antara lain analisis data sekunder, penyebaran kuesioner (angket), wawancara dan observasi yang semuanya kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif, dengan dilengkapi teknik frekwensi secara kuantitatif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Mahur
"ABSTRAK
Semua orang di muka bumi ini menyadari akan makna dan peranan tanah dalam kehidupannya. Bagi petani di pedesaan tanah mempunyai beberapa nilai dari yang paling abstrak sampai yang paling konkrit. Nilai tanah itu bagi petani dapat bersifat ekonomis dan kesejahteraan, sosial dan yuridis, serta religius.
Saat ini, di Indonesia banyak permasalahan yang timbul berkaitan dengan tanah umumnya dan pengelolan tanah khususnya. Permasalahan tanah ini di Indonesia merupakan salah satu isu nasional yang krusial dan kompleks. Ada empat hal penting mengenai tanah yang perlu ditangani segera, terutama di luar pulau Jawa yaitu (1) sistem klasifikasi tanah yang belum menjamin penggunaan tanah secara optimal, baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan, (2) begitu banyaknya instansi yang terlibat dan berkepentingan dengan Perencanaan Tata Guna Tanah sementara itu data mengenai penggunaan tanah cenderung tersentralisasi dan tidak tersedia di propinsi yang berwenang membuat keputusan tentang penggunaan tanah; (3) kendala yang dihadapi petani kecil dan migran dalam mendapatkan tanah pertanian baru yang cocok dan (4) kesulitan proyek-proyek pembangunan dalam mengidentifikasikan dan mendapat tanah usaha dalam skala yang dibutuhkan, selain karena klaim dari masyarakat setempat, juga karena adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi.
Pada dasarnya, permasalahan tanah itu timbul karena interaksi, interelasi dan adaptasi manusia atas tanah semakin kuat dan intensif. Karena itu dalam mengkaji permasalahan tanah dan pengelolaannya tidak terlepas dari manusia itu sendiri, sebagai unsur utama dalam lingkungan hidup. Ada dua hal yang esensial yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani yaitu sistem budaya para petani tersebut dan kebijaksanaan pemerintah mengenai pengelolaan tanah. Pada kajian ini kebudayaan dan kebijaksanaan pemerintah yang disoroti hanyalah mengenai insentif dan disinsentif. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 tahun 1982, bahwa insentif dan disinsentif dapat digunakan untuk meningkatkan pemeliharaan lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Permasalahan pokok tulisan ini adalah bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengelola tanahnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, mencapai tujuan-tujuannya dan mendapat ketentraman hidupnya, dalam kondisi lingkungan hidup yang senantiasa berubah. Dari permasalahan tersebut muncul dua pertanyaan yakni : (1) faktor-faktor apa yang mempunyai hubungan dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan Satar Mese, dan (2) bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Tujuan umum kajian ini ialah mengetahui bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi pada lingkungannya, yang tercermin pada sistem, pola dan cara pengelolaan tanah yang dipakai dan dikembangkannya. Secara khusus tujuan kajian ini ialah : (1) untuk mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani; dan (2) untuk memaparkan bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Adapun hipotesis kerja yang menjadi sasaran telaahan ini adalah : (1) insentif dan disinsentif mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah; (2) insentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (3) disinsentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (4) insentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; dan (5) disinsentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah.
Data untuk kajian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder didapat melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Data primer diperoleh dari 100 responden dari kelima desa sampel. Pengumpulannya lewat wawancara berstruktur dan wawancara mendalam. Sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu Survei Deskriptif Kualitatif, maka data diolah dan dianalisis dengan tabel sederhana, tabel silang dan uji statistik berupa Koefisien Kontingensi (KR) dan Kai Kuadrat.
Hasil studi ini memperlihatkan bahwa para petani di kecamatan Satar Mesa mempunyai kearifan dan kebijakan ekologis yang khusus mengenai pengelolaan tanah. Hal ini selain tampak pada asas dan dasar hukum mengenai sistem, pola dan cara pengelolaan tanah, juga terbukti pada tingkat keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah.
Asas dan dasar hukum pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini bertumpu pada dan merupakan pengejawantahan dari pandangan dan cita-cita hidupnya yaitu Prinsip Sosial Kolektivitas, Prinsip Keselarasan dan Keseimbangan, dan Prinsip Musyawarah Mufakat. Ketiga prinsip hidup yang demikian itu berimplikasi selain pada cara, pola dan wawasan berpikirnya dalam berinteraksi, berinterelasi dan beradaptasi dengan lingkungan hidupnya, juga terutama pada sikap, perilaku, aktivitas dan tindakannya sehari-hari pada tanah. Penguasaan tanah dalam bentuk Lingko dan tobok, yang umumnya belum mempunyai surat bukti hak yang kuat; penggunaan tanah berupa ladang, sawah, pekarangan dan hutan; dan pengerjaan tanah dengan pola usaha tani dan teknologi pertanian yang relatif sederhana dan cenderung mentradisi, memancarkan sikap dan perilaku, kemampuan dan upaya para petani dalam menyesuaikan diri dengan kondisi tanah yang dikuasainya.
Pada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan tanah, kearifan dan kebijakan ekologis para petani itu ditunjukkan oleh besarnya nilai Koefisien Kontingensi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah, yang semuanya termasuk dalam katagori sedang yaitu 0,58, 0,46, 0,40 dan 0,37; ini berarti hubungan antara kedua peubah itu masing-masing relatif erat dan kuat. Signifikansi hubungan tersebut berada pada taraf 1 % dan 5 %. Oleh karena itu ketentuan Pasal 8 Undangundang Nomor 4 tahun 1982 merupakan ketentuan yang tepat dan bijak, sehingga perlu dipertahankan dan diperluas ruang lingkup berlakunya.
Namun bila ditelaah secara mendalam, tampak bahwa keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif budaya lebih kuat daripada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan, penggunaan dan pengerjaan tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa insentif dan disinsentif budaya tetap merupakan faktor penting dan menjadi acuan serta pedoman utama para petani di kecamatan ini dalam menguasai, menggunakan dan mengerjakan tanahnya. Karena itu dalam memasukkan inovasi baru yang berhubungan dengan pengelolaan tanah di kecamatan Satar Mese perlu memperhatikan dan mepertimbangkan kearifan dan kebijakan ekologis yang dimiliki dan dikembangkannya, agar inovasi itu tidak menjadi mubazir dan menimbulkan gejolak sosial. Untuk itu pandangan dan pendapat Julian Steward dan John Bennet, Glinka dan Boelars, Murphey dan Kleden cukup aktual dan masih relevan untuk diperhatikan dalam seluruh kebijaksanaan mengenai tanah umumnya dan pengelolaan tanah khususnya di Indonesia.

ABSTRACT
All people in this world realize the meaning and the role of land in their life. For the peasants in the village, land has some values, ranging from the concrete value to the abstract one. The value of a strip of land, can be economical, prosperous, sociological, juridical, and religious.
However, nowadays, many problems in accordance with the land in general and its management in particular arise in Indonesia. The land problem itself has been one of the crucial and complex national issues. There are four important points on such problem requiring immediate solutions, especially for outside Java. They are (1) the system of land classification which have not ensured land use optimally, viewed from both economical and environmental aspects; (2) the involvement of too many instances, having vested interest in the land use planning, while land use data tend to be centralized and in available in the provinces which have the authority to make decisions on the land use; (3) the smallholders and migrants have constraints in getting new favorable agriculture land; and (4) the development projects have difficulties in identifying and acquiring cultivable land in the required scale. It is caused not only by local land claims but also by government policy pertaining to the obligation to pay land compensation.
In principle, the land problem is caused by the presence of interaction, interrelation and adaptation among people which is getting more intense and intensive. Therefore, to analyze land problem and its management issue can not be separated from the people themselves as the main component of the environment. There are two essential things having much to do with the land management employed by the peasants, i.e. the cultural system of the peasants themselves and the government policy on the land management. This analysis will focus its concern on the incentive and the disincentive of the culture and the government policy. It is based on article 8 of the Act No.4 of 1982, stipulating that incentive and disincentive can be used to improve the maintenance of environment, to prevent, and to abate environmental damage and pollution.
The main issue of this writing is the investigation of how the peasants in sub district of Satar Mese deal with their land in order to fulfill their needs, to achieve their goals, and to obtain their life tranquility in this ever-changing environment. From such problem might arise two questions as follows. (1) What are the factors having relation to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in sub district of Satar Mese? (2) How is the relations of the incentive and the disincentive? of culture and government policy to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in this sub district?
The general aim of this study is to know how the peasants in this sub district anticipate the changes occurring in the environment and being manifested in the system, the pattern and the method of land management they use and develop. The specific aims are : (1) to know and to identify the factors having relation to the land management employed by the peasants; and (2) to describe how the relation is of incentive and disincentive from a culture and a government policy to the land management employed by the peasants in this sub district.
The hypothesis are : (1) incentive and disincentive as viewed from both culture and government policy, have a close relation to the land management employed by the peasants, (2) a culture incentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (3) a culture disincentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (4) an incentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants; (5) a disincentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants.
The data used in this writing consist of secondary and primary ones. The secondary data were obtained from documents and library research. The primary ones were obtained from a hundred respondents from five villages as the samples. Such data were collected through a well-designed structural and deep interviews. Since the research design used here was qualitative descriptive survey, then the primary data processing and analyzing used simple and cross tabulations, and simple statistical test of Contingency. Coefficient and Chi Square (X2).
The result of this study shows that the peasants in Satar Mese sub district have a unique ecological wisdom and intelligence in dealing with the land management. Such characteristic is not only apparent in the principle and the legal basis of the system, the pattern, and the method of the land management employed by the peasants, but also clearly seen in the tightness and the level of significance of the relationship of incentive and disincentive and the management, occupation, use and cultivation of the land employed by the peasants.
In this sub district such principle and legal basis of the land management were realized and based on the peasants way and concepts of life such as Social-Collectivity, Balance and Harmony, and Togetherness Principles. Such principles imply not only in their way of thinking, thought pattern, and insight into interacting, interrelating and adapting toward their environment, but also their attitudes, behaviors, and daily activities upon the land. The latter implications are clearly seen in the systems of land occupation as "Lingko" and "Tobok" which have no certificates; the patterns of land use which are only for dry and wet-rice field, yard and forest; and the method of land cultivation with simple farming system, pattern, and technology which tend to be a tradition. All these practices reflect their attitudes, behaviors, abilities and efforts in adapting themselves to the conditions of land they occupy.
The afore-mentioned unique ecological wisdom and intelligence of the peasants are indicated by Contingency Coefficient and Chi Square numbers on the tightness and the level of significance of the relations of incentive and disincentive to the land management. The Contingency
Coefficient numbers of relations of incentive and disincentive to the management, occupation, use, and cultivation of the land are all in medium categories, i.e. 0,58, 0.48, 0.40, and 0,37; meaning that relations between those two variables are close and strong. For that reason, article 8 of the Act No_4 of 1982 is effective and acceptable, and it needs to be maintained and more widely applied.
Nevertheless, if we analyze more thoroughly, it will be apparent that the tightness and the level of significance of incentive and disincentive relations of the culture is closer than that of the government policy. Based on that statement, the incentive and disincentive of the culture remain important factors, and become the main reference and guiding factors for the peasants in occupying, using and cultivating their land in this sub district. So, in introducing and adopting a new innovation in the land management for the peasants, we must pay attention on and consider the characteristic of the ecological wisdom and intelligence they have and develop, unless such innovation become useless, fruitless, and lead to a social movement. In relation to this analysis, the opinions and the views of Julian Steward, John Bennet, Glinka and Boelars, Kleden, and Murphey are still actual, relevant, and should be taken into account in making decisions and policies on the land and its management in Indonesia.
List of Literature :86 (from 1955 to 1991).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardy Purnawansani
"Dalam Perda No.6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010, sasaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada tahun 2010 adalah sebesar 13,94% dari total luas wilayah DKI Jakarta atau setara dengan 9.544 hektar (ha). Namun keberadaan Ruang Terbuka Hijau saat ini sangat rentan terhadap perubahan status dan konversi lahan untuk kepentingan yang lebih ekonomis. Oleh karena itu perlu dilakukan Evaluasi kebijakan Pengelolaan RTH, agar diketahui pengelolaan RTH dan penerapannya dalam pencapaian target sebesar 13,94%? Selain itu juga dilihat bagaimana upaya setiap sektor didalam pengadaan lahan terkait dengan target RTH tersebut. Untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian tersebut, saya menggunakan pendekatan evaluasi formal. Evaluasi formal dalam penelitian ini berarti penelitian yang dilakukan dengan tujuan, sasaran dan informasi lain yang tertera dalam dokumen resmi atau formal, yang kemudian digunakan sebagai pembanding dengan kenyataan dilapangan. Pada pendekatan evaluasi formal, evaluasi dilakukan dengan menilai tercapai atau tidakrtya tujuan maupun sasaran yang telah dicantumkan secara formal dalam dokumen resmi.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Fokus kerja setiap lembaga dalam rangka pencapaian target RTH sangat lemah, selain itu setiap sektor kecuali Dinas Pertamanan tidak membekali atau dibekali oleh panduan yang jelas dalam rangka pencapaian target luasan RTH. Hal ini berdampak tidak efektifnya kinerja setiap sektor dalam upayanya memenuhi kebutuhan pengadaan lahan untuk penambahan luasan RTH sebanyak 13,94% sampai 2010 sesuai dengan Perda No. 6 Tahun 1999. Selain itu juga diketahui bahwa dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir pengadaan lahan untuk RTH bertambah sebesar 273.09 ha atau setara dengan 0.41 % dari total luas DKI Jakarta yang 66.152 ha.

In Perda No.6 Year 1999 concerning Regional Plan of DKI Jakarta 2010, Green Open Space (RTH) target in the year 2010 is equal to 13,94% from totalizing wide of region of DKI Jakarta or equivalent by 9.544 hectare (ha). But existence of Green Open Space in this lime very rentan to change of farm conversion and status to more economic importance. Therefore require to be conducted by Evaluation policy of Management of Green Open Space (RTH), it's to be known the management of Green Open Space and applying of in attainment of goals equal to 13,94%? Besides that is also seen how effort each every sector in levying of farm related to goals of Green Open Space. To be able to answer question of the research, I use approach of formal evaluation by William dunn. Formal evaluation in this research meaning conducted research with a purpose to, other information and target which as described in formal or formal document, which is later; then used as a comparator with fact of field. With this approach of formal evaluation, evaluation conducted is by judging reached or him do not the target and target which have been mentioned formally in formal document.
Pursuant to research result known that Focus work each every sector for the agenda of attainment of goals of Green Open Space (RTH) is very weak, except Sector of Gardening (Divas Pertamanan) is supplied by clear guidance for the agenda of attainment of goals of Green Open Space (RTH). This matter affect not effective of performance him each; every sector. in the effort him fulfill requirement of levying of farm to addition of target Green Open Space (RTH) counted 13,94% until 2010 as according to Perda No. 6 Year 1999. Besides that is also known that in range of time the last six year levying of farm for Green Open Space (RTH) to increase equal to 273.09 ha or equivalent by 0.41 % from totalizing wide of DKI Jakarta which is 66.152 ha.
"
2007
T20718
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>