Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112251 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ineke Indraswati
"Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan hares diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Kerusakan hutan di Indonesia terjadi karena berbagai sebab, salah satunya adalah kerusakan hutan akibat perambahan oleh manusia secara tidak benar sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan ataupun banjir. Kasus perambahan hutan di Indonesia masih kerap terjadi walaupun telah ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kasus-kasus ini masih terjadi karena penegakkan hukum yang belum berlangsung secara maksimal. Pada tahun 2005, Kejaksaan Agung R.I. menyidik suatu kasus perambahan hutan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 di Sumatera Utara. Kasus ini sudah lama akan tetapi belum berhasil dibawa ke Pengadilan oleh aparat yang berwenang. Kejaksaan Agung R.I., dalam hal ini JAMPIDSUS, milakukan penyidikan atas kasus ini dengan menyangkakan ketentuanketentuan dalam tindak pidana korupsi terhadap kasus tersebut. Penyidikan dan penuntutan atas perkara ini didasarkan pada fakta bahwa tindakan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus adalah merambah kawasan hutan yang merupakan milik negara dan menimbulkan kerugian negara sehingga terhadap Darianus Lungguk Sitorus didakwa dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan. Akan tetapi dalam putusan tingkat pertama dan tingkat kasasi, tindak pidana yang terbukti adalah tindak pidana kehutanan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan yaitu mengenai asas lex specialis derogat legi generasi dan definisi kerugian negara itu sendiri. Dengan demikian penerapan ketentuan tindak pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan khususnya kasus Darianus Lungguk Sitorus belum dapat digunakan.

Forest is one of the national development potential which have real benefit to Indonesia, such as ecological benefit, social cultural and economic. Therefore forest should be taking care of and organized, protected, and continuation usable to Indonesian welfare. The damage of forest in Indonesia happened because a lot of reasons, one of them is the cleared away by human that cause environmental pollution and flood. Such clear away forest cases in Indonesia still happened even though there are Law No. 41, 1999. These cases still happened because the law enforcement is not maximized. In 2005, Attorney General Office investigated a clear away forest by Darianus Lungguk Sitorus in Area 40 in North Sumatera. Its been years, yet it still can not be brought to the court. Attorney General Office investigated the case based on the accusation of anti corruption. The investigation and prosecution on this case based on facts that Darianus Lungguk Sitorus act to cleared away the forest which belong to Indonesia government impact on the lost of capital, hence it convicted with anti corruption. On the first verdict and cessation, the crime that proved is the Forest Law and not Anti Corruption. These happened because several problems faced by the Attorney General such as lex specialis derogate legi generali and the difference definitions of state lost capital. Therefore the implementation of anti corruption can not be use in the clear away forest cases especially case of Darianus Lungguk Sitorus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Pramoti
"ABSTRAK
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan sebuah nuansa baru
dalam perkembangan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi di
Indonesia yaitu dengan dikenalnya pembalikan beban pembuktian terutama
berkaitan dengan pembuktian tindak pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 B ayat (1) huruf a. Permasalahannyamasih jarang ditemui perkara yang
menerapkan ketentuan tentang gratifikasi, padahal penggunaan pasal ini Penuntut
Umum akan lebih diuntungkan karena kewajiban untuk membuktikan sudah ada
pada pihak terdakwa. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana
konsekuensi dari pembalikan beban pembuktian pada perkara gratifikasi terhadap
proses pembuktian di muka persidangan oleh Penuntut Umum, penerapannya
dalam kasus Dhana Widiatmika dan Gayus Tambunan, dan hal-hal apakah yang
masih menjadi permasalahan dalam penerapannya. Hasil penelitian ini
menunjukkan penerapan pembalikan beban pembuktian perkara Gratifikasi dalam
Pasal 12 B terdapat kerancuan, karenapasal ini memuat dua unsur pasal yang
masing-masing memiliki sistem pembuktian yang berbeda yaitu unsur “pemberian
kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara” (sistem pembuktian
konvensional) dan unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya” (sistem pembuktian terbalik). Dimana dalam
proses pembuktian Pasal 12 Btetap mengacu pada KUHAP, sehingga menjadikan
pembuktian terbalik mekanismenya tidak terlihat dalam pemeriksaan di
persidangan, karena dengan tetap saja pola hakim digiring pada pola
pemikirannya Jaksa Penuntut Umum.

ABSTRACT
Act No. 20 of 2001 on Amendments to Act No. 31 Year 1999 on
Eradication of Corruption gives a new nuance in the development of law
enforcement in the field of eradication of corruption in Indonesia, with the
familiar reversal of the burden of proof is primarily concerned with proving the
crime of gratification as provided for in Article 12 B of paragraph (1) letter a. The
problem is rarely encountered cases that apply the provisions of gratification,
whereas the use of this article Prosecutor will be benefited from the existing
obligation to prove the defendant. This study intends to find out how the
consequences of a reversal of the burden of proof on the graft case against the
evidence in court by prosecution , its application in the case of Gayus Tambunan
and Dhana Widiatmika, and if things are still a problem in its application. The
results of this study demonstrate the applicability of the reversal of the burden of
proof in the case of Article 12 B Gratuities are ambiguous, because this article
contains two elements, each chapter has a different system that is an element of
proof "gift to an official or state officials" (conventional verification system) and
element "associated with his position and contrary to the obligations or
duties"(reverse authentication system). Where in the process of proving Article 12
B still refer to the Criminal Code, making the reverse authentication mechanism is
not visible in the examination in the trial, because the judge still herded the
pattern of his thinking pattern Prosecution."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38999
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedet Hardiansyah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S26023
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Pratama Saputra
"Unsur kesalahan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak secara tegas mencantumkan unsur kesalahan, namun kesalahan tersebut tersirat dalam unsur memperkaya diri. Melalui metodologi penelitian yuridis normatif dan kajian terhadap beberapa putusan tingkat kasasi dapat disimpulkan bahwa, pada praktiknya kebanyakan hakim hanya membuktikan dan mempertimbangkan unsur memperkaya diri, meskipun demikian ada juga hakim yang mempertimbangkan unsur kesalahan secara khusus. Dengan demikian terlepas dari bagaimana cara hakim mempertimbangkannya, berarti unsur kesalahan dalam pasal ini telah dibuktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim ketika akan menyatakan Terdakwa secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal tersebut.

Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act has indirectly contained element of guilt, however element of guilt implicitly contained in self enriching element. Through juridical normative methodology research and study of some cassation rsquo s verdict can be deduced that practically, most of judges just proving and considering self enriching element, eventhough there are judges who considering element of guilt specifically. Therefore, regardless of how judges considering element of guilt, it means in this article element of guilt already proven and considered by judges when stating that defendant is guilty based on this Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gitari Ananda Putri
"Korupsi, dalam berbagai bentuknya, tidak hanya terbatas pada pertukaran uang atau barang. Salah satu bentuk yang meresahkan adalah layanan seksual, yang dapat muncul sebagai bentuk alternatif gratifikasi ketika uang atau barang tidak lagi menjadi pilihan. Hal ini sangat relevan dalam kasus-kasus di mana pejabat laki-laki, yang telah memiliki kekayaan dan kekuasaan, tidak lagi membutuhkan barang atau kompensasi finansial. Dalam situasi seperti itu, layanan seksual dapat menjadi alat pertukaran bagi mereka yang ingin mendapatkan pengaruh atau kontrol. Perempuan sangat rentan terlibat dalam situasi seperti ini, karena norma-norma masyarakat sering kali mengasosiasikan perempuan dengan penyediaan layanan seksual kepada laki-laki. Di Indonesia, masalah ini sebagian besar masih belum ditangani dalam kerangka hukum, dan dianggap sebagai topik yang tabu dalam wacana publik. Kesenjangan dalam peraturan ini memungkinkan adanya potensi eksploitasi dinamika kekuasaan, di mana layanan seksual digunakan sebagai bentuk korupsi atau pemaksaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mengatur gratifikasi seksual di Indonesia. Dengan menyoroti perlunya ketentuan hukum yang jelas, penelitian ini berupaya mendorong para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan pengembangan undang-undang yang secara eksplisit menangani dan mencegah bentuk korupsi ini. Kerangka hukum yang efektif sangat penting tidak hanya untuk memerangi eksploitasi seksual tetapi juga untuk menumbuhkan budaya akuntabilitas dan melindungi individu-individu yang rentan. Revisi ini menekankan pada kejelasan dan alur, menyajikan topik dengan cara yang lebih terstruktur dan formal dengan tetap mempertahankan poin-poin aslinya.

Corruption, in its various forms, extends beyond monetary or material exchanges. One troubling manifestation involves sexual services, which can emerge as an alternative form of gratification when money or goods are no longer viable options. This is particularly relevant in cases where male officials, who already possess wealth and power, no longer require material goods or financial compensation. In such circumstances, sexual services may become a means of exchange for those who seek to exert influence or control.Women are especially vulnerable to becoming involved in these situations, as societal norms often associate women with the provision of sexual services to men. In Indonesia, this issue remains largely unaddressed in legal frameworks, and it is considered a taboo subject in public discourse. This gap in regulation allows for the potential exploitation of power dynamics, where sexual services are used as a form of corruption or coercion. The aim of this research is to raise awareness about the importance of regulating sexual gratuities in Indonesia. By highlighting the need for clear legal provisions, this study seeks to encourage policymakers to consider the development of laws that explicitly address and prevent this form of corruption. Effective legal frameworks are essential not only for combating sexual exploitation but also for fostering a culture of accountability and protecting vulnerable individuals. This revision emphasizes clarity and flow, presenting the topic in a more structured and formal manner while maintaining the original points."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Nasution, Rizkisyah Karoen
"Skripsi ini akan membahas mengenai arti, baik secara konsep maupun tujuan dari pidana uang pengganti yang akan dianalisis dengan menggunakan teori pemidanaan yang ada dalam hukum pidana Indonesia. Pengembalian kerugian negara melalui penjatuhan pidana uang pengganti diatur dalam Pasal 18, dengan berbagai permasalahan yang mengakibatkan terpidana untuk lebih memilih pidana penjara subsider daripada memenuhi tuntutan pidana uang pengganti. Hal ini mengakibatkan lambatnya pertumbuhan Indonesia sebagai negara berkembang, karena keuangan negara yang diharapkan dapat kembali melalui penjatuhan pidana uang pengganti tidak dapat terwujud.
Penelitian dengan judul Permasalahan Pidana Uang Pengganti Terkait Teori Pemidanaan, Berdasarkan Undang ? Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang diarahkan pada hukum positif untuk kemudian dikaitkan dengan teori pemidanaan. Penelitian ini menjelaskan mengenai konsep dan tujuan dari pidana uang pengganti beserta pidana penjara subsider yang melekat kepadanya, dan dipaparkan permasalahan yang terkait dengan pencapaian tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti.

This study will discuss about the meaning, both in concept and purpose of the Compensatorial-Money Punishment which will be analyzed by using the theory of crime and punishment as they lived under the Indonesian criminal law. The effort of returning the state losses through the compensatorial-money punishment is provided with the Article 18, with those variety of problems that leads the convict in prefer for the subsidiary-imprisonment than meet the obligation of the compensatorial-money punisment. This has resulted a slow growth of Indonesia as a developing country, where the evaporated state finances that once were expected to be return through the imposition of the compensatorial-money punishment can't possibly be realized.
This study which titled The Proposition of The Compensatorial-Money Punishment in Relation With The Theory of Crime and Punishment, based upon Statutory No. 31 of 1999 about The Eradication of Corruption is done by using a normative juridical research that aimed at the positive law for later be associated with the theory of crime and punishment. This study describes both about the concept and purpose of the compensatorial-money punishment and the subsidiary-imprisoment that attached to it, and described the problems that associated with the achivement of the objectives of the compensatorial-money punishment."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S57808
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Ganing Permata
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran masyarakat sipil dalam demokrasi dan strategi advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil, dalam hal ini adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Penelitian ini menggunakan teori peran masyarakat sipil dalam demokrasi dari Larry Diamond, serta teori advokasi dari S. Gen dan A. C Wright. ICW telah mengawasi kekuasaan negara dengan meminta pemerintah dan DPR untuk bertanggungjawab pada hukum dan harapan-harapan publik, yaitu mendukung pemberantasan korupsi dengan tidak melemahkan institusi KPK, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu publik yang penting melalui advokasinya, dalam hal ini mengenai wacana revisi UU KPK oleh DPR. ICW melakukan advokasi untuk mencegah revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2010 dan 2015. Strategi advokasi yang dilakukan ICW terhadap revisi UU KPK diantaranya adalah membangun koalisi, melobi dan membangun hubungan dengan pembuat kebijakan, melakukan penelitian atau kajian, melakukan framing dan labelling, studi atau liputan media, dan melibatkan dan memobilisasi publik.

ABSTRACT
This study aims at explain the role of civil society in democracy and advocacy strategies undertaken by civil society, in this case is Indonesia Corruption Watch (ICW). This research uses theory of civil society in the democracy from Larry Diamond, and the advocacy theory from Sheldon Gen and Amy Conley Wright. ICW controls state power by demanding the government and the People`s Legislative Assembly to be accountable to the law and public by supporting the Eradication of Corruption Commission KPK by not weakening the institution of the KPK, and raising public awareness of important public issues through its advocacy, in this case the revised discourse KPK law by Parliament. ICW conducts advocacy to prevent the revision of Law No. 30 Year 2002 on Corruption Eradication Commission Year 2010 and 2015. ICW`s adopts advocacy strategy through building coalitions, lobbying and building relationships with policy makers, conducting research or studies, and labeling, media coverage, and engaging and mobilizing the public. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>