Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166168 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dino Irwin Tengkano
"ABSTRAK
Peraturan perundang-undangan mengenai Kepailitan dan PKPU akan sanqat mempengaruhi penyelesaian utanq piutanq yang sedang berjalan, baik untuk Kreditor yang berkepentingan atas kembalinya dana yang telah dipinjamkan, maupun baqi Debitor quna kelangsungan usahanya. Permasalahan utama yang dianalisis adalah perlindungan dan peluang yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (UUK dan PKPU) terhadap Kreditor yang tidak menyutului rencana perdamaian pada Rencana Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Debitor serta konsekwensi yuridis baqi Debitor yang tidak melaksanakan putusan perdamaian. Penelitian mempergunakan metode penelitian hukum normatif dengan mempergunakan bahan hukum sekunder yang diteliti meialui pengkajian peraturan perundang-undangan dan studi dokumen atas Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 015/PKPU/2000IPN.Niaga Jkt-Pusat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mclindungi dan mcmberikan kcmungkinan untuk melakukan upaya hukum bagi Kreditor yang tidak menyetujui Rencana Perdamaian dalam PKPU yang dialukan oleh Debitor melalui pengajuan rencana perdamaian "tandingan" dengan berlandaskan pada Pasal 222 ayat (2) UUK dan PKPU yang memberi kesempatan kepada Kreditor untuk mengajukan rencana perdamaian: Apabila rencana perdamaian telah menjadi putusan Pengadilan Niaga, Kreditor dapat mengajukan permohonan kembali kepada Mahkamah Aqunq denqan memberikan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan atau da.Lam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 295 UUK dan .PKPU. Konsekwensi yuridis bagi Debitor yang tidak meiaksanakan putusan perdamaian adalah bertanggungjawab dan dapat dituntut oleh seluruh Kreditor termasuk yang tidak menyetujui perdamaian berdasarkan ketentuan Pasal 287 UUK dan PKPU sebagaimana dapat diperlakukan terhadap pihak-pihak yang mengingkari putusan pengadilan. Dalam hal utang yang ditanggung Debitor itu merupakan Piutanq Neqara maka kepada Debitor yang inqkar itu antara lain dapat diberlakukan tindakan hukum paksa badan

ABSTRACT
Law and regulation concerning Bankruptcy and Restructuring of Debt Payment (PKPU) will be very influencing for solving the corporate' receivable and liability both of The Creditors having importance concerning with return payment of fund have been loaned and The Debtors utilize the continuity of their business. The core problems which analyzed is the opportunity and protection given by Bankruptcy Code Number 37 Year 2004 to The Creditors which do not agree with the Compromise Plan in Restructuring of Debt Payment arranged by Debtor. and also the law consequence to Debtor which do not execute Compromise Plan decision. Normative research method utilized in this thesis by utilizing secondary sources and materials of Law and regulation and document study to the Justice Decision of Commercial Court (Pengadilan Niaga) Jakarta Pusat registered Number OIS/PKPU/2000IPN.Niaga Jkt-Pusat.
Result of research indicate Bankruptcy Code Number 37 Year 2004 protecting and giving possibility to legal effort for Creditor frown on Compromise Plan in Restructuring of Debt Payment raised by Debtor pass proffering another Compromise Plan base on Section 222 paragraph (2) of Bankruptcy Code Number 37 Year 2004 making an opening for The Creditors to raise Compromise Plan. When Compromise Plan have come to Pengadilan Niaga decion, Creditor can apply again to Mahkamah Aqunq by giving new evidence which have the character of determine which is on case time in the court there are, but not yet been found or in pertinent judge decision there are real by mistake as arranged in Section 295 Bankruptcy Code Number 37 Year 2004. The consequence to Debtor which do not execute Compromise Plan is responsible and able to be claimed by all Creditor including which frown on plan pursuant to rule of Section Bankruptcy Code Number 37 Year 2004 as can be treated to whoever disobeying justice decision. In the case of accounted on debt is that Debtor represent Receivable State hence to Debtor that denied may be gone into effect force body Punishment."
2007
T19304
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Izmi Deviani
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan teori dan penerapan perdamaian dalam PKPU berdasarkan peraturan kepailitan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Brazil. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yang bersifat eksplanatoris deskriptif. Pembahasan akan menganalisa perbedaan dan juga persamaan mengenai jalannya suatu perdamaian dalam rangka PKPU dan Kepailitan antara Negara yang menganut Civil Law yaitu Amerika Serikat, dan Common Law, yaitu Indonesia dan Brazil. Dengan adanya studi kasus, diketahui bahwa suatu rencana perdamaian tidak selalu dapat diterima baik oleh kreditor atau Pengadilan Niaga, dan suatu rencana perdamaian yang telah disahkan, tetap dapat diajukan pembatalan jika debitor lalai menjalankan kewajiban yang tercantum dalam rencana perdamaian. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ada perbedaan konsep perdamaian dalam PKPU di Indonesia, Amerika Serikat, dan Brazil.

This thesis discusses the comparison of theory of accord on Suspend of Payment and its application according to Bankruptcy regulation in Indonesia, United States, and Brazil. This thesis uses juridical normative method, descriptive explanatory nature. The discussion will analyze the differences and similarities between accord implementation in country based on civil law, which is United States of America, and in countries based on common law, which are Indonesia and Brazil. In regard to the cases analyzed by the author, noted that not all of accord plan can be approved, either by creditors or court. If the debtor neglects the accord plan which has been approved by the court, it can be applied for cancellation. The result from this research is that there are differences between the accord on Suspend of Payment in Indonesia, United States, and Brazil.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Valenia Narulita Hanggarjati
"Dalam kondisi keuangan yang berdampak pada ketidakmampuan seseorang atau suatu badan hukum dalam memenuhi kewajiban berupa pembayaran utang, maka Debitor dapat mengajukan suatu upaya berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara sukarela (voluntary petition). Pengajuan permohonan PKPU secara sukarela ini merupakan suatu bentuk itikad baik Debitor dalam melunasi utang-utangnya kepada Para Kreditor. Terlebih apabila dalam permohonan PKPU tersebut juga dilampirkan suatu rencana perdamaian berupa penawaran jadwal pembayaran dan nominal utang yang akan dibayarkan, maka sudah seharusnya dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lain halnya dengan pengajuan permohonan PKPU yang diajukan secara sukarela oleh PT Duta Adhikarya Negeri, putusan ini ditolak karena pembuktian yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan oleh bukti surat yang memperlihatkan keberadaan utangnya berupa copy dari fotocopy. Namun pada faktanya, bukti-bukti tersebut telah diakui dan tidak dibantah oleh pihak Kreditor. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian yaitu yuridis normatif yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penulis akan meneliti pertimbangan Majelis Hakim yang kurang cermat dalam memperhatikan substansi dari permohonan PKPU. Dalam UUK-PKPU tidak secara rinci diatur mengenai pembuktian sederhana dalam perkara PKPU, melainkan diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat bahwa dikabulkannya suatu PKPU dapat memberikan kepastian hukum berupa kesempatan pada Debitor untuk melaksanakan kewajibannya dalam PKPU serta rencana perdamaian, maka sudah seharusnya pengadilan berfokus pada keberadaan utang yang ada pada bukti-bukti yang telah diakui oleh Para Kreditornya sehingga tidak terbantahkan dan menjadi sah di persidangan serta dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) UUK-PKPU.

In a financial condition that affects the inability of a person or a legal entity to fulfill obligations in the form of debt payments, the Debtor may submit a legal remedy in the form of a voluntary petition. Submitting a PKPU application voluntarily is a form of the Debtor's good faith in paying off his debts to Creditors. Especially if the PKPU request is also attached with a reconciliation plan in the form of offering a payment schedule and the amount of the debt to be calculated, then it should have been granted as stipulated in Article 225 paragraph (2) Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment obligations. Unlike the case with PT Duta Adhikarya Negeri submitting a PKPU application voluntarily, this decision was rejected because the evidence was not simple. This is caused by documentary evidence that reveals the existence of the debt in the form of a copy of the photocopy. However, in fact, this evidence has been acknowledged and not disputed by the creditors. In this study, the author uses research methods which is normative juridical which produces descriptive analytical data. The author will analyze the considerations of the Panel of Judges which are incomprehensive in paying attention to the substance of the PKPU petition. The UUK-PKPU does not stipulate in detail regarding simple proof in PKPU cases, instead it is regulated in the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 109/KMA/SK/IV/2020 concerning Enforcement of the Handbook for Settlement of Bankruptcy Cases and Suspension of Obligations for Payment of Debt. Given that the granting of a PKPU can provide legal certainty in the form of an opportunity for the Debtor to carry out debt payment obligations in the PKPU as well as a composition plan, then it should be more focusing on the existence of the debts on evidence that has been acknowledged by the Creditors so that they cannot be disputed and become valid in court and granted as regulated in Article 225 paragraph (2) UUK-PKPU."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Marleen Josephine
"Skripsi ini membahas mengenai permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh Krediturnya, dengan studi kasus Putusan Nomor 4/PDT.SUSPAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Adapun ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga untuk berinvestasi melalui pasar modal. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa panitera harus menolak permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh pihak selain Otoritas Jasa Keuangan. Namun, pada praktiknya masih terdapat banyak pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang tidak diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dapat dilihat pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek (PT Brent Securities) yang diajukan oleh Kreditornya karena izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu Perusahaan Efek dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek dalam putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST ditinjau dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek mutlak merupakan kewenangan khusus Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga negara yang melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Efek, sekalipun izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek oleh Krediturnya, tidak sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

This thesis discusses about bankruptcy against Securities Company filed by its Creditors, with a case study of Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company may only be filed by the Financial Services Authority. The existence of these provisions is intended to protect the interests of third parties to invest through the capital market. Then, Article 6 paragraph (3) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the principal registrar is required to reject a petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company if it’s filed by any other party besides the Financial Services Authority. However, in practice there are still many petitions for a declaration of bankruptcy against Securities Company that are not be filed by the Financial Services Authority. This can be seen on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, which granted the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company (PT Brent Securities) that filed by its creditors due to its business license revoked by Financial Services Authority. This research aims to identify the mechanism of filing an application for a bankruptcy against Security Company and the authority of Financial Services Authority for the bankruptcy petition of Securities Company in Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. based on Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment. Type of research applied in this research is normative juridical approach with a descriptive typology. The result shows that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company is the exclusive power of Financial Services Authority as a state institution that supervises Securities Company, even though their business license has been revoked by Financial Services Authority. Then, the decision of The Judges on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST which granted the application for bankruptcy declaration against the Securities Company by its Creditors, was not in accordance with the regulations in Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Firmansyah
"Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan kondisi usaha dan investasi yang lebih baik. Bagian yang penting dari Kepailitan adalah Kurator. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan / atau membereskan harta Pailit. Kurator harus terdaftar pada Kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan, dalam hal ini Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia. Kurator berperan dalam penyelesaian hubungan hukum antara Debitor Pailit dengan para Kreditornya. Selain itu ia bertanggung jawab kepada Hakim Pengawas, Kreditor, dan Debitor Pailit.
Dalam menjalankan tugasnya, Kurator harus memahami bahwa tugasnya tidak sekadar menyelamatkan harta Pailit yang berhasil dikumpulkannya untuk kemudian dibagikan kepada para Kreditor, tetapi Kurator dituntut untuk bisa meningkatkan nilai harta Pailit tersebut. Yang lebih penting, Kurator dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk mentaati Standar Profesi dan Etika. Hal ini menghindari adanya benturan kepentingan dengan Debitor Pailit ataupun Kreditor.
Walaupun tugas dan kewenangan Kurator telah ditentukan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam praktek sering terjadi permasalahan yang dihadapi kurator dalam hal tugas dan kewenangannya tidak diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Untuk mengatasi masalah-masalah ini prinsip kebenaran dan keadilan harus selalu ditegakkan oleh Kurator."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T15420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Sudirman
"Sebaqai akibat dari krisis moneter yang berkepanjangan yang dimulai sejak pertengahan tahun 19997 yang lalu, saat ini makin banyak dunia usaha yang tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Dalam dunia hukum, debitur yang tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dapat dinyatakan pailit. Karena bila hal ini dibiarkan berlarut-larut akan
dapat mengganggu tatanan_kehidupan ekonomi yang sudah ada. Untuk mengatasi dampak negatif makin banyaknya debitur yang akan bangrut, maka pemerintah telah mengeluarkan Undang- Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan dan Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU} ini dalam hukum dagang dikenal dengan nama Surseance
van betaling atau suspension of payment, yang diatur dalam Peraturan Kepailitan, Sth. 1905-217 jo. Stb. 1906-348, Bab II, dari pasal 212 sampai dengan pasal 279. Debitur yang menunda atau mengetahui bahwa dia tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah bisa ditagih, dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaranutangnya melalui pengadilan. Dalam kasus penundaan pembayaran, bahwa debitur berada dalam keadaan sulit untuk dapat memenuhi (membayar) utangya secara penuh, misalnya, perusahaan debitur pada saat itu menderita kerugianQ kebakaran yang menimpa pabrik, resesi ekonomi, dan lain-
lain. Kesulitan debitur seperti itu belumlah menjadi indikasi kearah kebangrutan {kepailitan}. Apabila debitur diberikan waktu, ia akan sanggup (mampul untuk memenuhi
atau melunasi utangnya secara penuh. Untuk itulah, debitur dapat memohon penundaan pembayaran dengan tujuan agar iabisa memperbaiki ekonomi dan perusahaannya tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU} dapat dijadikan alternatif yang menguntungkan baik bagi kreditur maupun debitur dibandingkan jika perusahaan yang insolven langsung dipailitkan, akan tetapi hal tersebut tidak
menutup kemungkinan adanya kerugian-kerugian, baik bagi debitur maupun bagi kreditur."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diandry Adityaputri
"Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU menjadikan BUMN sebagai Debitor yang hanya dapat diajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU oleh Menteri Keuangan. Penjelasan Pasal 2 ayat (5) menyatakan bahwa ketentuan ini berlaku pada BUMN yang seluruh modalnya adalah milik negara dan tidak terbagi atas saham. Persero merupakan BUMN dalam bentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi atas saham. Terhadap BUMN Persero terdapat beberapa putusan yang menyatakan bahwa Persero merupakan bagian dari BUMN yang dimaksud pada Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU, seperti putusan permohonan pernyataan pailit PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) dan putusan permohonan PKPU PT Angkasa Pura II (PT AP II). Namun, apabila merujuk kepada Pasal 1 angka 2 UU BUMN maka terjadi ketidaksinkronan antara pengertian Persero dengan penjelasan BUMN yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU. Pada skripsi ini akan membahas mengenai kedudukan hukum dari Persero dalam kepailitan serta kewenangan kreditor dalam melakukan permohonan pailit maupun PKPU terhadap Persero. Metodologi yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yakni analisis permasalahan akan berdasarkan pada undang-undang yang berkaitan. Secara singkat, kedudukan hukum dari Persero adalah sama dengan perseroan terbatas lainnya sehingga terhadap Persero dapat diajukan permohonan pernyataan pailit maupun permohonan PKPU. Pihak yang dapat melakukan permohonan pernyataan pailit atau permohonan PKPU ini adalah Debitor itu sendiri maupun Para Kreditornya.

SOEs as special debtors as stipulated in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law make it only possible to apply for bankruptcy and suspension of payment by the Minister of Finance. This provision applies to SOEs engaged in the public interest only, namely SOEs whose entire capital is state-owned and not divided into shares. Persero SOEs is a SOE in the form of a limited liability company whose capital is divided into shares whose entire or at least 51% of the shares are owned by the state with the aim of pursuing profits. Against Persero SOEs, there are several rulings stating that Persero is part of the SOEs referred to in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law. However, when referring to Article 1 number 2 of the SOEs Law, there is a synchrony between the definition of Persero and the explanation of SOEs referred to in Article 2 paragraph (5) of the KPKPU Law. This thesis will discuss the legal position of Persero, in the application for bankruptcy and suspension of payment as well as the authority of creditors in making applications against both. The methodology used in this thesis is normative juridical, namely the analysis of problems will be based on related laws. In short, the legal position of Persero is the same as other limited liability companies so that against Persero, an application for bankruptcy statement or suspension of paymentapplication can be filed. The parties who can apply for a bankruptcy statement or suspension of payment application are the Debtor himself and his Creditors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farih Romdoni Putra
"Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu direformulasi dalam ketentuan penundaan kewajiban pembayaran utang (“PKPU”) dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan 2004”) agar kreditor dan debitor diberikan perlindungan yang seimbang. Secara spesifik penelitian ini fokus pada permasalahan pengajuan PKPU oleh kreditor, kedudukan kreditor separatis dan kreditor preferen dalam perdamaian, dan pembatalan perdamaian yang telah disahkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan PKPU dalam UU Kepailitan 2004 lebih cenderung melindungi kreditor daripada debitor. Berdasarkan penelitian ini dan perbandingan dengan hukum kepailitan Belanda, Singapura, dan Amerika Serikat, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU Kepailitan 2004 atas hal-hal sebagai berikut: (i) penambahan syarat bagi kreditor yang hendak mengajukan PKPU; (ii) pengaturan cramdown, (iii) hak suara kreditor preferen terhadap rencana perdamaian; dan (iv) pengaturan tentang pembatalan perdamaian perlu disesuaikan agar kelalaian pelaksanaan perdamaian tidak harus berujung pada kepailitan serta memberi kesempatan agar perdamaian dapat diubah berdasarkan kesepakatan para pihak dengan tetap di bawah pengawasan pengadilan niaga.

This research aims at identifying matters needed to be reformed in the suspension of debt payment obligations (“PKPU”) in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("Bankruptcy Law 2004") so creditors and debtors have equal protection. Specifically, this research focused on the problem of PKPU's petition by creditors, the position of separatist creditors and preferred creditors in the plan, and the termination of a confirmed plan. This research was conducted using a normative juridical research method with a comparative approach. Results of this study indicated that the regulation of PKPU in Bankruptcy Law 2004 tends to protect creditors than debtors. Based on this research and the comparison with bankruptcy law in the Netherlands, Singapore, and the United States of America, Bankruptcy Law 2004 needs to be reformed on the following matters: (i)  the requirement of creditors who can submit PKPU petition; (ii) the regulation of cramdown; (ii) the voting rights of preferred creditors to composition plan; and (iv) the regulation of plan termination need to be reformed so that the failure of plan implementation doesn't have to end with bankruptcy, and also a chance to modify a confirmed plan based on the agreement of all parties under the supervision of a commercial court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>