Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207667 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fredrico Patria
"Menjelang tahun 2000, harapan hidup wanita Indonesia meningkat menjadi 67,5 tahun dan kelompok usia tua akan mencapai 8,2 % dari seluruh populasi Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010, usia harapan hidup wanita Indonesia akan mencapai 70 tahun. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, maka akan terjadi peningkatan penyakit-penyakit tua, khususnya pada wanita kejadian penyakit usia tua ini dihubungkan dengan penurunan kadar hormon estrogen. Penurunan hormon ini telah dimulai sejak usia 40 tahun.
Menopause sebagai akibat dari penurunan kadar hormon estrogen pada wanita akan memberikan gejala-gejala yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ. Gejala-gejala yang mungkin timbul dibagi menjadi efek jangka pendek maupun efek jangka panjang. Efek jangka pendek adalah gejala vasomotorik (hot flushes, jantung berdebar, sakit kepala), gejala psikologik (gelisah, lekas marah, perubahan perilaku, depresi, gangguan libido), gejala urogenital (vagina kering, keputihan/infeksi, gatal pada vagina, iritasi pada vagina, inkontinensia urin), gejala pada kulit (kering, keriput), gejala metabolisme (kolesterol tinggi, HDL turun, LDL naik). Sedangkan efek jangka panjang meliputi osteoporosis, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, stroke sampai kanker usus besar.
Osteoporosis sebagai salah sate efek jangka panjang akan memberikan dampak tersendiri. Prevalensi osteoporosis pada wanita usia 50-59 tahun adalah 24%, sedangkan pada wanita usia 60-70 tahun adalah 62%. Kejadian osteoporosis ini akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah usia pasca menopause akibat meningkatnya usia harapan hidup, dengan dampak akhirnya pada kejadian fraktur. Fraktur pada osteoporosis terjadi pada 25-30% wanita pasca menopause. Pada wanita pre menopause, estrogen akan menekan resorpsi tulang, sehingga pada saat pasca menopause dengan menurunnya kadar hormon estrogen maka efek tersebut juga akan menurun. Estrogen diperkirakan mengendalikan pembentukan osteokias dengan mengendalikan pembentukan interleukin (IL)-1, IL-6 dan Tumour Necrosis Factor (TNF)-a.
Dalam penanganan osteoporosis, pengobatan pengganti hormonal sangat diperlukan saat ini dan pemberian dosis rendah estrogen dengan dosis rendah progesteron yang digabung dengan kalsium, kalsitriol, senam beban dan aktivitas akan memberikan hasil yang cukup baik, yang ditunjukkan dalam kenaikan densitas tulang femur, lumbal dan radius. Pemberian estrogen juga akan membantu menghilangkan gejala-gejala menopause lainnya. Meskipun demikian terdapat kekhawatiran dari para wanita pasca menopause mengingat risiko untuk timbulnya keganasan pada pemakaian hormon pengganti ditambah dengan adanya perbedaan kebudayaan khususnya di negara-negara Asia yang membuat penerimaan terapi hormonal lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa.
Penelitian menunjukkan bahwa risiko keganasan pada endometrium pada wanita usia 50 tahun adalah 3%. Pemakaian hormon pengganti estrogen saja akan meningkat risiko keganasan 4-5 kali dalam 5 tahun pemberian dan 10 kali dalam pemberian Iebih dari 15 tahun. Gabungan estrogen dan progesteron akan menurunkan risiko kejadian keganasan pada endometrium dan pada payudara sampai sama dengan risiko tanpa pengobatan hormonal.
Pada penelitian lain ditemukan adanya peningkatan aktivitas enzim enzim peroxisomal proliferating activator receptor Alfa dan gamma yang dapat memicu keganasan pada payudara pada pemakai estrogen untuk jangka panjang. Penelitian World Health Initiative (WHI) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keganasan pada payudara sebesar 26 %, peningkatan sebesar 41% pada kejadian stroke, meskipun terjadi penurunan keganasan kolon 37% pada pemakaian hormon selama 5,6 tahun. Sehingga terapi sulih hormon tidak dianjurkan melebihi 5 tahun. Pada diskusi selanjutnya dikemukakan bahwa pemakaian estrogen pada usia di atas 54 tahun perlu diperhatikan kemungkinan peningkatan bahaya keganasan pada payudara."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yessy Yuniarti
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Terapi kombinasi antiretroviral (ARV)telah berhasil menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien HIV, namun efek samping jangka panjang dapat menimbulkan perubahan distribusi lemak tubuh yang dikenal dengan sindrom lipodistrofi. Pasien HIV yang mengalami lipodistrofi berisiko mengalami gangguan metabolik yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit kardiovaskular.
Tujuan: Mengidentifikasi adanya lipodistrofi dan dislipidemia pada pasien prepubertas dengan HIV yang mendapatkan terapi ARV jangka panjang.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 76 pasien HIV usia prepubertas yang kontrol rutin di Poli Alergi Imunologi RSCM. Subyek dilakukan pemeriksaan klinis lipodistrofi oleh tenaga klinis terlatih menggunakan kriteria dari the European Paediatric Group of Lipodystrophy. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan tebal lipatan kulit (TLK) triceps dan subscapular, lingkar pinggang, serta rasio lingkar pinggang-panggul. Data kadar CD4 awal, status gizi awal terdiagnosis, jenis terapi ARV, dan lama terapi ARV diambil dari rekam medis. Subyek juga dilakukan analisis diet, pemeriksaan profil lipid dan gula darah puasa.
Hasil: Pada subyek prepubertas dengan HIV yang mendapatkan terapi ARV yang mengalami lipodistrofi dan dislipidemia berturut-turut sebanyak 47% dan 46%. Subyek yang mengalami lipodistrofi berupa lipohipertrofi (35%), lipoatrofi (5%), dan tipe campuran (7%). Subyek yang mengalami lipodistrofi pada umumnya memiliki massa lemak tubuh, serta TLK triceps dan subscapular yang normal. Pada subyek dengan lipohipertrofi dan tipe campuran seluruhnya memiliki rasio lingkar pinggang-panggul yang meningkat.Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan regimen ARV kombinasi 2 nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)+ protease inhibitor (PI) meningkatkan risiko 6,9 kali untuk terjadinya dislipidemia (p=0,001, IK95% 2,03-23,7) dibandingkan regimen 2NRTI+ non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI).
Simpulan: Prevalens lipodistrofi dan dislipidemia cukup tinggi pada pasien prepubertas dengan HIV yang mendapatkan terapi ARV. Pada umumnya subyek yang mengalami lipodistrofi pada penelitian ini adalah tipe lipohipertrofi.

ABSTRACT
Background: Antiretroviral (ARV) combination therapy has significantly reduced morbidity and mortality in HIV-infected children. Long-term adverse effect of ARV is lipodystrophy syndrome. Lipodystrophy associated with metabolic disturbances which can cause cardiovascular disease.
Objective: To identify lipodystrophy and dyslipidemia in prepubertal HIV-infected patients receiving long-term ARV therapy.
Methods: Cross sectional study including 76 prepuberty HIV-infected children was performed by clinical and medical records review in Allergy Immunology Ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Clinical examination of lipodystrophy was assesed by a trained clinician using the European Pediatric Group of Lipodystrophy criteria. We also assesed triceps and subscapular skinfold thicknesses, waist ratio, and waist-hip ratio. CD4 level and nutritional status at beginning therapy, ARV regiments, and duration ARV therapy were reviewed from medical records. We also performed diet analysis and laboratory examination such as lipid profiles and fasting glucose.
Results: Prevalenceof lipodystrophy and dyslipidemia inprepubertalinfected-HIV children who receiving ARV were 47% and 46%. Subjects with lipodystrophy consisted of lipohypertrophy (35%), lipoatrophy (5%), and mixed type (7%). Subjects with lipodystrophy majority had normal triceps and subscapular skinfold thicknesses and normal total body fat. All subjects with lipohipertrophy and mixed type had an increasing waist-hip ratio. Regiment of 2 nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) + protease inhibitor (PI) increased 6,9 times risk of dyslipidemia compare with 2NRTI+ non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) regiment (p=0,001, 95%CI 2,03-23,7).
Conclusion: The prevalence of lipodystrophy and dyslipidemia are high among prepuberty HIV-infected children on antiretroviral therapy. Majority of subjects with lipodystrophy in this study were lipohypertrophy type., Background: Antiretroviral (ARV) combination therapy has significantly reduced morbidity
and mortality in HIV-infected children. Long-term adverse effect of ARV is lipodystrophy
syndrome. Lipodystrophy associated with metabolic disturbances which can cause
cardiovascular disease.
Objective: To identify lipodystrophy and dyslipidemia in prepubertal HIV-infected patients
receiving long-term ARV therapy.
Methods: Cross sectional study including 76 prepuberty HIV-infected children was
performed by clinical and medical records review in Allergy Immunology Ward Cipto
Mangunkusumo Hospital. Clinical examination of lipodystrophy was assesed by a trained
clinician using the European Pediatric Group of Lipodystrophy criteria. We also assesed
triceps and subscapular skinfold thicknesses, waist ratio, and waist-hip ratio. CD4 level and
nutritional status at beginning therapy, ARV regiments, and duration ARV therapy were
reviewed from medical records. We also performed diet analysis and laboratory examination
such as lipid profiles and fasting glucose.
Results: Prevalenceof lipodystrophy and dyslipidemia inprepubertalinfected-HIV children
who receiving ARV were 47% and 46%. Subjects with lipodystrophy consisted of
lipohypertrophy (35%), lipoatrophy (5%), and mixed type (7%). Subjects with lipodystrophy
majority had normal triceps and subscapular skinfold thicknesses and normal total body fat.
All subjects with lipohipertrophy and mixed type had an increasing waist-hip ratio. Regiment
of 2 nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) + protease inhibitor (PI) increased 6,9
times risk of dyslipidemia compare with 2NRTI+ non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI) regiment (p=0,001, 95%CI 2,03-23,7).
Conclusion: The prevalence of lipodystrophy and dyslipidemia are high among prepuberty
HIV-infected children on antiretroviral therapy. Majority of subjects with lipodystrophy in
this study were lipohypertrophy type.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty
"Latar belakang: Antipsikotika dan Antikolinergik merupakan obat yang dapat menvebablan efek samping disfungsi ereksi. Selama ini, keluhan tentang disfungsi ereksi jarang dikeluhkan oleh pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi. Di Amerika Serikat, didapatkan prevalensi 20-30% pada pasien skizofrenia yang diterapi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek samping disfungsi ereksi pada pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi di RS Dr Cipto Mangunkusumo, RS dr Soeharto Heerdjan, RS dr Marzoeki Mahdi.
Tujuan : Untuk mendapatkan prevalensi disfungsi ereksi pada pasien skizofrenia yang diterapi dengan antipsikotika dan antikolinergik, dan mendapatkan hubungan antara jenis, dosis antipsikotika, dan lamanya terapi dengan timbulnya disfungsi ereksi.
Metodologi : Merupakan studi potong lintang yang melibatkan 48 responden yang menggunakan antipsikotika tipikal, dan 48 responden yang menggunakan antipsikotika atipikal. Instrumen yang digunakan yaitu IIEF-5 (International Index of Erectile Function)-5 untuk mengetahui adanya disfungsi ereksi. Diagnosis skizofrenia berdasarkan pada diagnosis skizofrenia yang ditegakkan psikiater lain di rumah sakit setempat. -
Hasil: Prevalensi disfungsi ereksi pada pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotika dan antikolinergik adalah 26%. Variabel yang paling berpengaruh terhadap timbulnya disfungsi ereksi adalah terapi tipikal yaitu sebanyak 3,5 kali lebiih banyak dari terapi atipikal. Dosis, lama terapi, pendidikan, usia, bekerja/tidak bekerja tidak bermakna secara statistik
Simpulan: Didapat kesan bahwa antipsikotika mempunyai efek samping yang sama pada ras yang berbeda Keluhan disfungsi ereksi perlu ditanyakan dahulu oleh psikiater karena pasien jarang mengeluh tentang hat ini karena rasa malu.
Rata kunci: pria penderita skizofrenia, disfungsi ereksi, antipsikotika, antikolinergik.

Back ground : Erectile Dysfunction is a common side effect from antipsychotic and ant cholinergic. However, complain about erectile dysfunction is rare (underreporting) from the schizophrenics on therapy here. The prevalence of erectile dysfunction is about 20%-30% from the schizophrenics on therapy in the United States.4 The aim in doing this research is to know whether the schizophrenics on therapy in Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, dr Soeharto Heerdjan Hospital, dr Marzoeki Mahdi Hospital have the adverse effect of erectile dysfunction.
Purpose: To study the prevalence of erectile dysfunction (ED) in Schizophrenics on therapy, and the correlation between type, dose, and length of therapy with erectile dysfunction.
Methodology : A cross sectional study of 48 respondents on typical therapy and 48 respondents on atypical theory , aged above 20 was conducted using the abridged , five item version of the International Index of Erectile Function (IIEF-5). Presence of erectile dysfunction was defined as IIEF-5 score of less than or the same with 21. A Logistic regression model was used to identify significant independent risk factors for ED. The diagnosis of schizophrenia was established based on previous diagnosis from another psychiatrist at the respective hospital.
Results: 26% male schizophrenics on antipsychotic and ant cholinergic therapy in Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, dr Soeharto Heerjan Hospital, dr Marzoeki Mahdi Hospital suffered from erectile dysfunction. The only significant variable for erectile dysfunction is type of therapy (first generation antipsychotic). The first generation antipsychotic cause erectile dysfunction 3,5 times more than the second generation antipsychotic. Dose, length of therapy, education level, age, and labour 1 unemployment is not significant statistically.
Conclusion: There is an impression that antipsychotic has the same adverse effect toward different race. Psychiatrists need to be aware of a possible reluctance from the patients to discuss erectile dysfunction because it precipitates feeling of embarrassment and humility. Psychiatrists are encouraged to initiate discussions accordingly.
Keywords: male schizophrenics, erectile dysfunction, antipsychotic, ant cholinergic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Anggraini
"Latar betakang dan cara penelitian : Penurunan densitas tulang pada wanita pascamenopause diyakini sebagai akibat defisiensi estrogen. Efek defisiensi estrogen terhadap tulang adalah peningkatan perubahan tulang (bone remodelling), yang mencapai osteopenia sampai dengan osteoporosis. Pasien wanita pasca-menopause, sering mengeluh Geligi Tiruan Penuh-nya (GTP) cepat gail (longgar). Penyebab GTP gail adalah resorpsi sisa tulang alveolar yang berkelanjutan. Di dalam penelitian ini hendak dicari hubungan antara densitas tulang di beberapa bagian rangka badan dengan bentuk anatomi mandibula tidak bergigi pada wanita pasca-menopause. Penelitian dilakukan pada 14 orang wanita pasca-menopause. Pemeriksaan densitas tulang memakai DPX-L Bone Densitometer. Observasi pada mandibula dilakukan melalui gambaran ronsen panoramik dan model cetakan. Parameter yang diteliti adalah: tinggi sisa tulang alveolar mandibula dan tebal kortikal sudut mandibula pada ronsen panoramik serta tinggi sisa tulang alveolar dan bentuk sisa tulang alveolar pada model cetakan. Data yang diperoleh diuji korelasinya dengan uji korelasi produk momen dari Pearson, uji T data mandiri dan analisis regresi multipel.
Hasil dan kesimpulan : Densitas tulang di L1-L4, femur proksimalis dan radius distalis tidak berkorelasi dengan tinggi sisa tulang alveolar (p>0,05). Densitas tulang di radius distalis berkorelasi dengan bentuk sisa tulang alveolar (p<0,0I). Densitas tulang di L1-L4, kolum femoris dan segitiga Ward pada femur berkorelasi dengan tebal kortikal sudut mandibula kiri (p"
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdiana
"Radioterapi merupakan salah satu modalitas terapi bagi pasien kanker leher dan kepala. Pasien yang menjalaninya akan mengalami beberapa efek samping yang salah satunya adalah hiperpigmentasi kulit area radiasi. Hiperpigmentasi yang dialami pasien dapat mempengaruhi perubahan gambaran diri pasien. Penelitian dilakukan untuk mengetahui sejauhmana perubahan gambaran diri pasien yang mengalami hiperpigmentasi akibat terapi radiasi pada leher dan kepala. Desain penelitian ini adalah deskriptif tipikal atau sederhana dengan jumlah sampel sebesar 31 responden yang sudah menjalani terapi radiasi Iebih dari 10 kali di Departemen Radioterapi RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setiap responden yang masuk dalam penelitian mengisi kuesioner yang berisi data demografi dan pemyataan tentang gambatan diri. Dari data yang dianalisa menggunakan metode statistik tendensi Sentral yaitu mean, modus dan median didapatkan hasil perubahan gambaran diri pasien berada pada tingkat sedang. Penelitian ini merekomendasikan pendidikan kesehatan yang Iebih jelas lagi tentang efek samping terapi radiasi dan perawatannya serta molivasi dan support terhadap pasien agar Iebih ditingkatkan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2005
TA5467
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Yasmin Iskandar
"Latar belakang. Berbagai studi sebelumnya menunjukkan bahwa insidens kolonisasi dan infeksi C.difficile semakin meningkat, terutama pada pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika. Namun belum ada penelitian yang mendapatkan data kedua insidens tersebut di Indonesia, terutama di RSCM.
Tujuan. Untuk mengetahui insidens kolonisasi dan infeksi C.difficile pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika di RSCM.
Metode. Dilakukan studi kohort prospektif berbasis surveilans pada 96 pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika di RSCM pada periode penelitian. Dilakukan pemeriksaan feses dengan uji kromatografi cepat C.DIFF QUIK CHEK COMPLETETM pada awal dan akhir penelitian. Dilakukan follow-up selama 5-7 hari perawatan pada semua pasien. Insidens kolonisasi strain non-toksigenik adalah pasien yang memiliki hasil pemeriksaan fesesnya konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/-. Insidens kolonisasi strain toksigenik adalah pasien yang memiliki konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/+. Insidens infeksi adalah pasien yang memiliki konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/+ yang disertai satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan infeksi C.difficile.
Hasil. Dari 96 subjek penelitian, 13 subjek mengalami kolonisasi non-toksigenik; 8 subjek mengalami kolonisasi toksigenik; 9 subjek mengalami infeksi. Terdapat 11 subjek yang mengalami gejala klinis, namun hasil pemeriksaan fesesnya tidak ditemukan toksin yang positif (2 subjek hanya mengalami kolinisasi non-toksigenik dan 9 subjek tidak mengalami kolonisasi atau infeksi) sehingga dianggap bukan merupakan infeksi C.difficile.
Kesimpulan. Insidens kolonisasi C.difficile adalah 22%, dimana kolonisasi strain non-toksigenik adalah 14% (IK95% 13-16) dan strain toksi.

Background. Previous studies showed that there have been a significant increasing of the incidence of C.difficile colonization and infection, particularly among hospital inpatients prescribed antibiotics. However, there is no such data available in Indonesia, mainly at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Objective. To determine the incidence of Clostridium difficile colonization and infection among hospital inpatients prescribed antibiotics at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods. A surveillance-based prospective cohort study was conducted on 96 inpatients prescribed antibiotics at Cipto Mangunkusumo Hospital during the study period. All patient was followed-up for 5-7 days hospitalization. We obtained rectal swabs or stool samples on admission and day 5-7 of hospitalization and performed a rapid chromatography test C.DIFF QUIK CHEK COMPLETETM to determine colonization or infection. Incidence of non-toxigenic colonization was defined as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/- as the second result. Incidence of toxigenic colonization was defined as as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/+ as the second result. Incidence of infection was defined as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/+ as the second result, accompanied by one or more C.difficile infection-associated clinical symptoms.
Results. A total of 96 subjects were included in the study; 13, 8 and 9 had a non-toxigenic colonization, toxigenic colonization, and infection, respectively. 11 subjects with clinical symptoms could not be determined whether they had a C.difficile infection because of the “toxin-negative” findings from their stool examination (2 subjects had non-toxigenic colonization and 9 subjects had neither colonization nor infection).
Conclusion. The incidence of C.difficile colonization was 22%, which 14% (95% CI 13-16) was the incidence of non-toxigenic colonization and 8% (95% CI 7-10) was the incidence of toxigenic colonization. The incidence of C.difficile infection was 9% (95% CI 8-11).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halimah
"Angka harapan hidup di Indonesia meningkat dan tahun-talom sebelumnya akibat meningkatnya akses dan pelayanan kesehatan. Tahun 2004, jumlah tansia telah miencapai 16,5 juta jiwa, 52,6 persen adalah perempuan dan laimnya adalah lakt-laki. Masalah kesehatan yang paling banyak dihadapi oleh lansia perempuan adalah osteoporosis. Insidens osteoporosis pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan mempunyai kecenderungan terkena osteoporosis yaitu 1 dari 3 perempuan dan wumumnya pada perempuan pascamenopause dan laki-laki insidensnya lebih kecil, yaitu 1 dari 7 laki-faki.
Tujuan penelitian im untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan pada remodeling uatuk meningkatkan densitas mineral tulang 1,5% dan 3% pada tiga Iokasi pengukuran (lumbal, femur, radius) secta faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tulang pada pasien osteoporosis yang memeriksakan tulangnya di kink Makmal Terpadu Imunoendokrinologi FK UT. Penelitian ini merupakan studi /ongitudinal dalam mang lingkup ufi klinik, dengan analisis data sekunder yang memanfaatkan data yang ada pada catatan medik (Medical Record). Sampel berjamlah 52 pasien osteoporosis. Analisis data menggunakan aplikasi analisis survival mengpunakan variabel waktu (time) dan kejadian (event), dengan waktu pengamatan pasien dimulai dari Januari 2004-Desember 2007. Analisis mencakup analisis univartat, bivaniat metoda Kaplan-Meier, dan analisis multivanat dengan regresi cox ganda.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan waktu remodeling adalah stendar operating prosedur (SOP) pengobatan , dan indeks massa tubuh. Pada SOP pengobatan di klinik Makmal waktm pertumbuhan lebih cepat dan berbeda bermakna dibanding SOP poli lain pada Jeambal (event 1,5% dan 3%), dan femur (event 15%). Begitu juga pada variabel IMT, waktu pertumbuhan tulang lebih cepat pada kelompok IMT <25 bila dibandingkan pada kelompok IMT >25 pada femur pertumbuhan 1.5%. Namun berbeda pada kelompok kontrasepsi dan usta pasien yang tidak memberikan waktu remodeling yang berbeda pada kelompok tersebut pada ketiga lokasi pengukuran.
Faktor penentu pettumbuhan milang adalah SOP pengobatan disampmng IMT pada /umbal dan femur pada event 1,5%. Hazard ratio SOP pada fumial adalah 3,359, artinya pasien yang mendapatkan terapi di Klinik Makmal 3,36 kali berpeluang untuk mencapai pertumbuhan tulang Jubal 1,5%. Dan hazard ratio SOP pengobatan pada femur event 1,5% adalah 2,182 artinya pasien yang mendapatkan SOP pengobatan klintk Makmal akan berpeivang 2,18 kali untuk mencapai pertumbuhan tulang fermr 1,5%. Faktor penentu pertumbuhan tulang radius adalah SOP pengobatan dan konirasepsi pada pertumbuhan 3% sesta SOP dan usia pada pertumbuhan 1,5%. Namun hasil multivariat pada tulang tangan mi tidak bermakna secara statistik.

Life expectancy in Indonesia is increasing every year as impact of access to health services. On 2004, number of elderly people is 16.5 million, 52.6% is female. The most health problem facing by female elderly is osteoporosis that it proved by incidence of osteoporosis among female is higher than male. In fact of that one out of three female tends to have osteoporosis; meanwhile the incidence among male is one out of seven.
The objective of this study is to know the length of time for bone development in order to increase the mineral bone denstty up to 1.5 % and 3 percentages in three measurement locations (/umbal, femur, radius). The study has probed as well as the influence factors of bone growth among the osteoporosis patients who were examinated their bone at Klinik Makmal Terpadu Imunoendokrinologi FK UI. This is a longitudinal study with scope in clinical area which include the secondary data analysis form medical record data. The total sample is 52 osteoporosis patients. Analysis survival application is performed for data analysis by using variable time and event form January 2004 to December 2007. The analysis in this study is univariate, bivariate, Kaplan-Meier method, and multivariate with double regresi cox.
The factors related with time of remodeling bone are medication standard operating procedure (SOP), and body mass index (BMI). Medication SOP in Klink Makmal has faster time of remodeling bone and significant result comparing with SOP in other clinic; on fwnbal (event 1.5 % and 3%), and femur (event 1.5%). Patiens with BMI < 25 has faster time remodeling bone than patiens with BMI > 25 on femur 1.5%. Contraception group and patient’s age have not enough provided the different time of remodeling bone in those measurement.
SOP hazard ratio on /zanbal is 3.359, it means patient who receives therapy in Klinik Makmal has 3.36 times chance to have lumbal remodeling bone up to 1.5%, Meanwhile, medication SOP hazard ratio on femur event is 1.5% is 2.182, means patient who receives medication SOP in Klinik Makmal has chance 2.18 times to have femur bone development 1.5%. Radius bone are medication SOP and contraception on development 3%, and SOP and age on development 1.5%. However, multivariate result does not show statistic significant on radius bone.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34271
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Fadhilah Rosyadi
"Latar Belakang: Menopause merupakan fase biologis alami yang ditandai dengan berakhirnya siklus menstruasi dan penurunan kadar estrogen, yang dapat menyebabkan berbagai gangguan muskuloskeletal, terutama osteoporosis. Terapi sulih hormon yang digunakan untuk mengatasi berbagai gangguan akibat defisiensi estrogen, mempunyai efek samping serius seperti kanker dan penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu diperlukan alternatif terapi yang lebih aman. Salah satu bahan alam yang berpotensi adalah propolis. Propolis diketahui mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan karena efek antioksidan, anti-inflamasi, dan efek estrogenik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek propolis terhadap rasio osteoblas dan osteoklas, gambaran trabekula dan densitas tulang mencit yang diovariektomi. Metode: Penelitian eksperimental ini menggunakan 25 ekor mencit Swiss Webster yang dibagi menjadi lima kelompok: kontrol (sham), ovariektomi (OVT), OVT+Propolis I&II (dosis 0,042 mg/gBB & 0,084 mg/gBB), dan OVT+Estrogen. Setelah 30 hari perlakuan, dilakukan analisis kadar kalsium tulang, rasio osteoblas/osteoklas, dan evaluasi mikroarsitektur tulang menggunakan MicroCT. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan kelompok OVT+Propolis dosis I memiliki rasio osteoblas/osteoklas (13,6 ± 1,7) yang signifikan lebih tinggi dibanding dengan kelompok OVT (p= 0,009) dan OVT+Propolis II (p= 0,030). Kelompok ini juga menunjukkan kadar kalsium (5,86 ± 0,96 mmol), jumlah trabekular (3,15 ± 0,05 mm⁻¹), dan densitas tulang (1,04 ± 0,01 GV) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok OVT, namun secara statistik tidak signifikan. Propolis dosis 0,084 mg/gBB tidak menunjukkan efek yang lebih baik dari pada dosis rendah. Kesimpulan: Propolis dosis 0,3 g/kgBB memiliki potensi dalam memperbaiki kondisi tulang pada mencit model ovariektomi melalui peningkatan optimalisasi rasio osteoblas/osteoklas, dan perbaikan mikroarsitektur tulang, yang sebanding dengan pemberian estrogen.

Background: Menopause is a natural biological phase characterized by the cessation of menstrual cycles and a decline in estrogen levels, which can lead to various musculoskeletal disorders, particularly osteoporosis. Hormone replacement therapy, commonly used to address estrogen deficiency-related issues, carries serious side effects, such as cancer and cardiovascular diseases. Therefore, safer therapeutic alternatives are needed. One promising natural substance is propolis, which is known for its health benefits due to its antioxidant, anti-inflammatory, and estrogenic effects. This study aims to analyze the effects of propolis on the osteoblast-to osteoclast ratio, trabecular structure, and bone density in ovariectomized mice. Methods: This experimental study involved 25 Swiss Webster mice divided into five groups: control (sham), ovariectomy (OVT), OVT+Propolis I&II (doses 0.042 mg/gBW & 0.084 mg/gBW), and OVT+Estrogen. After 30 days of treatment, analyses were conducted on bone calcium levels, the osteoblast/osteoclast ratio, and bone microarchitecture using MicroCT. Results: The results showed that the OVT+Propolis I group had a significantly higher osteoblast/osteoclast ratio (13.6 ± 1.7) compared to the OVT group (p = 0.009) and OVT+Propolis II group (p = 0.030). This group also demonstrated higher calcium levels (5.86 ± 0.96 mmol), trabecular number (3.15 ± 0.05 mm⁻¹), and bone density (1.04 ± 0.01 GV) than the OVT group, although these differences were not statistically significant. The 0.084 mg/gBW dose of propolis did not exhibit superior effects compared to the lower dose. Conclusion: A propolis dose of 0.042 mg/gBW shows potential in improving bone conditions in ovariectomized mice by optimizing the osteoblast/osteoclast ratio and enhancing bone microarchitecture, comparable to the effects of estrogen therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The need for women to use a dental prosthesis increases with age. Low estrogen level is characteristic in post menopausal women. In this case, it often related with reduction of density and mandibular alveolar bone height. This study aimed to investigate the differences in density and mandibular alveolar bone height in post-menopausal women wearing complete dentures with tissue conditioner. The clinical observations were conducted on seven persons who had received a new set of complete denture in the Prosthodontic Department of the Dental Hospital of the Dental Faculty in Jember University. Balanced occlusion was used in all dentures, fabricated according to the principles used in the department. Panoramic radiographs had been made for all subjects as the baseline, and two, four, and six months later using dentures with tissue conditioner. The data was analyzed by using one-way analysis of variance at the 0.05 level. The conclusion was that there is no significant difference in density and mandibular alveolar bone height of complete denture wearers with tissue conditioner in post-menopausal women."
Journal of Dentistry Indonesia, 2005
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kunti Saptoworini
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3212
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>