Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111270 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Satrio Dwi Prasojo
"Infertilitas adalah suatu masalah ataupun keadaan yang komplek dan berhubungan dengan banyak hal. Didefinisikan sebagai keadaan tidak terjadinya kehamilan setelah >1 tahun melakukan hubungan seksual secara normal dan teratur, tidak ada usaha menunda dan atau mencegah kehamilan, serta tidak menggunakan salah satu metode kontrasepsi . Hal ini diderita oleh sekitar 10% - 15% pasangan usia reproduksi. Saat ini jumlah kasus maupun penderita infertilitas yang mencari pengobatan meningkat.
Kehamilan tidak mungkin terjadi tanpa keberhasilan implantasi dan plasentasi. Implantasi merupakan proses yang kompleks dimana terjadi proses penggabungan embrio pada dinding endometrium. Selama siklus haid, endometrium mengalami berbagai perubahan yang diperlukan untuk implantasi embrio. Penelitian-penelitian menunjukkan implantasi blastokista terjadi pada hari ke-20 siklus haid pada siklus ideal 28 hari. Endometrium reseptif terhadap implantasi hanya dalam waktu yang sempit pada fase luteal, yang sering disebut sebagai jendela implantasi. Pada manusia, jendela implantasi hanya terjadi pada waktu yang terbatas, yaitu pada hari ke 6 sampai ke 10 setelah ovulasi.
Agar proses implantasi berlangsung baik dibutuhkan suatu keadaan lingkungan endometrium yang optimal / resepfive, untuk menerima blastokista yang akan berimplantasi, dikenal sebagai jendela implantasi.5'7 Pada manusia, jendela implantasi hanya terjadi pada waktu yang terbatas yaitu pada hari ke 6 sampai ke 10 setelah ovulasi.
Dalam dekade terakhir, dilakukan penelitian untuk mencari marker spesifik guna menilai reseptivitas endometrium. Banyak protein endometrium yang diusulkan menjadi marker ini. Beberapa peneliti memfokuskan integrin sebagai marker potensial, dan menemukan bahwa molekul integrin di epitel dan desidua mengalami perubahan pada saat implantasi. Integrin adalah kelompok molekul adhesi, berfungsi dalam pengikatan sel dan matriks ekstraseluler, merupakan glikoprotein heterodimer yang mengandung subunit a dan b. Saat ini telah ditemukan 22 molekul integrin yang berbeda, dan tersebar di seluruh tubuh. Integrin avb3 ditemukan pada banyak tipe sel, termasuk sel endotel. Reseptivitas endometrium, yaitu pada jendela implantasi (hari ke 20-24 siklus haid), ditandai dengan adanya integrin spesifik endometrium pada waktu tertentu.
Penyakit Radang Panggul (PRP) adalah kelompok gangguan yang mengenai traktus genitalia atas wanita, yang diakibatkan karena penyebaran organisme ke atas dari serviks atau vagina menuju endometrium (endometritis), tuba falopii (salpingitis) dan struktur di sekitarnya (abses tubo-ovarium, peritonitis pelvik), sebagian besar penyebab mikroorganisme PRP ialah Chlamydia trachomatis, Nisseria gonorrhoeae atau kuman lain yaitu Bacterial vaginosis, Trichomonas, Escherichia coil, Bacteroides sp, Anaerobic cocci, Mycoplasma hominis, dan Ureaplasma urealyticum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sidabutar, Merry Amelya Puspita
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara ekspresi reseptor leptin
endometrium dengan ekspresi reseptor αvβ3 integrin endometrium pada fase luteal
madya pasien infertilitas, untuk mencari tahu salah satu penyebab kegagalan
implantasi. Nilai leptin lokal endometrium dinilai melalui ekspresi leptin endometrium
dan daya terima endometrium dinilai melalui ekspresi reseptor αvβ3 integrin
endometrium. Penelitian ini dengan desain potong lintang di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. Ekspresi reseptor dinilai dari H-score pada pewarnaan
imunohistokimia yang diambil dengan cara biopsi endometrium sebagai baku emas.
Dari 30 sampel didapatkan ekspresi reseptor leptin endometrium baik pada 23 sampel
(76,7%), ekspresi reseptor leptin endometrium buruk pada 7 sampel (23,3%),
sedangkan hasil daya terima endometrium baik pada 24 sampel (80%), dan daya
terima endometrium buruk pada 6 sampel (20%). Uji analisis membuktikkan kadar
leptin serum berkorelasi kuat dengan ekspresi leptin endometrium (r=0,67;p<0,01)
dengan ekspresi leptin endometrium, dan ekspresi leptin endometrium berkorelasi
dengan daya terima endometrium (r=0,72;p<0,01). Analisis multivariat menyebutkan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daya terima endometrium secara berurutan
adalah progesteron, ekspresi leptin endometrium, dan kadar leptin serum. ;The aim of this study is to correlate between endometrial leptin receptor expression
with endometrial integrin αvβ3 expression on mid luteal phase of infertility patients to
know one of the cause of implantation failure. Leptin played important role in female
neuroendocrine and endometrial implantation. Local leptin value were assessed
through the expression of leptin endometrial receptor and endometrial receptivity
assessed through the expression of integrin αvβ3 endometrial. This study was crosssectional
design
in
RSUPN
Dr.
Cipto
Mangunkusumo.
The
expression
of
the
receptor
rated
of
H-score
on immunohistochemical staining were taken by endometrial biopsy
as the gold standard. From 30 samples obtained, good endometrial leptin receptor
expression were found in 23 samples (76.7%), poor endometrial leptin receptor
expression in were found 7 samples (23.3% ), good endometrial receptivity were
found in 24 samples (80%) and poor endometrial receptivity in 6 samples (20%).
Result of this study show leptin serum was strongly correlated (r=0,67;p<0,01) with
leptin endometrial receptor expression and endometrial leptin receptor expression was
strongly correlated with endometrial integrin αvβ3 expression (r=0,72;p<0,01).
Multivariate analysis show factors that correlate to endometrial receptivity
sequentially are progesterone, endometrial leptin receptor, and leptin serum. "
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Pranoto
"Latar Belakang: Periodontitis merupakan penyakit paling umum keenam dalam skala global dan diperkirakan sebanyak 743 juta orang mengalaminya. Periodontitis diketahui memiliki hubungan dengan penyakit sistemik, antara lain: penyakit kardiovaskular; penyakit pernapasan; penyakit endokrin; penyakit muskuloskeletal; penyakit neurologi; dan penyakit gastrointestinal. Hubungan antara periodontitis dengan penyakit sistemik memiliki relevansi pengembangan ilmu pengetahuan untuk diterapkan dalam perawatan klinis. Analisis bibliometrik bertujuan untuk mengolah literatur yang telah dipublikasikan berdasarkan: kata kunci; jumlah dan bentuk publikasi; negara dan institusi yang mempublikasikan; pengaruh penulis serta jurnal berdasarkan jumlah publikasi dan sitasi.
Tujuan: Mendapatkan data kuantitatif mengenai hubungan antara periodontitis dengan penyakit sistemik dalam 10 tahun terakhir (1 Januari 2013-November 2022).
Metode: Data bibliografi publikasi mengenai hubungan antara periodontitis dengan penyakit sistemik diambil dari situs Scopus. Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak sebagai berikut: VOSViewer; OpenRefine; Scopus; dan TableauPublic.
Hasil: Kata kunci yang ditemukan terdiri dari kelompok manusia, penyakit periodontal, penyakit sistemik terkait, dan faktor risiko penyakit. Jumlah publikasi terbanyak ditemukan pada tahun 2021. Bentuk publikasi terbanyak adalah artikel. Negara dengan kontribusi terbesar dalam publikasi dan sitasi adalah Amerika Serikat. Indonesia belum termasuk dalam peringkat 10 besar jumlah publikasi maupun sitasi. Jumlah publikasi terbanyak oleh penulis berbeda-beda pada setiap kategori penyakit sistemik. Jurnal yang berkontribusi dalam publikasi didominasi oleh jurnal berbasis periodontologi. Kesimpulan: Penelitian ini menemukan publikasi terkait hubungan antara periodontitis dengan penyakit sistemik meningkat secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Publikasi mengenai hubungan antara periodontitis dengan penyakit pernapasan dan gastrointestinal adalah topik yang perlu dikembangkan di masa depan.

Background: Periodontitis is the sixth most common disease on a global scale and is estimated that as many as 743 million people experience it. Periodontitis is known to have a relationship with systemic diseases including cardiovascular disease, respiratory disease, endocrine disease, musculoskeletal disease, neurological disease, and gastrointestinal disease. The relationship between periodontitis and systemic diseases has relevance for scientific development to be applied in clinical care. The bibliometric analysis aims to process published literature based on: keywords; amounts and forms of publication; country and institution of publication; the influence of authors and journals based on the number of publications and citations.
Objective: To obtain quantitative data regarding the relationship between periodontitis and systemic diseases in the last 10 years (1 January 2013-November 2022).
Method: Bibliographic data from publications regarding the relationship between periodontitis and systemic disease were downloaded from the Scopus website. Data analysis was carried out using the following software: VOSViewer; OpenRefine; Scopus; and TableauPublic.
Results: The keywords found consisted of human-related groups, periodontal disease, related systemic diseases, and disease risk factors. The highest number of publications was found in 2021. The form of publication used the most was articles. The country with the largest contribution to publications and websites is the United States. Indonesia is not yet included in the top 10 rankings for the number of publications and citations. The highest number of publications by authors varies in each systemic disease category. Journals that contribute to publications are dominated by periodontology-based journals. Conclusion: This study found a significant increase in publications regarding the association between periodontitis and systemic disease in the last 10 years. Publication regarding the relationship between periodontitis and respiratory and gastrointestinal diseases is a topic that needs to be developed in the future.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syari Maisyarah Rahman
"Latar Belakang : Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di dunia. Penyakit jantung koroner sebagai akibat aterosklerosis merupakan penyebab kematian utama penyakit kardiovaskuler baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Penting untuk melakukan segala upaya deteksi dini hal-hal terkait peningkatan risiko demi mencegah penyakit ini. CT scan kardiak mampu menilai proses aterosklerosis melalui evaluasi remodelling pada lumen pembuluh darah koroner sebagai informasi untuk tata laksana pasien penyakit jantung koroner.
Tujuan : Mendapatkan arah hubungan risiko kardiovaskuler tinggi berdasarkan skor kalsium arteri koroner terhadap indeks remodelling pada pasien penyakit jantung koroner yang menjalani CT scan kardiak.
Metode : penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 63 pasien penyakit jantung koroner yang telah menjalani pemeriksaan CT scan kardiak di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Juli 2013 hingga Februari 2019. Penelitian dilakukan sejak Desember 2018 hingga April 2019. Penilaian total skor kalsium arteri koroner dan penilaian indeks remodelling dilakukan oleh peneliti dan dilakukan pengecekan kembali oleh pembimbing Radiologi.
Hasil : Dilakukan Uji Mann-Whitney U, pada total indeks remodelling positif didapatkan nilai median 134,6 dengan range 3,2 sampai 3862,4 dan pada total indeks remodelling negatif didapatkan nilai median 7 dengan range 1,4 sampai 356,5. Terdapat perbedaan signifikan diantara keduanya (p<0,05). Dilakukan penentuan titik potong total skor kalsium arteri koroner sebesar 54,8 dengan nilai sensitivitas 76 % dan spesifisitas 76,9 %.
Kesimpulan : Terdapat hubungan positif antara total skor kalsium arteri koroner dengan indeks remodelling arteri koroner melalui CT scan kardiak pada pasien penyakit jantung koroner.

Background : Cardiovascular disease is the leading cause of death in the world. Coronary heart disease as a result of atherosclerosis is the leading cause of death for cardiovascular disease both in the United States and in Indonesia. It is important to make every effort to detect things related to increasing risk to prevent this disease. Cardiac CT scan is able to assess the process of atherosclerosis through evaluation of remodeling of the lumen of the coronary arteries as information for the management of patients with coronary heart disease.
Purpose : Obtain direction of the relationship of high cardiovascular risk based on coronary artery calcium score to index remodeling in coronary heart disease patients undergoing cardiac CT scans.
Method : this study uses cross-sectional design with consecutive sampling method. The study sample consisted of 63 coronary heart disease patients who had undergone cardiac CT scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo Hospital in the period July 2013 to February 2019. The study was conducted from December 2018 to April 2019. Evaluation of total coronary artery calcium scores and remodeling index assessment was carried out by researchers and is checked again by the Radiology supervisor.
Results : The Mann-Whitney U Test was carried out, on the total positive remodeling index obtained a median 134.6 with a range of 3.2 to 3862.4 and the total negative remodeling index obtained a median 7 with a range of 1.4 to 356.5. There were significant differences between the two (p <0.001). Determination of the total coronary artery calcium score cut was 54.8 with a sensitivity 76% and a specificity of 76.9%
Conclusion : There is a positive relationship between the total coronary artery calcium score and the index of coronary artery remodeling through cardiac CT scan in coronary heart disease patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2015
616.4 BAG
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Missiliana Riasnugrahani
"Occupational commitment adalah keterikatan individu terhadap pekerjaannya yang didasari oleh ketiga komponennya, yaitu affective commitment (keterikatan secara emosional terhadap pekerjaan), continuance commitment (pertimbangan untung rugi dalam melakukan pekerjaan) dan normative commitment (rasa kewajiban moral dalam melakukan pekerjaan). Occupational commitment memegang peran penting dalam perilaku dosen yang tampil dalam proses belajar mengajar maupun kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi yang lain.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang timbul di Universitas Kristen Maranatha. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui tingkat occupational commitment dosen, dan derajat dari masing-masing komponen occupational commitment dalam diri dosen. (2) untuk mengetahui task value bagi dosen, yaitu derajat keberartian tugas bagi dosen. (3) untuk mengetahui derajat achievement motivation dari dosen. (4) untuk mengetahui adanya sumbangan yang bermakna dari achievement motivation dan task value baik secara bersama-sama maupun tersendiri terhadap occupational commitment dosen, serta besarnya sumbangan yang bermakna tersebut.
Sampel penelitian adalah dosen tetap di Universitas Kristen Maranatha yang telah memiliki masa kerja minimal satu tahun sebanyak 98 orang. Alat ukur yang digunakan adalah Occupational Commitment Dosen yang dimodifikasi dari alat ukur yang dikembangkan oleh LaMastro, Achievement Motivation yang dirnodifikasi dari teori Mandel dan Markus, dan Task Value Dosen yang disusun berdasarkan teori Eccles dan Wigfield. Analisis data yang digunakan adalah analisis multiple regression dengan metode stepwise.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa achievement motivation dan task value memberikan sumbangan yang bermakna secara bersama-sama terhadap occupational commitment dan affective commitment, sedangkan terhadap continuance commitment dan normative commitment, hanya achievement motivation yang memberikan sumbangan yang bermakna, yaitu bersifat negatif terhadap continuance commitment dan bersifat positif terhadap nonnative commitment. Saran yang diberikan pada universitas adalah berusaha untuk menumbuhkan iklim kerja yang dapat meningkatkan achievement motivation dan task value yaitu dengan membuat penilaian kinerja yang benar-benar mampu memberikan feedback yang objektif bagi kemajuan dosen. Pihak universitas juga harus berusaha mengenali task value yang paling dominan pada dosen, agar dapat melakukan upaya perbaikan-perbaikan yang diperlukan.
Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan pula untuk melakukan penelitian mengenai occupational commitment pada organisasi atau profesi lain, dengan cakupan yang lebih luas. Selain itu juga dapat diteliti variabel-variabel lain yang mungkin mempengaruhi occupational commitment seperti kepuasan kerja, locus of control, turn over intention dan kondisi kerja, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang occupational commitment."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindrawati Tjuatja
"Palsi serebral adalah penyebab utama disabilitas fisik di negara berkembang. Penderita palsi serebral dengan ketidakmampuan ambulasi berpeluang mengalami kontraktur sendi dan kelainan postur, yang dapat memburuk. Kelainan postur yang dapat terjadi adalah skoliosis, pelvic obliquity dan subluksasi/dislokasi panggul dengan problem sekunder nyeri, hilangnya kemampuan mandiri, duduk, berdiri, berjalan, ulkus dekubitus, masalah dalam kebersihan perineal, kardiovaskular dan respirasi. Sehingga perlu dilakukan deteksi sejak dini kelainan postur terutama kejadian subluksasi/dislokasi panggul.
Metode : Desain penelitian ini adalah studi potong lintang dengan tujuan melihat apakah terdapat hubungan antara derajat spastisitas otot aduktor panggul, level Gross Motor Function Classification System (GMFCS) dan nilai Migration Percentage (MP) untuk mendeteksi dislokasi panggul pada anak palsi serebral yang datang ke poli rawat jalan divisi pediatri Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Spastisitas otot aduktor panggul dinilai menggunakan Modified Tardieu Scale (MTS) komponen R2, R1 dan R2-R1, level GMFCS dinilai dengan menggunakan panduan GMFCS dan nilai MP didapat dari pengukuran foto panggul AP oleh dokter spesialis Radiologi.
Hasil : Dari 30 responden penelitian, 3 tungkai dieksklusi sehingga analisis spastisitas aduktor panggul dan MP dilakukan pada total 57 tungkai. Penelitian ini menunjukkan tidak ada korelasi antara derajat spastisitas otot aduktor panggul dengan nilai MP dalam mendeteksi dislokasi panggul (antara variabel R2 dan MP dengan nilai r = -0,060; p = 0,658. Antara variabel R1 dan MP dengan nilai r = - 0,136; p = 0,314) dan tidak ada perbedaan bermakna level GMFCS dengan nilai MP dalam mendeteksi dislokasi panggul (p = 0,831).
Kesimpulan : Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya korelasi antara derajat spastisitas otot aduktor panggul dengan nilai Migration Percentage dan tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna level Gross Motor Function Classification System dengan nilai Migration Percentage dalam mendeteksi dislokasi panggul.

Cerebral palsy was the most common cause of physical disability in the developing country. A non-ambulant child with cerebral palsy was vulnerable to the development of joint contractures and postural deformity, which are often progressive. Postural deformities that can arise were scoliosis, pelvic obliquity and hip subluxation/dislocation with the secondary problems were pain, loss of ability to be independence, sitting, standing, walking, pressure ulcers, perineal hygiene and cardiorespiration. It was necessary to make early detection for postural deformities particularly hip subluxation/dislocation.
Methods : This was a cross sectional study. The aim of this study to see there are any associations among the degree of hip adductor spasticity, the level of Gross Motor Function Classification System (GMFCS) and the Migration Percentage (MP) to detect the occurrence of hip dislocation in children with cerebral palsy who came to outpatient polyclinic pediatric division of Physical and Rehabilitation Departmen, RSUPN Cipto Mangunkusumo. The hip adductor spasticity was measured with Modified Tardieu Scale (MTS) R2, R1 dan R2-R1 component, The level of GMFCS was measured with GMFCS protocol and the MP has done by Radiolog on plain foto of pelvic AP.
Results : From the 30 respondens, 3 legs were exclude, therefor just 57 legs were analized for hip adductor spasticity and MP. This study shows that there was no correlation between degree of hip adductor spasticity and MP (between variable R2 and MP with score r = -0,060; p = 0,658. Between variable R1 and MP with score r = -0,136; p = 0,314), there was no significant difference between level of GMFCS and MP (p = 0,831).
Conclusion : This study shows that there is no correlation between degree of hip adductor spasticity and MP, there is no significant difference between level of GMFCS and MP to detect the occurance of hip dislocation in children with cerebral palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenggo Septiady P
"[Pendahuluan: Luka penetrasi akibat kekerasan tajam merupakan temuan yang umum dalam pemeriksaan luar tindakan autopsi. Namun, sebagian besar mayat korban kekerasan tidak menjalani pemeriksaan dalam karena beragam alasan. Dengan demikian, temuan luka luar dapat berperan sebagai salah satu pertimbangan ahli forensik dalam memperkirakan kerusakan organ dalam walau tidak memiliki kekuatan secara hukum. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan bukti empiris terkait kerusakan organ dalam yang ditimbulkan kekerasan tajam. Metode: Peneliti mengambil sampel 5 luka penetrasi ke rongga peritoneal pada masing-masing area abdomen dari 36 subjek penelitian yang diotopsi di Departemen Forensik dan Medikolegal FKUI-RSCM, kemudian mencari tahu organ yang terlibat melalui data pemeriksaan baku emas. Hasil: Melalui uji hipotesis menggunakan uji Fisher, didapatkan nilai yang bermakna (p< 0,05) pada beberapa korelasi terkait temuan luka dan kerusakan organ dalam, yakni pada luka penetrasi di epigastrik dengan kerusakan hati (p= 0,01), luka penetrasi di hipokondriak kanan dengan kerusakan hati (p= 0,01), luka penetrasi di hipokondriak kiri dengan kerusakan lambung (p= 0,002), luka penetrasi di umbilikal dengan kerusakan pembuluh darah abdomen mayor (p= 0,004), serta luka penetrasi di iliaka kiri dan kerusakan pankreas (p= 0,01). Pembahasan: Korelasi yang bermakna pada temuan luka luar dan kerusakan organ dalam terkait regio anatomi dan arah luka. Besaran gaya yang diberikan turut mempengaruhi organ-organ yang terlibat;Introduction: Penetrating wounds from sharp force injuries are common findings in external examination of autopsy. Unfortunately, the majority of the victims do not undergo the internal examination part due to various reasons. Even though the forensic doctors do not perform the autopsy completely, the external findings can prove to be useful to predict the resulted organ damages. Therefore, they would still be able to release their expertise opinions based on evidence based medicine. The aim of this study is to produce the empirical evidence related to penetrating wound and organ damage. Method: Five penetrating wounds into peritoneal cavity for each abdominal region from 36 corpses, that had already been autopsied in Forensic and Medicolegal Department FKUI-RSCM, was analyzed to identify organ damage by using gold standard examination (e.g. internal examination in forensic practice), and then to find the correlation between them. Result: The results from hypothesis testing Fisher shows that the p< 0,05 appeared in some correlation findings between variables (penetration wound in epigastric and right hypochondriac and liver damage (p= 0,01), penetration wound in left hypochondriac and stomach damage (p= 0,002), penetration wound in umbilical and major abdomen blood vessel (p= 0,004), and penetration wound in left iliaca and pancreas damage (p= 0,01), thus made them statistically significant. Discussion: The significant results strongly associated with anatomical region and the direction of the wound. The amount of force applied to each wound affected the outcome of the damaged organs, Introduction: Penetrating wounds from sharp force injuries are common findings in external examination of autopsy. Unfortunately, the majority of the victims do not undergo the internal examination part due to various reasons. Even though the forensic doctors do not perform the autopsy completely, the external findings can prove to be useful to predict the resulted organ damages. Therefore, they would still be able to release their expertise opinions based on evidence based medicine. The aim of this study is to produce the empirical evidence related to penetrating wound and organ damage. Method: Five penetrating wounds into peritoneal cavity for each abdominal region from 36 corpses, that had already been autopsied in Forensic and Medicolegal Department FKUI-RSCM, was analyzed to identify organ damage by using gold standard examination (e.g. internal examination in forensic practice), and then to find the correlation between them. Result: The results from hypothesis testing Fisher shows that the p< 0,05 appeared in some correlation findings between variables (penetration wound in epigastric and right hypochondriac and liver damage (p= 0,01), penetration wound in left hypochondriac and stomach damage (p= 0,002), penetration wound in umbilical and major abdomen blood vessel (p= 0,004), and penetration wound in left iliaca and pancreas damage (p= 0,01), thus made them statistically significant. Discussion: The significant results strongly associated with anatomical region and the direction of the wound. The amount of force applied to each wound affected the outcome of the damaged organs]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>