Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193059 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Pratiwi
"Kolonisasi SA merupakan salah satu faktor ekstrinsik yang berperan sebagai pencetus eksaserbasi dan menetapnya inflamasi kulit DA. Prevalensi kolonisasi SA pada pasien DA lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, baik pada lesi kulit, kulit nonlesi, maupun nares anterior. Kolonisasi SA di nares anterior berperan sebagai reservoir dan merupakan faktor panting untuk kolonisasi kulit. Data tentang kolonisasi SA nasal pada pasien DA bayi dan anak di Indonesia belum ada. Belum diketahui apakah densitas koloni SA nasal berhubungan dengan derajat keparahan DA bayi dan anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data perbandingan prevalensi kolonisasi SA nasal pasien DA bayi dan anak dengan bayi dan anak nonDA. Selain itu untuk mencari hubungan antara derajat densitas koloni SA nasal dengan derajat keparahan DA bayi dan anak. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan membandingkan antar kelompok (comparative cross sectional).
Penelitian dimulai pada bulan September 2004 sampai Januari 2005 di Poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen IKKK RSCM, Jakarta. Pemeriksaan biakan untuk identifikasi dan hitung koloni SA dilakukan di Divisi Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik RSCM, Jakarta.
Subyek penelitian terdiri atas 42 orang yang datang ke Poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen IKKK RSCM dan memenuhi kriteria penerimaan serta penolakan. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 21 orang sebagai kelompok pasien DA dan 21 orang nonDA sebagai kelompok kontrol.
Variabel bebas yang diteliti adalah kolonisasi dan densitas koloni SA nasal, sedangkan variabel tergantung adalah derajat keparahan DA. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka (1989). Dilakukan pencatatan derajat keparahan DA dengan skor EASI.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik subyek penelitian
Usia, jenis kelamin, riwayat atopi diri selain DA, dan riwayat atopi keluarga antara kedua kelompok sebanding. Usia termuda 6 bulan dan tertua 13 tahun 11 bulan. Subyek penelitian terbanyak berusia 5 -14 tahun, yaitu 52%.
Pada kelompok pasien DA, 80,8% merupakan pasien DA fase anak. Pasien DA laki-laki 1,3 kali lebih banyak daripada perempuan. Terdapat 3 (14,3%) pasien DA yang disertai riwayat RA dan 2 (9,5%) pasien dengan riwayat asma bronkial. Tidak ditemukan pasien DA yang memiliki 2 manifestasi atopi saluran papas.
Usia awitan DA bervariasi antara 1 bulan - 12 tahun, terbanyak pada kelompok usia 1-5 tahun yaitu 8 (38,1%) pasien. Saat penelitian, 14 (66,5%) pasien menderita episode DA kurang dari 2 minggu. Frekuensi kekambuhan penyakit terbanyak terjadi 3 - 6 kali/tahun, yaitu pada 7 (33,2%) pasien.
2.Prevalensi kolonisasi SA nasal
Kolonisasi SA nasal pada pasien DA didapat pada 16 (76,2%) kasus, sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan pada 8 (38,1%). Dengan menggunakan uji Chi-square didapat perbedaan bermakna (p=0,029). Prevalensi kolonisasi SA nasal bayi dan anak DA lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
3.Hubungan derajat keparahan DA dengan densitas koloni SN nasal dengan menggunakan uji Kruskal Wallis tidak terdapat hubungan bermakna antara derajat keparahan DA yang dihitung berdasarkan skor EASI dengan densitas koloni SA nasal (p=0.834)"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beladenta Amalia
"Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah salah satu jenis Multidrug-resistant organism (MDRO) yang cukup endemik di banyak fasilitas kesehatan, terutama di rumah sakit bagian Intensive Care Unit (ICU). Riwayat rawat pasien sebelum masuk ICU dinilai telah menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kolonisasi MRSA pada pasien. Permasalahan muncul ketika diketahui bahwa pasien ICU yang memiliki kolonisasi MRSA berisiko tinggi mengalami infeksi MRSA. Oleh karena itu, diperlukan data mengenai kejadian kolonisasi MRSA yang dihubungkan dengan riwayat rawat pasien sebelum masuk ICU. Dengan demikian, kejadian kolonisasi MRSA di rumah sakit Indonesia dapat diturunkan.
Penelitian ini merupakan studi cross sectional analitik dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan mikrobiologi swab (hidung, ketiak, dan rektum) dan rekam medik 109 pasien ICU Pusat RSCM dari bulan Januari 2011 sampai Agustus 2011. Pemilihan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Hasil pemeriksaan mikrobiologi yang dilihat adalah hasil uji resistensi MRSA baik pada pasien yang memiliki riwayat rawat di rumah sakit sebelum masuk ICU ataupun tidak. Data dianalisis dengan uji Chi-square.
Hasil perbandingan data antara proporsi pasien yang positif memiliki kolonisasi MRSA dan memiliki riwayat rawat di rumah sakit sebelumnya dengan proporsi pasien positif mengalami kolonisasi MRSA dan tidak dirawat di rumah sakit sebelumnya adalah RP=1,206 dengan nilai kemaknaan p=0,307 dan IK95% -3,087; 5,499. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara kolonisasi MRSA dengan riwayat rawat pasien sebelum masuk ICU.

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is one of the Multidrug-resistant organism (MDRO) which has been quite endemic in many healthcare facilities, especially in the Intensive Care Unite (ICU) of hospitals. History of patients’ hospitalization before ICU admission was considered to be one of risk factors for MRSA colonization in patients. Problems arised after known that ICU patients with MRSA colonization are at high risk of MRSA infection. Therefore, we need data of MRSA colonization associated with history of patients’ hospitalization before ICU admission. So that, the incidence of MRSA colonization in Indonesia hospitals can be reduced.
This is an analytic cross sectional study using secondary data results from microbiological examination of swabs (nose, armpit, and rectum) and medical records of 109 patients from the Central ICU RSCM on January 2011 until August 2011. Samples selection was done by consecutive sampling. Microbiological examination results which are used in this study were the results of MRSA resistance test both in patients who had history of hospitalization before ICU admission or those who had not. Data is analyzed with Chi-square.
The result of data comparison between proportion of patients with positive MRSA colonization and had history of hospitalization to the proportion of patients with positive MRSA colonization and had not history of hospitalization before is RP=1,206 with significance value p=0,307 and IK95% -3,087; 5,499. This suggests that there is no significant relationship between MRSA colonization and the history of patients’ hospitalization before ICU admission.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Nurhandayani Zoulba
"ABSTRAK
Latar belakang: Malassezia sp. berperan penting dalam patogenesis dermatitis seboroik DS . Pada penelitian di negara lain didapatkan M.globosa dan M.restricta sebagai spesies predominan pada lesi kulit kepala DS. Belum diketahui pola sebaran Malassezia pada kulit kepala pasien DS di Indonesia dan hubungannya dengan derajat keparahan DS. Tujuan: Mengetahui distribusi spesies Malassezia pada kulit kepala pasien DS serta hubungan antara derajat keparahan DS dengan spesies Malassezia yang ditemukan. Metode: Studi potong lintang dilakukan di Jakarta dengan cara consecutive sampling. Pada subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan sisik dari kulit kepala, kemudian ditumbuhkan pada CHROMagar Malassezia, sub kultur pada agar SDA, Tween-60-esculin, dan reaksi katalase. Hasil : Dari 59 spesimen dengan kultur positif, terdapat 72,1 SP dengan DS ringan dan 27,7 dengan DS sedang-berat. Distribusi M.globosa sebesar 52,1 , M.dermatis 23,2 , M.japonica 7,2 , M.pachydermatis 7,2 , M.sympodialis 2,8 , serta M.obtusa dan M.furfur masing-masing 1,4 dari total 69 isolat. Terdapat 4,3 isolat yang tidak teridentifikasi. Tidak didapatkan hubungan antara derajat keparahan DS dengan spesies Malassezia. Simpulan: M.globosa merupakan spesies Malassezia terbanyak yang diidentifikasi pada pasien DS di Indonesia. Perbedaan hasil dengan negara lain diduga terjadi akibat perbedaan cara identifikasi dan lokasi geografis. Spesies Malassezia tidak mempengaruhi tingkat keparahan DS.

ABSTRACT
Background Malassezia sp. plays an important role in the pathogenesis of seborrheic dermatitis SD . In some countries, M. restricta and M. globosa are considered the predominant organisms on SD scalp. There is no data about Malassezia sp. in Indonesian SD scalp and its relationship with severity of illness. Objective To identify the distribution of Malassezia sp. of SD scalp and correlation between severity of SD with the Malassezia sp. Methods This cross sectional study conducted in Jakarta, using consecutive sampling. Anamnesis, clinical examination, and scrapping from the scalp were done to subject. Scales inoculated on CHROMagar Malassezia, Saboraud Dextrose Agar SDA , Tween 60 esculin agar, and catalase reaction.Results There were 72,1 mild SD and 27,7 moderate to severe SD. M.globosa was identified in 52,1 , M.dermatis in 23,2 , M.japonica in 8,7 M.pachydermatis in 7,2 , M.sympodialis 2,8 , while M.obtusa and M.furfur contributes 1,4 out of 69 isolates from 59 specimens with positive cultures. There is 4,3 unidentified isolates. Malassezia species was not related to severity of SD. Conclusion M.globosa is the predominant Malassezia species in Indonesian SD patients. This difference may be attributable to the identification techniques and geographical differences. Malassezia species not related to severity of SD."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrina Iman
"Dermatitis Seboroik DS merupakan kelainan inflamatorik kronik pada kulit dengan karakteristik plak eritematosa dan skuama kekuningan berminyak pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea, termasuk kulit kepala. DS umum terjadi pada 1-5 populasi dan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas hidup. Sekresi sebum, yang merupakan salah satu faktor DS, memiliki laju yang bervariasi sesuai dengan usia seseorang di mana mencapai puncak pada tiga bulan pertama kehidupan, masa pubertas, dan usia dewasa 30-60 tahun.
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui korelasi usia dan skor keparahan DS. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan mendapatkan sampel dengan metode consecutive sampling sebanyak 87 pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Usia diukur berdasarkan tanggal lahir pada kartu identitas dan skor keparahan DS diukur menggunakan seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Berdasarkan uji normalitas data dan uji korelasi Spearmann yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa korelasi usia dan skor keparahan DS tidak signifikan p=0,495 ; r=0,074. Rerata usia dalam median yaitu 29,25 12,67-69,75 tahun, sedangkan rerata skor keparahan DS dalam median yaitu 2,25 0,25-21.

Seborrhoeic Dermatitis DS is a chronic inflammatory disorder on skin characterized by erythematous plaque and oily yellowish scales in areas of body with high sebaceous glands, including the scalp. DS occurs in 1-5 of the population and causes negative impact to quality of life. Sebum secretion, one of DS factors, has varrying rates according to age of a person, where the peak incidence is in first three months of life, puberty, and adult age 30 60 years.
Purpose of this study was to know the correlation between age and DS severity score. In this cross sectional study, consecutive sampling method was used and total subjects were 87 patients of Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Age was obtained based on date of birth on identity card and DS severity score was measured by seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Based on normality test and Spearmann test which had been done, the result showed that there was no significant correlation between age and DS severity score p=0.495 ; r=0.074. Age in median was 29.25 12.67-69.75 years, while the mean DS severity score in the median was 2.25 0.25-21.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Surya
"ABSTRAK
Hidung tersumbat merupakan salah satu keluhan terbanyak pada pasien yang datang berobat ke ahli THT. Hipertrofi konka inferior merupakan salah satu penyebab sumbatan hidung dan telah banyak dipelajari dari berbagai penelitian dan terbukti berperan dalam regulasi aliran udara hidung. Namun dari beberapa penelitian terakhir ditemukan suatu struktur yang disebut nasal septal swell body NSB yang mungkin berperan dalam regulasi tahanan aliran udara hidung karena lokasinya yang berdekatan dengan katup hidung internal serta dapat mengembang mengempis sesuai siklus hidung.Tesis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi radiofrekuensi NSB pada pasien sumbatan hidung dengan hipertrofi NSB dengan membandingkan respon klinis sebelum dan sesudah terapi berdasarkan nilai NOSE, nilai PNIF, dan nilai tahanan hidung.Penelitian ini merupakan studi eksperimental dua kelompok paralel acak yang membagi pasien sumbatan hidung dengan hipertrofi konka inferior dan NSB menjadi dua kelompok yang dilakukan radiofrekuensi konka inferior saja dan kelompok radiofrekuensi konka inferior dan NSB.Analisis data dilakukan dengan pendekatan Bootstrap. Hasil dari penelitian ini didapatkan perbedaan secara bermakna dari perubahan nilai NOSE p=0,001 dan nilai tahanan hidung 75 Pa p=0,018 antara kedua kelompok. Hasil ini berarti terapi radiofrekuensi NSB dapat menjadi terapi tambahan radiofrekuensi konka inferior terhadap pasien sumbatan hidung kronis refrakter dengan hipertrofi konka inferior dan NSB untuk mengurangi gejala sumbatan hidung.Kata kunci: radiofrekuensi, nasal septal swell body, konka inferior, sumbatan hidung kronis refrakter

ABSTRACT
Nasal obstruction is one of the most symptom in daily practice of ENT Surgeon. Inferior turbinate hypertrophy is one of the causes of nasal obstruction and has been widely studied from various research and has been shown having a role in the regulation of nasal airflow. But from several recent studies found a structure called a nasal septal swell body NSB that may play a role in the regulation of nasal airflow resistance because of its location adjacent to the internal nasal valve and alternating congestion and decongestion according to nasal cycle.This study aims to evaluate the effect of radiofrequency therapy of NSB on patients with nasal obstruction with NSB hypertrophy by comparing clinical response before and after therapy based on NOSE value, PNIF value, and nasal resistance value.This study is an experimental study of two random parallel groups that divide the nasal obstruction patients with hypertrophy of inferior turbinate and NSB into two groups which underwent radiofrequency of inferior turbinate only and underwent radiofrequency inferior turbinate and NSB.Data analyzed with bootstraps method. The results of this study show significant differences from changes in the value of NOSE p 0.001 and the nasal resistance value 75 Pa p 0.018 between the two groups. These results suggest that radiofrequency ablation of NSB may be an additional therapy to radiofrequency of inferior turbinate in patients with nasal obstruction and hypertrophy of inferior turbinate and NSB.Keywords radiofrequency, nasal septal swell body, inferior turbinate, refractory chronic nasal obstruction "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58853
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Arya Abikara
"Infeksi methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA merupakan salah satu ancaman bagi pelayanan orthopaedi dan traumatologi. Rancangan penelitian adalah potong lintang, dilaksanakan pada bulan Desember 2010 - Desember 2011. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menghitung angka karier MRSA dan dilakukan uji Fisher untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan. Didapatkan angka infeksi MRSA pada pasien pasca operasi 0,5%, angka karier pada pasien 50%, angka karier keluarga 25%, namun tidak ditemukan karier pada penyedia layanan kesehatan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status karier keluarga dan status karier penyedia layanan kesehatan dengan status karier MRSA pada pasien.

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection has become a threat towards Orthopedic and Traumatology care. Cross-sectional study design was used as the methodology in this study. The time frame was from December 2010 until Desember 2011. Data analysis method used was descriptive method by calculating the MRSA carrier number. Afterwards, Fisher test was done to find out the relative factors. MRSA infection rate on post surgery patient was 0.5%,; carrier rate among patients, family, and healthcare providers were 50%, 25%, and 0% . There was no significant correlation between status of family carrier, and healtcare provider carrier with the status of patient carrier among after surgery MRSA infected patient ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Thania Deslanthy
"Dermatitis seboroik adalah inflamasi kronik dan superfisial yang bertempatpredileksi di area kulit dengan kandungan sebum yang banyak. Sampai saat ini,berbagai penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui etiologi dan faktor yangmempengaruhi terjadinya dermatitis seboroik. Salah satu etiologi yang sering dikaitkan dengan kejadian dermatitis seboroik adalah kelenjar sebum. Produksi kelenjar sebum yang berlebih mempunyai kaitan dengan dermatitis seboroik. Pada penderita obesitas, aktivasi kelenjar sebasea akan mengalami peningkatan sehinggaterjadi produksi sebum yang berlebih. Sebum yang berlebihan tersebut dapat dicerna oleh jamur Malassezia spp pada kulit kepala sehingga menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang dapat merusak lapisan kulit, terjadi hiperproliferasi, dan kembali meningkatkan sekresi sebum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara indeks massa tubuh dengan skor keparahan dermatitis seboroik dikepala pada pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang. Sejumlah 87 orang pasien DS yang memenuhi kriteria inklusi dantelah diseleksi dengan kriteria eksklusi dimasukan menjadi sampel penelitian dengan metode consecutive sampling. Pada pasien tersebut dilakukan pengukuran IMT dan pengukuran derajat keparahan dermatitis seboroik menggunakan Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan nilai median IMT pada pasien DS sebesar 24,24 16,65 ndash; 41,09 dan nilai median skor keparahan dermatitis sebesar 2,25 0,25-21. Melalui uji korelasi Spearmann, tidak didapatkan korelasi antara IMT dengan keparahandermatitis seboroik p = 0,545, r= -0.066.

Seborrheic dermatitis SD is a chronic and superficial inflammation that havepredilection area in high sebum containing skin. Nowadays, several studies hadbeen conducted to ascertain etiology and factors associatied with seborrheicdermatitis. One of the etiology is activity of sebum gland. The excessice sebumproduction may impact occurency of SD. In obesity patients, excessive sebumproduction occur due to increasing activities of sebaceous glands. In scalp,Malassezia spp will digest sebum, thereby producing unsaturated fatty acid. Thisunsaturated fatty acid can impair skin barrier, trigger hyperproliferation, and evenincrease sebum production.
This study was aimed to determine the correlation between Body Mass Index and Seborrheic Dermatitis Severity Scoring Index in Seborrheic Dermatitis Patient's Scalp at Dermato Venereology Outpatient Policlinic dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
This was cross sectional study. A total of 87 SD patients who met the inclusion criteria and selection using exclution criteria were recruited by consecutive sampling. Body mass index was measured in all patient. Severity of SD was measured using Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI. From 87 patients, the median of IMT was 24.24 16.65 41.09 and median of severity SD was 2.25 0.25 21.
The result from Spearmann correlation test showed that IMT has no correlation with scoring of SDseverity in scalp at Dermato Venereology outpatient policlinic dr Cipto Mangunkusumo Hospital p 0.545, r 0.066.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyaningrum
"Osteitis dapat berperan sebagai sumber inflamasi kronis pada struktur tulang sinonasal pada kasus rinosinusitis kronik RSK dengan atau tanpa polip yang menyebabkan rekurensi pasca terapi medikamentosa maupun pembedahan. Tesis ini membahas mengenai korelasi antara derajat osteitis serta inflamasi mukosa pada RSK dengan polip hidung bilateral refrakter. Penelitian menggunakan desain korelatif potong lintang pada 29 subjek yang diambil secara retrospektif.
Hasil dari penelitian ini didapatkan korelasi signifikan antara skor LMSS dan GOSS r = 0,36, p = 0,05 , tidak terdapat korelasi signifikan pada subjek dengan polip bilateral derajat 2 -3 r = 0,39, p = 0,439 , maupun pada subjek dengan polip grade 4 ndash; 6 r = 0,27, p = 0,204 , dan tidak terdapat korelasi signifikan pada subjek dengan riwayat pembedahan satu kali r = 0,44, p = 0,145 , maupun pada subjek dengan riwayat pembedahan lebih dari satu kali r = 0,27, p = 0,29 , Median skor LMSS dan GOSS lebih tinggi pada kelompok pembedahan berulang dan polip derajat 4 ndash; 6.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa identifikasi osteitis dapat digunakan untuk mengetahui derajat keparahan RSK serta memprediksi kekambuhan yang selanjutnya dapat membantu untuk menentukan terapi medikamentosa dan pembedahan yang tepat.
Osteitis may served as a nidus for chronic inflammation in Chronic Rhinosinusitis CRS with or without polyps, that may explain for any recurrence post medical treatment and surgery. The purpose of this thesis paper was to determine correlation between osteitis and mucosal inflammation in CRS with refractory bilateral nasal polyps. This is a cross ndash sectional corelative research in 29 subjects which were taken by retrospective sampling.
The results are significant correlation between LMSS and GOSS score r 0,36, p 0,05 , , no significant correlation in subject with bilateral nasal polyps grade 2 ndash 3 r 0,39, p 0,439 and subject with polyps grade 4 ndash 6 r 0,27, p 0,204 , and no significant correlation also in subject with history of primary surgery r 0,44, p 0,145 , and also no significant correlation in subjects with history of revision surgery r 0,27, p 0,29 Median LMSS and GOSS score were higher in revision surgery and polyps grade 4 ndash 6 group.
The conclusion was identifying osteitis can be used to determine the degree of severity and predicting recurrency and further help to determine proper medical treatment and surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
"Urtikaria kronik (UK) adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan frekuensi minimal kejadian urtika sebanyak dua kali dalam 1 minggu. Urtikaria kronik merupakan penyakit yang umum dijumpai dengan insidens pada populasi umum sebesar 1-3%, serta melibatkan mekanisme patofisiologi yang kompleks. Urtikaria kronik lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak dan wanita dua kali lebih sering terkena daripada pria. Laporan morbiditas divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta antara Januari 2001 hingga Desember 2005 menunjukkan jumlah pasien UK sebesar 26,6% dari total 4453 orang pasien baru.
Meski telah dilakukan pemeriksaan klinis maupun berbagai pemeriksaan penunjang, etiologi tidak ditemukan pada 80-90% pasien UK dan digolongkan sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Urtikaria kronik idiopatik seringkali menimbulkan masalah bagi dokter maupun pasien. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan autoantibodi pelepas histamin pada 30-50% kasus UKI, sehingga digolongkan sebagai urtikaria autoimun (UA). Autoantibodi pada UA dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan, antara lain uji kulit serum autolog (UKSA) atau disebut pula tes Greaves. Saat ini UKSA dianggap sebagai uji kiinik in vivo terbaik untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin in vitro pada UA. Angka morbiditas UA di Indonesia belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Soebaryo (2002) melaporkan angka kepositivan UKSA sebesar 24,4% pada 127 pasien UK, sedangkan Nizam (2004) memperoleh angka prevalensi kepositivan UKSA sebesar 32,1% pada 81 pasien UK.
Infeksi kuman Helicobacter pylori (Hp) merupakan infeksi bakterial kronik tersering pada manusia, mencapai 50% dari seluruh populasi dunia. Peran infeksi Hp sebagai etiologi kelainan gastrointestinal telah diterima luas. Studi lebih lanjut menemukan keterlibatan infeksi Hp pada berbagai kelainan ekstragastrointestinal, antara lain UKI.
Berbagai penelitian di Iuar negeri memperlihatkan tingginya prevalensi infeksi Hp pada pasien UKI, disertai dengan remisi klinis UKI pasca terapi eradikasi Hp. Pada penelitian-penelitian awal didapatkan angka prevalensi mencapai 80% dan remisi klinis pasta terapi eradikasi Hp terjadi pada 95-100% pasien. Pada penelitian-penelitian selanjutnya ditemukan prevalensi dan frekuensi keterkaitan yang bervariasi. Suatu studi meta-analisis mengenai infeksi Hp pada UKI menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya resolusi urtika empat kali lebih besar pada pasien yang mendapat terapi eradikasi Hp dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi. Namun demikian, remisi total hanya terjadi pada 1/3 pasien yang mendapat terapi eradikasi. Pengamatan ini mendasari timbulnya pemikiran bahwa Hp berperan penting sebagai etiologi pada sebagian kasus UKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ingkiriwang, Elly
"Latar Belakang; Karsinoma leher rahim (KLR) menduduki urutan pertama di antara semua penyakit kanker terbanyak di Indonesia. KLR menjadi penyebab mortalitas terbanyak akibat kanker pada wanita. Kemoradioterapi dalam pengobatan kanker, mempunyai efek samping yang bermakna. Penatalaksanaan yang efektif untuk kanker termasuk bertambahnya perhatian pada faktor psikologis dengan penilaian depresi yang tepat, dapat meningkatkan angka kesembuhan dan harapan hidup.
Obyektif: Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh kemoradioterapi terhadap peningkatan frekuensi dan derajat gangguan depresi pada pasien KLR yang menjalani kemoradioterapi, seta faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan depresi. Penelitian dilaksanakan di RS Dr. Ciptomangunkusumo, antara bulan Desember 2005 - Juli 2006.
Metode: Penelitian merupakan studi the one group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Instrumen yang digunakan SLID-1 (Structured Clinical Interview for DSM-IV Axis 1 disorders) versi bahasa Indonesia dan Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D). Analisis data statistik menggunakan program SPSS versi 11,5.
Hasil: Derajat depresi dari rerata HRS-D 18,68 sebelum kemoradioterapi, meningkat menjadi rerata HRS-D 22,69 sesudah kemoradioterapi. Subyek yang bekerja mempunyai peluang menderita depresi 0,17 kali dibandingkan yang tidak bekerja pada saat sebelum kemoradioterapi. Gangguan depresi sebelum kemoradioterapi ditemukan pada 26 subyek (65%). Sesudah kemoradioterapi, subyek yang menderita gangguan depresi ada 26 subyek terdiri dari 19 subyek yang sebelumnya depresi dan 7 orang yang sebelumnya tidak depresi, sedangkan 7 orang yang sebelumnya depresi menjadi tidak ditemukan depresi lagi.
Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan peningkatan derajat gangguan depresi pada pasien karsinoma leher rahim yang sebelum kemoradioterapi telah menderita gangguan depresi. Hal menarik yang didapatkan dalam penelitian ini adalah ditemukannya 7 subyek yang menjadi tidak depresi setelah dilakukan kemoradioterapi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui respons tubuh subyek terhadap kemoradioterapi yang telah dilakukan. Diperlukan penelitian tentang dampak psikologis untuk pasien yang menjalani kemoradioterapi. Sampel yang lebih bervariasi dalam pendidikan dan penghasilan perlu dipertimbangkan

Background: Cervical cancer is the most common cancer In Indonesia. Cervical cancer is the most frequent cause of cancer mortality in women. Chemaradiotherapy of cancer treatment has significant adverse effect. Effective cancer management; including enhanced attention on psychological factors through appropriate evaluation of depression, may increase patient?s cure and survival rate.
Objectives: The objectives of this study are to know the effect of chemoradiotherapy on increased depression frequency and severity in patients with cervical cancer who have been treated by chemoradiotherapy, and factors related to depression disorder. This study was conducted at Ciptomangunkusumo Hospital in the period of December 2005 -- July 2006.
Methods: This study used one group pretest-posttest design. The samples were taken by consecutive sampling. Instrument utilized was SCID-1 (Structured Clinical Interview for DSM-IV Axis 1 disorders) in Indonesian language version and Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D), Analysis of statistic data was using SPSS program version 11, 5.
Results: Depression seventy of HRS-D mean value was 18.68 before chemoradiotherapy, increased to HRS-D 22.69 after chemoradiotherapy. The Working subjects have 0.17 times possibility to have depression compared to the Non-working subjects before chemoradiotherapy period. Depression disorders before chemoradiotherapy were found in 26 subjects (65%). After chemoradiotherapy, Mere were 26 subjects with depression disorder, i.e. 19 subjects who had previous depression, and 7 subjects without any previous depression. There were 7 subjects who had previous depression and turned to have no depression anymore.
Conclusions: Based on the result of this study, there is increased depression severity in patients with cervical cancer who already had depression disorder before chemoradiotherapy. It is interesting that in this study, there is 7 subjects who have not carried out depression after their chemoradiotherapy treatment. We need further study to recognize the subject's response to chemoradiotherapy and further study on psychological impact in patients who undertake chemoradiotherapy. Further sample with more variation in education and income should be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21241
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>