Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106060 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budhi Herdi Susianto
"ABSTRAK
Tesis ini adalah tentang birokrasi penyidikan, mekanisme kontrol dan penyidikan internal KPK. Perhatian utama dalam tesis ini adalah pada tindakan¬tindakan yang dilakukan oleh penyidik KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di KPK dikaitkan dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki KPK yang berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh penegak hukum lain. Selain itu, dalam tesis ini juga membahas mekanisme kontrol dan pengawasan internal yang ada di KPK khususnya saat terjadinya korupsi yang dilakukan oleh Sup yang saat itu menjadi penyidik KPK.
Tujuan dalam tesis ini adalah untuk menunjukkan birokrasi penyidikan yang ada di KPK serta mekanisme kontrol dan pengawasan internal yang belum berjalan secara maksimal sehingga peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh Sup selaku penyidik KPK untuk melakukan korupsi.
Masalah dalam tesis ini adalah tindak pidana korupsi penyidik KPK dan penyidikannya. Korupsi yang dilakukan oleh Sup merupakan perbuatan pemerasan terhadap saksi yang sedang berperkara di KPK. Dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangannya, Sup melakukan pemerasan guna keuntungan pribadi.
Hasil dari penelitian ini ditemukan adanya tindakan-tindakan korupsi yang dilakukan oleh Sup yang memanfaatkan kelemahan mekanisme kontrol dan pengawasan internal. Pengaruh KPK sebagai lembaga baru yang belum memiliki organ yang lengkap dimanfaatkan oleh Sup untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan tergolong sebagai perbuatan korupsi. Dengan berdalih untuk kepentingan dinas, Sup melakukan hubungan dengan orang atau pihak yang sedang dalam proses pemeriksaan.
Perbuatan yang dilakukan oleh Sup merupakan cermin budaya organisasi lama tempat Sup berdinas sebelum di KPK. Budaya organisasi tersebut dibawa dan terus dilakukan oleh Sup di KPK yang sebenarnya memiliki budaya organisasi yang berbeda. Perbuatan korupsi yang dilakukan oleh Sup sangat
bertentangan dengan jiwa pendirian KPK dimana dengan berdirinya KPK diharapkan hadir suatu lembaga penegak hukum yang bebas dari KKN.
Dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK terhadap penyidiknya yang melakukan korupsi sangat cepat dan profesional. Penyidikan
berjaian sesuai dengan aturan yang ada dan penerapan sanksinya pun diselaraskan dengan aturan yang ada pula. Persangkaan pasal terhadap Sup ditambah dengan pasal pemberatan yang diberikan kepada penyidik KPK yang melakukan korupsi menunjukkan bahwa KPK tidak segan-segan menindak tegas pegawai atau penyidiknya yang melakukan pelanggaran."
2007
T 20511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Lowryanta
"Ketika Indonesia ditahbiskan menjadi negara ketiga paling korupsi didunia, mengherankan tidak ada yang heran sama sekali. Seakan semua fenomena ini sudah being firr granted yang tidak perlu di perdebatkan lagi di negara yang "berdasar pada hrrkum dan bukan pada kekuasaan" seperti yang diamanatkan oleh Konstitusinya. Ketidakherananan publik pada tingkat korupsi, oleh karenanya seringkali diikuti oleh apatisnie akan kemainpuan sistem hukum dan budaya yang ada untuk memberantas korupsi. Apatisme ini tidaklah berlebihan apabila dititik dari track record penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, sehingga muncullah sarkas bahwa "Indonesia adalah negara yang sangat tinggi korupsinya namrm tidak ada koruptornya". r Korupsi di Indonesia yang tetjadi dalam 30 tahun keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat tercengang: Setelah Orde Baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda kesadaran pemerintah bahwa "disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sarnpai tahap rnenyedihkan Korupsi juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem perekonomian dan macyarakat dalam skala besar. Pelaku perbuatan yang dipandang koruptif itu tidak ierjangkau oleh undang-undang yang ada dan selalu berlindung dibalik asas Iegalitas karena pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan oleh mereka yang memiliki karekateristik high level educated dan status dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman terhadap masalah tersebut diatas, pemerintah dan Lembaga Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat} telah membentuk dan mensahkan Undang-Undang No: 30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kebijakan ini merupakan "political will" dari pemcrintah dengan suatu tekad dengan membentuk suatu badan anti korupsi untuk meinberantas segala bentak penyelewengan dan korupsi yang terjadi selama 3 dasawarsa ini, demi menyelamatkan kcuangan dan pcrekonomian negara guna mewujudkan aparatur pemerintah dan aparat penegak kukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farkhan Askari
"Hukum acara pidana ruengatur proses penyidikan dan penuntutan.Penyidik dan penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan atau penuntutan dengan syarat-syarat yang telah digariskan dalam KUHAP. Untuk menguji sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dilakukan secara sah maka terbuka kesempatan untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadapnya. KUHAP memberi hak kepada penyidik, penuntut umum serta pihak ketiga yang berkepentingan untuk melakukan pengawasan dan koreksi melalui lembaga praperadilan.Menjadi perdebatan adalah siapa pihak ketiga yang berkepentingan tersebut. Banyak pihak menafsirkannya sebagai saksi korban yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana serta pelapor. Dalam tindak pidana korupsi maka masyarakat adalah korban. Korupsi telah melanggar hak sosial ekonomi masyarakat serta menghambat pembangunan yang hasilnya seharusnya dapat dirasakan dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Sementara undang-undang tidak secara tegas dan jelas memberikan hak kepada masyarakat untuk mengambil langkah hukum apabila terusik rasa keadilannya dengan dilakukannya penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. Penegak hukum, termasuk juga hakim yang mestinya dapat menemukan hukum yang lebih berpihak pada masyarakat dan lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat justru sering bersikap tidak menerima apabila masyarakat hendak melibatkan diri dalam proses peradilan pidana sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Mereka lebih banyak berpikiran positivistik, legisme, yang hanya melihat pada undang-undang saja. Apabila tidak diatur dalam undang-undang bererti tidaka ada hak masyarakat melibatkan diri dalam proses peradilan pidana.Untuk itu tesis ini meneliti dan menganalisa tentang 1)siapa pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, 2) apakah yang menjadi alas hak pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak tindak pidana korupsi, dan 3) hambatan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, bagaimana hukum acara pidana yang akan datang mengakomodirnya.

Code of criminal procedure regulates investigation and prosecution process. Investigator and prosecutor have authority to ceasing investigation or prosecution by requirement as provided in code of criminal procedure. Then, to test whether or not the ceasing of investigation or prosecution validly, it have opportunity to opened case to supervised and correct. Code of criminal procedure had entitled to investigator, prosecutor and third party concerned to supervised and correct with "pretrial" process. It had been debated on which third party concerned is? Mostly parties interpreted as victim who had been harmed from crime and the reporter. Actually, in corruption, the society is the victim. Corruption had broke social-economics right of community and blocked the development which the results should be enjoyed and contributed to society's welfare essentially. Meanwhile, the laws had not given right firmly and clearly to society to have law procedure when their sense of justice had been distract, by ceasing investigation or prosecution of corruption. In the other side, law enforcer including judge who ought to find law that more prone to society and comply with sense of justice of them indeed, they had not received society who will involve their selves in criminal justice process as such third party concerned. Most of them had more thought of positivistic legalism, solely, they laid case on legislation, so that, if it had not been provided with legislation, then, society having not right to involve their selves in criminal justice process. However, this thesis researches and analyze regarding . 1) which third party concerned that may apply "pre-trial" to terminate investigation or prosecution of corruption criminal act is?; 2) what kind of arguments of such third party concerned to apply "pre-trial" in terminating investigation or prosecution of corruption?; and 3) the obstacles founded in "pre-trial" practiced by such third party concerned in ceasing investigation or prosecution of corruption, finally, how code of criminal procedure may accommodate it in the future."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiyas Widiarto
"Ketentuan undang-undang mensyaratkan perlu adanya ijin dari pejabat yang berwenang sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu. Latar belakang dan pertimbangan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang ijin pemeriksaan diantaranya adalah untuk menjaga kewibawaan, martabat dan kedudukan pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Ketentuan ini memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara pejabat negara tertentu dan warga negara biasa, sehingga tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum (equality before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan perundang-undangan lain. Prinsip ini mengharuskan negara tidak melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya, baik dalam proses peradilan maupun pemerintahan. Ketika pejabat negara harus berhadapan dengan proses hukum, baik sebagai saksi ataupun sebagai tersangka, dia wajib diperlakukan sama, tanpa melihat status ekonomi, kedudukan maupun jabatannya. Ketentuan ini juga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Seseorang yang diduga terlibat tindak pidana harus segera mendapat pemeriksaan guna memberikan kepastian hukum terhadap yang bersangkutan, dan penyidikan terhadap kasus tersebut berjalan dengan lancar. Sampai scat ini belum ada penolakan secara formal dari pejabat yang berwenang terhadap ijin yang diajukan oleh penyidik. Bentuk penolakan pemberian ijin dilakukan dengan tidak mengeluarkan ijin pemeriksaan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa alasan yang jelas. Lamanya tenggang waktu keluarnya ijin tanpa limitasi waktu yang pasti dan panjangnya alur birokrasi pengajuan ijin pemeriksaan berpengaruh terhadap jalannya penyidikan tindak pidana korupsi. Tertundanya pemberian ijin dari pejabat yang berwenang mengakibatkan tertundanya juga pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya penyelesaian terhadap kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tersebut juga tertunda atau bahkan "mandek". Namun khusus pemeriksaan terhadap kepala daerah, dapat dilakukan tanpa menunggu ijin dari Presiden, karena menurut pasal 36 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tetap dapat dilakukan, apabila ijin pemeriksaan tersebut tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan.

The regulation set out the requirements of permit from authorized governmental officer prior to inspect any certain state officer. Consideration background of rules regulating regarding inspection permit, among other thing to maintain authority, prestige and position of such state officer in running his/her duties. It had resulted in the discrimination treatment among his/her with other large public citizens, and it had contradicted with principle of equality before the law and with Constitution 1945 as well as other legislations. Those principles had not discriminated among any citizen with Others either in judicature or governmental process.. When any state officer should present before the court either as witness or prosecuted then, she/he should be treated equally, without considering his/her economic status, position and others. Also it had not been suitable with principle of fast and simple judicature. Any person who had become involved in criminal case presumably, immediately, he/she should be inspected or investigated in order to give legal certainty with his/her, and such case investigation may be proceed fluently. To date the formal refusal from authorized governmental officer filed by investigator had never been found. The refusal of giving permit no conducted by issuing inspection permit for long enough period and without the real arguments. The length both of period to issue permit by unlimited time and bureaucracy process it had influenced the process of corruption commitment investigation. The postponement of giving permit from authorized governmental officer, also it had resulted in the cancellation of such person case, subsequently, the case of supposed corruption commitment of such person is cancelled or even stagnant. Nevertheless, specially, for case of Local Governmental Head, it may be conducted without waiting permit from President, because, according to Article 36 paragraph (2) UU.No.32 year 2004 on Local Government, inspection and investigation process to Head/Vice of Local Government it may be realized provided that such inspection permit no given by President at least sixty (60) days calculated since the receipt of application."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felli Hermanto
"Fenomena obyek penelitian adalah penerapan manajemen penyidikan tindak pidana korupsi pada Direktorat III Pidkor Bareskrim Mabes Polri. Tujuan penelitian mendeskripsikan penerapan manajemen penyidikan tindak pidana korupsi dan membahas SWOT dalam penerapan manajemen penyidikan.
Penerapan Analisis SWOT pada tahapan manajemen penyidikan tindak pidana korupsi pada Direktorat III Pidkor Bareksrim belum dijadikan Standard Operating Procedure penerapan manajemen penyidikan tindak pidana korupsi.
Kelemahan tersebut menyebabkan kinerja Direktorat III Pidkor Bareskrim Polri menjadi kurang efektif dalam menangani perkara korupsi. Sebab itu, penerapan Standard Operating Procedure manajemen penyidikan tindak pidana korupsi menjadi salah satu persyaratan manajerial yang dapat mengefektifkan kinerja Direktorat III Pidkor Bareskrim Polri.

The phenomenon of object of research is the application of management investigation of corruption in the Directorate III Penal Corruption of Crime Investigation. Describe the application of management research objective investigation of corruption and discusses the application of SWOT in investigation management.
Application of SWOT analysis on the management stage of investigation of corruption at the Directorate III Penal Corruption of Crime Investigation Board in Indonesia National Police Headquarter in Standard Operating Procedures have not made the application of management corruption investigations.
The weakness is causing the performance of the Corruption Penal Investigation Management at Directorate III Penal Corruption of Crime Investigation become less effective in dealing with corruption cases. Therefore, the application of Standard Operating Procedure management corruption investigation into one of the managerial requirements that can streamline the performance of the Directorate III Penal Corruption of Crime Investigation.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T30193
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Gismadiningrat Sahid Wisnuhidayat
"Kerugian negara akibat korupsi di Indonesia pada tahun 2022 bernilai signifikan, namun KPK RI sebagai lembaga khusus pemberantasan korupsi dinilai belum maksimal dalam mengembalikan kerugian negara dibandingkan POLRI dan Kejaksaan RI. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan pengembalian aset khususnya pada penyidikan tindak pidana korupsi di Direktorat Penyidikan KPK. Melalui penerapan metode penelitian kualitatif dan studi kasus, hasil penelitian ini menemukan bahwa, pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi masih berfokus pada upaya memenjarkan pelaku yang dipengaruhi oleh adanya celah hukum pada Undang-Undang Korupsi, polemik dalam perampasan aset, keterbatasan sumber daya manusia dan menurunnya nilai aset yang telah dirampas. Untuk meningkatkan pelaksanaan pengembalian aset, diperlukan strategi pendekatan perdata (in rem) melalui Kemungkinan (Balanced Probability Principle) dan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction-Based Asset Forfeiture) melalui pembaharuan regulasi dan peningkatan kualitas serta kuantitas sumber daya manusia Direktorat Penyidikan KPK RI.

State’s losses as the result of corruption in Indonesia, 2022, have a significant value, but KPK RI as a special institiution againts the corruption is considered not optimal in it’s efforts to returning the State losses rather than Indonesian National Police and The Office of the Attornety of The Republik of Indonesia. This articels aims to answer the problems regarding the implementation of asset recovery especially in the investigation of corruption at KPK RI Investigation Division. Through qualitative research methods and case studies, the result the results of this study found that the implementation of the investigation was still focused on efforts to imprison the perpetrators who were influenced by legal loopholes in the Corruption Law, polemics over asset confiscation, limited human resources and the decline in the value of assets that had been confiscated. To increase the amount of assets returned, a civil approach strategy is needed through the Balanced Probability Principle and Non-Conviction-Based Asset Forfeiture."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nena Esse Nurasifa
"ABSTRAK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebuah lembaga yang dibentuk
oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2010 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, karena perlunya suatu upaya luar biasa untuk untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia. Apabila melihat kinerja
dari Komisi Pemberantasan Korupsi di beberapa kasus tindak pidana korupsi yang
ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi seperti kasus Djoko Susilo, Jaksa
Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam dakwaannya juga mendakwakan Pasal
Tindak Pidana Pencucian Uang kepada para terdakwa. Skripsi ini akan membahas
lebih lanjut terkait dengan bagaimana kewenangan penyidikan KPK atas tindak
pidana pencucian uang sebelum adanya tindak pidana korupsi simulator sim yang
didakwakan kepada Djoko Susilo didasarkan pada Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan apakah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUUXII/
2015 telah tepat dalam memberikan kewenangan penuntutan tindak pidana
pencucian uang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

ABSTRACT
Corruption Eradication Commission (KPK) is an institution established by Act
No. 32 of 2010 on the Corruption Eradication Commission, because the need for
an extraordinary effort to to cope with, overcome, and eradicate corruption in
Indonesia. When looking at the performance of the Corruption Eradication
Commission in some cases of corruption handled by the KPK as the case of Djoko
Susilo, KPK prosecutor, the indictment also accuse Money Laundering Section to
the defendant. This paper will discuss more related to how the authority of KPK
investigation on money laundering before the driving licence simulator corruption
of which the accused to Djoko Susilo based on the Law on Money Laundering
and whether the Constitutional Court Decision No. 77/PUU-XII/2015 has the
right to authorize the prosecution of money laundering to the Corruption
Eradication Commission."
2015
S61106
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pengayoman, 2007
345.023 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sitinjak, Robert Parlindungan
"Konsensus nasional Political Will dari DPR untuk penyelenggaran negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme, telah diundangkan melalui TAP XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1998 dan diatur lebih lanjut dengan UU No. 28/1999 tanggal 19 Mei 1999 dan UU No. 31/1999 tanggal 16 Agustus tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggantikan UU No. 3/1971 yang lama. Hal ini merupakan babak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dengan memanfaatkan momentum era reformasi.
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) secara sistematis di Indonesia_ telah sejak lama dilakukan, karena dirasakan korupsi sudah sangat membahayakan pembangunan. yaitu sejak tahun 1957 mulai dengan peraturan penguasa militer, penguasa perang pusat, TPK, Komisi 4, Opstib, sampai era reformasi dengan dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada tanggal 13 Oktober 1999 dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada tanggal 23 Mei 2000.
Kejaksaan Agung sebagai lembaga penuntutan satu-satunya di Indonesia (legal monopoly) mempunyai tanggung-jawab moral dan hukum untuk berjuang memberantas korupsi dan menegakkan supremasi hukum yang responsif dengan rasa keadilan masyarakat. Tuntutan dan harapan masyarakat sangat besar diletakkan di pundak Kejaksaan Agung, untuk mengusut tuntas dugaan adanya korupsi yang merugikan keuangan negara, dan mulai mengadili kasus-kasus korupsi besar, dan yang menarik perhatian masyarakat (catchs some big fishes) seperti Kasus Soeharto mantan Presiden RI berkuasa 32 tahun, yang mulai disidangkan tanggal 31-8-2000.
Kinerja Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi selama 5 tahun (1993/1994 s/d 1997/1998) pada tahap penyelidikan penyelesaiannya hanya 40% (34 kasus) dan sisa tunggakan 60% (50 kasus), tahap penyidikan penyelesaiannya hanya 38% (9 kasus) dan sisa tunggakan 62% (15 kasus), dan tahap penuntutan untuk seluruh Indonesia tingkat penyelesaiannya hanya 19% (115 kasus) dan sisa tunggakan 81% (479 kasus). Rata-rata sisa tunggakan kasus sekitar 60%-81%.
Pendapat para ahli tentang sebab-sebab terjadinya korupsi dan hambatan pemberantasan korupsi, dijadikan sasaran analisis yang mendasari perumusan strategi pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) selanjutnya. Strategi secara sistematis itu diharapkan dapat mengendalikan faktor-faktor penyebab korupsi tersebut.
Bertolak dari kenyataan tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung, sejauh mana tingkat efektifitas Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, (apakah telah memberikan hasil/akibat yang maksimal, taxis dari pertimbangan efisiensi) dan berupaya untuk dapat memberikan strategi alternatif/prioritas yang dapat meningkatkan efektifitas pemberantasan korupsi (anti corruption strategy).
Hasil penelitian penulis ini menunjukkan, bahwa Kejaksaan Agung berada pada kondisi di dua lingkungan yaitu lingkungan internal dan eksternal. Hal mana telah memberikan pengaruh terhadap kinerjanya. Pengaruh sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat bisa berasal dari internal maupun eksternal. Yang berasal dari faktor internal berupa faktor kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), dan yang berasal dari faktor eksternal berupa faktor peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Pendekatan analisis SWOT berupaya untuk merumuskan strategi yang sesuai (best solution) untuk diterapkan dalam upaya mencapai sasaran dan goal yang diinginkan. Ada beberapa strategi alternatif yang dirumuskan, namun berdasarkan urgensi penanganannyalskala prioritas kepentingannya, maka direkomendasikan untuk memakai strategi WO untuk strategi jangka pendek dan strategi SO untuk strategi jangka panjang.
Dari hasil perumusan alternatif strategi SWOT tersebut dengan pendekatan ternyata untuk sasaran strategi kebijakan prioritas jangka pendek adalah memanfaatkan TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) (0.408), memperbaiki sarana prasarana/penggajian/fas. kesejahteraan SDM kejaksaan (0,239), melakukan pengawasan intensif terhadap moralitas, etika profesi/sikap perilaku terhadap SDM kejaksaan (0,130), mengusulkan independensi kejaksaan/ (Independent Prosecution System) (0,116), dan memperbaiki/reorientasi sistem manajemen pembinaan (rekrutmen, promosi dan penempatan) SDM kejaksaan yang profesional dan rasional (0,106). Untuk sasaran strategi kebijakan prioritas jangka panjang adalah memanfaatkan lembaga ICAC (Independent Commission Anti Corruption)/ Komisi Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KGPTPK) (0,415), menetapkan target penyidikan dan penuntutan (0,366) dan mengusulkan independensi kejaksaan/(Independent Prosecution System) (0,219).
Dalam penelitian ini, ternyata dalam strategi jangka pendek maupun strategi jangka panjang memiliki sensitifitas yang sangat kecil. Artinya, walaupun terjadi perubahan dalam urutan prioritas, temyata urutan prioritas faktor endogen (strategi kebijakan) tidak mengalami perubahan, hanya perubahan dalam bobot prioritasnya.
Strategi Kebijakan periode jangka pendek dan jangka panjang yang dominan adalah dengan memanfaatkan keberadaan TGPTPK dan lembaga baru ICAC (Independent Commission Anti Corruption)IKGPTPK, sehingga diharapkan tercapainya peningkatan efektifitas strategi pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) di Indonesia. Untuk ICAC, disarankan agar konsistensi terhadap sifat komisi yang harus independenlmandiri kepas dari carnpur tangan pemerintah, melibatkan peranan LSM/masyarakat dalam penanganan pemberantasan korupsi di Indonesia. Disarankan, ICAC mempunyai kewenangan terbatas hanya pada tahap penyelidikan dan penyidikan korupsi saja, sedangkan tahap penuntutan tetap sebagai wewenang Kejaksaan Agung. Perlu dirumuskan sinkronisasi susunan perundang-undangannya, agar tidak tumpang-tindih atau menabrak tata tertib hukum positif yang sudah ada."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T7939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>