Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34532 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Santoso Dwi Prasetyo
"The development of information technology has altered the way companies run their business. Internet has brought the world economy into new chapter which is popularly known as digital economics. International trade has shifted from conventional method to more rely on electronic commerce. Through the Internet media, business activities can be conducted from long distance and not requiring physical attendance which can reach all over the world.
This condition has brought about problems for taxation authorities with regard to taxation on income from e-commerce business activities. Whether the concept of current permanent establishment (BUT) can accommodate e-commerce transaction, whether the rule of force-of-attraction can still accommodate the taxation on e-commerce transaction, whether the principle of separate entity and arm's length is still relevant in determining the amount of the business profit from e-commerce transaction.
By studying the aspect of International taxation on the imposition of
income tax on business profit issued by the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), and subsequently by analyzing Indonesian domestic provisions and conducting a comparative study on the US Internal Revenue Code, and also the provisions of the Agreement on Double Taxation Evasion between Indonesia and The USA, the conclusion can be drawn that the provisions of Law Number 7 Year 1983 on Income Tax as have been amended lastly by virtue of Law Number 17 Year 2000 have not fully accommodated the imposition of income tax on the business profit of e-commerce transaction.
The Concept of permanent establishment (BUT) has not accommodated of e-commerce transactions which in reality do not require any fixed place of business, physical location, employees or personnel to run business activities and agencies. The rule of force-of-attraction has not been able to earn any revenues from Indonesian source obtained by the web server operated outside Indonesia or in the country of the domicile of the head office. The principle of separate entity and arm's length should be adjusted to facilitate the calculation of the business profit obtained by each web server.
Based on the foregoing conclusion it is recommended that changes and adjustment be made to the provisions of international taxation in Law Number 7 Year 1983 on Income Tax as have been amended lastly by virtue of Law Number 17 Year 2000 on income tax from business profit so that it can accommodate imposition of tax on the business profit of e-commerce transaction."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Muswati Putranti
"Kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan atas usaha jasa konsultan sekarang ini didasarkan suatu sistem pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif khusus yang bersifat final. Tesis ini menganalisis pelaksanaan kebijakan tersebut dari sudut pandang azas-azas perpajakan yaitu keadilan, kepastian dan kecukupan penerimaan. Hal ini dilatarbelakangi dengan perbandingan kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif progresif atas tambahan kemampuan ekonomis neto.
Undang-undang Pajak Penghasilan berserta petunjuk pelaksanaan serta peraturan di bawahnya menjadi acuan peraturan yang digunakan dalam menganalisis permasalahan. Penelitian bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metoda pengumpulan data berupa studi lapangan melalui wawancara mendalam dan data dokumenter serta studi kepustakaan.
Penentuan definisi penghasilan dalam undang-undang cenderung menggunakan konsep SHS yang telah disempurnakan yaitu menganut pengertian penghasilan atas realization accreation sehingga untuk mengukur konsep keadilan maka penghitungan pajak dihasilkan dari tambahan kemampuan ekonomis neto dengan penerapan tarif progresif agar prinsip equal treatment for the equals dapat tercapai. Disisi lain prinsip unequal treatment for the unequal juga harus dipenuhi agar Wajib Pajak yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis neto yang lebih besar harus memikul beban pajak yang lebih besar pula dan sebaliknya. Untuk itu perlu diperkenankan pengurangan beban pajak. Bila kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan bruto dengan penerapan tarif final tanpa diperbolehkan pengurangan, maka kebijakan ini lebih mengarah kepada pajak atas transaksi.
Pemungutan Pajak Penghasilan dengan cara pemotongan oleh pihak ketiga telah diakui merupakan salah satu kemudahan administrasi disamping terjaminnya keuangan negara. Namun demikian pemotongan tersebut akhirnya harus dihitung atas dasar penghasilan neto, sehingga keadilan tidak terabaikan. Kecenderungan pemerintah sekarang ini banyak mengintrodusir kebijakan pemotongan Pajak Penghasilan dengan tarif khusus yang bersifat final, berarti mengarah kepada kebijakan dengan sistem schedular. Dan pada akhirnya menggeser prinsip global taxation dalam kebijakan perpajakan kita menjadi schedular taxation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Ridwan
"Tesis ini mengkaji Analisis Kebijakan Pajak Penghasilan atas Leasing di Indonesia, yaitu suatu kajian atas peraturan-peraturan yang ruang lingkupnya berhubungan dengan kebijakan Pajak Penghasilan atas kegiatan leasing di Indonesia. Analisis mencakup Undang-undang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.
Pokok permasalahan penelitian ini berkaitan dengan bagaimana sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia sehubungan dengan leasing dan bagaimana akibatnya atas sistem tersebut terhadap perusahaan leasing, serta bagaimana seyogyanya leasing diatur lebih lanjut agar supaya fiskus tidak dirugikan dan wajib pajak tidak dibebani pajak yang lebih tinggi karena leasing.
Metode penelitian dilakukan berdasarkan metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskritif analitis, yaitu menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian mengadakan analisis untuk dapat ditarik kesimpulan dan memberikan sara-saran yang dianggap perlu.
Kebijakan perpajakan yang terkandung di dalam pengaturan tentang leasing khususnya mengenai kriteria apukah suatu leasing dikategorikan sebagai finance lease ataukah operating lease tidak sejalan dengan tingkatan hierarki peraturan perpajakan, dalam hal ini Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang peraturan pelaksanaan leasing tidak konsisten terhadap Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang mengatur pelaksanaan leasing. Demikian pula halnya dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang leasing belum memuat aturan pajak penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa pasal 4 Keputusan Menteri Keungan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.04/1991 tentang leasing untuk dihapuskan karena tidak efisien dan tidak efektif karena terdapat dua positip list tentang pembagian jenis leasing. Selain itu disimpulkan pula bahwa ketentuan syarat adanya hubungan antara lessor dan lessee dihapus karena bertentangan dengan kriteria dasar leasing dengan hak opsi apabila jangka waktu leasing lebih pendek daripada yang telah diperjanjikan. Penulis menyarankan agar pemerintah segera memperbaiki aturan pelaksanaan leasing dengan menyesuaikan terhadap Undang-undang perpajakan yang terbaru."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Ruston
"Untuk menggali penerimaan pajak dari sektor usaha jasa konstruksi maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari. Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan. Mengacu pada sasaran pembaharuan sistem perpajakan nasional, maka setiap ketentuan perpajakan harus memperhatikan aspek keadilan serta jaminan atas kepastian hukum dalam pemungutan pajak.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis apakah ketentuan tersebut telah tepat ditinjau dad azas-azas perpajakan yang baik terutama aspek keadilan dalam pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhanaan pemungutan, serta kekuatan dan keabsahan dasar hukum pemungutan pajak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode .deskriptif analitis mencakup analisis teoritis melalui studi kepustakaan dan pendapat beberapa pakar perpajakan serta analisis empiris atas kasus-kasus di lapangan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengenakan PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kurang mencerminkan azas keadilan, baik keadilan horizontal yang menekankan bahwa semua orang yang mempunyai penghasilan sama harus membayar pajak dalam jumlah sama maupun keadilan vertikal yang mewajibkan pajak yang semakin besar selaras dengan semakin besarnya kemampuan yang bersangkutan untuk membayar pajak.
Selain itu terdapat beberapa hal yang menyangkut ketidakpastian termasuk pengertian jasa konstruksi sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah tersebut telah mempunyai landasan hukum yang sah yaitu Undangundang (UU). Yang menjadi permasalahan adalah terlalu luasnya wewenang yang diberikan oleh UU sehingga dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tarif pajak tersendiri atas segala jenis penghasilan yang berbeda dari ketentuan UU itu sendiri. Hal ini menyimpang dari Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala pajak harus berdasarkan UU.
Menerapkan kembali tarif umum yang progresif dan tidak final lebih mencerminkan keadilan. Akuntansi Keuangan sangat memudahkan penetapan penghasilan neto usaha jasa konstruksi sehingga secara teknis pembukuan tidak terdapat masalah. Selanjutnya perlu ditinjau kembali ketentuan dalam UU yang memberi wewenang terlalu besar kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur tersendiri perlakuan PPh atas jenis-jenis penghasilan tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Anton
"Sebelum tanggal 1 Januari 2001 (Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996) atas imbalan jasa usaha konstruksi dikenakan PPh final dengan dasar pasal 4 ayat (2) UU PPh. Narnun, muiai 1 Januari 2001 pengenaan PPh atas jasa usaha konstruksi dikembalikan kepada dasar pengenaannya yakni dikenakan PPh berdasarkan ketentuan UU PPh. Walau usaha tersebut tidak sepenuhnya dapat terlaksana karena untuk keadaan tertentu masih dikenakan PPh final. Ketentuan yang mengatur dan mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 2001 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor I40 Tahun 2000.
Permasalahan yang diteliti adalah apakah ada perbedaan yang signifikan antara penerimaan pajak penghasilan jasa usaha konstruksi dengan menggunakan tarif final dan tarif tidak final (PP No. 140 tahun 2000).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara penerimaan pajak penghasilan dari usaha jasa konstruksi dengan menggunakan tarif final dan dengan menggunakan tarif tidak final (PP No. I40 tahun 2000).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dimana setiap data yang diperoleh (data penerimaan pajak) akan dianalisis. Penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan fakta atau kondisi populasi tertentu secara faktual dan cermat serta sistematis mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
Penulis dalam tesis ini menggunakan beberapa tinjauan pustaka yang menjadi dasar penulisan tesis. Tinjauan pustaka tersebut adalah: definisi dan fungsi pajak, kebijakan perpajakan, hukum pajak, administrasi perpajakan, tarif pajak, PPh final dan tidak final, asas-asas perpajakan, konsep penghasilan, pengurang penghasilan, penghasilan yang tidak boleh dikurangkan. Dalam tesis ini juga penulis menyajikan tinjauan pustaka mengenai jasa usaha konstruksi yang terdiri dari pengertian jasa konstruksi, proyek konstruksi, jenis-jenis proyek konstruksi, tahap pekerjaan serta manfaatnya, ketentuan perpajakan untuk jasa konstruksi sejak tax reform sampai saat ini, PPh atas jasa usaha konstruksi.
Hasil dari analisis adalah berdasarkan data yang diperoleh terdapat perbedaan yang signifikan penerimaan PPh dari jasa usaha konstruksi dengan menggunakan tarif final dan tidak final pada tahun 2001. Pada tahun 2001 total penerimaan PPh Final pasal 4 ayat (2) jasa konstruksi sebesar Rp. 401,78 (dalam milyar) sedangkan PPh jasa konstruksi sebesar Rp. 48,51 (dalam milyar). Total persentase PPh final pasal 4 ayat (2) jasa konstruksi terhadap penerimaan PPh sebesar 0.44% sedangkan persentase PPh jasa konstruksi terhadap penerimaan PPh sebesar 0.05%. Perbedaan yang cukup signifikan ini disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum pada PP No. 140 tahun 2000 sehingga pelaksanaan administrasi dan kewajiban perpajakan menjadi sulit.
Berdasarkan hasil analisis. penulis tnengambil kesimpulan PPh untuk jasa usaha konstruksi dikenakan tarif final. PPh final memang tidak mencerminkan asas keadilan tapi yang paling penting adalah bagaimana usaha pemerintah sebagai pembuat kebijakan menciptakan kepastian karena kepastian dapat menjamin tercapainya keadilan pajak. Penerapan PPh final sangat mudah, administrasinya sangat sederhana, memberikan kepastian hukum, serta dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak pengusaha konstruksi.
Banyak sekali penelitian mengenai tingkat kepatuhan yang berkesimpulan bahwa kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih sangat rendah. Penerapan PPh final untuk jasa usaha konstruksi juga bisa menghilangkan praktek penggelapan uang pajak baik yang dilakukan oleh wajib pajak maupun aparat pajak.
PPh final untuk jasa usaha konstruksi memang tidak sesuai dengan accrealion theory. Apabila teori ini dipaksakan untuk diimplementasikan, penerimaan PPh dari jasa usaha konstruksi akan mengalami penurunan yang sangat signifikan karena pengetahuan akuntansi dari pengusaha jasa konstruksi masih sangat rendah dan banyak biaya-biaya "siluman" yang terjadi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12294
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dasto Ledyanto
"Salah satu kemanfaatan utama dari transaksi kontrak berjangka komoditi adalah sebagai sarana lindung nilai dari kemungkinan kerugian investasi. Sarana lindung nilai seperti ini merupakan salah satu jenis transaksi derivative. Pada akhir dari transaksi ini (saat jatuh tempo atau terjadi cash settlement) nasabah (investor) akan dihadapkan pada dua hal yakni memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Apabila dikelola dengan baik, transaksi kontrak berjangka komoditi ini sangat potensial sebagai sarana lindung nilai dalam rangka memperoleh penghasilan dan mengurangi atau menekan kerugian. Dari sisi keberadaannya di Indonesia yang masih relatif baru, transaksi kontrak berjangka komoditi dapat menjadi suatu altematif investasi. Oleh karena itu, apabila hal ini digali lebih mendalam khususnya yang berkenaan dengan pengenaan PPh atas penghasilan dari transaksi kontrak berjangka komoditi, bukan tidak mungkin akan memberikan kontribusi yang besar pada penerimaan negara.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan transaksi kontrak berjangka komoditi dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik, sehingga dapat memberikan kontribusi pada peningkatan penerimaan negara. Pokok permasalahan tersebut apabila diperinci dalam bentuk kalimat-kalimat pertanyaan meliputi hal-hal sebagai berikut: (i) bagaimana konsep dan hakekat ekonomi dari transaksi kontrak berjangka komoditi?, (ii) bagaimana pendapat para ahli berkenaan dengan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi kontrak berjangka komoditi?, (iii) bagaimana perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari kontrak berjangka komoditi yang saat ini berlaku di Indonesia?, dan (iv) bagaimana pengaturan PPh yang seharusnya diterapkan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari kontrak berjangka komoditi di Indonesia ?.
Untuk membantu proses pengkajian dan pembahasan masalah tersebut dilakukan penelitian secara deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan terlebih dahulu semua informasi atau data yang diperoleh dari penelitian. Selanjutnya atas semua data tersebut dilakukan analisis yang dikaitkan dengan ketentuan PPh yang berlaku saat ini dan korelasinya dengan sistem pemajakan yang memenuhi persyaratan keadilan vertikal dan horizontal. Yang pada akhirnya dari analisis data tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan atau memberikan saran-saran. Sebagai pendukung analisis dilakukan penelitian lapangan melalui wawancara mendalam dengan pengambil keputusan dalam bidang perpajakan yakni pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, dengan penyelenggara bursa yakni pihak Bursa Berjangka Jakarta, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan pelaku bursa seperti pialang anggot'a bursa. Dalam transaksi kontrak berjangka komoditi digunakan mark to market basis dalam arti setiap hari dilakukan penghitungan berdasarkan settlement price untuk hari yang bersangkutan sehingga diketahui keuntungan atau kerugian nasabah. Meskipun demikian penghitungan keuntungan atau kerugian bersih dilakukan pada saat jatuh tempo atau terdapat cash settlement. Yang menjadi objek PPh adalah penghasilan (keuntungan) yang telah terealisasi. Namun, secara teoritis untuk pengakuan atas keuntungan atau kerugian ini menggunakan matching basis yakni apabila kerugian underlying jatuh dalam tahun buku yang berbeda dengan tahun buku diperolehnya keuntungan dari derivative yang dimaksudkan sebagai lindung nilai bagi underlying yang bersangkutan maka keuntungan derivative tersebut harus dibukukan dalam tahun buku yang sama dengan dideritanya kerugian underlying.
Berkenaan dengan penggunaan mark to market basis dalam kontrak berjangka pada dasamya tidak menjadi suatu masalah karena memang hal itu merupakan habitual practice dari transaksi tersebut. Sedangkan berkaitan dengan pengakuan ada tidaknya suatu penghasilan dari kontrak berjangka komoditi ini tetap mendasarkan pada realization principles. Oleh karena itu pengakuan adanya penghasilan atau kerugian pada kontrak berjangka komoditi dihitung setelah terselesaikannya suatu transaksi kontrak berjangka komoditi yakni pada saat jatuh tempo transaksi dan pada saat terjadi penyelesaian secara tunai (cash settlement). Maksud penghitungan dalam hal ini adalah penghitungan bersih setelah terlebih dahulu memperhitungkan keuntungan atau kerugian hariannya dari transaksi kontrak berjangka komoditi yang bersangkutan.
Pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang bagaimana pengenaan PPh yang seyogyanya diterapkan atas penghasilan dari kontrak berjangka komoditi yakni berpedoman pada 4 hal pokok. Mengingat sampai dengan saat ini Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang melingkupi tata laksana perpajakan belum merumuskan peraturan perpajakannya maka menurut hemat penulis 4 hal pokok tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan peraturan perpajakannya. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar segera dapat tercipta suatu kepastian hukum atas perlakuan perpajakan dari keuntungan atau kerugian transaksi kontrak berjangka komoditi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangoting, Yenni
"Penggunaan mata uang asing memang cukup rentan terhadap risiko fluktuasi nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga. Untuk melindungi aktiva atau pasiva yang rentan terhadap perubahan nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga, Wajib Pajak dapat menggunakan instrumen keuangan derivatif Swap. Melalui instrumen keuangan derivatif Swap, risiko kerugian akibat perubahan-perubahan tersebut dapat dihindari atau diperkecil. Bahkan dengan lindung nilai (hedging), Wajib Pajak dapat menciptakan keuntungan melalui pergeseran risiko. Oleh karena itu, perlindungan nilai melalui penggunaan istrumen derivatif, khususnya Swap, merupakan fenomena menarik untuk menentukan pengenaan pajaknya.
Wajib Pajak dapat menggunakan Swap jenis interest rate swap atau currency swap. Interest rate swap merupakan transaksi pertukaran bunga. Selisih lebih pertukaran bunga Swap yang diterima (cash flow in) merupakan obyek pajak. Sedangkan currency swap merupakan transaksi pertukaran mata uang dengan denominasi yang berbeda. Selisih antara kurs pada saat pertukaran (spot rate at exchange rate) dengan kurs pada saat kontrak Swap berakhir (spot rate at inception) merupakan obyek pajak.
Karakterisasi penghasilan merupakan permasalahan yang timbul dalam transaksi Swap. Terdapat kecenderungan bahwa fiskus mengklasifikasikan penghasilan dari transaksi Swap sebagai penghasilan bunga, padahal transaksi Swap bukan transaksi pinjam meminjam. Berhubung transaksi Swap, merupakan kontrak jangka panjang, permasalahan lain yang timbul adalah saat pengakuan kuntungan atau kerugian yang dihasilkan melalui._transaksi Swap untuk kepentingan pengenaan pajaknya.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis dan menggunakan data sekunder. Melalui penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa faktor penentu untuk mengklasifikasikan penghasilan dari transaksi Swap adalah karakteristik atau sifat (nature) Wajib Pajak dan tujuan dilakukannya transaksi Swap, apakah untuk tujuan lindung nilai (hedging) atau untuk trading. Sedangkan tujuan dilakukannya transaksi Swap merupakan faktor penentu dalam menentukan metode pengakuan keuntungan dan kerugian dari transaksi Swap. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tidak tersedianya ketentuan perpajakan yang rinci dan comprehensive yang mengatur tentang pengenaan pajak atas transaksi Swap. Beberapa ketentuan perpajakan yang sudah ada, sebaiknya dikaji kembali karena terdapat pertakuan Pajak Penghasilan atas transaksi Swap yang kurang tepat apakah dianaiisa dengan menggunakan teori-teori yang ada."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan
"Beberapa prinsip dasar yang terdapat pada perubahan kedua undang-undang perpajakan tahun 1984 (KUP dan PPh) antara lain, adalah ; (a) undang-undang pajak secara konsisten menganut prinsip self assessment. (b) perluasan basis pengenaan pajak dan penyederhanaan sistem pemungutan, yang selalu mencerminkan keadilan data kepastian hukum, (c) penyederhanaan sistem dan prosedur perpajakan sehingga memudahkan bagi Wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya. Dari beberapa prinsip dasar dimaksud, diantaranya tercermin pada Pasal 4 ayat (2) undang-undang PPh tahun 1994, yaitu perlakuan perpajakan atas penghasilan bunga deposito dan tabungan-tabungan lain nya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Penghasilan berupa taransaksi penjualan saham di bursa efek, diimplementasikan pada Peraturan pemerintah (PP) No. 41 tahun 1994, yang kemudian dirubah dengan PP. No. 14 tahun 1997. Yang menjadi masalah pokok adalah, bagaimana konsekuensi atas diberlakukannya PP. No. 14 tahun 1997 bila ditinjau dari asas-asas perpajakan, dan kesederhanaan administrasi pajak.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analisis yang meliputi analisis teoritis dan empiris dengan tehnik pengumpuhan data berupa studi kepustakaan dan peninjauan kelapangan, yaitu ke Bursa Efek Jakarta dan Kantor Petayanan Pajak terkait. Hasil penelitian menunjukan, bahwa pelaksanaan PP. No. 14 Tabun 1997, tidak mencerminkan aspek keadilan dan kepastian hukum dalam pemungutan pajak, walaupun telah memberikan kesederhanaan administrasi pajak baik bagi Kantor Pajak, maupun bagi wajib Pajak. Disarankan agar Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh tahun 1994 dicabut, karena PP. no. 14 tahun 1997 adalah merupakan aturan pelaksanaan'ketentuan tersebut, dan pengenaan pajak atas transaksi penjualan saham di bursa efek dikembalikan kepada mekanisme pemungutan yang sekarang ini berlaku, misalnya dengan melakukan pembayaran pendahuluan, atau dihitung penghasilan netonya dengan menggunakan % tage berdasarkan jenis, dan kegiatan usahanya, yang dalam penyusunannya melibatkan asosiasi pengusaha. Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya tidak mengatur tentang tarif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Mansury
Tangerang: YP4, 1999
336.24 MAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Riskon
"Teknologi informasi dan komunikasi saat ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Internet merupakan hasil dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan pengiriman data informasi dilakukan dengan lebih cepat dan elisien. E-commerce merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut. E-commerce merupakan suatu transaksi perdagangan yang mempunyai kesamaan dengan transaksi konvensional. hanya media yang digunakan untuk transaksi tersebut berbeda. Penghasilan atas transaksi E-commerce merupakan penghasilan usaha seperti penghasilan atas transaksi konvensional. Karakterisasi penghasilan atas E-commerce merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menentukan sistem dan prosedur pemajakan serta hak pemajakan atas penghasilan tersebut. Penghasilan atas E-commerce dapat dikategorikan kedalam empat kategori yaitu penghasilan atas penjualan barang, penghasilan Royalti, penghasilan Jasa dan penghasilan Sewa. Sistem dan prosedur pemajakan atas masing-masing jenis penghasilan berbeda satu dengan lainnya. Pemajakan atas penghasilan Royalti dan jasa dan Sewa dipotong secara Withholding. Sedangkan penghasilan atas penjualan barang tidak dipotong secara withholding. Untuk penghasilan atas Royalti, Jasa serta Sewa Negara sumber mempunyai hak untuk memajaki, sedangkan atas penghasilan dari penjualan barang Negara sumber tidak mempunyai hak, kecuali ada Bentuk Usaha Tetap.
Penelitian ini menggunakan nnetodologi dengan pendekatan deskriptif analisis dan meng gunakan data sekunder. Melalui penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa faktor penentu untuk mengkategorikan penghasilan atas E-commerce dapat dilihat dari ciri-ciri transaksi yang dilakukan. Ciri-ciri dari suatu transaksi yang dikategorikan sebagai penjualan barang Royalti. Pemberian Jasa dan Sewa berbeda satu sama lain. Dengan mengetahui ciri-ciri dari suatu transaksi maka penghasilan atas transaksi tersebut dapat dikategorikan. Pemajakan penghasilan atas transaksi E-commerce di dalam negeri masih menggunakan peraturan yang ada seperti pemajakan atas laba usaha, penghasilan Royalti, penghasilan Jasa dan penghasilan sewa. Untuk Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan sesuai dengan peraturan domestik dan peraturan Tax Treaty yang telah dibuat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T12220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>