Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221753 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Kunto Hirsilo
"Dalam konteks perekonomian, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat dikatakan sebagai penyediaan barang dan jasa sosial (barang publik). Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut tidak mungkin disediakan melalui mekanisme pasar, karena sifat konsumsinya non-rivalry dan non excludable. Di Indonesia, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah melalui Departemen Kehutanan khususnya Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS). Semua kegiatan Ditjen RLPS tersebut membutuhkan pembiayaan melalui suatu penganggaran, terlebih lagi Ditjen RLPS harus mengalokasikan anggaran dimaksud kepada Unit Pelaksana Teknis-nya (UPT) yaitu 31 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) yang tersebar di seluruh provinsi.
Pengalokasian anggaran tersebut diharapkan berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut mencerminkan efisiensi dan efektivitas. Dalam penentuan alokasi anggaran pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di tiap Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen RLPS oleh pusat, belum diketahui efisiensinya (balk efisiensi secara finansial maupun ekonomi).
Dengan dilatarbelakangi hal-hal tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan :
1) Mengetahui berapa tingkat anggaran yang efisien untuk tiap BPDAS berdasarkan multi output dan inputnya.
2) Untuk mengetahui kemajuan kinerja kegiatan penganggaran pada 31 Balai Pengelolaan DAS pada kurun waktu tahun 2002 - 2004. Apakah terjadi perbaikan efisiensi seteiah diterapkan sistem penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting) mulai tahun 2003 atau tidak.
Sedang hipotesis yang akan diuji :
1) Alokasi anggaran pada 31 Balai Pengelolaan DAS belum efisien
2) Efisiensi Alokasi anggaran kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada Balai Pengelolaan DAS dalam kurun waktu dari tahun 2002 s/d 2004 terus meningkat
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif, meliputi :
1. Analisis efisiensi alokasi anggaran berdasarkan metode Data Envelopment Analysis (DEA).
2. Analisis statistika parametrik Uji Beda Rata - Rata efisiensi alokasi anggaran antara tahun 2002 - 2004.
3. Analisis finansial melalui kriteria NPV, B/C ratio dan IRR.
Melalui perhitungan dengan metode pengalokasian anggaran dengan mempertimbangkan Multi-Input / Output menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA), didapatkan alokasi anggaran yang efisien pada tiap BPDAS. Dengan menggunakan Model DEA-I (Satu Input : Anggaran dan Multi Output) didapatkan bahwa rata-rata alokasi anggaran untuk tiap BPDAS belum efisien, dimana rata-rata efisiensi adalah : tahun 2002 (58,85%), tahun 2003 (63,26%) dan tahun 2004 (66,39%). Sedang dengan menggunakan Model DEA-II (Dua Input : Anggaran dan Jumlah Pegawai, Multi Output) terlihat juga bahwa rata-rata alokasi anggaran untuk tiap BPDAS belum efisien, dimana rata-rata efisiensi (rasio alokasi anggaran yang diberikan dengan alokasi anggaran yang efisien) adalah : tahun 2002 (60,94%), tahun 2003 (65,01%) dan tahun 2004 (67,75%).
Berdasarkan uji beda rata-rata baik pada model DEA-I maupun DEA-II, menunjukkan bahwa efisiensi alokasi anggaran untuk tiap BPDAS dari tahun 2002 ke 2003 tidak berbeda nyata (belum meningkat). Begitu juga jika dibandingkan antara tahun 2004 dengan 2002. Hal ini juga dapat dijadikan indikasi bahwa penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting) pada tahun 2003 masih bersifat masa transisi (masa pembelajaran sistem barn) sehingga hasilnya belum terlihat merubah efisiensi. Namun demikian secara absolut terlihat bahwa nilai rata-rata efisiensi alokasi anggaran tetap meningkat dari tahun 2002 ke tahun 2003 dan tahun 2004.
Untuk mengalokasikan anggaran lebih efisien kepada 31 Balai Pengelolaan DAS dengan metode DEA, seharusnya cukup dengan memperhitungan output-output atau kegiatan yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan oleh seluruh Balai Pengelolaan DAS. Dengan adanya jenis output / kegiatan tambahan yang bisa jadi bukan prioritas program (usulan kegiatan yang hanya bersifat untuk mendapatkan anggaran sebesar-besarnya) menyebabkan efisiensi alokasi anggaran menjadi lebih kecil.
Berdasarkan pengalokasian anggaran melalui Metode DEA dengan hanya mempertimbangkan output / kegiatan prioritas, ternyata adanya ketidakefisienan dalam anggaran yang diberikan selama ini. Sebenarnya dapat dihemat anggaran sebagai berikut : tahun 2002 sebesar Rp 15,314,261.35 (24,80 1), tahun 2003 sebesar Rp 8,710,401.81 (13,57 %) dan tahun 2004 sebesar Rp 9,089,498.00 (11,58 Io).
Mengingat ukuran efisiensi alokasi anggaran yang didapatkan melalui metode DEA lebih bersifat relatif bukan absolut (hal ini yang menunjukkan dari kelemahan metode DEA), untuk itu perlu juga dinilai secara finansial bagaimana pemanfaatan input sumber daya (anggaran) yang dialokasikan. Ternyata suatu Balai Pengelolaan DAS dengan nilai efisiensi alokasi anggaran yang lebih tinggi, belum tentu pasti mempunyai efisiensi secara ekonomi juga lebih besar dibanding dengan Balai Pengelolaan DAS dengan nilai efisiensi alokasi anggaran yang lebih kecil."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T19406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Pengelolaan konservasi sumberdaya air di Indonesia pada saat ini menghadapi tantangan yang semakin berat dan kompleks. Dalam rangaka menjaga ketersediaan air diperlukan usaha-usaha pengelolaan konservasi sumberdaya air yang berkesinambungan dan berkelanjutan ( lestari).... "
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gusta Gunawan
"Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model optimasi untuk alokasi lahan DAS optimal dalam aspeks debit banjir, debit andalan, erosi, produktivitas, pendapatan dan ketenagakerjaan. Model optimasi dikembangkan menggunakan goal programming yang terintegrasi dengan proses hirarki analisis (AHP) dan sistem informasi geografis (GIS). Fungsi tujuan ditetapkan untuk meminimalkan penyimpangan atau deviasi dari tujuan pengelolaan DAS yaitu: pengendalian banjir dalam periode ulang seratus tahun, debit untuk memenuhi permintaan domestik, perkotaan, industri dan irigasi untuk tiga puluh tahun yang akan datang, tingkat erosi dengan harkat tingkat bahaya erosi sedang, produktivitas pertanian berdasarkan evaluasi lahan kelas agak sesuai (S-2), pendapatan petani sesuai dengan upah minimum regional dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk pekerja pertanian potensial yang ada di DAS. Prioritas pada fungsi tujuan ditentukan dengan teknik pembobotan menggunakan proses hirarki analitik. Variabel keputusan adalah hutan (X1), perkebunan (X2), lading/tegalan (X3), kebun campuran (X4), sawah (X5), semak (X6) dan permukiman (X7). Beberapa fungsi kendala tujuan terorganisir menjadi beberapa sub-model. Beberapa sub model tersebut ditentukan dengan menggunakan GIS seperti erosi, dan debit. Kendala fungsional adalah alokasi lahan untuk variabel keputusan tidak boleh melebihi lahan yang tersedia di DAS. Hasil uji model di DAS Manjunto, Provinsi Bengkulu-Indonesia, menunjukkan bahwa model optimasi yang dikembangkan berhasil menentukan alokasi lahan optimal dalam skala DAS ditinjau dari aspek debit banjir periode ulang 100 tahun, debit andalan untuk rumah tangga, industry, perkotaan (RIK) dan irigasi, erosi, produktivitas, pendapatan dan ketenagakerjaan. Namun beberapa kelemahan dari model ini seperti akurasi yang masih rendah perlu disempurnakan dalam penelitian lebih lanjut.

This study aims to develop an optimization model for land allocation in terms of discharge, erosion, productivity, income and employment aspects. The optimization model was developed using goal programming integrated with analytic hierarchy process and geographic information system. Objective function was set to minimize the deviation of goals watershed management namely : flood controlling in one hundred year time period, discharge to fulfill the demand domestic, urban, industry and irrigation, erosion rate within medium range, agriculture productivity within medium level, income in compliance with the minimum standard and create jobs to potensial agriculture employment. Priority of objective function was determined by weight method using analytic hierarchy process. Decision variables are forest (X1), plantation (X2), dry land fields (X3), mixed farms (X4), rice fields (X5), shrub (X6) and settlements (X7). Some goal constraint functions organized into several sub-models. Some of sub models determined using GIS such as erosion, and discharge. Functional constraints are the land allocations for them should not exceed the available land on watershed area. The test results in Manjuto watershed on Bengkulu Province showed that the developed optimization model has been successfully determined the optimal allocation of land in a watershed in terms of discharge, erosion, productivity, income and employment aspects. However, low accuration of this model needs to be refined in further research."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
D1402
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yahya Rasyid
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
TA3624
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Saffanah Fitia Putri
"Konsep desentralisasi di Indonesia tidak hanya sekedar menyerahkan kewenangan dan kekuasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal tersebut perlu diikuti dengan penyerahan aspek finansial, yang disebut sebagai perimbangan keuangan pusat dan daerah. Salah satu jenis dana perimbangan yang di transfer dari pusat kepada daerah adalah dana bagi hasil (DBH). DBH secara konsep merupakan transfer untuk daerah dengan persentase tertentu yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan. Salah satunya adanya DBH Dana Reboisasi (DBH DR) yang berfokus pada urusan sektor kehutanan dalam level pemerintah daerah. Adapun konsep DR di Indonesia pada awalnya berangkat dari Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi yang menyebutkan bahwa DR hanya dapat digunakan untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sehingga pemerintah daerah kesulitan dalam menggunakan DR tersebut yang peruntukkannya terlalu spesifik. Hal tersebut berakibat pada banyaknya DR yang mengendap dalam kas daerah dan tidak terserap dengan baik. Berkaitan dengan masalah tersebut, pemerintah pusat menginisiasikan adanya perubahan alokasi melalui perluasan penggunaan DBH DR, yang dimana DR tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan dengan ketentuan sesuai pada tujuan utama dana perimbangan tersebut yakni, kegiatan reboisasi dan RHL. Pengaruh dari pengalihan urusan kehutanan kepada pemerintah provinsi dari pemerintah kabupaten/kota juga mempengaruhi pengalihan kewenangan fiskal untuk DBH DR menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Landasan hukum tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi munculnya kebijakan perluasan penggunaan DBH DR, mengingat bahwa DR di pemerintah kabupaten/kota belum dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, diharapkan perluasan penggunaan DBH DR dapat menjadi pemicu pemerintah daerah untuk meningkatkan penggunaan atau penyerapan DBH DR dalam rangka melaksanakan kegiatan RHL.


Decentralization concept in Indonesia is not just giving authority from central to local government. It needs to be followed with financial authority or fiscal decentralization. There are many types of fiscal decentralization, one of them is revenue sharing. By definition, revenue sharing is a budget with specific presentation that local government can be use to execute government activities. There is one of revenue sharing types called forest revenue sharing or DBH DR in local government. DR in Indonesia is reffering to reforestation and forest and land rehabilitation activity based on Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 about Dana Reboisasi. That regulation is forming an issue about DR absorption in local government is not proper. Responding to that issue, central government is giving an effort for expansion of usage by changing the allocation for DBH DR, so local government can use the budget for many program that still refers to reforestation and forest and land rehabilitation activity. Forest authority transfer from district to province, is also giving an impact for DBH DR as it state on Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 about Pemerintahan Daerah. Therefore, the expansion of usage is triggering the local government for using or elevated the DR absorption to support reforestation and forest and land rehabilitation activity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Menteri Negara Lingkungan Hidup , 1998
634.9 LAP
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>