Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111381 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erniyawati
"Penelitian merupakan studi kebijakan yang bertujuan untuk: 1) mengetahui tingkat kepentingan stakeholders; 2) mengetahui kendala atau hambatan yang dihadapi; dan 3) membuat rancangan rencana strategis terhadap pengelolaan sumberdaya air guna meningkatkan kualitas air baku khususnya pelaksanaan Prokasih di DKI Jakarta pada Sungai Ciliwung.
Penelitian ini menggunakan Metode Quasi. Analisis deskriptif sebagai langkah awal untuk mengevaluasi pelaksanaan Prokasih, sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threats). Kemudian dilakukan Proses Hirarki Analitik (PHA) guna merancang rencana strategis untuk pelaksanaan Prokasih selanjutnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kendala-kendala yang menghambat pelaksanaan Prokasih ini adalah keterbatasan dana; kurangnya sosialisasi yang lebih intensif dan tepat sasaran dalam pelaksanaan Prokasih menjadi polemik tersendiri; faktor yang paling berpengaruh adalah sumberdaya manusia, terutama dalam hal kualitas, pelaksanaan Prokasih dan penyebarluasannya sangat tergantung pada sikap dan perilaku masyarakat sasaran program. Selain itu, komitmen dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan Prokasih ini menjadi faktor penentu keberhasilan program dan penerapan sanksi yang lemah dan pemberian reward yang tidak nyata juga merupakan kendala yang perlu diatasi.
Untuk mengatasi berbagai kendala dasar tersebut, diusulkan berbagai kebijakan yang dapat dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan Prokasih yang berkelanjutan. Berdasarkan PHA yang dilakukan dalam penelitian ini, maka hirarki kebijakan sebagai berikut: Sosialisasi (0,215); Peningkatan SDM (0,193); Menerapkan sanksi & reward (0,186); Monitoring bersama (0,161); Intensifikasi program-program lain (0,130); dan Pemberian akses air bersih (minum) untuk masyarakat setempat (0,115).

The research is policy study which aim for: 1) knowing the level of interested of stakeholders; 2) knowing the constraint or resistance faced during the time on implementation; and 3) making strategic plan for the water resource management to increase the standard water quality, specially the implementation of Prokasih at the River of Ciliwung, DKI Jakarta.
This research used the Quasi Experiment Method. Descriptive analysis as early step to evaluate the implementation of Prokasih, followed by data analysis conducted by using approach the SWOT Analyse (Strength, Weakness, Opportunity, and Threats). Analytic Hierarchy Process (AHP) was utilized to design the strategic plan for the implementation of Prokasih hereinafter.
This study concluded that problems pursuing this implementation of Prokaÿÿh were fund limitationÿÿÿÿck of more intensive socialization became the separate polemic. The most influenced factor was human resources, especially in the case of quality. And the implementation of Prokasih and its dissemination were very depended on attitude and behavior of target society program. Commitment from interested parties (stakeholders) for Prokasih became the biggest determinant factor, also the weak of sanction applied and unrealized reward.
To overcome various the elementary constraint, proposed by various policy which can be developed to support the sustainable of implementation of Prokasih. Based on AHP performed in this research, hence the following policy hierarchy: Socialization (0.215); Improvement Human Resources (0.193); Applying Sanction & Reward (0.186); Monitoring with (0.161); Other Programs Intensification (0.130); and Gifting access the clean water (drinking water) for the local resident (0.115).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T20211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizali Karliansyah
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sampai seberapa jauh pengaruh kualitas air sungai yang buruk mempengaruhi kualitas air sumur penduduk, sehubungan dengan masih banyaknya penduduk di RW 04 Kelurahan Manggarai yang menjadikan air sungai sebagai tempat membuang hajat dan menggunakan air sumur pampa sebagai air baku air minum.
Masalah pokok yang diteliti adalah (a) berapa besar kandungan Escherichia coil di dalam air sumur-sumur pompa tangan penduduk pada jarak dari tepi sungai, kedalaman, dan pemakaian air yang berbeda-beda; (b) korelasi antara nilai Most Probable Number (MPN)" koli tinja dengan parameter fisika-kimia, sehingga dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1) Makin banyak pemakaian air sumur, makin besar kemungkinan terkontaminasi koli tinja.
2) Makin dalam sumur pompa penduduk, makin kecil kemungkinan terkontaminasi oleh bakteri koli tinja.
Penelitian ini dilaksanakan dengan cara mengambil sampel-sampel air sumur secara sensus dan air sungai secara acak, masing-masing 3 kali ulangan selama 3 hari berturut-turut di awal musim kemarau. Di samping itu diambil pula data kuesioner, wawancara, dan observasi langsung sebagai data penunjang.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan cara analisis statistik menggunakan korelasi jenjang Spearman terhadap nilai MPN koli tinja dan parameter fisika-kimia.
Hasil penelltian menunjukkan bahwa 9 dari 14 sumur pompa tangan yang diteliti telah tercemar oleh bakteri koli tinja, di mana faktor jarak dan kedalaman berpengaruh terhadap nilai MPN koli tinja. Sedangkan besarnya pemakaian air tidak berpengaruh terhadap nilai MPN koli tinja. Di samping itu sanitasi lingkungan yang buruk dan tingkah laku masyarakat yang kurang saniter turut membantu pencemaran koli tinja ke air sumur-sumur pompa.
Salah satu dampak pencemaran sumber air oleh E. coli di wilayah ini adalah tingginya angka penderita penyakit diare dan angka kematian bayi. Di samping itu kandungan E. coil yang tinggi juga merupakan beban yang berat bagi pihak Proyek Air Minum (PAM) DKI Jakarta dalam proses pengolahan air baku air minum.
Diharapkan penurapan dan pemindahan lokasi pemukiman penduduk RW 04 (RT 006 sld RT 0017) ke lokasi pemukiman baru dapat menjadi prioritas pembangunan di Kecamatan Tebet. Hal ini mengingat kondisi kualitas air yang sangat buruk di samping lokasi tersebut (bantaran sungai) memang tidak layak sebagai kawasan pemukiman. Di dalam Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) Kecamatan Tebet tahun 2005, kawasan tersebut telah diperuntukan sebagai kawasan hljau tanpa bangunan.

ABSTRACT
The aim of this research is to know how deep the bad river water quality influences the well-water-pump quality in relation to the fact that people at RW 04 Manggarai Village use the river as a defecation place and the well-water-pump as the source of drinking water.
Research points of view are (a) how many Escherichia coli present in the well-water-pump in different distances from the river edge, in different depth of the well, and in different quantity of water usage; (b) the correlation between MPH fecal coil and physic-chemist parameters.
Therefore, the formulations of hypothesis are: (l) the more well-water-pump usage, the bigger the potentiality of fecal col. contamination. (2) The deeper the well water pump, the lesser the potentiality of fecal coli contamination.
This research was implemented by taking the well-water-pump samples with census sampling method and the river water samples with random sampling method, each sample 3 times a day for 3 consecutive days in the early dry season. Questioners, interviews, and direct field observation were also taken as supporting data.
Statistical analysis of the hypothesis was performed with Spearman rank correlation to the value of MPN fecal cola and physic-chemist parameters.
The result of this research indicates that 9 from the 14 well-water-pump tested were polluted by fecal coil bacteria, with distance and depth factors influencing the value of MPN fecal coll. Whereas the quantity of well water pump usage did not influence the value of MPN fecal coli. In addition, bad environmental sanitation and less sanitary-conscience human behavior also supported the fecal coil contamination to the well water pump.
Among the impacts of water-source pollution by E. coli in this area were the high diarrhea sufferer and infant mortality rate. The high E. coil content in the water source also represent the heavy burden of the drinking water processing at Jakarta Municipal Water Treatment Plant (PAM DKI Jakarta).
We hope that the plastering of river edges and the transfer of residents of RW 04 (RT 006 to RT 0017) to the new residence location would be the development priority of Tebet Sub district, considering the bad water quality and improper residence location. In the Regional City Division Plan (RBWK) of Tebet Sub district 2005, this area would be a green-open space.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriadi
"ABSTRAK
Perkembangan pembangunan di Jakarta cenderung mengubah tanah menjadi kedap air. Daerah yang sebelumnya merupakan media yang bisa dirembesi air diubah menjadi daerah yang ditutupi berbagai jenis bangunan seperti permukiman, pertokoan, jalan, dll. Sementara itu kebutuhan akan air bersih yang berasal dari air tanah cukup tinggi, yaitu menurut Transoto (1988) 78 %, sedang dari hasil penelitian ini di lapangan adalah 94,7 %. Kebutuhan air bersih yang berasal dari air tanah diperkirakan akan semakin meningkat, karena tingkat pertambahan penduduk yang cukup tinggi (3,0%/tahun), dan meningkatnya jumlah pertokoan, perkantoran serta industri, sementara kemampuan Perusahaan Air Minum (PAM) DKI masih sangat terbatas untuk memasok air bersih.
Sebagai akibat dari kekedapan permukaan tanah terhadap air di DKI maka timbul berbagai masalah lingkungan seperti kekeringan pada musim kemarau, (karena persediaan air tanah kurang) dan intrusi air laut.
Permasalahan di atas erat kaitannya dengan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya air hujan, yang pada akhirnya mempengaruhi pengelolaan air hujan yang di terapkan mereka selama ini. Untuk meliput persepsi masyarakat terhadap air hujan serta tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pemerintah dalam hubungannya dengan IMB, terutama Koefisien Dasar Bangunan dan ruang terbuka, maka dalam penelitian ini dicoba untuk meneliti seluruh wilayah DKI Jakarta yang dibagi ke dalam 4 zone.
Pembagian zone didasarkan pada perbedaan topografi, dan sifat air tanah. Pada masing-masing zone diambil tiga tempat yang diharapkan dapat menggambarkan zone secara keseluruhan. Sedangkan untuk kelurahan contoh dipilih daerah yang terdapat dibagian tersebut, karena diasumsikan bahwa pada daerah yang terpadat kebutuhan akan air tanah adalah sangat tinggi, dan daerah yang tertutup oleh bangunan atau kedap air lebih luas.
Menurut hasil penelitian ini, di zone 2 rasa air tanahnya sekarang adalah payau, sedangkan pada tahun 1979 (Sandy, 1979) rasa airnya masih tawar. Dengan demikian intrusi air laut telah meluas sampai ke zone 2 dalam selang waktu 9 tahun terakhir.
Dalam hubungan dengan pengelolaan air hujan yang diterapkan masyarakat ataupun perkantoran, ternyata masyarakat lebih banyak yang membuang air ke selokan atau sungai, tanpa usaha untuk mengembalikannya ke dalam tanah. Hanya sebagian kecil yang mengalirkan air hujan ke dalam kolam atau bak resapan. Ada juga yang membiarkan air hujan itu jatuh dari atap ke halaman, tetapi hal ini bukan untuk mengupayakan air hujan masuk ke dalam tanah. Nampaknya masyarakat selama ini masih menganggap bahwa air hujan merupakan limbah yang secepat mungkin harus dibuang atau dialirkan ke sungai, bukan sebagai suatu sumberdaya yang harus diselamatkan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan air hujan hanya sebagian kecil saja masyarakat yang menggunakan air hujan untuk berbagai keperluan, sedang yang terbanyak mempergunakan air hujan tersebut adalah masyarakat di zone pantai atau zone 1.
Sebagian rumah yang dibangun developer telah menerapkan pengelolaan air hujan dengan cara mengalirkan hujan dan atap lewat rantai ke bak resapan. Bak resapan tersebut terletak di sudut teras, akan tetapi bak ini terbuka dan volumenya juga kecil. Tetapi oleh sementara pemilik rumah tersebut, sistem yang begini telah diubah dengan mengalirkan air dari atap ke selokan, berarti kualitas pengelolaannya menjadi turun. Dalam hubungannya dengan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pemerintah, terlihat bahwa mayoritas masyarakat memiliki KDB (koefisien Dasar Bangunan) di atas 41 % baik di zone 1, 2, 3 dan maupun di zone 4. Sedangkan dalam peraturan pemerintah KDB diharuskan 40 %. Di samping itu khusus untuk bagian selatan Jakarta pemerintah DKI telah menetapkan bahwa pada setiap kapling harus ada ruang terbuka sebesar 85 % agar air berkesempatan meresap ke dalam tanah lebih banyak. Ternyata dari hasil penelitian ini, umumnya (96 %) masarakat memiliki ruang terbuka di bawah 69 %, bahkan 25 % dan diantaranya hanya 0-17 % saja yang mempunyai ruang terbuka.
Dari analisis regresi dan korelasi antara tingkat pendidikan dengan pengelolaan air hujan di zone pantai atau zone 1 ternyata bahwa orang yang berpendidikan lebih tinggi menggunakan sistem pengelolaan air hujan yang lebih baik dari orang yang berpendidikan lebih rendah, akan tetapi hubungannya adalah nyata. Sedangkan masyarakat yang bermukim di zone 2 dan 3 ternyata orang yang berpendidikan lebih tinggi menerapkan sistem pengelolaan air hujan yang lebih jelek dari pada orang yang berpendidikan lebih rendah. Khusus bagi masyarakat yang bermukim di zone 4, sistem pengelolaan air hujan yang diterapkan oleh orang yang berpendidikan lebih tinggi hampir tidak ada bedanya dengan sistem pengelolaan air hujan yang diterapkan oleh orang yang berpendidikan lebih rendah.
Hubungan antara tingkat pendidikan dengan penggunaan air hujan oleh masyarakat di zone 1 (pantai) ternyata orang yang berpendidikan lebih rendah lebih banyak menggunakan air hujan dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi, tetapi hubungannya tak nyata. Di zone 2 dan 3 juga orang yang berpendidikan lebih rendah lebih banyak menggunakan air hujan dari pada orang yang berpendidikan lebih tinggi, dan hubungannya adalah nyata. Akan tetapi di zone 4 temyata orang yang berpendidikan lebih tinggi lebih banyak menggunakan air hujan dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih rendah, dan hubungannya nyata.

ABSTRACT
The development of Jakarta tends to alter land to become impermeable areas which are functioning among others to absorb rainwater, have been changed into buildings, settlements, business centers, roads, etc. In the meantime, the capability of public water supply of Jakarta is limited. Only less then 40 % of 7.5 million populations is supplied with tap water. In the study area there are kampungs that only have 33.8 % tap water supplies. Therefore, the need for clean water is substituted mostly by using river water and pumping the groundwater. It was assumed that the exploitation of groundwater will increase proportionally with the population growth rate of 3.0 % per year.
This has become even more serious due to the lack of appropriate management of rainwater by the community. The prospect of rainwater as a resource is neglected, and rainwater is even regarded as a problem.
The rapid growths of buildings are also made worse due to the fact that most people do not follow the regulation concerning license to build. They neglect the limit of the allowable building base coefficient. The allowable building basic coefficient is 15 %, while the fact shows that in the study area the coefficient is increasing to 41 %. These conditions gave rise to a lot of environmental problems, such as drought, intrusion of seawater, particularly into densely populated areas where high-rise buildings were built.
With the population of 7.5 million people and the water consumption of 200 liter per day per person, there is a daily need for clean water of 15 million cu.m. While the whole Jakarta area (approximately 560.sq. km with its 2,000 mm annual rainfall) may have a daily supply of rain-water of 32 million cu.m. If during the rainy season (with is 6-7 months annually) 50 % of the rainwater can be met. Therefore, there is an urgency to develop rainwater conservation campaign.
The conservation of rainwater will serve as a resource, reducing the use of groundwater or dirty river water.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Yani
"Air adalah satu diantara kebutuhan hidup yang paling penting, Manusia bisa bertahan hidup 2 - 3 minggu tanpa makan, tapi hanya 2 - 3 hari tanpa minum manusia bisa mati. Secara global kuantitas sumberdaya air di bumi relatif tetap, sedangkan kualitasnya makin hari makin menurun.Sebagai contoh , di DKI Jakarta pada tahun 2003 lalu, dari 43 kecamatan yang ada, ll kecamatan dinyatakan mulai mengalami krisis air bersih. Kapasitas produksi air bersih DKl Jakarta paling banyak hanya mampu melayani empat puluh persen penduduk .Apabila dimasukan kebutuhan air bersih bagi hotel, perkantoran, industri, rumah sakit, pertamanan, rumah-rumah ibadat dan sebagainya, maka ancaman akan defisit air betul - betul meresahkan, sehingga akan mengganggu stabilitas ketahanan daerah.
Tujuan dalam penelitian ini meliputi : (I). Menentukan jumlah penduduk dan kebutuhan air bersih untuk lima tahun kedepan serta mengukur besarnya pengaruh faktor jumlah penduduk dan produksi air bersih terhadap pemenuhan kebutuhan air bersih , (2). Mengetahui faktor-factor yang menyebabkan semakin terbatasnya kemampuan alam dalam memenuhi ketersediaan air bersih, dan (3). Mengajukan strategi pemecahan untuk mengatasi kelangkaan air bersih dan terbatasnya kemampuan alam guna memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan agar ketahanan daerah provinsi DKI Jakarta tetap stabil.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptitl regresi dan model AHP. Metode deskriptif bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual yang melukiskan gejala-gejala yang ada secara rinci. Metode regresi ( SPSS ) digunakan untuk menentukan proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan air bersih lima tahun kedepan, serta mengukur besarnya pengaruh faktor jumlah penduduk dan peroduksi air bersih dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Model AHP digunakan untuk menentukan skala prioritas dari hasil kuisioner dan diolah dengan program Expert Choice.
Hasil penelitian : (1) Jumlah penduduk DKI Jakarta untuk lima tahun kedepan hampir mencapai sebelas juta jiwa dan kebutuhan air bersih diperkirakan mencapai empat ratus sembilan puluh dua juta meter kubik pertahun. Kebutuhan air bersih untuk lima tahun kedepan masih dapat terpenuhi sebcsar enam puluh satu persen. Faktorjumlah penduduk dan produksi air bersih berpengaruh sangat signifikan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih dengan koefisien determinasi mencapai hampir sembilan puluh empat persen. (2). Faktor penyebab semakin terbatasnya kemampuan alam dalam memenuhi ketersediaan air bersih adalah kualitas air menurun akibat pembuangan berbagai limbah ke sumber air, iahan untuk resapan air berkurang, meningkatnya bencana banjir , penggunaan air tanah yang semakin meningkat,dan melebihi kemampuan pengisian kembali air tanah. (3). Strategi yang pertama efiseiensi pemakaian air bersih, strategi kedua menambah jumlah PAM Daerah, strategi ketiga mempermudah ijin pendirian PAM Swasta, strategi keempat pasok air bersih dari luar Jakarta, strategi kelima penerapan teknologi penyulingan air laut.
Bila pengelolaan sumberdaya air yang bijaksana dan pemakaian air bersih yang tepat guna maka akan memperoleh manfaat ekonomis, ekologis, dan sosial- budaya yang saling berkaitan satu sama lain, secara simultan akan mendukung peningkatan ketahanan daerah provinsi DKI Jakarta.

Water is one of most important basic substance needs, human can survive
without food within two to three weeks, but without drink can survive to live just two to three days, it is inevitably can die. It is relative remain stable of water resource in the earth globally, while the quality is getting more decrease. For example, in Capital City Special Region of Jakarta in 2003 ago, of 43 the existing subdistricts, 11 of them are stated begin to go through freshwater crisis. Freshwater production capacity of Jakarta Special Region at least it only will able to serve forty percent of population. If freshwater need distributed to hotel, offices, industries, hospitals, parks, worship houses and so forth, therefore threaten toward the deficit of water simply give rise to be restlessness, so that it will disturb stability of regions endurance.
The purpose of the research consists of : (1). Decide the number of population and freshwater need for tive years onward as well as measure magnitude of effect of total of population factor and freshwater production for supplying freshwater need, (2). Interpreting factors generating progressively limited nature capacity in fulfilling freshwater availability, and (3) to propose solution strategy to cope with scarcity of freshwater and a limited nature capacity for minimizing negative impact emerging for endurance of Capital City of Jakarta Special Region is remain stable.
This research use descriptive method, regression and AHP model. Descriptive method is aimed to gather actual information representing the detailed existing tendencies. Regression method (SPSS) is used to determine projection of the total population and freshwater need onward, and also measure the magnitude of effect of the amount of population factor and reproduction of freshwater in supplying freshwater need. AHP model is used to determine scores (priority scale) from questionnaires result and adapted and processed with Expert Choice program.
The result of research: (1) The amount of population of Jakarta for five years onward almost to reach eleven million people and freshwater need estimated run into four hundreds ninety two cubic meter per year. Freshwater need for five years onward can be still fulfilled of sixty one percent. Total population factor and freshwater production has most significant role on supply offreshwater need with determination coefficient reach nearly of ninety four percent. (2). Cause factor is progressively the limited of nature capacity in supplying freshwater availability is water quality decrease due to wastewater to the source of water, pervasiveness water area is reduce, flood disaster is more increasing, the use of ground water is getting more increase, and exceeding capacity if ground water refilling. (3) The first strategy is the use of freshwater is efficient, the second strategy is to increase total of District PAM, the third strategy is facilitating the establishment permission of Private PAM, the fourth strategy freshwater supply from out of Jakarta, the fifth strategy is sea water refining technology application.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17968
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuni Ngafifah
"Penelitian ini membahas bagaimana privatisasi air mempengaruhi kualitas pelayanan dan ketidakadilan dalam akses dan distribusi air. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan cara membagikan kuesioner. Pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam. Privatisasi air diterapkan karena PAM Jaya dianggap tidak memiliki kemampuan teknis dan keuangan untuk meningkatkan kualitas pelayanan air di Jakarta. Berdasarkan konsep privatisasi dan kualitas pelayanan publik, penelitian ini menemukan bahwa pasca privatisasi air telah terjadi perbedaan pelayanan, ketidakadilan akses dan distribusi air.

This thesis examines how water privatization affect the quality of services and injustice on access and water distribution. This thesis used the quantitative and qualitative approaches. The quantitative approach is done by distributing questionnaires. The qualitative approach is done by in depth interview. Water privatization is implemented due to PAM Jaya consider does not have technical and financial ability to improve the quality of water services in Jakarta. Based on the concept of privatization and the quality of public services, this thesis find that after privatization there are different services, inequality on access and water distribution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55362
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yety Yanutriastuti
"Perusahaan Daerah Air Minum Kota Bogor merupakan instansi yang mempunyai kewenangan dalam hal penyediaan air bersih sesuai dengan Surat Keputusan Mendagri nomar 5 tahun 1977 dan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum nomor 28/KPTS/1984. Berdasarkan SK tersebut target cakupan pelayanan PDAM Kota Bogor (termasuk kota sedang) adalah 80 % pelayanan. Sebelum terjadi perkembangan wilayah dan pertumbuhan penduduk target tersebut telah terpenuhi, namun dengan perkembangan yang teljadi cakupan pelayanan PDAM saat ini sebesar 53 %.
Agar dapat terpenuhi target raihan, PDAM hams melakukan pengembangan jaringan pipa air bersih di wilayah baru. Untuk itu sisa kapasitas produksi yang ada (idle capacity) perlu dievaluasi dengan pertambahan pelanggan yang dapat dilayani.
Total kapasitas produksi sebanyak 1102 liter/detik. Jumlah yang didistribusikan sebanyak 954 liter/detik. Sisa produksi = 1102 lt/det - 974 lt/det = 128 lt/det.
Dengan kondisi sisa produksi tersebut diatas dan pertumbuhan penduduk pada saat ini serta untuk memenuhi kebuluhan di masa mendatang jaringan sistem yang ada perlu dievaluasi, apakah masih diperlukan penambahan unit-unit pengolahan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S37122
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heroe Sunarko
"Penyediaan air bersih merupakan salah satu komponen pelayanan perkotaan (urban services) yang seharusnya menjadi tugas pemerintah kota. Sejak tahun 1990, penyediaan air bersih melalui pipa distribusi di kota Bekasi belum menjangkau seluruh masyarakat. Kondisi ini mendorong pengelola perumahan Bumi Bekasi Baru dan Kemang Pratama untuk menyediakan air bersih di kawasan perumahan masing-masing. Berdasarkan kondisi tersebut permasalahan penelitian yang akan diangkat adalah membahas peran pengelola perumahan dalam penyediaan air bersih. Apakah ada kerjasama antara pemerintah kota dan pengelola perumahan, bagaimana pengaturan pemanfaatan sumber air barsih, dan bagaimana pengelolaan air bersih di setiap kawasan perumahan, mengapa pengelolaan air bersih di perumahan Kemang Pratama berlanjut sementara di perumahan Bumi Bekasi Baru tidak berlanjut.
Berkaitan dengan penyediaan pelayanan perkotaan Savas menguraikan ada berbagai bentuk pengaturan. Dari berbagai model pengaturan, tampaknya model mekanisme pasar yang sesuai untuk menganalisis penyediaan air bersih di Kecamatan Rawalumbu. Dalam kerangka manajemen perkotaan, Proud'homme melihat keterlibatan swasta menyediakan pelayanan perkotaan termasuk dalam koordinasi internal. Savas kemudian membedakan bentuk tersebut ke dalam bentuk privatisasi dan kerjasama penyediaan pelayanan perkotaan.
Varibel-variabel yang dianalisis adalah tentang bentuk pelayanan, pembiayaan penyediaan prasarana air bersih, tanggung jawab penentuan harga, perolehan hasil penyediaan air bersih, hubungan antara konsumen dan produsen. Untuk memfokuskan penelitian ini saya mengajukan proposisi bahwa penyediaan air bersih di kawasan perumahan akan terus berjalan apabila air bersih bermakna sebagai barang ekonomi dan barang privat.
Penyediaan air bersih akan berfungsi sebagai investasi jangka panjang bila penyediaan air bersih merupakan bagian dari pelayanan publik. Untuk mengungkapkan masalah penyediaan air bersih di kawasan perumahan saya menggunakan strategi penelitian studi kasus Robert K Yin. Yin mengatakan bahwa metode studi kasus dapat mengungkap masalah di bidang kebijakan publik dan perencanaan kota dan wilayah.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penyediaan air bersih di kawasan perumahan di Kecamatan Rawalumbu diprakarsai dan dikelola oleo pengelola perumahan Bumi Bekasi Baru dan Kemang Pratama. Mekanisme pembiayaan penyediaan prasarana air bersih tercakup dalam komponen harga rumah dan lahan. Mereka membentuk unit pengelola air bersih sendiri, sehingga hubungan antara konsumen dan produsen bersifat langsung. Konsumen membayar langsung biaya pemakaian air bersih kepada pengelola perumahan dan penentuan harga air bersih lebih mempertimbangkan biaya operasional. Bukan hasil keputusan politik yang harus mendapat persetujuan dari lembaga legislatif dan eksekutif.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini antara lain tidak ada kerjasama antara pemerintah kota dan pengelola perumahan dalam penyediaan air bersih di kawasan perumahan di Kecamatan Rawalumbu. Pengelolaan air bersih cenderung bersifat ekslusif, hanya melayani warga perumahan Bumi Bekasi Baru dan Kemang Pratama saja. Pengelolaan air bersih di perumahan Kemang Pratama dapat terus berlangsung karena air bersih bermakna sebagai barang ekonomi dan barang privat. Sementara pengelolaan air bersih di perumahan Bumi Bekasi Baru tidak berlanjut karena peraturan pemerintah tidak mendukung. Pada masa mendatang penyediaan air bersih dapat diperluas ke berbagai perumahan di sekitar Kecamatan Rawalumbu apabila ada kerjasama antara Pemerintah Kota Bekasi dan pengelola perumahan. Pemerintah Kota Bekasi berfungsi sebagai penyedia air bersih sementara pengelola perumahan berfungsi sebagai pengatur pelayanan air bersih.
Daftar kepustakaan: 120 (1967 - 2003)

Water Supply At Housing Area Of Rawa Lumbu Sub District of Bekasi Municipality: Case Study at Bumi Bekasi Baru and Kemang Pratama Housing Water supply is one of urban service components municipal government should provide. Distribution of water supply through pipelines in Bekasi municipality, which has not reached all Bekasi communities since 1990, has encouraged the developers of Bumi Bekasi Baru and Kemang Pratama housing to provide water supply for their own housing.
Based on such condition, the research will focus on roles of housing developers in providing water supply. Is there any cooperation the municipal government and the housing developer? How do they manage water supply in their own housing areas? Why is water supply management in Kemang Pratama still continuing and why is it not continuing in Bumi Bekasi Baru?
Concerning urban services providing, Savas described several models of arrangement. Of various models of arrangement, market mechanism model seems to be fit to be used analyze water supply in Rawalumbu Sub-district. In the framework of urban management, Proud'homme sees that involvement of private sector in providing urban services is included internal coordination. Savas distinguishes such model into privatization and cooperation of urban service providing.
Variables to be analyzed are forms of services, water infrastructure financing, price determination accountability, profit gained from water supply, and relationship between costumers and producers. To focus this research, I propose proposition that water supply at housing area will continue provided if that water supply is deemed economic and private goods. Water supply functions to be a long-term investment if water supply becomes a part of public service. To reveal the problem of water supply at housing areas, I use a research strategy of Robert K.Yin's case study. Yin said that case study method could be used to reveal problems in field of public policy and urban and regional planning.
Research results show that water supply was launched and managed by Bumi Bekasi Baru and Kemang Pratama housing developers. Financing mechanism for supplying water is included in components of house and land price. They formed a unit to manage water supply, resulting in direct relationship between consumers and producers. Costumers pay for water supply directly to housing operator. And the price of water is determined under operational cost consideration. It is not based on a political decision which requiring approval from legislative and executive.
From this research, it can be concluded that there is no cooperation between municipal government and housing developers in providing water supply in Rawalumbu Sub-district. Water supply management trends to be exclusive, supplying only resident of Bumi Bekasi Baru and Kemang Pratama housing. At the latter water supply is continuing because water supply is deemed to be economic and private goods, while at Bumi Bekasi Baru is not continuing because of governmental regulations are not supportive. In the future, the providing of water supply will reach larger areas, including other housings area in Rawalumbu Sub district, if there is cooperation between municipal government of Bekasi and housing developers. The former will function as water supply producer, while the latter will function as arranger the water supply.
The number of references: 120 (1967-2003)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T12256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Siti Sandang
"ABSTRAK
Program pembangunan prasarana kota terpadu merupakan model pembangunan kota di dalam nuansa keterpaduan potensi seperti sumberdaya penopang prasarana. potensi teknologis, koordinasi terpadu kelembagaan terkait dan keterpaduan perundang-undangan, untuk menopang perwujudan penyediaan air bersih. pengendalian air kotor, pengendalian drainage, pembangunan jalan, program perbaikan kampung, penyediaan sarana sosial dan sarana umum.

Dalam proses pembangunan air bersih perkotaan. ditempuh melalui tahapan-tahapan pengambilan keputusan. mulai dari tingkat kebijaksanaan, tingkat institusional, tingkat organisasi sampal tingkat operasi. Secara institusi, awal pengambilan keputusan melibatkan instansi Pemerintah Daerah TK. II dan Pemerintah Tingkat I serta instansi Pemerintah Pusat.

Berlandas pada hasil penelitian pembangunan air bersih di Kota Tasikmalaya, hasilnya mencoba melihat keterpaduan pembangunan melalui untuk mencapai tujuan-tujuan keterpaduan pembangunan prasarana kota, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai pelayanan publik.

Penelitian kasus pembangunan air bersih di wilayah Kota Tasikmalaya, merupakan upaya penelitian yang menitikberatkan pada upaya melibatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan pembangunan; seberapa jauh konsistensi keputusan pembangunan ditetapkan pada level kebijaksanaan, kontinum pada level Institutional, Organizational Level sampai pada Operational level dan Out-Come.

Indikator penelitian yang diperoleh dari kondisi keberadaan proyek pembangunan air bersih di lapangan (Kotatif Tasikmalaya) terdapat deviasi (penyimpangan) dilihat dari waktu penyediaan, biaya yang disediakan dan penambahan dan perubahan-perubahan teknik keenjiniringan dan bentukbentuk adendum kerja lainnya.

Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada tingkat teknis proyek ternyata bisa disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang terjadi pada tingkat kebijaksanaan. Tingkat strategic. tingkat operasional dan pada tingkat teknis.

Pada tingkat kebijaksanaan statment keuangan, statement teknis. statement non-teknis/peraturan/ketetapan berdampak pada lnstitusional Level, Organization level sampai Technicallevel di tingkat operasional.

Keputusan penetapan pinjaman dalam mata uang asing. keputusan memilih teknologi yang berasal dari luar negeri dan berhadapan dengan masalah delivery ; atau adanya keputusan-keputusan baru dilaksanakan pada tingkat kebijaksanaan.

Kesemuanya akan digambarkan dalam proses penelitian dan pada tahap selanjutnya diberikan rekomendasi untuk penyempurnaan koordinasi pembangunan dalam wahana keterpaduan, baik pada Tingkat Pusat, Pemerintah Daerah Tk. I sampai pada Pemerintah Daerah Tk. II, termasuk lingkup lembaga vertikal yang diatur melalui asas dekonsentrasi.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jahluddin
"Berbagai upaya yang dilakukan terhadap terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, adalah merupakan salah satu hal penting yang bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi justru merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh komponen bangsa Indonesia. Adapun salah satu elemen guna dapat diwujudkannya keinginan tersebut, sangat banyak berkaitan dengan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat melalui ketersediaan sarana air bersih dan penyehatan lingkungan permukiman secara cukup dan memadai. Sebagai salah satu kebutuhan vital bagi kehidupan masyarakat, peran program penyediaan sarana air bersih dan penyehatan lingkungan permukiman yang dilakukan oleh pemerintah beserta sebagian lembaga non pemerintah ini, akan berimplikasi luas terhadap terciptanya peningkatan taraf kesejahteraan bagi masyarakat miskin yang masih banyak tinggal dan hidup diwilayah perdesaan. Hal ini dikaitkan gala dengan orientasi dari program tersebut yang bersifat bantuan dengan tidak mengharapkan perolehan keuntungan secara finansial seperti yang dilakukan oleh PDAM.
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui akan perbedaan yang nyata antara masyarakat desa yang telah memperoleh program penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan permukiman dengan masyarakat desa yang belum memperoleh program tersebut, serta dampaknya terhadap tingkat ketahanan daerah Kabupaten Bima, maka pembuktiannya dilakukan melalui studi dengan memilih sekitar 80 (delapan puluh) responden yang ada di delapan desa dari empat kecamatan di wilayah Kabupaten Bima. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh gambaran bahwa suplai air bersih yang cukup serta tersedianya sarana dan prasarana penyehatan lingkungan permukiman yang memadai, telah banyak membantu masyarakat di sebagian wilayah Kabupaten Bima pada upaya untuk hidup dalam tatanan standar kesehatan yang semestinya. Selain itu, program ini juga merupakan salah satu dari sekian program yang ikut memberikan kontribusi terhadap terciptanya kesejahteraan masyarakat di wilayah perdesaan Kabupaten Bima.Dampak lain terhadap dilaksanakannya program ini secara tidak langsung, adalah selain berkaitan dengan menurunya angka tingkat kematian bayi yang berusia dibawah lima tahun (balita), juga adanya penurunan dari perseteruan/pertentangan antara warga masyarakat yang salah satunya disebabkan oleh karena perebutan sumber mata air yang ada. Oleh sebab itu, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa program penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan permukiman yang dilaksanakan selama ini, merupakan salah satu unsur penting untuk ikut serta menciptakan ketahanan daerah Kabupaten Bima.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T3322
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilasari Darmastuti
"Baku mutu yang lebih longgar dan seringkali lebih murah serta lebih realistis bagi negara berkembang mengandung resiko lebih tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sehingga sedikit para pembuat keputusan yang mau merekomendasikan tingkat resiko yang lebih tinggi daripada yang digunakan negara industri (maju).
Dengan pertimbangan bahwa negara maju tidak memulai program perlindungan lingkungan mereka dengan standard seperti saat ini, maka seharusnya negara berkembang tidak perlu menetapkan baku mutu seketat negara maju saat ini.
Evolusi suatu negara dari negara berkembang menjadi negara maju memperihatkan pola bahwa meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi negara tersebut diikuti dengan bertambah ketatnya baku mutu lingkungan negara tersebut.
Dengan demikian apabila suatu negara memiliki nilai kondisi kesehalan masyarakat dan sosial ekonomi yang sama dengan negara lain maka nilai baku mutu lingkungan kedua negara tersebut akan sama. Lohani (1993) meneliti mengenai indikator dalam penentuan baku mutu lingkungan. Indikator tersebut adalah Angka harapan hidup (X1), Angka Kematian Bayi (X2), Angka Kematian Akibat TBC dan Kanker (X3), Angka Kematian Akibat Typhus dan Paralyphus (X4), Laju Pertumbuhan Penduduk (X5), GNP perkapita (X6), Aset per kapila (X7), Upah Buruh Mingguan (Xs), Konsumsi Listrik per Kapita (Xs), dan Jumlah Pegawai Negeri (X1o). Dalam penelitian ini indikator (X1) sampai (X4) dikelompokkan sebagai kondisi kesehalan masyarakat dan indikator (Xs) sampai (X1o) dikelompokkan sebagai kondisi sosial ekonomi.
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai: (1) Berapa nilai baku mutu lingkungan di Indonesia yang sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya bila dibandingkan dengan negara lain yang lebih maju? (2) Apakah baku mutu yang ditetapkan di Indonesia terlalu ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya?
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) membandingkan baku mutu air permukaan antara beberapa negara Asia Tenggara yang memiliki kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya sama dengan kondisi Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 (berdasarkan PP No. 20 tahun 1990 dan PP No. 82 tahun 2001), mengkaji ketat atau tidaknya baku mutu lingkungan di Indonesia bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Untuk mencapai tujuan tersebut metode penelitian terbagi dalam lima tahapan yakni (1) melihat hubungan antara baku mutu dengan indikator penentuan baku mutu berdasarkan penelitian Lohani (1993) (2) menentukan negara pembanding (3) menentukan tahun acuan (4) membandingkan baku mutu air permukaan (5) mengkaji baku mutu air permukaan di Indonesia.
Penelitian ini bersifat ex post facto tipe korelasional dengan menggunakan perbandingan antara indikator penentuan baku mutu lingkungan di Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara di masa lalu. Variabel terikat yang digunakan adalah baku mutu air permukaan. Sementara data yang digunakan adalah data kuantitatif dan runtun waktu dari berbagai sumber yang telah dipublikasikan seperti Recent trends in Health Statistics in Southeast Asia 1974-1993, Key indicators of Asia Development Bank 1970-2000, dan Yearbook of Labour Statistics 1974-1993.
Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Perbandingan baku mutu lingkungan di beberapa negara akan sama apabila kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya sama (2) Baku mutu lingkungan yang ditetapkan di Indonesia terlalu ketat bila dibandingkan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Dengan menggunakan data penelitian dari Lohani dan dianalisis dengan SPSS versi 10.0. hasil penelitian memperlihatkan bahwa 48% perbedaan dalam penentuan batas baku mutu disebabkan oleh indikator penentuan baku mutu diatas. Dengan menggunakan interval kepercayaan sebesar 70%, indikator kematian akibat TBC dan kanker serta kematian akibat typhus dan paratyphus tidak signitikan, selain nilai korelasinya juga lemah (r c 0,5). Penelitian ini tidak secara khusus ditujukan untuk mendapatkan hubungan antara baku mutu dengan indikalor penentuan baku mutu, akan tetapi dibatasi untuk memperlihatkan bahwa indikalor tersebut cukup signilikan untuk digunakan sebagai perbandingan.
Hasil uji hipotesis adalah sebagai berikut (1) hipotesis dapat diterima sebesar 64,29%, yang berarti bahwa baku mutu air permukaan di Indonesia sama dengan baku mutu air permukaan negara-negara di Asia Tenggara, (2) 55,56% dari baku mutu yang diterima oleh uji hipotesis diatas adalah lebih ketat, yang berarti bahwa baku mutu yang ditetapkan di Indonesia ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Sedangkan baku mutu Indonesia tersebut adalah serupa dengan baku mutu negara Malaysia (antara tahun 1976-1977), Philipina (antara tahun 1990-1992), Singapura (antara tahun 1978-1981) dan Thailand (antara tahun 1990-1991).
Berdasarkan analisis pengujian hipotesis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Baku mutu di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara sudah sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Penentuan batas baku mutu air permukaan di Indonesia lebih ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.

Lower and often cheaper, and as a consequence more realistic environmental standards for developing countries involve higher risks to the environment and public health. Therefore, few environmental policy makers are willing to recommend higher risk levels than used in developed countries.
Developed countries did not begin their environmental protection by applying high standards as using now. Therefore developing countries do not have to apply standards as high as developed countries do.
The evolution of a country from developing to developed country shows a pattern that the improvement of its public health and socio-economic conditions are followed by higher allowable limits of environmental quality standards.
Consequently, countries that have similar public health and socio economic conditions will have similar allowable limits of environmental quality standards. Lohani (1993) stated that there are indicators for setting environmental quality standards. The indicators are life expectancy level (Xi), infant mortality rate (X2), TBC and cancer death (X3), typhus and paratyphus death (X4), population (X5), GNP per capita (X6), asset per capita (X7), average weekly salary ()(a), electricity consumption per capita (X9), and federal employment (Xio). In this research those indicators are grouped as public health and socio-economic.
Based on the reasons above, the research problem can be formulated as: (1) what is the Indonesia allowable limits of surface water quality standards which appropriate to its public health and socio-economic conditions? (2) in relation to its public health and socio-economic conditions, are Indonesia allowable limits of surface water quality standards too high?
The objectives of the research are: (1) to compare environmental quality standards among South-east Asian countries which had the same level in public health and socio-economic conditions with Indonesia in 1999 and 2000 (refer to PP No. 20 1990 and PP No. 82 2001) (2) to evaluate Indonesia environmental quality standards in relation with its public health and socio-economic conditions.
To meet the objectives of the research, the methodology is divided into five stages i.e (1) to see the corelation between allowable limits of environmental quality standards with environmental quality standards setting indicators based on Lohani's (1993) (2) to select the comparable countries (3) to decide the reference years (4) to compare the surface water quality standards of selected countries with those of Indonesia (5) to review the allowable limits of Indonesia surface water quality standards.
This is an ex-post facto correlation type research. In this research the current Indonesia environmental quality standards are compared to those of South East Asian countries in the past. Independent variables which are setting environmental quality standard indicators. Data used in this research are quantitative and time series secondary data. Data were collected from some publication source such as Recent trends in Health Statistics in Southeast Asia 1974-1993, Key indicators of Asian Development Bank year 1970-2000, and Yearbook of labour statistics 1974-1993. While dependent variables are allowable limits of environmental quality standards in Indonesia.
Hypothetical research are formulated as follows (1) comparison of surface water quality standards allowable limits in some countries will be similar if they have similar conditions on public health and socio-economic (2) Indonesia surface water quality standards is too high compare with considering its public health and socio-economic conditions.
This research found that 48% in setting surface water quality standards could be explained by the above indicators. Using confidence level of 70%, indicator of TBC and cancer death also typhus and paratyphus death are not significant, beside the correlation are weak ( r < 0.5). This research is held not only to see the relationship between allowable limit quality standards and setting environmental quality standard indicators but also to show that those indicators are significant to be used for comparison.
Hypothetical analysis shows that hypothesis is accepted by 64,29%. It means that Indonesia surface water quality standards are appropriate with its public health and socio-economic conditions.
Hypothetical analysis for the second hypothesis shows that it is accepted by 55,56%. With reference to the criteria set before, it means that the surface water quality standards in Indonesia are too high.
The appropriate level of Indonesian allowable limits of environmental quality standards in 1999 and 2000 are similar to that of Malaysia during 1976-1977, Philippine 1990-1992, Singapore 1978-1981, and Thailand 1990-1991.
Based on the results of hypothesis analysis, here are the conclusions based on review both the PP No. 20 year 1990 and PP No. 82 year 2001:
Allowable limits of environmental quality standards in Indonesia are appropriate with its public health and socio-economic conditions if compare to other countries in Southeast Asian.
The setting of Indonesia surface water allowable limit quality standards are high related to its public health and socio-economic conditions.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>