Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114338 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gunawan Santoso
"Tujuan : Mengetahui pengaruh latihan penggunaan tongkat terhadap pola jalan pada hemiplegi strok iskemik.
Disain : Pra dan pasca perlakuan dengan kelompok kontrol.
Subyek : 40 orang dibagi secara random permutasi blok menjadi dua kelompok.
Tempat : Poli Klinik Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin (RSHS ) Bandung.
Intervensi : Untuk kelompok perlakuan diberi latihan jalan dengan menggunakan tongkat, kelompok kontrol diberi latihan jalan.
Parameter : Kecepatan jalan, cadence, step length, stride length, stride width.
Hasil : Pada kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang bermakna terhadap kelompok kontrol : Kecepatan jalan (p= 0,031) meningkat pada minggu keempat, Cadence (p=0,037) meningkat pada minggu ketiga, Step length (p=0,025 ) meningkat pada minggu ketiga, Stride length (p=0,016) menigkat pada minggu ketiga, Stride width (p=0,002 ) menurun pada minggu kedua. Perubahan Cadence secara keseluruhan kelompok perlakuan dari minggu pertama hingga keempat ( p=0, 000 ) lebih bermakna dari kelompok kontrol ( p= 0,002 ). Perubahan Step length secara keseluruhan kelompok perlakuan dari minggu pertama hingga keempat (p = 0,000 ) lebih bermakna dari kelompok kontrol (p= 0,001). Perubahan Stride length secara keseluruhan kelompok perlakuan dari minggu pertama hingga keempat (p=0, 000 ) lebih bermakna dari kelompok kontrol (p=0, 616 ). Perubahan Stride width secara keseluruhan kelompok perlakuan dari minggu pertama hingga keempat (p= 0,000) lebih bermakna dari kelompok kontrol (p= 0,002). Perubahan kecepatan jalan secara keseluruhan kelompok perlakuan dari minggu pertama hingga keempat (p= 0,000)lebih bermakna dari kelompok kontrol (p= 0,001) .
Kesimpulan : Latihan dengan tongkat meningkatkan kecepatan jalan dengan cara meningkatkan Cadence, Step length, Stride length, menurunkan Stride width.

Objective : To know the effect of a cane in Hemiplegics Gait Pattern.
Design : Pre- and post treatment with a control group.
Subject : 40 people with hemiplegics stroke were divided into 2 groups with Randomized Permutation Block.
Setting : At Department of Physical Medicine and Rehabilitation Perjan. Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Intervention : Intervention group walks with Cane, and control group is given gait training without assistive device. Exercise was given 3 times a day and four weeks. Patient walked with or without cane on distance was limited by the patient her or him self.
Parameters : Speed velocity, cadence, step length, stride length, stride width.
Result : There were significant differences between the intervention group compared with the control group : Speed velocity (p:0,031 ) increased at 4 th weeks, cadence (p: 0,037) increased at 3th weeks, step length ( p: 0,025 ) increased at 3th weeks, stride length (p: 0,016 ) increased at 3th weeks, stride width (p: 0,002 ) decrease at 2 th weeks. There was also changes in cadence which was significant different between the intervention group (p: 0,000 ) and control group (p: 0, 002), step length was significantly different between intervention group (p: 0,000 ) and control group (p: 0, 001), stride length was significantly different between intervention group (p: 0, 000) control group (p: 0,616) ,stride width was significantly different between intervention group (p:0,000 ) and control group (p: 0,002 ), speed velocity was significantly different between intervention group ( p: 0,000 ) and control group (p: 0, 001).
Conclusion : Exercise with a cane increased Speed velocity by increasing cadence, step length, stride length, and decreased stride width.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Prasetyo Christianto
"Berjalan merupakan salah satu pergerakan dasar pada tubuh manusia sehingga apabila terjadi cedera atau penyakit yang menyebabkan cara berjalan seseorang dapat memberikan dampak yang buruk. Ada berbagai metode dalam melakukan pengobatan dan rehabilitasi untuk mengembalikan cara berjalan yang cacat, salah satunya adalah gait analysis. Hingga saat ini, terdapat berbagai sistem yang telah digunakan dalam gait analysis. Tetapi pada beberapa sistem gait analysis menunjukkan adanya kekurangannya untuk penggunaan klinis, seperti dapat menimbulkan gangguan saat melakukan pergerakan normal dan harga peralatan gait analysis yang relatif tinggi. Sebuah sensor motion capture, yaitu Kinect telah menarik perhatian banyak peneliti untuk menguji keakuratan sensor tersebut sebagai perangkat gait analysis. Pada penelitian ini dilakukan sebuah pengujian keakuratan sensor Kinect dalam gait analysis dengan dua skenario posisi perekaman gait yang berbeda, yaitu 45º dan 90º terhadap jalur berjalan. Penelitian ini dilakukan terhadap 26 subjek dengan kondisi berjalan yang normal dan abnormal dengan menggunakan satu kamera Kinect. Dua klasifikasi data, yaitu klasifikasi stance dan swing dan klasifikasi cara berjalan diperoleh dengan menggunakan aplikasi classification learner pada Matlab. Posisi penempatan kamera Kinect memberikan nilai akurasi pendeteksian yang berbeda dimana skenario perekaman 45º menghasilkan akurasi pendeteksian stance dan swing sebesar 93,7% dan skenario perekaman 90º menghasilkan akurasi pendeteksian sebesar 93,1%. Pada pengklasifikasian data cara berjalan diperoleh akurasi pendeteksian Kinect sebesar 96,2% pada kedua skenario. Nilai error pada hasil pengklasifikasian dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ukuran ekstremitas bawah yang ramping, pemakaian celana yang longgar, pengaruh intensitas cahaya matahari terhadap pancaran inframerah kamera Kinect dan ketidakseimbangan jumlah kelas data pada dataset. Berdasarkan hasil tersebut, kamera Kinect dapat menjadi sebuah alat alternatif gait analysis untuk aplikasi rehabilitas medis.

Walking is one of the basic movements in the human body so that if there is an injury or disease that causes a person's way of walking, it can have a bad impact. There are various methods of doing treatment and rehabilitation to restore the disabled gait, one of which is gait analysis. Until now, there are various systems that have been used in gait analysis. However, some gait analysis systems have shown drawbacks for clinical use, such as causing disturbances during normal movements and the relatively high cost of gait analysis equipment. A motion capture sensor, namely Kinect has attracted the attention of many researchers to test the accuracy of the sensor as a gait analysis device. In this study, a test of the accuracy of the Kinect sensor in gait analysis was carried out with two scenarios of different gait recording positions, namely 45º and 90 with respect to the walking path. This study was conducted on 26 subjects with normal and abnormal walking conditions using one Kinect camera. Two data classifications, namely stance and swing classification and gait classification were obtained using the classification learner application in Matlab. The position of the Kinect camera provides different detection accuracy values where the 45º recording scenario produces a stance and swing detection accuracy of 93.7% and the 90º recording scenario produces a detection accuracy of 93.1%. In the classification of walking data, the Kinect detection accuracy is obtained by 96.2% in both scenarios. The error value in the classification results can be caused by several factors, such as the size of the slender lower extremities, the use of loose pants, the influence of the intensity of sunlight on the infrared emission of the Kinect camera and the imbalance in the number of data classes in the dataset. Based on these results, the Kinect camera can be an alternative tool for gait analysis for medical rehabilitation applications"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adre Mayza
"Merokok merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, menurut World Health Organization (WHO 1988), kebiasaan merokok cenderung meningkat akhir-akhiir ini yaitu 50% pada laki-laki dan 8% pada wanita. Rokok adalah faktor risiko dari strok yang dapat dicegah (klasifikasi serebro vascular diasease III 1990), akan tetapi mekanisme rokok sebagai penyebab strok masih kontroversi. Barigarımenteria (1993) pada penelitianya menganggap rokok sebagai faktor risiko strok yang dapat menurunkan kadar protein S. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh rokok terhadap penurunan kadar protein S pada strok iskemik fase akut. Penelitian dilakukan di Bagian Penyakit Saraf RSUPN-CM sejak bulan Mei 1996 sampai dengan Februari 1997 dengan disain kanıs kontrol pada 45 penderita strok iskemik akut perokok dan 45 penderita strok iskemik akut non perokok yang memenuhi kriteria inklusi. Semua penderita Paki-laki dengan rentang usia seluruh penderita 40 74 tahun. Pemeriksaan protein S dilakukan pada fase akut selambat-lambatnya hari keenam setelah serangan, menggunakan metode koagulometrik. Nilai standard protein 3 untuk orang Indonesia 76% 121,2%. Penilaian hasil aktifitas kadar protein S menurun bila nilai kurang dari 76%. Rerata usia pada kasus 57,2 ± 7,5, tahun dan rerata usia kontrol 56,9 ± 7,9 tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara usia kasus dan kontrol (p=0,421). Rerata lama merokok 15,6 ± 8 talaan, 71% (32 orang) merokok lebih dari 10 tahun dan 28,8% (13 orang), merokok kurang dari 10 tahun, didapatkan perbedaan yang bermakna penurunan aktifitas protein S antara kasus dan kontrol (X 11,37, p- 0,0018; Ratio Odds 11,2). Rerata jumlah rokok yang dikonnanai perhari 15 ± 8 batang perhari, 35,5% (16 orang) merokok lebih dari 20 batang perhari, 64,4% (29 orang) merokok kurang dari 20 batang perhari (X²-4,45; p 0,0349, Ratio Odds-7,89). Semua penderita perokok kretek, 26,78% (12 orang) perokok kretek filter dan 73,3% (33 orang) perokok kretek non filter. Tidak didapatkan perbedaan bermakna perokok kretek filter dan non kretek filter (X=0,72; p = 0,403). Didapatkan penurunan aktifitas kadar protein S yang bermakna pada kasus dibanding dengan kontrol (Ratio Odds 14,3). Rata-rata aktifitas kadar protein S pada kasus 50,6% dan rata-rata pada kontrol 85,5%, terlihat perbedaan yang bermakna dengan uji t-test 7,5; p 0,0001. Tujub puluh lima persentil aktifitas kadar protein S menurun dibawah nilai standard normal pada kasus dan hanya lima belas persentil pada kontrol. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap penurunan aktifitas kadar protein S (t-test-4,25; p- 0,0001; 95% CI 15,5-45,7) dan (t-test = 2,65; p=0,011; 95% CT 4,1-30,2.

Smoking is a public health problem in the world, according to the World Health Organization (WHO 1988), smoking habits tend to increase recently, namely 50% in men and 8% in women. Cigarettes are a risk factor for preventable stroke (cerebro vascular disease classification III 1990), however the mechanism of smoking as a cause of stroke is still controversial. Barigarımenteria (1993) in his research considered smoking as a risk factor for stroke which can reduce protein S levels. This study aims to see the effect of smoking on reducing protein S levels in the acute phase of ischemic stroke. The research was conducted in the Neurological Diseases Department of RSUPN-CM from May 1996 to February 1997 with a control design on 45 acute ischemic stroke sufferers who were smokers and 45 sufferers of acute ischemic stroke who were non-smokers who met the inclusion criteria. All Paki sufferers were male with an age range of 40 to 74 years. Protein S examination is carried out in the acute phase no later than the sixth day after the attack, using the coagulometric method. The standard value of protein 3 for Indonesians is 76% 121.2%. Assessment of activity results means S protein levels decrease if the value is less than 76%. The mean age of cases was 57.2 ± 7.5 years and the mean age of controls was 56.9 ± 7.9. There was no significant difference between the ages of cases and controls (p=0.421). The average number of cigarettes consumed per day was 15 ± 8 cigarettes per day, 35.5% (16 people) smoked more than 20 cigarettes per day, 64.4% (29 people) smoked less than 20 cigarettes per day (X²-4.45; p 0.0349, Odds Ratio-7.89). All sufferers were kretek smokers, 26.78% (12 people) were filter kretek smokers and 73.3% (33 people) were non-filter kretek smokers. There was no significant difference between filtered kretek and non-filtered kretek smokers (X=0.72; p = 0.403). There was a significant decrease in the activity of protein S levels in cases compared to controls (Odds Ratio 14.3). The average activity level of protein S in cases was 50.6% and the average in controls was 85.5%, showing a significant difference using the t-test of 7.5; p 0.0001. Seventy-fifth percentile activity levels of protein S decreased below normal standard values ​​in cases and only fifteen percentiles in controls. Length of smoking and the number of cigarettes consumed each day had a significant influence on reducing the activity of protein S levels (t-test-4.25; p-0.0001; 95% CI 15.5-45.7) and (t-test = 2.65; p=0.011; 95% CT 4.1-30.2."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ami Rachmi
"Tujuan : Mengetahui pengaruh latihan treadmill dan program overground walking terhadap kecepatan dan kapasitas berjalan pasien strok.
Disain : Pra dan pasta perlakuan dengan kelompok kontrol.
Subjek : 23 orang dibagi secara random permutasi blok menjadi dua kelompok, 11 orang kelompok perlakuan dan 12 orang kelompok kontrol.
Tempat : Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung
Intervensi : Kelompok perlakuan diberi latihan treadmill dan program overground walking selama 30 menit, 3 kali seminggu selama 4 minggu, kelompok kontrol diberi latihan jalan secepat mereka mampu selama 30 menit, 3 kali seminggu selama 4 minggu.
Parameter : Kecepatan jalan (jarak 10 m) dalam meterldetik, kapasitas jalan (waktu tempuh 6 menit) dalam meter
Hasil : Latihan treadmill dan program overground walking selama 4 minggu secara berrnakna meningkatkan kecepatan berjalan (p = 0,0227) dan kapasitas berjalan (p = 0,0148) dibandingkan kelompok kontrol pads pasien strok di RSHS, Bandung
Kesimpulan : Latihan treadmill dan program overground walking meningkatkan kecepatan dan kapasitas berjalan pasien strok di RSHS, Bandung

Objective : To know the effect of treadmill exercise and overground walking program on velocity and capacity of walking in stroke patients in dr. Hasan Sadikin hospital, Bandung
Design : Pre- and post treatment with a control group.
Subject : A sample of 23 ambulatory individuals after a stroke more than 3 months previously.
Setting : Physical Medicine and Rehabilitation Department, dr. Hasan Sadikin Bandung.
Intervention : The experimental group participated in a 30-minute treadmill and overground walking program, 3 times a week for 4 weeks. The control group was asked to walk at home for at least 30 minutes as fast as they can, 3 times a week for 4 weeks.
Parameters : Speed velocity (over distance of 10 m), speed capacity (walking time 6 minutes)
Results : The 4-week treadmill and overground walking program significantly increased walking speed (p = 0,0227) and walking capacity compared with the control group.
Conclusions : The treadmill and overground walking program is effective in increasing walking speed and walking capacity in stroke patients in RSHS, Bandung.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Tjen
"LATAR BELAKANG DAN TUJUAN : Potensial cetusan somatosensorik telah banyak digunakan dalam penelitian strok. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan korelasi antara derajat kekuatan motorik dan potensial cetusan somatosensorik pada penderita dengan serangan pertama strok iskemik. METODOLOGI : Telah diteliti 44 penderita (usia rerata 52 tahun) strok iskemik. Evaluasi klinis mencakup penentuan derajat kekuatan motorik dan perekaman potensial cetusan somatosensorik dilakukan pada waktu bersamaan dalam kurun waktu 3-5 hari setelah saat serangan. Penentuan kekuatan motorik menggunakan skala Medical Research Council. HASIL : Kelainan potensial cetusan somatosensorik ditemukan pada 36,36% penderita strok iskemik. Analisis statistik menunjukkan adanya pemanjangan masa konduksi sentral yang bermakna pada sisi lesi(t=2,17; p=O,037). Korelasi yang bermakna ditemukan antara derajat kekuatan motorik dengan potensial cetusan somatosensorik(p=O,00157). KESIMPULAN : Hasil penelitian ini menunjukkan cukup banyak kelainan potensial cetusan somatosensorik pada penderita strok iskemik. Ada korelasi yang bermakna antara derajat kekuatan motorik dengan potensial cetusan somatosensorik.

BACKGROUND AND PURPOSE; Somatosensory evoked potentials have been widely applied in the study of stroke. The aim of this study is to detennine the correlation between the severity of motor paresis and somatosensory evoked potentials in patients with first attack of ischemic stroke. METHODS; Forty four patients (average age 52 years) were evaluated within 3-5 days after symptom onset. In the clinical assessment a quantitative evaluation of motor paresis using the Medical Research Council scale was included. Somatosensory evoked potentials were recorded once at the same time. RESULTS ; Somatosensory evoked potential abnormalities were found in 36,36% of the patients. The statistical analysis indicated a significant prolongation of the central conduction time of the affected side compared with that of the unaffected side (t=2,17; p=O,037). There was a significant correlation between the severity of motor paresis and somatosensory evoked potentials (p=O.00157). CONCLUSIONS; Our study demonstrates that somatosensory evoked potential abnonnalities are common in patients with ischemic stroke and that somatosensory evoked potential abnormalities correlate with the severity of motor paresis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58341
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Lufiyani
"Kejadian disfagia ditemukan lebih dari 50 persen pada pasien stroke di fase akut. Penangan disfagia sering kali tertunda dan berdampak pada ketidakadekuatan pemenuhan kebutuhan dasar seperti dehidrasi bahkan malnutrisi. Selain itu, Pasien stroke dengan disfagia rentan mengalami pneumonitis aspirasi. Sehingga penganan yang cepat difase akut sangat dibutuhkan. Tujuan dari karya tulis ini untuk menganalisis pemberian latihan menelan dengan metode sucking lollipop. Metode yang dilakukan diawali dengan skrining disfagia menggunakan format Massey Bedside Swallowing Screen (MBS) dan penentuan derajat keparahan disfagia dengan The Dysphagia Outcome and Severity Scale (DOSS). Kemudian dilakukan latihan menelan sebanyak sehari satu kali sebelum makan siang dengan durasi 10 menit. Selama tiga hari berturut-turut dilakukan penilaian kekuatan sucking lollipop dengan format Candy Sucking Test (CST). Hasil studi kasus ini ditemukan adanya peningkatan fungsi oral yaitu pergerakan lidah. Penilaian pada hari keempat MBS negatif dan DOSS menjadi normal diet skala 7. Selain itu, tidak terdapat aspirasi saat dilakukan pemberian makan secara bertahap dan pernyataan secara verbal makanan yang tersangkut di tenggorokan, serta tidak ditemukan demam. Untuk itu, pemberian lollipop mampu menjadi salah satu intervensi yang dapat perawat gunakan untuk mempercepat pengembalian kemampuan menelan pada pasien stroke di fase akut.

The incidence of dysphagia is found to be more than 50 percent in stroke patients in the acute phase. Handlers of dysphagia are often delayed and have an impact on the inability to fulfill basic needs such as dehydration and even malnutrition. In addition, stroke patients with susceptible dysphagia experienced aspiration pneumonitis. So fast-paced acute feeding is needed. The purpose of this paper is to analyse the giving of exercises swallowing with the method of sucking lollipop. The methods initiated by screening were dysphagia using the Massey Bedside Swallowing Screen (MBS) and determining the severity of dysphagia with The dysphagia Outcome and Severity Scale (DOSS). Then, practice swallowing as much as a day once before lunch with a duration of 10 minutes. For three consecutive days conducted an assessment of the power sucking lollipop in the format of Candy Sucking Test (CST). The results of this case study found that an increase in oral function was tongue movement. Assessment on the fourth day of MBS is negative and DOSS become a normal diet scale 7. In addition, there are no aspiration during gradual feeding and verbal statements of food stuck in the throat, and no fever is found. For that, giving Lollipop is capable of being one of the interventions that nurses can use to accelerate the return of swallowing ability in stroke patients in the acute phase.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Salim Yunior
"Aspek suhu kenyamanan sesunggunnya telah semakin menjadi perhatian dalam kehidupan manusia, oieh karena suhu kenyamanan tersebut punya pengaruh yang besar pada kesehatan manusia sehari-hari. Suhu kenyamanan manusia di daerah tropis tidaklah sama dengan suhu kenyamanan pada daerah beriklim kering dan intermediate. Yang berbeda adalah faktor iklim pada beberapa daerah tidaklah sama.
Pencahayaan matahari menjadi faktor penentu suhu kenyamanan pada daerah iklim tropis. Intensitas pencahayaan matahari tidaklah sama untuk tiap iklim, begitu pula halnya dengan iklim tropis. Untuk mendapatkan acuan bagi perencanaan Iingkungan tempat tinggal manusia di iklim tropis teori mengenai arsitektur tropis dapat dijadikan sumber.
Skripsi ini akan membahas mengenai pencahayaan matahari pada iklim tropis lembab (Warm Humid Climate), di mana suhu kenyamanan yang akan dibahas juga mengenai suhu kenyamanan daerah tropis. Begitu pula dengan wujud kota tropis dapat dijadikan patokan untuk menciptakan suatu Kota yang warganya dapat menjalankan kehidupan sehari-hari secara nyaman."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
S48241
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Jessica Putri Natalia
"Latar Belakang : Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering ditemui pada populasi dewasa di seluruh dunia. Penyakit jantung katup, terlepas dari kelainan irama yang menyertai, meningkatkan risiko tromboemboli, dan risiko ini meningkat signifikan dengan adanya fibrilasi atrium. Skor CHA2DS2-VASc sudah divalidasi dan sering dipakai secara umum pada FA tanpa penyakit jantung katup untuk menilai stratifikasi resiko strok, namun kemampuan skor ini kurang baik pada populasi FA dengan penyakit jantung katup. Sampai saat ini, belum terdapat skor untuk memprediksi kejadian strok iskemik pada kelompok baik FA valvular EHRA tipe 1 maupun EHRA tipe 2.
Tujuan : Menilai prediktor klinis dan ekokardiografis yang dapat memprediksi kejadian strok iskemik dan merangkumnya menjadi sistem skor yang dapat digunakan sebagai prediktor kejadian strok iskemik pada pasien FA Valvular EHRA tipe 2.
Metode : Studi ini dilakukan secara kohort retrospektif pada 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Data diambil dari data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi. Luaran klinis yang dinilai adalah kejadian strok iskemik setelah terdiagnosis selama periode Januari 2015 – Juli 2021.
Hasil : Strok iskemik terjadi pada 67 (9,6%) pasien dari total 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Analisis regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat faktor risiko yang dapat menjadi prediktor kejadian strok iskemik; hipertensi (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), FEVKi <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), dan LFG <15 mL/menit/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123).
Kesimpulan : Dari berbagai variabel (klinis, ekokardiografis, dan laboratoris) yang dinilai, tidak ditemukan variabel yang secara independen dapat menjadi prediktor strok iskemik iskemik pada FA valvular EHRA tipe 2.

Background : Atrial fibrillation (AF) is the most common cardiac arrhythmia in adults. Valvular heart diseases, despite the arrhythmic problems, increase the risk of thromboembolism, and this risk is even higher in those with associated atrial fibrillation. CHA2DS2-VASc has been validated and widely used to guide anticoagulation in non-valvular AF to reduce ischemic stroke risk, however CHA2DS2-VASc is modestly predictive for ischemic stroke in valvular AF. To date, there has been no validated score for stroke prediction in valvular AF, either EHRA type 1 or EHRA type 2.
Objective : To derive clinical and echocardiographic risk factors for ischemic stroke prediction and to formulate scoring system for AF with EHRA type 2 valvular heart disease(VHD).
Methods : This retrospective study enrolled 695 AF patients with EHRA type 2 VHD. The data were collected from medical record which include patients who met the inclusion criteria throughout January 2015 – July 2020. The primary outcome was ischemic stroke throughout observation period between January 2015 – July 2021.
Results : There were 67 ischemic stroke events (9,6%) out of 695 EHRA type 2 VHD AF patients. Logistic regression analysis demonstrated there was no significant risk factor to predict ischemic stroke; hypertension (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), left ventricular ejection fraction (LVEF) <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), and Glomerular Filtration Rate (GFR) <15 mL/min/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123).
Conclusion : From all risk factors (clinical, echocardiographic, laboratory), there is no significant risk factor that is well-predictive for ischemic stroke incidence in EHRA type 2 VHD AF.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasianni Mercy L. Tobing
"Rokok dianggap sebagai faktor risiko strok yang dapat dicegah, tetapi mekanisme rokok sebagai penyebab strok masih merupakan kontroversi. Beberapa penelitian menganggap bahwa rokok sangat erat kaitannya dengan kadar fibrinogen plasma. Maka penelitian ini dilakukan untuk menilai peranan rokok terhadap kadar fibrinogen pada penderita stroke iskemik akut perokok. Penelitian kasus kelola ini dilakukan dari Oktober 1995 sampai Jull 1996 di Bag. Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sampel penderita dibagi dalam dua kelompok yaitu, kelompok I: strok perokok 35 penderita (kasus) , kelompok II: strok non perokok 35 penderita (kontrol). Pemeriksaan fibrinogen dilakukan paling lambat hari ke 5 setelah onset strole, dengan metode chromotimer.

Smoking has been considered to be one of the preventable risk factors of stroke but its mechanism causing stroke is still controversial. There were many studies showing that smoking were strongly related to high serum fibrinogen level in acute ischemic stroke patients. This case control study was conducted to asses the role of smoking on serum fibrinogen level in acute ischemic stroke patient hospitalized in Neurological ward Dr. Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta from October 1995 until July 1996. We divided the subject into two categories as follows, group I: smokers with stroke 35 patients (cases), group II: non smokers with stroke 35 patients (control). Fibrinogen serum level measurements were done at least on the 5th day after stroke
onset with chromotimer methode.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lulus Hardiyanti
"Tujuan: Mengetahui manfaat pemberian mirror therapy dibandingkan sham therapy terhadap pemulihan fungsi tangan.
Desain penelitian: Studi intervensi.
Metode: Studi randomisasi tersamar tunggal pada pasien strok serangan pertama. Subjek dibagi menjadi 2, yaitu kelompok mirror dan sham, yang diberikan mirror therapy atau sham therapy sebagai tambahan terapi okupasi standar.
Parameter Hasil: Fugl Meyer Assessment dan Functional Independence Measure (FIM).
Hasil: Delapan belas pasien (rerata usia 53,9 tahun), dengan lama awitan kurang dari 6 bulan ikut serta dalam penelitian ini. Didapatkan peningkatan signifikan pada rerata skor Fugl Meyer pada kedua kelompok setelah 3 minggu dan 6 minggu perlakuan (p<0,001), sedangkan skor FIM meningkat hanya pada 3 minggu pertama. Peningkatan skor Fugl Meyer lebih tinggi pada kelompok mirror (rerata=20,5) dibanding kelompok sham (rerata 13,75), walaupun secara statistik tidak signifikan.
Kesimpulan: Mirror therapy dapat meningkatkan pemulihan motorik pada pasien strok fase pemulihan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar untuk mendapatkan hasil yang bermakna.

Objective: To evaluate the effect of mirror therapy on motor recovery of stroke patients.
Study design: Intervention study.
Methods: A randomized, controlled, assessor blinded trial in outpatient with first stroke, that were divided into two groups: mirror and sham. They completed a protocol of six week mirror therapy or sham therapy for 30 minutes 3 times a week, in addition to standard occupational therapy program.
Outcome parameters: Fugl Meyer Assessment for upper extremity and Functional Independence Measure (FIM).
Results: Eighteen patients (mean age 53,9 yo), all within 6 months post stroke were enrolled. Fugl Meyer score increased in both group after three weeks and six weeks intervention (p<0,001), FIM score increased only in the first three weeks. The Fugl Meyer mean score improved more in the mirror group than in the sham group (by mean 20,5 vs. 13,75), but statistically not significant.
Conclusions: Mirror therapy could enhances hand motor recovery in subacute stroke patient. Due to limited sample, further study is needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>