Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160631 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Ermanto
"Pertumbuhan janin terhambat sebagai komplikasi kehamilan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal dibandingkan janin normal, dengan angka mortalitas perinatal berkisar dari empat sampai sepuluh kali lebih besar.
Bayi dengan berat lahir rendah untuk usia kehamilan memiliki risiko tiga sampai sepuluh kali lipat dibanding bayi dengan berat lahir normal untuk terjadinya penyakit seperti hipertensi, resistensi insulin dan gangguan metabolisme kolesterol. Secara epidemiologi telah terbukti bahwa diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK) lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan berat lahir rendah. Yang menarik adalah bahwa gangguan tersebut merupakan efek jangka panjang pada orang dewasa sebagai konsekuensi gangguan nutrisi saat janin.
Hubungan antara berat lahir rendah dan prevalensi penyakit jantung koroner telah ditunjukkan dengan penelitian di India Selatan tahun 1996. Di antara pria dan wanita usia 45 tahun atau lebih, prevalensi penyakit jantung koroner ialah l1% pada yang berat lahir 2,5 kg, dan hanya 3% pada yang berat lahir 3,2 kg.
Penelitian di Inggris memperiihatkan juga bahwa neonatus dengan ukuran tubuh yang kecil dibandingkan dengan ukuran kepala, walau dalam rentang berat lahir normal, memi!iki gangguan metabolisme, kolesterol dan pembekuan darah. Salah satu organ visera yang terganggu adalah hepar yang mengakibatkan terjadinya gangguan fungi sel hepar terrnasuk metabolisme kolesterol serta pembekuan darah secara permanen, yang merupakan faktor risiko terjadinya PJK.
Pada penelitian ini ingin diketahui apakah telah terjadi disfungsi hepar infra uterin berupa kelainan kadar AST, ALT, kolesterol serta panjang hepar pada bayi kecil masa kehamilan. Sehingga dengan data ini dapat nantinya menjadi dasar untuk memulai suatu intervensi 1 terapi.
Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara gangguan fungsi hepar dengan diagnosis klinis bayi kecil masa kehanti Ian?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum: Membandingkan gangguan fungsi hepar dengan panjang hepar pada janin PJT
Tujuan Khusus:
1. Membandingkan kadar AST pada PJT dengan bayi normal.
2. Membandingkan kadar ALT pada PJT dengan bayi normal
3. Membandingkan kadar kolesterol pada PJT dengan bayi normal
4. Membandingkan panjang hepar pada PJT dengan bayi normal
5. Mengetahui hubungan kadar AST dengan panjang hepar pada PJT
6. Mengetahui hubungan kadar ALT dengan panjang hepar pada PJT
7. Mengetahui hubungan kadar kolesterol dengan panjang hepar pada PJT"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T21400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadina Huliah
"Sedikitnya 17 juta bayi yang dilahirkan setiap tahun mempunyai berat badan lahir yang rendah (BBLR), mewakili 16% bayi yang lahir tiap tahunnya. Penyebab BBLR adalah preterm dan pertumbuhan janin terhambat (PJT, intra uterine growth restriction IIUGR). Preterm terutama terdapat di negara maju sedangkan sebagian besar PJT ada di negara berkembang. '?x. Sulitnya mengetahui angka pasti insiden NT karena pencatatan tentang usia gestasi yang sahib sering tidak tersedia di negara yang sedang berkembang. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah persalinan yang banyak terjadi di rumah sehingga pencatatan tentang bayi yang dilahirkan tidak ada.
Janin PJT mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih tinggi serta kemungkinan mengalami gangguan perkembangan kognitif dan neurologik pada usia kanak-kanak. Hipotesis foetal origin of adult diseases menyatakan bahwa gangguan nutrisi pada periode kritis pertumbuhan janin di dalam rahim akan menyebabkan perubahan permanen pada struktur dan metabolisme tubuh. Perubahan ini akan meningkatkan kerentanan terhadap hipertensi, penyakit jantung koroner dan non-insulin dependent diabetes mellitus (NIIDM) pada masa dewasa.
Penyebab PJT sangat kompleks, di negara sedang berkembang faktor risiko utama adalah faktor maternal berupa status gizi ibu yang tidak adekuat sebelum konsepsi, kekurangan gizi dan infeksi yang terjadi pada masa kanak-kanak, nutrisi yang jelek saat kehamilan, genetik, penyakit sistemik, dan faktor eksternal. Faktor lain sebagai penyebab PJT adalah faktor janin, faktor plasenta. Adapun manifestasi klinis dari PJT yang paling sating muncul adalah perubahan pada plasenta.
Selama kehamilan normal, terjadi perubahan fisiologi yang panting sebagai adaptasi ibu untuk menjamin tersedianya aliran aliran darah yang adekuat bagi janin. Plasenta manusia adalah organ multifungsi yang menyediakan oksigen, homeostasis cairan, nutrisi dan sinyal endokrin bagi janin selama dalam kandungan sampai terjadinya persalinan. Perfusi plasenta yang tidak adekuat merupakan hal yang fundamental dalam terjadinya PJT. Gangguan perfusi plasenta yang akan menyebabkan hipoksia intraplasenta akan mengakibatkan berkurangnya transfer oksigen dan nutrien dari ibu ke janin sehingga oksigenasi dan pertumbuhan janin akan terganggu. Bagaimana regulasi perfusi uteroplasenta masih belum jelas sampai saat ini, dikatakan berada dibawah kontrol beberapa mediator yang dihasilkan oleh plasenta. Sebagai akibat dari hipoksia intraplasenta akan terjadi resistensi plasenta yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu berkurangnya jumlah kapiler terminal, meningkatnya vasokonstriksi pada villi karena dikeluarkannya substrat vasoaktif lokal dan berkurangnya zat vasorelaksan. Terjadi pula peningkatan kontraktilitas pembuluh darah plasenta dan pasien dengan janin PJT dibandingkan wanita hamil yang normal7. Kenyataan ini menandai adanya kerusakan endotel atau disfungsi endotel pada sirkulasi uteroplasenta akibat dari hipoksia intraplasenta."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18043
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Arkan Abiyyu Ibrahim
"Hati merupakan satu organ yang paling penting dalam metabolisme tubuh. Kerusakan pada hati dapat berdampak pada abnormalitas aktivitas enzim yang berperan dalam metabolisme di serum, seperti enzim Aspartate minotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT). Namun, terapi untuk mengobati penyakit hati masih belum memuaskan. Oleh karena itu, pencegahan penyakit hati menjadi hal yang penting. Oncom merupakan makanan fermentasi tradisional Indonesia yang diketahui memiliki efek antioksidan tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk menilai efek hepatoprotektif ekstrak oncom melalui pengamatan terhadap aktivitas AST dan ALT serum. Dua puluh empat ekor tikus Sprague-Dawley jantan dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu (1) kontrol tanpa intervensi; (2) kontrol negatif yang diberi CCl4; (3) oncom merah; (4) oncom merah dan CCl4; (5) oncom hitam; dan (6) oncom hitam dan CCl4. Ekstrak oncom diberikan dengan dosis 1 gram/kgBB/hari selama 1 minggu. CCl4 diberikan dengan dosis 0,55 mg/kgBB sehari setelah perlakuan selesai. Sampel serum tikus diambil 2 hari setelah pemberian CCl4. Hasil uji Post-Hoc LSD pada aktivitas AST menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok CCl4 dengan kelompok oncom merah dan CCl4 (p= 0,019). Hasil uji One-way Anova pada aktivitas ALT menunjuukan tidak terdapat perbedaan antar kelompok (p= 0,238). Kesimpulannya, pemberian oncom merah memberikan efek hepatoprotektif terhadap aktivitas AST yang signifikan dari paparan CCl4.

Liver is one of the most important organs in the body metabolism. Damage to the liver can have a impact on abnormal enzyme activity involved in metabolism, such as aspartate aminotransferase (AST) and serum alanine aminotransferase (ALT). However, the therapies to treat liver diseases are still not satisfactory. Therefore, prevention of liver disease is important. Oncom is a traditional Indonesian fermented food which is known to have high antioxidant effects. This study was conducted to assess the hepatoprotective effect of oncom extract by observing the activity of serum AST and ALT. Twenty four male Sprague-Dawley rats were divided into 6 groups, namely (1) control without intervention; (2) negative controls given CCl4; (3) red oncom; (4) red oncom and CCl4; (5) black oncom; and (6) black oncom and CCl4. Oncom extract was given at a dose of 1 gram / kgBW / day for 1 week. CCl4 was given at a dose of 0.55 mg / kgBW a day after the treatment is complete. Rat serum samples were taken 2 days after CCl4 administration. The LSD Post-Hoc test results on AST activity showed that there were significant differences between CCl4 group with red oncom and CCl4 groups (p= 0.019). One-way ANOVA test results on ALT activity showed no differences between groups (p = 0.238). In conclusion, administration of red oncom gave a significant hepatoprotective effect on AST activity after CCl4 exposure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vita Aprilia
"The "FAD" is one of herbal medicine that can be used for diabetes mellitus. Because It will be used for long term repeated administration, so the "FAD" must be assessed especially for liver and renal function.
The purpose of this study is to know the acute toxicity effect of the "FAD" before used by people through determining LD50, alanine aminotransferase (ALT) and aspartate aminotransferase (AST) plasma activities; and the level of urea and creatinine plasma of mice.
This study used the Deutshe Yoken mices (25 male and 25 female) as an experimental animal. Each sex divided into five groups and each groups consist of five mices. Group I, II, III, and IV were given "FAD" with 0,813; 2,033; 5,083; and 12,708 g/kgbw dosage as a study group, while group V was given 0,5% CMC orally as a control group. Twentyfour hours after administration the test solution, the number of the mice died was counted, and there were none of the mice died so the LD50 value cannot be determined. One way varian analysis of ALT and AST plasma activities; and the level of urea and creatine plasma was done at 24 hours and 14 days after the test solution was given (=0,05) showed that there was no significant differences between study groups and control group.
The result was indicated that given "FAD" with maximum concentration of 12,708 g/kgbw did not have significant effect on the liver and renal function through parameter ALT and AST plasma activities; and the level of urea and creatinine plasma.

Obat herbal "FAD" adalah salah satu obat herbal yang memiliki khasiat sebagai antidiabetes. Oleh karena penggunaannya akan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama maka perlu diketahui pengaruhnya terhadap fungsi hati dan ginjal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efek toksisitas akut obat herbal antidiabetes "FAD" terhadap fungsi hati dan ginjal dengan parameter nilai LD50, aktivitas Alanin Aminotransferase (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST), serta kadar urea dan kreatinin plasma pada mencit putih jantan dan betina.
Pada penelitian digunakan 50 ekor mencit putih galur DDY (Deutshe Yoken) yaitu 25 ekor mencit jantan dan 25 ekor mencit betina. Masing-masing jenis kelamin dibagi menjadi 5 kelompok yang terdiri dari 5 mencit di setiap kelompoknya. Kelompok I, II, III, IV adalah kelompok perlakuan yang diberikan sediaan uji dengan dosis berturut-turut adalah 0,813; 2,033; 5,083; dan 12,708 g/kgbb. Kelompok V adalah kelompok kontrol yang diberikan larutan CMC 0,5%. Pengamatan jumlah kematian hewan uji dilakukan pada 24 jam setelah pemberian larutan uji dan didapatkan bahwa tidak ada hewan uji yang mati sehingga nilai LD50 tidak dapat ditentukan.
Hasil uji statistik ANOVA satu arah (=0,05) terhadap hasil pengukuran aktivitas ALT dan AST, serta kadar urea dan kreatinin setelah 24 jam dan 14 hari dari perlakuan menunjukkan tidak terjadi perbedaan secara bermakna baik antar kelompok maupun dengan kelompok kontrol.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sediaan uji obat herbal "FAD" dengan konsentrasi maksimum 12,708 g/kgbb tidak mempengaruhi fungsi hati dan ginjal mencit putih jantan dan betina dengan parameter aktivitas ALT dan AST, serta kadar urea dan kreatinin plasma."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;, 2008
S32996
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Ningsih Haryadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Dahlan
"Latar Belakang: Fibrosis hati disebabkan cedera hati kronis akan menjadi sirosis. Vesikel ekstraseluler (VE) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) banyak dipelajari sebagai terapi fibrosis dan regenerasi hati. Penelitian ini memanfaatkan kombinasi VE dan recombinant human-HGF ( rh-HGF) sebagai terapi alternatif fibrosis hati pada model tikus ligasi duktus bilier (LDB).
Metode: Sebelas tikus Sprague Dawley (SD) menjalani LDB, 5 tikus kontrol dan 6 tikus mendapat perlakuan injeksi VE 150 uL dan rh-HGF 0,1 mg intravena sejak 3 minggu pasca LDB, selama 7 hari. Satu tikus kontrol diterminasi 3 minggu pasca LDB sebagai data dasar. Tikus-tikus kelompok kontrol dan perlakuan diterminasi pada 1 hari dan 2 minggu setelah injeksi terakhir. Dilakukan penilaian skor Laennec hati serta kadar HGF, alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST).
Hasil: Histopatologi 3 minggu pasca LDB menunjukkan skor Laennec 2. Skor fibrosis kelompok kontrol (KK) dan kelompok perlakuan (KP) 1 minggu dan 2 minggu pasca injeksi VE dan rh-HGF seluruhnya dengan skor 2. Kadar HGF pada KP lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan KK 1 hari pasca injeksi terakhir (1,35+0,06 vs 1,53+0,06; p<0,001), semakin menurun setelah 2 minggu pasca injeksi terakhir namun tidak bermakna secara statistik 0,83 (0,73-0,84) vs 0,76 (0,73-0,80) p=0,248). Kadar AST 1 hari pasca injeksi terakhir; KK 1,66+0,05 KP 0,91+0,12 debgan p = 0,001. Setelah 2 minggu pasca injeksi; kadar AST pada kedua kelompok menurun 1,12 (1,11-1,22) vs (0,96+0,03); p=0,021). Kadar ALT pada kelompok perlakuan lebih rendah secara signifikan pada 1 hari pasca injeksi dan 2 minggu pasca injeksi dengan nilai p<0,001 dan 0,033a

Background: Fibrosis of the liver due to a chronic liver injury will become cirrhosis at the end-stage. The Extracellular Vesicles (EV) and hepatocyte growth factor (HGF) are recently learned as much as fibrosis and liver regeneration therapy. This study aims to know the result of using a combination of EV and recombinant human HGF (rh-HGF) as an alternative therapy due to liver fibrosis on the rat bile duct ligation (BDL) model.
Methods: Eleven BDL Sprague Dawley (SD) were divided into two groups, five mice as the untreated control group and six mice as the treatment group was getting an EV 150 ul and rh-hgf 0.1 mg intravenous injection three weeks after BDL, for seven days. One control rat is expanded three weeks after BDL as baseline data. The control and treatment group mice were projected at day one and two weeks after the final injection. This study was assessed from liver fibrosis by using Laennec score, alanine aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST), and Hepatocyte Growth Factor (HGF) level.
Results: Scoring of histopathology by using the Laennec score at 3 weeks after BDL was 2. Meanwhile scoring of fibrosis of the control group and treatment group at 1 week and 2 weeks after ve and rh-hgf injection were 2. HGF level of the treatment group was lower significantly than control group at day 1 after last injection (1,35+0,06 vs 1,53+0,06; p<0,001), and within 2 weeks, the number of HGF levels decreased but statistically insignificant; 0,83 (0,73-0,84) vs 0,76 (0,73-0,80) p=0,248). AST level at day 1 after last injection; control group vs treatment group ;1,66+0,05 vs 0,91+0,12, p value = 0,001. 2 weeks after injection; AST level for both group were become lower 1,12 (1,11-1,22) vs (0,96+0,03); p=0,021), and ALT level on treatment group was significantly lower at day 1 and 2 weeks after injection with p value <0,001 and 0, 033a
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Dahlan
"Latar Belakang: Fibrosis hati disebabkan cedera hati kronis akan menjadi sirosis. Vesikel ekstraseluler (VE) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) banyak dipelajari sebagai terapi fibrosis dan regenerasi hati. Penelitian ini memanfaatkan kombinasi VE dan recombinant human-HGF ( rh-HGF) sebagai terapi alternatif fibrosis hati pada model tikus ligasi duktus bilier (LDB).
Metode: Sebelas tikus Sprague Dawley (SD) menjalani LDB, 5 tikus kontrol dan 6 tikus mendapat perlakuan injeksi VE 150 uL dan rh-HGF 0,1 mg intravena sejak 3 minggu pasca LDB, selama 7 hari. Satu tikus kontrol diterminasi 3 minggu pasca LDB sebagai data dasar. Tikus-tikus kelompok kontrol dan perlakuan diterminasi pada 1 hari dan 2 minggu setelah injeksi terakhir. Dilakukan penilaian skor Laennec hati serta kadar HGF, alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST).
Hasil: Histopatologi 3 minggu pasca LDB menunjukkan skor Laennec 2. Skor fibrosis kelompok kontrol (KK) dan kelompok perlakuan (KP) 1 minggu dan 2 minggu pasca injeksi VE dan rh-HGF seluruhnya dengan skor 2. Kadar HGF pada KP lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan KK 1 hari pasca injeksi terakhir (1,35+0,06 vs 1,53+0,06; p<0,001), semakin menurun setelah 2 minggu pasca injeksi terakhir namun tidak bermakna secara statistik 0,83 (0,73-0,84) vs 0,76 (0,73-0,80) p=0,248). Kadar AST 1 hari pasca injeksi terakhir; KK 1,66+0,05 KP 0,91+0,12 debgan p = 0,001. Setelah 2 minggu pasca injeksi; kadar AST pada kedua kelompok menurun 1,12 (1,11-1,22) vs (0,96+0,03); p=0,021). Kadar ALT pada kelompok perlakuan lebih rendah secara signifikan pada 1 hari pasca injeksi dan 2 minggu pasca injeksi dengan nilai p<0,001 dan 0,033a

Background: Fibrosis of the liver due to a chronic liver injury will become cirrhosis at the end-stage. The Extracellular Vesicles (EV) and hepatocyte growth factor (HGF) are recently learned as much as fibrosis and liver regeneration therapy. This study aims to know the result of using a combination of EV and recombinant human HGF (rh-HGF) as an alternative therapy due to liver fibrosis on the rat bile duct ligation (BDL) model.
Methods: Eleven BDL Sprague Dawley (SD) were divided into two groups, five mice as the untreated control group and six mice as the treatment group was getting an EV 150 ul and rh-hgf 0.1 mg intravenous injection three weeks after BDL, for seven days. One control rat is expanded three weeks after BDL as baseline data. The control and treatment group mice were projected at day one and two weeks after the final injection. This study was assessed from liver fibrosis by using Laennec score, alanine aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST), and Hepatocyte Growth Factor (HGF) level.
Results: Scoring of histopathology by using the Laennec score at 3 weeks after BDL was 2.Meanwhile scoring of fibrosis of the control group and treatment group at 1 week and 2weeks after ve and rh-hgf injection were 2. HGF level of the treatment group was lower significantly than control group at day 1 after last injection (1,35+0,06 vs 1,53+0,06; p<0,001), and within 2 weeks, the number of HGF levels decreased but statistically insignificant; 0,83 (0,73-0,84) vs 0,76 (0,73-0,80) p=0,248). AST level at day 1 after last injection; control group vs treatment group ;1,66+0,05 vs 0,91+0,12, p value = 0,001. 2 weeks after injection; AST level for both group were become lower 1,12 (1,11-1,22) vs (0,96+0,03); p=0,021), and ALT level on treatment group was significantly lower at day 1 and 2 weeks after injection with p value <0,001 and 0, 033a
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carolina Astari
"Keong tutut (Bellamya javanica) merupakan bahan alam yang secara empiris digunakan oleh masyarakat untuk mencegah kerusakan hati. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah efek hepatoprotektif daging keong tutut dalam menurunkan aktivitas enzim aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) yang merupakan parameter kerusakan hati. Tiga puluh enam (36) ekor tikus dibagi menjadi enam kelompok perlakuan, yaitu kontrol normal (CMC 0,5%), kontrol negatif (CMC 0,5%), kontrol positif (silymarin 9,45 mg/200 g BB), dosis 1 (serbuk daging keong tutut 56 mg/200 g BB), dosis 2 (serbuk daging keong tutut 112 mg/200 g BB), dan dosis 3 (serbuk daging keong tutut 224 mg/200 g BB). Bahan tersebut diberikan secara peroral selama 14 hari. Pada hari ke-15, semua tikus, kecuali kontrol normal diinduksi dengan CCl4 1 ml/kg BB melalui rute yang sama. Dua puluh empat jam setelah induksi, dilakukan pengambilan darah melalui sinus orbital. Aktivitas AST dan ALT plasma diukur menggunakan kit dan ditunjukkan melalui perbedaan serapan. Hasilnya menunjukkan kelompok dosis 112 mg/200 g BB dan dosis 224 mg/200 g BB memiliki aktivitas AST dan ALT yang berbeda bermakna (p ≤ 0,05) dengan kelompok kontrol negatif. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa daging keong tutut berpotensi sebagai hepatoprotekor karena mampu menurunkan aktivitas AST dan ALT.

Freshwater snail (Bellamya javanica) is natural materials that are empirically used by society to prevent liver damage. This study aimed to prove scientifically hepatoprotective effect of flesh of tutut snail in lowering the activity of aspartate aminotransferase (AST) and alanine aminotransferase (ALT) enzymes which are the parameters of liver damage. Thirty-six (36) rats were divided into six treatment groups. Those are normal control (0,5% CMC), negative control (0,5% CMC), positive control (silymarin 9,45 mg/200 g BW), dose 1 (flesh powder of freshwater snail 56 mg/200 g BW), dose 2 (flesh powder of freshwater snail 112 mg/200 g BW), and dose 3 (flesh powder of freshwater snail 224 mg/200 g BW). Those ingredients were given orally for 14 days. On the fifteenth day, all rats, except the normal control were induced by CCl4 1 ml/200 kg BW via the same route. Twenty-four hours after the induction, blood sampling done through orbital sinus. AST and ALT plasma activity were measured using kit and shown through the absorbance differences. The results show AST and ALT activity among dose 112 mg/200 g BW group and dose 224 mg/200 g BWgroup were significantly different (p ≤ 0,05) with the negative control group. It can be concluded that freshwater snail is a potential hepatoprotector due to its ability in lowering AST and ALT activity."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60978
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinna Wamilakusumayanti Sundariningrum
"Angka kematian pada tahun pertama sebagian besar disebabkan oleh bayi berat lahir rendah (BBLR). Perkembangan teknologi berhasil menurunkan angka kematian BBLR, tetapi sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup BBLR, ditemukan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang semakin meningkat pula. Makin kecil masa gestasi, makin besar risiko timbulnya kelainan tumbuh kembang. Kelompok BBLR termasuk dalam kelompok bayi risiko tinggi yang memerlukan pemantauan tumbuh kembang secara berkala dan terus menerus.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai pertumbuhan fisik bayi-bayi dengan riwayat BBLR (PJT dan prematur). Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan studi kohort retrospektif. Data dikumpulkan melalui penelusuran rekam medik dan kunjungan rumah subyek penelitian.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mery Ramadani
"Rokok merupakan masalah global dan menjadi ancaman serius bagi kesehatan ibu hamil dan janin. Studi kohor prospektif ini, dilakukan untuk menilai pengaruh pajanan pasif asap rokok ibu hamil terhadap gangguan pertumbuhan janin. Melibatkan 128 ibu hamil trimester 3, hamil janin tunggal, tidak memiliki riwayat penyakit kronis, bukan perokok aktif, bukan mantan perokok, dan bersedia terlibat dalam penelitian. Penilaian pajanan asap rokok ibu berdasarkan pemeriksaan nikotin darah tali pusat (cut off ≥1ng/ml). Pengukuran menggunakan nikotin plasma adalah metode yang paling akurat karena dapat mengukur kondisi sebenarnya dan membantu mengurangi misklasifikasi. Gangguan pertumbuhan janin dinilai dengan pengukuran berat lahir, panjang lahir, lingkar kepala, dan berat plasenta. Pengukuran dilakukan segera setelah lahir untuk menjamin ketepatan pengukuran. Analisis uji beda dua mean digunakan untuk mengetahui perbedaan rata rata ukuran gangguan pertumbuhan janin antara kelompok ibu terpajan asap rokok dan tidak terpajan asap rokok. Analisis regresi linier untuk melihat pengaruh pajanan asap rokok terhadap berat lahir, panjang lahir, lingkar kepala dan berat plasenta dengan memperhatikan variabel pengganggu seperti penambahan berat badan ibu selama hamil, BMI ibu, paritas ibu, usia dan kadar hemoglobin ibu. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar nikotin tali pusat sebesar 1,3±2,5 ng/ml. Berat lahir dan berat plasenta bayi dari ibu yang mendapat pajanan asap rokok lebih rendah dibandingkan ibu yang tidak mendapat pajanan asap rokok. Pajanan asap rokok secara signifikan mengurangi berat lahir bayi sebesar 205,6 gram (pvalue = 0,005) dan berat plasenta sebesar 51 gram (p value=0,010).

This cohort study examined the effect of secondhand smoke exposure in pregnant women on fetal growth restriction. The study recruited 128 pregnant women in the third trimester pregnancy, single pregnancy, no chronic illness, non-active smokers, non-exsmokers, and who were willing to participate in the study. Pregnant women with the secondhand smoke exposure referred to those with the umbilical cord blood nicotine level of 1ng/ml or higher. Fetal growth disorder was assessed according to the newborn weight, length, head circumference, and palcental weight measured immediately after birth. The independent t-test analysis was used to determine the difference in average size of fetal growth between two groups of pregnant women: exposed and the notexposed to the secondhand smoke. A multiple linear regression analysis was employed to find out the effect of secondhand smoke exposure on birth weight, length, head circumference, and palcental weight controlling for the birth size confounders including weight gain during pregnancy, body mass index, parity, maternal age, and maternal hemoglobin. The study found that mean of nicotine in umbilical cord blood was 1.3±2.5 ng/ml, the birth weight and the placental weight of infants were lower among mothers who exposed than among mothers who did not expose to the secondhand smoke. Exposed to the secondhand smoke reduced the birth weight by 205.6 grams (p value = 0.005) and placental weight by 51 grams (p value=0.010). "
Depok: Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>