Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 78750 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yenny Surjawan
"Stroke iskemik merupakan suatu disfungsi jaringan otak yang disebabkan oieh penurunan aliran darah ke otak. Penyebab tersering penurunan aliran darah ke otak adalah aterotrombosis dan emboli serebral. Untuk mencegah stroke diperlukan pengenalan dan pengendalian terhabap faktor risiko stroke. Seat ini peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor-I (PAI-I) telah dinyatakan sebagai faktor risiko penyakit jantung iskemik. Peningkatan kadar, PAI-1 telah dihubungkan dengan penurunan aktivitas sistem fibinolisis. Mengenai hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik masih belum jelas.
Pada penelitian ini ingin diketahui hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik. Selain itu, pada penelitian ini juga ingin diketahui hubungan antara kadar PAI-1 dengan faktor risiko stroke iskemik Iainnya seperti usia, jenis kelamin, status metabolik glukosa terganggu, hipertrigliseridemia, obesitas dan hipertensi. Oleh karena keterbatasan jumlah subjek penelitian, maka kami mengawalinya dengan suatu penelitian pendahuluan. Penelitian pendahuluan ini dilakukan dengan rancangan kasus kontrol, melibatkan 38 subjek penderita stroke iskemik dan 38 subjek kontrol yang telah memerwhi kriteria penelitian. Kadar PAI-1 diperiksa dengan metode ELISA menggunakan reagen Asserachrom PAI-1 dari Stago.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik mempunyai nilai rasio odds sebesar 3.1, tetapi secara statistik hubungan ini tidak bermakna karena nilai 95 % interval kepercayaan adalah 0.757 - 12.790 (p = 0.103). Hasil analisis multivariat dengan regresi multipel menunjukkan adanya hubungan yang Iemah namun bermakna antara kadar PAI-i dengan usia (r = -0.2; p = 0.020), hipertensi (r = -0.2; p = 0.042) dan hipertrigliseridemia (r = 0.3; p = 0.004), tetapi tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar PM-1 dengan jenis kelamin (p = 0.616), status metabolik glukosa terganggu (p = 0.653) dan obesitas (p = 0.328). Hubungan antara kadar PAI-1 dan faktor risiko stroke Iainnya dapat digambarkan melalui persamaan berikut yaitu kadar PAI-1 = 55.4 - 0.5 x (usia) - 5.3 x (hipertensi) + 11.1 x (hipertrigliseridemia). Untuk mendapatkan kesimpulan, penelitian pendahuluan ini sebaiknya dilanjutkan dengan jumlah sampel yang cukup.

Ischemic stroke is a cerebral dysfunction caused by decreased cerebral blood flow. The main causes of decreased cerebral blood flow are atherothrombosis and cerebral emboli. In attempt on stroke prevention, risk factors of stroke should be recognized and controlled_ Recently increased plasminogen activator inhibitor--1 (PAI-1) has been established as a risk factor for ischemic heart disease. Increased PAI-1 level is associated with decreased fibrinolytic activity. The association of increased PAI-1 level with ischemic stroke remains unclear.
The aim of this study was to analyze the relationship between PAI-1 level and ischemic stroke_ In addition, the relationship between PAI-1 level and other risk factors of ischemic stroke such as age, gender, uncontrolled blood glucose, hypertriglyceridemia, obesity and hypertension, would also be analyzed. Due to the limitation of sample size, we begin with a preliminary study. This preliminary study was a case control design, involved 38 patients of ischemic stroke and 38 control subjects who fulfilled the criteria. The level of PAI-1 was determined by ELISA method using Asserachrom PAI-1 from Stago. The results indicated that the odds ratio of the relationship between PAI-1 level and ischemic stroke was 3.1, but this relationship was not statistically significant since the 95 % confidence interval was 0.757 - 12.790 (p = 0.103).
The result of multivariate analysis with multiple regression showed that there were significant weak correlation between PAM level with age (r = -0.2; p = 0.020), hypertension (r = -0.2; p = 0.042), and hypertriglyceridemia (r = 0.3; p = 0.004) but there were no correlation between PAI-1 level with gender (p = 0.616), uncontrolled blood glucose (p = 0.653), and obesity (p = 0.328). The relationship of PAI-1 level and other risk factors could be described by this formula, PAI-1 level = 55.4 - 0.5 x (age) - 5.3 x (hypertension) + 11.1 x (hypertrygliceridemia). To obtain a conclusion, this preliminary study should be continued with adequate sample size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T55745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Kadar plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) yang tinggi menyebabkan penurunan aktivitas sistem fibrinolisis. Saat ini kadar PAI-1 yang tinggi diketahui merupakan faktor risiko penyakit jantung iskemik tetapi pada penderita stroke iskemik hal ini masih belum jelas. Pada penelitian ini ingin diketahui hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik. Metode Dengan menggunakan desain kasus kontrol, kami melibatkan 38 subjek penderita stroke iskemik dan 38 subjek kontrol yang memenuhi kriteria penelitian. Kadar PAI-1 diperiksa dengan metode ELISA menggunakan reagen Asserachrom PAI-1 dari Stago. Hasil Kadar PAI-1 yang tinggi ditemukan lebih sering pada penderita stroke iskemik daripada subjek kontrol (21.1% vs. 7.9 % dengan OR 3.1; 95 % CI 0.757 ? 12.790). Analisa terhadap semua subjek yang diteliti menunjukkan adanya hubungan negatif yang lemah namun bermakna antara kadar PAI-1 dengan usia (r = - 0.4; P = 0.000). Kadar PAI-1 yang tinggi ditemukan lebih sering pada subjek berusia muda (40 ? 58 tahun) daripada subjek berusia lebih tua ( 60 ? 84 tahun) (20 vs. 9.8 %) (P = 0.004). Kesimpulan Dari hasil penelitian pendahuluan ini diduga ada hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik pada usia muda. Penelitan lebih lanjut dengan jumlah subjek yang lebih besar diperlukan untuk memastikan keadaan ini.

Abstract
Aim Recently, increased plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) has been known a risk factor for ischemic heart disease. However, the association of increased PAI-1 level with ischemic stroke remains unclear. The aim of this study was to analyze the association of PAI-1 level with ischemic stroke. Methods By case control design we involved 38 ischemic stroke and 38 risky-matched control subjects who fulfilled the criteria. The PAI-1 level was determined by ELISA method using Asserachrom PAI-1 from Stago. Results High PAI-1 level was found more frequent in ischemic stroke subjects than in control subjects (21.1% vs. 7.9 % with OR 3.1; 95 % CI 0.757 ? 12.790). The analysis of all studied subjects showed that there was a weak negative correlation between PAI-1 level and age (r = -0.4; P = 0.000). High PAI-1 level was found more frequent in younger (40 ? 58 years old) than in the older subjects (60 ? 84 years old) (20% vs. 9.8 %) (p=0.004). Conclusion The result of this preliminary study suggested an association between PAI-1 level and ischemic stroke in younger age. Further study with larger subjects is recommended to confirm this association."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tutug Kinasih
"Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan mirip endometrium di luar uterus. Jaringan ini memiliki kemampuan tertanam di berbagai tempat ektopik karena dipengaruhi sistem aktivator plasminogen yang berperan dalam proses fibrinolisis. Pada endometriosis terdapat ekspresi plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) berlebih yang menyebabkan kurangnya fibrinolisis sehingga menyebabkan terbentuknya produk fibrin terdegradasi yang dapat mempengaruhi penempelan dan perkembangannya. Faktor epigenetik perubahan tingkat metilasi DNA berperan pada patogenesis endometriosis.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat metilasi gen PAI-1 dan hubungannya dengan perkembangan jaringan endometriosis ovarium dan peritoneum. Studi potong lintang ini menggunakan 13 sampel wanita endometriosis ovarium, 5 wanita endometriosis peritoneum, dan 8 wanita tanpa endometriosis. DNA dari sampel diisolasi, dilakukan konversi bisulfit, kemudian diamati tingkat metilasi DNAnya dengan metode methylation specific polymerase chain reaction (MSP). Hasilnya dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney. Terdapat perbedaan yang signifikan tingkat metilasi DNA gen PAI-1 pada ketiga kelompok sampel (p<0,05).
Penelitian ini menemukan perbedaan signifikan antara endometriosis ovarium dan peritoneum dibandingkan dengan kontrol (p=0,006 dan p = 0,003); namun tidak ada perbedaan yang signifikan pada endometriosis peritoneum dibandingkan dengan ovarium (p>0,05). Penelitian kami menunjukkan rendahnya tingkat metilasi gen PAI-1 yang dapat meningkatkan ekspresi gen PAI-1 dan hal ini disugestikan dapat berkontribusi sebagai faktor risiko endometriosis pada ovarium dan peritoneum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khomimah
"Penyandang diabetes melitus (DM) mempunyai risiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskular (PKV), yang progresivitasnya dipercepat oleh penurunan kapasitas fibrinolisis. Penyandang DM yang berpuasa Ramadhan mengalami berbagai perubahan yang dapat memengaruhi kendali glikemik dan status fibrinolisisnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui penurunan fruktosamin dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dengan metode kuasi eksperimental one group design self control study pada penyandang DM tipe-2 yang berpuasa Ramadhan dan berusia 40-60 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar subjek memiliki 3 faktor risiko PKV dan dengan kendali glikemik yang jelek sebelum puasa Ramadhan. Terdapat penurunan yang bermakna pada glukosa puasa plasma, tetapi tidak bermakna pada glukosa darah 2 jam setelah makan. Tidak terdapat perbedaan asupan kalori pada 18 subjek yang dianalisis. Tidak didapatkan penurunan yang bermakna pada fruktosamin serum maupun PAI-1 plasma. Kendali glikemik yang dicapai sebelum dan asupan kalori selama berpuasa Ramadhan kemungkinan merupakan faktor yang memengaruhi penurunan fruktosamin. Selain glukosa darah, faktor yang memengaruhi kadar PAI-1 plasma di antaranya adalah insulin plasma, angiotensin II, faktor pertumbuhan dan inflamasi, yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Diabetes mellitus (DM) have a high risk of cardiovascular disease (CVD). CVD progression is accelerated by the reduction in the capacity of fibrinolysis. Persons with DM who fasting Ramadan have a variety of changes that can affect glycemic control and status of fibrinolysis. To know decreased fructosamine and plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), with the method of quasi-experimental one-group design with self-control study in type-2 diabetes who were fasting Ramadhan, and aged 40-60 years. These study showed most of the subjects had 3 risk factors for CVD and with poor glycemic control before the fasting of Ramadan. There was a significant decreased in fasting plasma glucose, but not significantly decreased in blood glucose 2 hours post meal. There was no difference in calorie intake in 18 subjects who were analyzed. There were no significant reductions in serum fructosamine and plasma PAI-1. Glycemic control achieved before and calorie intake during Ramadan fasting is possible factors that affect fructosamine decreased. In addition to blood glucose, factors that affect the levels of PAI-1 plasma including plasma insulin, angiotensin II, growth factors and inflammation, which were not measured in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rikarni
"Latar Belakang: Sindrom antifosfolipid (antiphospholipid syndrome = APS) merupakan penyakit autoimun dengan gejala trombosis vena atau arteri, kematian janin berulang, dan peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang persisten. Sindrom antifosfolipid merupakan faktor risiko didapat yang paling sering dihubungkan dengan trombosis. Sampai saat ini efek antibodi anti-?2GP1 pada sistem koagulasi, antikoagulan alamiah dan sistem fibrinolisis masih belum jelas.
Tujuan: Menganalisis efek imunoglobulin (Ig)G dan IgM anti-beta-2 glikoprotein-1(?2GP1) terhadap ekspresi messenger RNA (mRNA) tissue factor (TF), mRNA trombomodulin (TM), dan mRNA plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1) pada endotel.
Metode: Studi eksperimental dengan memajankan antibodi anti-?2GP1 pada human umbilical vein endothelial cells (HUVEC). Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo/ Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sampel adalah IgG anti-?2GP1 dan IgM anti-?2GP1 dipurifikasi dari 6 pasien sindrom antifosfolipid. Kontrol adalah IgG dan IgM yang dipurifikasi dari orang sehat. HUVEC dipajan dengan IgG anti-?2GP1, IgM anti-?2GP1, IgG orang sehat, IgM orang sehat selama 4 jam. Pengukuran ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 dilakukan sebelum dan sesudah pemajanan dengan metode real time reverse transcription polymerase chain reaction.
Hasil: Ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 pada HUVEC yang dipajan dengan IgG anti-?2GP1 adalah (3,14 ± 0,93)-, (0,31 ± 0,13)-, (5,33 ± 2,75)-kali dibandingkan pada HUVEC yang dipajan dengan IgG orang sehat. Ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 pada HUVEC yang dipajan IgM anti-?2GP1 adalah (4,33 ± 1,98)-, (0,33 ± 0,22)-, (5,47 ± 2.64)-kali dibandingkan pada HUVEC yang dipajan IgM orang sehat. Hasil analisis statistik, sebelum dan sesudah pemajanan HUVEC dengan IgG anti-?2GP1, memperlihatkan perbedaan bermakna ekspresi relatif mRNA TF (1,09 ± 0,76 berbanding 3,14 ± 0,93, p = 0,003), mRNA TM (0,91 ± 0,11 berbanding 0,31 ± 0,13, p = 0,001), dan mRNA PAI-1 (0,93 ± 0,13 berbanding 5,33 ± 2,75, p = 0,013). Hasil analisis statistik, sebelum dan sesudah pemajanan HUVEC dengan IgM anti-?2GP1 memperlihatkan perbedaan bermakna ekspresi relatif mRNA TF (1,03 ± 0,11 berbanding 4,33 ± 1,98, p = 0,008), mRNA TM (0,93 ± 0,08 berbanding 0,33 ± 0,22, p = 0,003), dan mRNA PAI-1 (1,02 ± 0,10 berbanding 5,47 ± 2,64, p = 0,01).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terbukti bahwa IgG anti-?2GP1 dan IgM anti- ?2GP1 mempunyai efek protrombotik pada sel endotel dengan meningkatkan mRNA TF dan mRNA PAI-1, serta menurunkan mRNA trombomodulin. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa mekanisme trombosis pada APS dapat terjadi melalui peningkatan aktivasi koagulasi, penurunan aktivitas fibrinolisis dan penurunan aktivitas antikoagulan.

Background: Antiphospholipid syndrome (APS) is an autoimmune disorder characterized by venous or arterial thrombosis, recurrent pregnancy morbidity and the presence of persistent antiphospholipid antibodies. The antiphospholipid syndrome is the most common acquired risk factor of thrombosis. Until now, the effect of anti-?2GP1 antibodies on coagulation system, natural anticoagulant and fibrinolytic`system has not been completely understood.
Objectives: To analyse the effects of IgG and IgM anti-beta-2 glycoprotein-1 (anti-?2GP1) on the expression of tissue factor (TF), thrombomodulin (TM), and plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1) of endothelial cells in the messenger RNA level.
Methods: Experimental study in human umbilical vein endothelial cells (HUVEC) was done at Cipto Mangunkusumo Hospital/ Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Samples are purified immunoglobulin(Ig)G anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 from six APS patients serum. For controls, purified IgG and IgM from normal human serum (IgG-NHS and IgM-NHS) were used. HUVEC were treated with purified IgG anti-?2GP1, IgM anti-?2GP1, IgG-NHS, IgM-NHS for four hours of incubation. We measured TF, TM, and PAI-1 of HUVEC in mRNA relative expression levels (before and after treatment) by real time reverse transcription polymerase chain reaction.
Results: The mean value of TF, TM, and PAI-1 mRNA levels in HUVEC after treated with IgG anti-?2GP1 compared to Ig-NHS were (3.14 ± 0.93)-, (0.31 ± 0.13)-, (5.33 ± 2.75)-fold respectively. On the other hand, after treated with IgM anti-?2GP1 compared to IgM-NHS, mRNA levels of TF, TM, and PAI-1 were (4.33 ± 1.98)-, (0.33 ± 0.22)-, (5.47 ± 2.64)-fold respectively. Before and after treatment with IgG anti-?2GP1, this study showed significant differences of TF mRNA levels (1.09 ± 0.76 versus 3.14 ± 0.93, p = 0.003), TM mRNA levels (0.91 ± 0.11 versus 0.31 ± 0.13, p = 0.001), and PAI-1 mRNA levels (0.93 ± 0.13 versus 5.33 ± 2.75, p = 0.013). Before and after treatment with IgM anti-?2GP1, this study showed significant differences of TF mRNA levels (1.03 ± 0.11 versus 4.33 ± 1.98, p = 0.008), TM mRNA levels (0.93 ± 0.08 versus 0.33 ± 0.22, p = 0.003), and PAI-1 mRNA levels (1.02 ± 0.10 versus 5.47 ± 2.64, p = 0.01).
Conclusion: This study has proven that IgG anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 increase TF and PAI-1 mRNA levels in endothelial cells. However, IgG anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 decrease TM mRNA levels in endothelial cells. It has shown that the mechanism of thrombosis in APS occurs through coagulation activation, reduction of fibrinolysis activity, and reduction of anticoagulant activity
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Adhyanisitha
"Latar belakang: Koagulasi intravaskular diseminata (KID) merupakan komplikasi dari sepsis yang ditandai oleh perdarahan dan trombosis mikrovaskular dan berkaitan erat dengan terjadinya disfungsi organ multipel. KID terjadi akibat ketidakseimbangan antara sistem koagulasi dengan sistem fibrinolisis. Plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1) merupakan protein fase akut yang berperan penting penekanan sistem fibrinolisis. Peningkatan PAI-1 pada sepsis diketahui memiliki korelasi dengan luaran yang buruk.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar PAI-1 dengan kejadian KID dan kematian pada pasien sepsis anak.
Metode: Penelitian analitik prospektif dilakukan pada 35 subjek sepsis yang dirawat di PICU, Instalasi Gawat Darurat serta Ruang perawatan anak RS Cipto Mangunkusumo antara bulan Januari-April 2015. Pengukuran kadar PAI-1 dilakukan pada hari pertama dan keempat sejak sepsis ditegakkan. Pemeriksaan profil koagulasi sistemik dilakukan pada hari keempat sepsis. Diagnosis KID overt menggunakan skor KID berdasarkan International Society of Thrombosis and Haemostasis. Subjek diikuti sampai hari ke 28 perawatan untuk menilai luaran kematian.
Hasil: Kadar PAI-1 lebih tinggi secara bermakna pada sepsis berat. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar PAI-1 hari keempat dengan hari pertama pada KID non overt (95,25 (SB 46,57) ng/mL vs 60,36 (SB 37,31) ng/mL, p=<0,001) dan subjek hidup (82,47 (SB 44,43) ng/mL vs 58,39 (SB 32,98) ng/mL, p=0,021). Terdapat perbedaan kadar PAI-1 hari keempat dengan hari pertama pada subjek KID overt (111,25 (SB 32,93) ng/mL vs 96,26 (SB 52,84) ng/mL) dan subjek meninggal (99,33 (SB 47,53) ng/mL vs 128,58 (SB 37,12) ng/mL), namun tidak bermakna secara statistik. Korelasi kadar PAI-1 dengan skor KID adalah r = 0,606 (p = <0,001).
Simpulan: Kadar PAI-1 mengalami penurunan yang bermakna pada hari keempat sepsis dibanding hari pertama pada subjek yang mengalami KID non-overt dan subjek yang bertahan hidup. Sedangkan pada subjek yang mengalami KID overt dan subjek yang meninggal, kadar PAI-1 hari keempat sepsis tetap tinggi. Terdapat korelasi kuat berbanding lurus antara kadar PAI-1 dengan skor KID.

Background: Sepsis-induced disseminated intravascular coagulation (DIC) is characterized by massive bleeding and microvascular thrombosis and it is closely related to the development of multiple organ dysfunctions. The imbalance between activation of coagulation system and inhibition of the fibrinolysis system in sepsis leads to the development of DIC. The acute-phase protein, plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1) is a key element in the inhibition of fibrinolysis. Elevated levels of PAI-1 have been related to worse outcome in sepsis.
Objective: To investigate the relationship between plasma PAI-1 level and clinical outcome in children with sepsis.
Methods: A total of 35 children with sepsis admitted to Cipto Mangunkusumo hospital between January and April 2015 were enrolled to this analitic prospective study. Plasma PAI-1 was measured on day 1 and 4 since sepsis was diagnosed. Systemic coagulation profile was measured on day 4. The Diagnosis of overt DIC was made using the International Society of Thrombosis and Haemostasis scoring system. Subjects were followed up until death or 28 days of care.
Results: PAI-1 levels were significantly higher in severe sepsis. There were significant difference between PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in non- overt DIC subjects (95.25 (SB 46.57) ng/mL vs 60.36 (SB 37.31) ng/mL, p=<0.001) and survivors (82.47 (SB 44.43) ng/mL vs 58.39 (SB 32.98) ng/mL, p=0.021). There were no significant difference between PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in overt DIC subjects (111.25 (SB 32.93) ng/mL vs 96.26 (SB 52.84) ng/mL) and nonsurvivors (99.33 (SB 47.53) ng/mL vs 128.58 (SB 37.12) ng/mL). The correlation observed between PAI-1 and DIC score was r=0.606 (p= < 0.001).
Conclusions: There were significant decrease of PAI-1 levels on day 4 compared to day 1 in non-overt DIC subjects and survivors. Meanwhile, in overt DIC subjects and nonsurvivors there were no differences. PAI-1 levels were positively correlated with DIC score."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
by Rumita S. Kadarisman
"Untuk mengetahui effektivitas dan keamanan injeksi intravitreal gas Sulfur Heksaflorida (SF6) tanpa tissue Plasminogen Activator (tPA) pada perdarahan subhialoid di premakula, 5 mata dari 5 pasen dimasukkan dalam penelitian ini. Setelah parasentesis cairan akuos, 0.3 ml gas sulfur hexafluoride murni disuntikkan intravitreal dan penderita diharuskan mempertahankan posisi muka kebawah selama 5 hari.. Foto fundus dibuat pre injeksi,pada 1 hari dan 7 hari pasca injeksi. Perdarahan subhialoid bergeser pada 4/5 (80%) mata dengan lama perdarahan subhialoid kurang dari 2 minggu. Tajam penglihatan pre-operatif pada ke-lima mata adalah hitung jari, dan mengalami perbaikan pasca-operatif pada 4/5 (80%) mata dalam 3 hari sampai 7 hari.. Tajam penglihatan berkisar antara 6/20 hingga 6/6. Penyakit sistemik yang mendasari, terdiri dari hiperkoagulasi pada 1 pasien, diabetes mellitus pada 2 pasien, hipertensi pada 1 pasien dan tidak ditemukan pada 1 pasien. Komplikasi akibat tindakan tidak ditemukan pada semua mata yang diinjeksi. Sebagai kesimpulan, injeksi gas SF6 tanpa penggunaan tPA ke dalam vitreus mampu menggeser perdarahan subhialoid, bila dilakukan dalam 14 hari, dan dapat menghasilkan perbaikan tajam penglihatan yang cepat. Tindakan ini terbukti aman. (Med J Indones 2007; 16:104-7).

To assess the efficacy and safety of intravitreal injection of Sulfur Hexafluoride (SF6) gas without the use of tissue Plasminogen Activator (tPA) in premacular Subhyaloid Hemorrhage ( SHH ), 5 eyes of 5 patients with premacular SHH were enrolled. After performing paracentesis of the anterior chamber, 0.3 ml pure SF6 gas was injected through pars plana with a 30 gauge needle. Facedown position was maintained for 5 days. Subhyaloid Hemorrhage was displaced in 4/5 ( 80% ) eyes with a duration of SHH less than 2 weeks. The pre-injection visual acuity of all 5 eyes was finger counting and improved in 4/5 ( 80% ) eyes within 3 days to 7 days post-injection to 6/20 - 6/6. The underlying disease was hypercoagulation in 1 patient , diabetes mellitus in 2 patients , hypertension in 1 patient and unknown in 1 patient. No complications were encountered. In conclusion, SF6 gas injected into the vitreous without the use of tPA, can displace SHH if performed within 14 days of duration, and results in rapid visual recovery. This procedure is proven to be safe. (Med J Indones 2007; 16:104-7)."
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-2-AprJun2007-104
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lyana Setiawan
"ABSTRAK
Kanker paru berkaitan dengan prognosis yang buruk. Oleh karenanya, diperlukan penanda sirkulasi untuk memprediksi respons terapi dan prognosis. Ekspresi mikroRNA 10b miR-10b dan aktivitas fibrinolitik, sebagaimana dicerminkan oleh soluble urokinase-type plasminogen activator receptor suPAR dan plasminogen activator inhibitor 1 PAI-1 , merupakan kandidat biomarker yang menjanjikan.Penelitian ini bertujuan mengevaluasi peran ekspresi miR-21, miR-10b, kadar suPAR dan PAI-1 plasma sebagai prediktor progresi dan respons terapi pada pasien kanker paru stadium lanjut.Penelitian ini merupakan studi kohort dan kesintasan di RS Kanker Dharmais RSKD , Jakarta. Subjek penelitian adalah pasien kanker paru karsinoma bukan sel kecil KPBBSK yang didiagnosis antara bulan Maret 2015 dan September 2016. Ekspresi miR-21 dan miR-10b dikuantifikasi dengan metode real-time polymerase chain reaction RT-PCR . Kadar suPAR dan PAI-1 diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay ELISA . Respons terapi dievaluasi berdasarkan kriteria RECIST 1.1. Pasien ditindaklanjuti sampai meninggal atau satu tahun setelah terapi.Terdapat 40 pasien yang dilibatkan dalam studi; 25 orang menyelesaikan sedikitnya4 siklus kemoterapi dan 15 lainnya meninggal selama terapi. Ekspresi miR-21 tidak berhubungan dengan progresi atau respons terapi. Kadar absolut miR-10b >592,145 copies/mL atau FC miR-10b > 0.066 bersifat protektif terhadap progresi dan respons buruk, sedangkan kadar suPAR > 4,237 pg/mL merupakan faktor risiko progresi dan respons buruk. Oleh karena dianggap penting, FC miR-10b juga dimasukkan dalam model prediksi progresi. Kadar PAI-1 > 4,6 ng/mL merupakan faktor protektif untuk respons buruk. Kadar suPAR merupakan faktor risiko independen untuk progresi dan respons buruk, sedangkan kadar PAI-1 merupakan faktor protektif independen untuk respons buruk.Simpulan: Model prediksi untuk progresi dapat dibuat dari ekspresi relatif miR-10b dan kadar suPAR, sedangkan respons terapi dapat diprediksi dari kadar suPARdan PAI-1. Dibutuhkan studi lebih lanjut untuk validiasi model-model prediksi ini.Kata kunci: kanker paru karsinoma bukan sel kecil KPKBSK , miR-10b, miR-21, overall survival, plasminogen activator inhibitor 1 PAI-1 , respons terapi, soluble urokinase-type plasminogen activator receptor suPAR

ABSTRACT
Lung cancer is associated with poor prognosis. Circulating markers to predict treatment response and prognosis is needed. Expression of microRNA10b miR 10b and fibrinolytic activity, as reflected by soluble urokinase type plasminogen activator receptor suPAR and the plasminogen activator inhibitor 1 PAI 1 , were promising as biomarker candidates.This study aimed to evaluate the role of miR 21, miR 10b expression, suPAR and PAI 1 levels as predictors of progression during treatment and treatment response in advanced lung cancer patients.This was cohort and survival study in Dharmais Cancer Hospital DCH . The subjects were non small cell lung cancer NSCLC patients diagnosed between March 2015 and September 2016. Expression of miRNAs were quantified using real time polymerase chain reaction RT PCR method. Levels of suPAR and PAI 1 were assayed using the enzyme linked immunosorbent assay ELISA method. Treatment response was evaluated based on RECIST 1.1. Patients were followed up until death or one year after treatment.Forty patients were enrolled 25 completed at least 4 cycles of chemotherapy and15 patients died during treatment. Absolute and FC miR 21 were not associated with progression or treatment response. Absolute MiR 10b expression 592,145 copies mL or FC miR 10b 0.066 were protective for progressive disease and poor treatment response, while suPAR levels 4,237 pg mL was a risk factor for progressive disease and poor responders. Since FC miR 10b was an important predictive factor, it was included in the prediction model of progression. PAI 1 levels 4.6 ng mL was a protective factor for poor response group of patients. suPAR level was an independent risk factors for progression and poor response, while PAI 1 level was an independent protective factor of poor response.Conclusion A model to predict progression can be developed using miR 10b expression and suPAR levels, while treatment response can be predicted by suPAR and PAI 1 levels. Further studies are needed to validate this model.Key words miR 10b, miR 21, non small cell lung cancer NSCLC , overall survival, plasminogen activator inhibitor 1 PAI 1 , soluble urokinase type plasminogen activator receptor suPAR , treatment response"
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlan Rusdi
"Latar Belakang: Penanda prognostik dapat menunjang tata laksana stroke iskemik (SI) akut. Protein neuroglobin (Ngb), yang berperan dalam transpor oksigen intrasel neuron dan mengurangi dampak hipoksia, adalah salah satu penanda potensial memenuhi fungsi tersebut.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada pasien SI akut yang dirawat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Maret-April 2023. Sampel serum untuk pemeriksaan Ngb diambil pada tiga hari pasca awitan stroke, sedangkan modified Rankin scale (mRS), National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS), indeks Barthel (BI) dan Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) diperiksa pada hari ketujuh. Analisis kemaknaan dan kurva receiver operating characteristic (ROC) digunakan untuk mengetahui hubungan Ngb dengan luaran stroke iskemik akut.
Hasil: Sebanyak 42 subjek menjalani analisis. Kadar Ngb serum lebih tinggi pada kelompok dengan skor mRS 3-6 dibandingkan 0-2 (12,42 ng/mL [3,57-50,43] vs 4,79ng/mL [2,25-37,32], p=0,005), dengan skor area di bawah kurva ROC sebesar 0,75. Kadar Ngb juga lebih tinggi pada kelompok dengan NIHSS pulang lebih tinggi (p=0,03), serta BI dan MoCA-Ina yang lebih rendah (p=0,01 dan p=0,002).
Kesimpulan: Kadar Ngb serum pada SI akut yang lebih tinggi berkaitan dengan luaran fungsional jangka pendek yang lebih buruk. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan sebelum terapan klinis.

Background: Prognostic markers can optimize the management of acute ischemic stroke (AIS). The neuroglobin (Ngb), which plays a role in intraneuronal oxygen transport and reduces the effects of hypoxia, is a marker that may perform this function.
Methods: A cross-sectional study was conducted on AIS patients who were treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in March-April 2023. Serum samples for Ngb examination were taken three days after the onset of stroke, while modified Rankin scale (mRS), National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel index (BI) and Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) were examined on the seventh day. Significance analysis and receiver operating characteristic (ROC) curve were used to determine the relationship between Ngb and AIS outcomes.
Results: A total of 42 subjects underwent analysis. Serum Ngb levels were higher in subjects with mRS score of 3-6 than 0-2 (12.42 ng/mL [3.57-50.43] vs 4.79 ng/mL [2.25-37.32], p=0.005). The area under the ROC curve score was 0.75. Ngb levels were also higher in the group with higher NIHSS at discharge (p=0.03), lower BI (p=0.01) and lower MoCA-Ina score (p=0.002).
Conclusion: Higher serum Ngb levels in AIS are associated with poorer short-term functional outcomes. Further research is needed before clinical application.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuni
"ABSTRAK
Kalium merupakan kation intraseluler utama dalam tubuh yang penting untuk kelangsungan fungsi sel terutama menjaga rangsang elektrik jantung dan otot. Perubahan kadar kalium dalam darah sangat mempengaruhi kerja otot jantung dan fungsi sel sehingga diperlukan pemeriksaan kadar kalium yang tepat dan akurat agar terapi dan monitoring pasien tepat. Hasil pemeriksaan kalium sangat dipengaruhi oleh faktor pra-analitik. Spesimen yang direkomendasikan untuk pemeriksaan kalium adalah plasma heparin. Penelitian ini ingin melihat perbedaan kadar kalium yang diperiksa menggunakan spesimen berupa serum dari tabung vakum berisi clot activator tabung II , plasma dari tabung vakum berisi litium heparin tabung III , dan plasma dari tabung vakum berisi litium heparin dengan gel separator tabung IV . Penelitian ini juga ingin mengetahui perbedaan kadar kalium yang diperiksa menggunakan spesimen dari tabung berisi clot activator pada pengambilan darah pertama tabung I dan kedua tabung II . Desain penelitian adalah potong lintang dengan subjek penelitian 80 orang. Perbedaan kadar kalium yang bermakna statistik terdapat antara tabung II dan III p=0.001 , serta antara tabung II dan IV p=0.01 . Persentase perbedaan rerata dengan standar kadar kalium serum, antara tabung II dan III adalah 6.8, dan tabung II dan IV adalah 7.7, sedangkan terhadap standar kadar kalium plasma litium heparin yaitu 7.3 dan 8.3. Angka tersebut melebihi batas desirable bias 1.81 , yang berarti ada kemaknaan klinis pada perbedaan kadar kalium antara tabung II dan III serta tabung II dan IV. Hasil uji t-berpasangan pada tabung I dan II didapatkan perbedaan kadar kalium yang bermakna secara statistik ABSTRACT Potassium is a the most intracellular cation in the body that essential for the continuity of cell function, especially keeping the electrically stimulated heart and muscle. Changes in blood potassium levels greatly affect the work of the heart muscle and cell function so it is necessary to check the exact potassium levels and accurate for proper patient therapy and monitoring. Results of potassium assay is strongly influenced by pre analytic factors. Recommended specimen for potassium assay is plasma heparin. Aim this study wanted to see differences in potassium levels examined using serum specimens from vacuum tubes containing clot activators tube II , plasma specimens from vacuum tubes containing lithium heparin tube III , and plasma specimens from a vacuum tube containing lithium heparin with a separator gel tube IV . The study also wanted to know the difference in potassium levels examined using specimens from tubes containing clot activators on first blood collection tube I and second tube II . The study design was cross sectional with 80 subjects. The difference in potassium levels was statistically significant between tubes II and III p 0.001 , and between tubes II and IV p 0.01 . Mean percentage difference with standard serum potassium level, between tubes II and III was 6.8, and tubes II and IV were 7.7, whereas to the heparin lithium plasma potassium level of 7.3 and 8.3. This figure exceeds the desirable limit of bias 1.81 , which means there is clinical significance on the difference in potassium levels between tubes II and III and tubes II and IV. The result of paired t test on tube I and II showed that the difference of potassium content was statistically significant p"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>