Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61659 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ricky Tommy H.
"Kemajuan teknologi informasi dan globalisasi keuangan mengakibatkan makin mendunianya perdagangan barang dan jasa serta ants finansial yang mengikutinya. Kemajuan tersebut justru memberikan kesempatan bagi berkembangnya kejahatan, khususnya kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih sudah berkembang pada taraf trans-national dan terorganisir secara rapih, sehingga sulit untuk dideteksi.
Pelaku kejahatan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatannya melalui berbagai cara, salah satunya dengan melakukan pencucian uang (money laundering). Dengan cara ini mereka mencoba untuk mencuci sesuatu yang didapat secara illegal menjadi suatu bentuk yang terlihat legal. Salah satu teknik pencucian uang yang kerap dilakukan adalah melalui industri perbankan. Hal itu disebabkan karena bank banyak menawarkan jasa jasa dalam lalu lintas keuangan yang dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal usul suatu dana, yaitu private banking dan electronic banking (wire transfer system).
Untuk mencegah praktek pencucian uang melalui industri perbankan, maka bank mempunyai beberapa kewajiban yang harus dipatuhinya, yaitu laporan atas transaksi mencurigakan, penerapan prinsip Know Your Customer (KYC), larangan melakukan tipping of serta larangan merahasiakan dokumen dan keterangan lainnya. Pasai 6 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 adalah pasal yang mengkriminalisasi perbuatan pencucian uang oleh penyedia jasa keuangan. Ketentuan Pasal 6 tersebut memang tidak hanya terbatas bagi penyedia jasa keuangan saja, akan tetapi berlaku pula bagi setiap orang yang menerima penempatan atau melaksanakan pentransferan uang basil kejahatan, namun dalam kehidupan sehari-hari yang iaaim melakukan penerimaan, penempatan danlatau pentransferan uang adalah penyedia jasa keuangan, khususnya bank.
Dari rumusan Pasal 4 dan 5 UU No. 15 Tabun 2002, dapat disimpulkan bahwa bank (korporasi) yang terbukti melakukan tindak pidan pencucian uang, maka pemidanaannya dapat dijatuhkan balk terhadap bank (korporasi) itu sendiri maupun terhadap pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi danlatau kuasa pengurus atas nama korporasi. Mengenai pidana yang dapat dijatuhkan terhadap bank (korporasi) adalah pidana denda, dan juga pidana tambahan berupa pencabutan usaha danlatau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19145
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Samawati
"Bank adalah pelaku usaha yang menjalankan aktivitasnya dalam bentuk menghimpun simpanan dari individu, pemerintah, Badan Usaha- Milik Negara (BUMN) maupun, usaha swasta, selanjutnya dana yang dihimpun, perbankan disalurkan dalam bentuk pinjaman dan/atau, kegiatan investasi bagi pihak yang membutuhkan, dan konsumen dari bank adalah nasabah yang, terdiri dari, nasabah ¬penyimpan dana dan nasabah debitor. Bagi bank kepercayaan yang diberikan nasabahnya khususnya nasabah penyimpan dana merupakan hal penting agar kegiatan usahanya dapat berjalan. Semakin nasabah mempercayakan dananya untuk disimpan dan dikelola oleh bank, maka akan semakin kuat kondisi bank tersebut. Dalam memberikan. pelayanan maksimal kepada nasabahnya, bank berusaha memberikan kemudahan. dalam .bertransaksi dengan inovasi telmologi perbankan yang sepenuhnya telah menggunakan system on-line. Kemudahan fasilitas transaksi perbankan merupakan dampak positif.dari kecanggihan teknologi.- Selain datnpak. positif, dampak negative yang ditimbulkan adalah semakin canggih pula kejahatan baru terlahir yang disebut dengan kejahatan kerah putih, salah satunya adalah kejahatan pembobolan bank. Pernbobolan bank dapat dilakukan .dengan memanfaatkan celah mekanisme transfer, LIC, atau cara (modus operandi) lainnya, dan sasaran dalam pembobolan bank adalah dana nasabah yang disimpan pada suatu bank, dengan kata lain apabila terjadi pembobolan bank maka nasabahlah yang akan dirugikan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa;.konsumen yang beritikad baik harus mendapat perlindungan. secara hukum dan pelaku usaha yang terbukti menimbulkan kerugian harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen. Dalam upaya memerangi pembobolan bank yang terpenting adalah melindungi kepentingan nasabah, melalui cara mulai dari.. pengawasan eksternal oleh bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia, pengawasan internal oleh manajemen bank yang bersangkutan hingga pengawasan langsung dari masyarakat terhadap kinerja bank. Selain itu pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Lembaga Mediasi Perbankan Independent juga didirikan untuk melindungi hak nasabah dan memberikan kepastian hukum.

Bank is producer who do activities, which collect deposit from individual, government, state own enterprises and private enterprises; then, the money, collected has been channeling through credit scheme and or investing, and consumer of bank is customer. According to Banking Law No. 10 of year 1998 Article 1 point 1, customer was pail of two categories, namely: saving customer and. debt customer: - Customer trust is such important thing as the core of bank business specially for saving customer-. If customer trust their money, which saved and managed by bank is more than before, it will make condition-of bank more stable. To give best service for customer, bank tries to make transaction easier- with innovation of technology in banking business which is fully automated on-line banking system. Positive effect from technology is effective and efficient for anybody to make transaction in banking, and negative effect-is-it could be make new crime born the fast growing-that we call is white collar crime. Robbing bank is on of part white collar crime. The way to rob bank is use the weakness of transfer mechanism, Letter of Credit (L/C), or others way (modus operand), and in this case, account of customer as an object of robbing bank. It's mean that customer will be lost. The Consumer Protection Law No. 8 of year 1999 proposes to be a legal protection on customer who have good faith and producer must be responsibility their fall if they are proofed un-rights by law. For the sake of robbing bank combat the most important thing to be done is protect customer rights such as external control from Indonesian Bank as a central bank of Indonesian, internal- control from bank self management, and control from peoples. Besides that, established of Customer Deposit Institution and Mediation of Independent Bank Institution is one-.of way to protect customer and to give supremacy of law."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T18761
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhdori
"Penelitian tentang pelaksanaan dalam pengelolaan barang inventaris milik negara dalam suatu unit kerja birokrasi pemerintah masih terdapat penyimpangan, sehingga menimbulkan kerugian negara. Terjadinya penyimpangan tersebut sulit dihindari, karena faktor sistem penatausahaan yang kurang baik dan penggunaan barang inventaris milik negara banyak disalahgunakan.
Metodologi Penelitian dalam penulisan ini dilakukan secara deskriptif. Hal ini mengingat obyek yang diteliti telah terdapat informasi mengenai suatu penyimpangan dalam hal pengelolaan barang inventaris milik negara berdasarkan dokumen hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan sebagai data sekunder. Oleh karena itu penelitian ini selanjutnya disebut penelitian dokumen Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.
Mengacu kepada dimensi teori dari Clinard dan Quinney tentang Tipologi Sistem Perilaku Kriminal dan Teori Asosiasi yang berbeda ( Differencial Association) oleh Edwin H. Sutherland and Donall R. Cressey , praktik-praktik penyimpangan dalam pengelolaan barang inventaris milik negara dalam suatu unit kerja birokrasi pemerintahan dapat dikategorikan sebagai bentuk White Collar Crime.
Dalam hal penyimpangan yang terjadi di Departemen X pada tahun anggaran 2001 untuk alokasi anggaran pengadaan barang baik yang di biayai dari anggaran rutin maupun proyek pembangunan dinyatakan bahwa di Departemen X telah terbukti adanya penyimpangan dalam pengelolaan barang inventaris milik negara.
Untuk mencegah agar praktik penyimpangan yang terjadi dapat dikurangi, atau bahkan di hindari pemerintah perlu membuat kebijakan dalam hal sistim penyusunan anggaran keuangan negara, memberikan sanksi hukum yang tegas kepada perilaku penyimpangan, meningkatkan penghasilan pegawai negeri. Hal ini diperlukan mengingat apabila praktik penyimpangan yang terjadi di unit kerja birokrasi pemerintah tidak ada tindakan berupa sanksi hukum dapat dimungkinkan terjadi reaksi sosial di masyarakat. Bentuk reaksi sosial tersebut dapat berupa demonstrasi, pemberitaan di surat kabar maupun sanksi moral kepada si pelaku penyimpangan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T4483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rifai
"Korupsi sebagai white-collar crime merupakan kejahatan yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga perekonomian masyarakat secara Iuas (extraordinary crime). Pendekatan integral kebijakan kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi mengunakan upaya penal (hukum pidana) dan non-penal (di luar hukum pidana), Serta keterlibatan elemerl-elemen lain di luar aparat penegak hukum pidana, yaitu masyarakat dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dalam upaya penal, Kejaksaan sebagai the key administration office in processing of case dalm criminal justice system mempunyai tugas dan fungsi penyidikan dan penuntutan perkara korupsi dan dalam upaya non-penal melakukan gugatan keperdataan dan alternative dispute resolution (ADR), seharusnya berperan secara ideal sesuai dengan ketentuan normatif yang ada, tetapi karena kendala dari segi substansi, struktur dan kultur hanya mewujudkan peran faktual.
Hasil penelitian rnenunjuklcan kelemahan-kelemahan ketentuan normatif dalam upaya penal peran Kejaksaan adalah masalah penyidikan, mekanisme kontrol, ketentuan khusus UUTPK dan UU pidana yang terkait dengan korupsi serta UU Kejaksaan, sedangkarl kelemahan dalam upaya non-penal adalah tugas dan fungsi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang bersifat ?fakultatif". Pelaksanaan peran Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu mengadakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi putusan Pengadilan Serta melaksanakan fungsi dan tugas sebagai JPN dalam perkara perdata dan ADR. Untuk melaksanakan peran tersebut diperlukan adanya faktor-faktor pendul-Lung lainnya seperti peraturan pelaksanaan, manajemen penyelesaian perkara, sumber daya manusia yang profesional, biaya dan fasilitas yang mencukupi. Peran aktual Kejaksaan melakukan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana kenyataan adanya, yaitu Kejaksaan hanya dapat memproses sebagian penyelidikan ke tahap penyidikan, sebagian penyidikan ke tahap penuntutan, dan hanya sebagian saja yang berhasil dijatuhi sanksi pidna oleh Pengadilan. Demikian pula dalam pelaksanaan tugas dan fungsi JPN kurang berjalan sebagaimana mestinya karena adanya ketidaktahuan dan ?keengganan" instansi pemerintah menyerahkan penanganan masalah-masalah hukumnya kepada Kejaksaan. Profesionalisme jaksa terkait dengan keahlian dan keterampilan (expertise), kesejawatan (partnership), budaya kerja dan tujuan. Peran serta masyarakat untuk membantu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah cukup baik, hal itu tampak dari adanya laporan dan pengaduan masyarakat. Perspektif eksistensi KPTPK mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum dan lembaga dinas instansi Serta melakukan penyelidilcan, penyidilcan dan penuntutan perkara tindak pidana kompsi. Tugas dan fungsi KPTPK bersama-sama dengan Kejaksaan yang cukup penting adalah dalam bidang ?pencegahan? tindak pidana korupsi, yaitu melalui upaya mewujudkan good governance dan good corporate governance, budaya ?anti korupsi? di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat.

Abstract
Corruption as a white-collar crime is a crime which inflicts not only on state financial loss, but also largely public economic interest (extra-ordinary crime). The integral approach of criminal policy for tighting corruption criminal act has applied penal and non-penal legal action and the participation of other non-penal upholder elements besides legal enforcers and Commission for Fighting Corruption Criminal Act. In the penal action, office ofthe attomey as the key administration office in processing criminal cases in criminal justice systems has duty and function for doing investigation and prosecution against corruption cases. In the non-penal action, public prosecutor doing a civil suit and altemative dispute resolution should have an ideal role according to the normative mle of law in force, nevertheless factual role is created because of substantial, structural, and cultural problems.
The results of research showed that the weaknesses of normative rules in penal action for the public executor?s role were in cases investigation, control mechanism, specific rules of corruption, mles of criminal code related to corruption cases, and public prosecution law. While the weaknesses of non-penal action where the duty and fimction of public prosecutor acted as a ?facultative? state legal adviser. The application of the role of public prosecution in fighting corruption criminal cases was in line with criminal rule of legislations: doing investigation, examination, criminal indictment, and execution of criminal court verdict and implementing the duty and limction of public prosecutor in civil case and alternative dispute resolution. To implement the roles, it was needed some supporting factors, like the the rule of implementation of the law, the management of solving cases, professional
human resources development, enough fiind and complete facilities. The actual role of public prosecutor was to enforce the law in fighting corruption criminal cases, but only a sum of investigations where proceeded into examination phase, a few of them where into criminal indictment phase, and only some cases where success into criminal sentence phase. In implementing the duty and function, public prosecutor was less in success because of ignorance and unwillingness of the government institutions to deliver the cormption cases for handling. The public prosecutors professionalism was matched with skill and expertise, partnership, work culture and goal-oriented. The participation of non-govemment organization in society for help fighting corruption criminal cases was done well. It was proved by the report and claim of community member. The perspective existence of Commission for Fighting Corruption Criminal Action (KPTPK) had duty, iimction, and the authority in coordination with and supervision to the law enforcers, institutions, departements officials, to do investigation, examination, and criminal indictment for corruption criminal cases. The duty and fimctions of KPTPK which worked together with public prosecution where prevention against corruption criminal cases by creating a good govemance and good corporate governance, and ?anti-corruption? culture in government officials and community."
2002
D1101
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rifai
"Korupsi sebagai white-collar crime merupakan kejahatan yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga perekonomian masyarakat secara Iuas (extraordinary crime). Pendekatan integral kebijakan kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi mengunakan upaya penal (hukum pidana) dan non-penal (di luar hukum pidana), Serta keterlibatan elemerl-elemen lain di luar aparat penegak hukum pidana, yaitu masyarakat dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dalam upaya penal, Kejaksaan sebagai the key administration office in processing of case dalm criminal justice system mempunyai tugas dan fungsi penyidikan dan penuntutan perkara korupsi dan dalam upaya non-penal melakukan gugatan keperdataan dan alternative dispute resolution (ADR), seharusnya berperan secara ideal sesuai dengan ketentuan normatif yang ada, tetapi karena kendala dari segi substansi, struktur dan kultur hanya mewujudkan peran faktual.
Hasil penelitian rnenunjuklcan kelemahan-kelemahan ketentuan normatif dalam upaya penal peran Kejaksaan adalah masalah penyidikan, mekanisme kontrol, ketentuan khusus UUTPK dan UU pidana yang terkait dengan korupsi serta UU Kejaksaan, sedangkarl kelemahan dalam upaya non-penal adalah tugas dan fungsi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang bersifat ?fakultatif". Pelaksanaan peran Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu mengadakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi putusan Pengadilan Serta melaksanakan fungsi dan tugas sebagai JPN dalam perkara perdata dan ADR. Untuk melaksanakan peran tersebut diperlukan adanya faktor-faktor pendul-Lung lainnya seperti peraturan pelaksanaan, manajemen penyelesaian perkara, sumber daya manusia yang profesional, biaya dan fasilitas yang mencukupi. Peran aktual Kejaksaan melakukan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana kenyataan adanya, yaitu Kejaksaan hanya dapat memproses sebagian penyelidikan ke tahap penyidikan, sebagian penyidikan ke tahap penuntutan, dan hanya sebagian saja yang berhasil dijatuhi sanksi pidna oleh Pengadilan. Demikian pula dalam pelaksanaan tugas dan fungsi JPN kurang berjalan sebagaimana mestinya karena adanya ketidaktahuan dan ?keengganan" instansi pemerintah menyerahkan penanganan masalah-masalah hukumnya kepada Kejaksaan. Profesionalisme jaksa terkait dengan keahlian dan keterampilan (expertise), kesejawatan (partnership), budaya kerja dan tujuan. Peran serta masyarakat untuk membantu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah cukup baik, hal itu tampak dari adanya laporan dan pengaduan masyarakat. Perspektif eksistensi KPTPK mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum dan lembaga dinas instansi Serta melakukan penyelidilcan, penyidilcan dan penuntutan perkara tindak pidana kompsi. Tugas dan fungsi KPTPK bersama-sama dengan Kejaksaan yang cukup penting adalah dalam bidang ?pencegahan? tindak pidana korupsi, yaitu melalui upaya mewujudkan good governance dan good corporate governance, budaya ?anti korupsi? di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat.

Abstract
Corruption as a white-collar crime is a crime which inflicts not only on state financial loss, but also largely public economic interest (extra-ordinary crime). The integral approach of criminal policy for tighting corruption criminal act has applied penal and non-penal legal action and the participation of other non-penal upholder elements besides legal enforcers and Commission for Fighting Corruption Criminal Act. In the penal action, office ofthe attomey as the key administration office in processing criminal cases in criminal justice systems has duty and function for doing investigation and prosecution against corruption cases. In the non-penal action, public prosecutor doing a civil suit and altemative dispute resolution should have an ideal role according to the normative mle of law in force, nevertheless factual role is created because of substantial, structural, and cultural problems.
The results of research showed that the weaknesses of normative rules in penal action for the public executor?s role were in cases investigation, control mechanism, specific rules of corruption, mles of criminal code related to corruption cases, and public prosecution law. While the weaknesses of non-penal action where the duty and fimction of public prosecutor acted as a ?facultative? state legal adviser. The application of the role of public prosecution in fighting corruption criminal cases was in line with criminal rule of legislations: doing investigation, examination, criminal indictment, and execution of criminal court verdict and implementing the duty and limction of public prosecutor in civil case and alternative dispute resolution. To implement the roles, it was needed some supporting factors, like the the rule of implementation of the law, the management of solving cases, professional
human resources development, enough fiind and complete facilities. The actual role of public prosecutor was to enforce the law in fighting corruption criminal cases, but only a sum of investigations where proceeded into examination phase, a few of them where into criminal indictment phase, and only some cases where success into criminal sentence phase. In implementing the duty and function, public prosecutor was less in success because of ignorance and unwillingness of the government institutions to deliver the cormption cases for handling. The public prosecutors professionalism was matched with skill and expertise, partnership, work culture and goal-oriented. The participation of non-govemment organization in society for help fighting corruption criminal cases was done well. It was proved by the report and claim of community member. The perspective existence of Commission for Fighting Corruption Criminal Action (KPTPK) had duty, iimction, and the authority in coordination with and supervision to the law enforcers, institutions, departements officials, to do investigation, examination, and criminal indictment for corruption criminal cases. The duty and fimctions of KPTPK which worked together with public prosecution where prevention against corruption criminal cases by creating a good govemance and good corporate governance, and ?anti-corruption? culture in government officials and community."
2002
D1104
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Meutia Uning
"Fenomena kolusi, korupsi dan nepotisme dalam bisnis buku pelajaran telah lama menjadi keprihatinan kalangan pemerhati dan praktisi pendidikan. Pada pertengahan tahun 1998, fenomena ini kembali menguak ke muka ketika sejumlah penerbit mengadukan bahwa dalam Proyek Pengadaan Buku Pelajaran Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), yang didanai oleh pinjaman Bank Dunia, sarat dengan perilaku kolusi dan korupsi. Kesimpangsiuran fakta tentang perilaku penyimpangan yang terjadi, serta tidak adanya proses hukum yang tegas atas penyimpangan tersebut, mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang perilaku penyimpangan dalam proyek, menelaah dan menganalisa mengenai karakteristik pelaku dan pola interaksi di antara mereka, serta faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku tersebut, sebagai salah satu bentuk perilaku white-collar crime. Karena kolusi merupakan suatu topik penelitian yang sangat sensitif dan tersembunyi sehingga tidak mudah diketahui oleh orang luar, maka digunakan metode observasi partisipasi dan wawancara tidak berstruktur untuk memperoleh data dari para pelaku proyek. Selain itu, observasi lapangan dan studi dokumen juga dilakukan, untuk mendukung kevalidan data yang telah diperoleh. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam proses seleksi proyek itu, telah teijadi keterpaduan kolusi yang terencana. Karakter khas para pelaku adalah rasionalisasi dan toleransi atas perilaku kolusi itu. Pola hubungan simbiosis mutualisme yang terjalin di antara mereka dan dukungan dari pihak-pihak yang dilibatkan dailam penyimpangan tersebut, turut andil dalam melanggengkan kolusi itu dan menyembunyikannya dari sorotan publik. Perilaku semacam ini telah lama tumbuh dan berkembang karena adanya budaya birokrasi yang patrimonial dalam jajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), budaya bisnis patron-client serta suburnya praktik bisnis curang dalam dunia penerbitan di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S6282
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dindita Ayu Arrohman
"Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan urgensi keberadaan extraordinary measures dalam proses penanganan extraordinary crime korupsi. Penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif-eksplanatif untuk mengkaji tulisan ini. Data yang digunakan untuk menunjang ide argumentasi tulisan berasal dari kajian literatur dan kajian dokumen. Adapun konsep dan teori utama yang digunakan untuk membangun argumentasi dalam tulisan ini adalah konsep prisma kejahatan; white-collar crime; teori keadilan; teori proporsionalitas pemidanaan; dan teori hukum responsif. Hasil dari rumusan Karya Akhir ini menyatakan bahwa korupsi merupakan extraordinary crime yang memiliki dampak destruktif bagi masyarakat dan negara, namun dinyatakan sulit untuk diidentifikasi serta dalam proses penanganannya kerap kali mengalami inefektivitas hukum. Dalam hal ini, proses penghukuman bagi pelaku korupsi masih mengabaikan unsur proporsionalitas pemidanaan, sehingga vonis pemidanaan yang diberikan kepada para pelaku tidak lepas dari adanya disparitas. Berangkat dari permasalahan kerugian, sulitnya identifikasi dan inefektivitas penghukuman dalam perkara korupsi, maka jenis kejahatan ini membutuhkan prosedur penanganan yang luar biasa “extraordinary measures” guna memenuhi aspek proporsionalitas, keadilan bagi masyarakat, dan kondisi hukum yang lebih responsif. Extraordinary measures dalam tulisan ini dirumuskan dengan integrasi antara counter measures-pre judicial method dan aspek penghukuman post judicial method. Counter measures-pre judicial method terdiri dari whistleblowing system, beban pembuktian terbalik, dan keberadaan justice collaborator. Sementara itu, aspek penghukuman post judicial method merujuk pada konvergensi proporsional antara penjara, denda, ganti rugi dan perampasan aset, pencabutan hak politik, remisi, dan pembebasan bersyarat, serta pemberlakuan reintegrative shaming yang keseluruhannya dilakukan secara dinamis.

This paper aims to explain the urgency of extraordinary measures in the process of handling extraordinary crime corruption. The author uses a descriptive-explanatory qualitative method to review this paper. The data used to support the idea of writing argumentation comes from literature review and document review. The main concepts and theories used to build the argumentation in this paper are the concept of crime prism; white-collar crime; justice theory; theory of proportionality of punishment; and responsive legal theory. The results of the formulation of this Final Paper state that corruption is an extraordinary crime that has a destructive impact on society and the state, but is declared difficult to identify and in the process of handling it often experiences legal ineffectiveness. In this case, the punishment process for perpetrators of corruption still ignores the element of proportionality of punishment, so that the sentences given to the perpetrators cannot be separated from the disparity. Departing from the problem of losses, the difficulty of identification and the ineffectiveness of punishment in corruption cases, this type of crime requires extraordinary handling procedures "extraordinary measures" to fulfill aspects of proportionality, justice for the community, and more responsive legal conditions. Extraordinary measures in this paper are formulated by integrating counter measures-pre judicial method and post judicial method punishment aspects. Counter measures-pre judicial method consists of whistleblowing system, reverse burden of proof, and the existence of justice collaborators. Meanwhile, the punishment aspect of the post judicial method refers to the proportional convergence between imprisonment, fines, compensation and asset forfeiture, deprivation of political rights, remission, and parole, as well as the implementation of reintegrative shaming, all of which are carried out dynamically.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fazri Dlis
"ABSTRAK
Penulisan ini akan menganalisis hubungan antara white collar crime dan cyber crime yang dilakukan oleh Sandy Tumiwa dalam bentuk high yield investment program. High yield investment program sendiri adalah sebuah skema ponzi yang menggunakan internet sebagai tempat untuk menawarkan skemanya. Kasus melibatkan beberapa unsur dari white collar crime, salah satunya adalah pelaku dari kejahatan ini, Sandy Tumiwa, yang juga seorang CEO dari PT. CSM Bintang Indonesia menggunakan statusnya sebagai public figure untuk dapat menarik korban. Penulisan ini menggunakan metode unobstrusive sebagai bagian dari pengambilan data. Data-data yang di dapatkan kemudian akan dianalisis menggunakan teori white collar crime dengan menggunakan matrix criminal behavorial system sebagai dasarnya. Penulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana hubungan antara white collar crime yang dilakukan oleh Sandy Tumiwa dengan melakukan penipuan investasi dengan memanfaatkan internet sebagai medianya untuk melakukan kejahatan sehingga terjadi kejahatan berbentuk cyber crime.

ABSTRACT
This paper will analyze the connection between white collar crime and cyber crime that has been done by Sandy Tumiwa through high yield investment program. High yielad investment is a ponzi scheme that held on internet to promote their scheme. This case consist of some white collar crime element, one of it is Sandy Tumiwa, The Ceo of PT. CSM Bintang Indonesia was a famous actor, he use his fame to enticing the victim. This writing using unobstrusive methode as a data gathering methode. Data that found later will be analyzed using white collar crime theory that using criminal behavorial system as it base. This writtng will describing what is the connection between white collar crime that beed done by Sandy Tumiwa and the nvestment that been held in internet as their place to operate so it become a cyber crime."
2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Guardian
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang adanya potensi White Collar Crime dalam proses pemberian sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia MUI . Penelitiandilakukan dengan melihat aspek legal formal, bentuk lembaga MUI, sikapindividu dalam lembaga MUI dan LPPOM sebagai lembaga pengkajian Lab, danrespon lembaga pemerintahan dalam proses sertifikasi halal. Subjek daripenelitian ini yaitu Sertifikasi Halal oleh MUI. Dengan melihat proses sertifikasisecara detail dan menjabarkan proses pembuatan kebijakannya maka dapat terlihatpada bagian mana kejahatan kerah putih dapat berpotensi. Penelitian inimenggunakan teknik wawancara mendalam tidak terstruktur dengan beberapalembaga yaitu MUI, LPPOM, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Tempo Media.Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu kualitatif karena diharapkan dapatmengambarkan potensi kejahatan dari berbagai sisi.

ABSTRACT
This thesis talk about the potential for white collar crime in the process of givingkosher certification by the indonesian ulemas council .The research was done bylooking at formal legal aspects , MUI the form of institution , attitudes ofindividuals with institutions and lppom MUI as an institution for the assessmentthe lab, and response government institutions in the certification process halal.The subject of research is that is kosher certification by MUI .By looking at thecertification process in detail and outline the process of making its policies it canbe seen in the which white collar criminal could potentially .This study used atechnique of in depth interviews lack of structure with several institutions namelyMUI, LPPOM, Government , tempo media. This research approach used thatqualitative and hoped it could show the potential crimes of different thing."
2017
S65992
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titiek Guntari
"Perkembangan kejahatan sebagai hasil daya nalar manusia dalam bentuk pola perilaku merupakan konsekwensi logic dari perkembangan kecerdasan manusia itu sendiri. Hal ini nampak semakin nyata bahwa kejahatan yang menonjol pada abad keduapuluh ini tidak lagi merupakan dominasi mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah melainkan juga merupakan dominasi mereka yang memiliki kemampuan dan tingkat kecerdasan tinggi, termasuk dalam status sosialnya. Kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kecerdasan dan status sosial ekonomi tinggi sering dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih.
Kejahatan kerah putih di Indonesia pada saat ini mulai merebak seperti pencemaran lingkungan, pembajakan hak cipta dan hak milik intelektual, penggelapan pajak, pernalsuan saham, pemutihan uang dan kejahatan perbankan. Dalam kasus tindak pidana lingkungan yang banyak terjadi di Indonesia namun selama ini jarang ada kasus tindak pidana lingkungan yang diselesaikan melalui proses peradilan pidana, kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut terhadap masyarakat sangat besar. Oleh karena itu harus ditanggulangi. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan yang disebut dengan politik kriminal dapat ditempuh dengan menggunakan sarana penal dan sarana nonpenal.
Dalam tesis ini yang menjadi permasalahan adalah kebijakan kriminal yang dilakukan dalam menanggulangi kejahatan kerah putih dalam perkara hukum pidana lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan atau pengabaian sebagai tindak pidana lingkungan didasarkan pada garis--garis kebijaksanaan tertentu dan juga didasarkan pada garis-garis kebijaksanaan yang berorientasi pada nilai-nilai masyarakat yang menghendaki perbuatan mencemarkan dan merusak lingkungan dianggap sebagai perbuatan yang tercela.
Kebijaksanaan penggunaan sanksi hukum pidana sebagai salah satu sarana politik kriminal, selama ini didalarn proses legislatif dianggap sebagai hal yang wajar. Sedang penanggulangan kejahatan melalui jalur nonpenal sasarannya adalah untuk menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Dalam rangka mengendalikan dampak lingkungan dapat dilakukan berbagai upaya pengendalian pencemaran antara lain dengan penggunaan teknologi proaktif yang akrab lingkungan (teknologi bersih)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T2008
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>