Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52429 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fikri Reza
"Penelitian ini membahas konstruksi sosial penyiaran publik terutama terkait dengan lahirnya UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang memuat pasal-pasal penting tentang penyiaran publik sekaligus implementasinya terhadap penyiaran publik dalam masa transisi demokrasi yang diwarnai oleh relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya baik ekonomi politik yang tidak seimbang. Mengingat dalam perumusan penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 berdasarkan proses-proses konstruksi sosial yang menjadikannya sebagai 'arena' pertarungan dan kepentingan antara struktur dan agency. Karena itu, realitas simbolis penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 menunjukan upaya mereproduksi legitimasi dan stabilitas rezim authoritarian bureaucratic dengan rezim fundamentalisme pasar untuk melanggengkan kekuasaan politik dan ekonominya melalui institusi penyiaran publik. Walhasil, terdapat makna ganda di mana di satu sisi membuka peluang bagi kehadiran penyiaran publik, namun di sisi lain terdapat kontradiksi konseptual dalam pasal-pasal tersebut yang merupakan faktor penghambat perwujudan penyiaran publik.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan kualitatif. Untuk pengumpulan data dilakukan melalui document analysis, depth interviewing, dan unstructure observation. Dad data yang diperoleh baik berupa dokumen atau hasil wawancara selanjutnya dianalisis adalah Critical Political Economy yang mencoba membongkar kesadaran palsu (false consciousness) yang ditimbulkan oleh "damaging arrangement? (Littlejohn, 1999) pada dua kondisi khusus. Pertama, kencenderungan peralihan masa transisi demokrasi dari sistem penyiaran dikontrol oleh rezim kekuasaan (seperti era Orde baru) kepada sistem penyiaran yang mengakomodasi penyiaran publik dalam UU Penyiaran sebagai ruang publik yang bebas dan netral untuk memposisikan publik menjadi sender sekaligus receiver berdasarkan keinginan dan kebutuhan publik.
Kedua, terdapatnya kontradiksi internal di dalam struktur masa transisi demokrasi ini yang merasa paling mengetahui dan memahami berbagai kebutuhan dan keinginan publik dalam konsep penyiaran publik, sehingga proses perencanaan, perumusan, dan pengesahan yang tersimbolisasi pada pasai-pasal tentang penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 hanya dilakukan atau melibatkan sekelompok elit di lingkungan legislatif dan eksekutif dalam struktur politik tersebut yang disebut sebagai kecenderungan Paternalistik. Meskipun memang sudah melalui forum konsultasi publik yang diposisikan sebagai legalitas formal dari proses keterlibatan publik semata.
Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa konstruksi sosial yang melibatkan pertarungan kepentingan antara struktur dan agency dalam konteks penyiaran publik dalam masa transisi ini menunjukan sebuah konsep penyiaran publik yang belum ideal. Implikasinya adalah pada tahap implementasi penyiaran publik secara kongkrit mengalami hambatan-hambatan ganda, yaitu di satu sisi konsep penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 masih didominasi oleh intervensi negara dan pasar, sedangkan di sisi lain secara ekplisit implementasi pasal-pasal tersebut (sejauh dimungkinkan untuk disepakati konseptualisasinya) juga dihambat dalam Bab XI Ketentuan Peralihan Pasal 60 yang menyebabkan terjadinya intervensi pada lembaga penyiaran publik nasional dalam hal pergantian direksi yang secara nyata oleh Meneg BUMN (Laksamana Sukardi) yang telah melanggar dari UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Namun, pelanggaran tersebut dianggap wajar terjadi pada masa penyesuaian.
Situasi sejarah lahimya penyiaran publik terkait dengan apa yang disebut oleh Golding dan Murdock (dalam Barret, 1995) dengan perkembangan kapitalisme dalam sebuah konteks historis yang spesifik. Dalam perkembangan kapitalisme, deregulasi di bidang penyiaran masa transisi demokrasi ini adalah upaya penghapusan terhadap state regulation (regulasi negara seperti yang terjadi pada Orde Baru, di mana negara melakukan kontrol preventif terhadap industri penyiaran), untuk digantikan oleh market regulation (regulasi melalui mekanisme pasar). Industri penyiaran akan sangat rentan dan akan senantiasa mendasarkan diri pada kaidah-kaidah penawaran-perrnintaan pasar, melalui dogma rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi-konsumsi, dan logika never-ending circuit of capital accumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22440
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Maimun Wakhid Irma
"Penelitian ini membahas konstruksi sosial penyiaran publik terutama terkait dengan lahimya UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang memuat pasal-pasal panting tentang penyiaran publik sekaligus implementasinya terhadap penyiaran publik dalam masa transisi demokrasi yang diwarnai oleh relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya baik ekonomi politik yang tidak seimbang. Mengingat, dalam perumusan penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 berdasarkan proses-proses konstruksi sosial yang menjadikannya sebagai 'arena' pertarungan dan kepentingan antara struktur dan agency. Karena itu, realitas simbolis penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 menunjukan upaya mereproduksi legitimasi dan stabilitas rezim authoritarian bureaucratic yang berkelindan dengan rezim fundamentalisme pasar untuk melanggengkan kekuasaan politik dan ekonominya melalui institusi penyiaran publl Walhasil, terdapat makna ganda di mana di satu sisi membuka peluang bagi kehadiran penyiaran publik, namun di sisi lain terdapat kontradiksi konseptual dalam pasal-pasal tersebut yang merupakan faktor penghambat perwujudan penyiaran publik.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan kualitatif. Untuk pengumpulan data dilakukan melalui document analysis, depth interviewing, dan zinstruchire observation. Dad data yang diperoleh baik berupa dokumen atau hasil wawancara selanjutnya dianalisis adalah Critical Political Economy yang mencoba membongkar kesadaran palsu false consciousness) yang ditimbulkan oleh "damaging arrangement" (Littlejohn, 1999) pada dua kondisi khusus. Pertama, kencenderungan peralihan masa transisi demokrasi dari sistem penyiaran dikontrol oleh rezim kekuasaan (seperti era Orde baru) kepada sistem penyiaran yang mengakomodasi penyiaran publik dalam UU Penyiaran sebagai ruang publik yang babas dan netral untuk mernposisikan publik menjadi sender sekaligus receiver berdasarkan keinginan dan kebutuhan publik.
Kedua, terdapatnya kontradiksi internal di dalam struktur masa transisi demokrasi ini yang merasa paling mengetahui dan memahami berbagai kebutuhan dan keinginan publik dalam konsep penyiaran publik, sehingga proses perencanaan, perumusan, dan pengesahan yang tersimbolisasi pada pasal-pasal tentang penyiaran publik dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 hanya dilakukan atau melibatkan sekelompok elit di lingkungan legislatif dan eksekutif dalam struktur politik tersebut yang disebut sebagai kecenderungan Paternalistik Meskipun memang sudah melalui forum konsultasi publik yang diposisikan sebagai legalitas formal dari proses keterlibatan publik semata.
Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa konstruksi sosial yang melibatkan pertarungan kepentingan antara struktur dan agency dalam konteks penyiaran publik dalam masa transisi ini rnenunjukan sebuah konsep penyiaran publik yang belum ideal implikasinya adalah pada tahap implementasi penyiaran publik secara kongkrit mengalami hambatan-hambatan ganda, yaitu di satu sisi konsep penyiaran publik dalam pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 masih didominasi oleh intervensi negara dan pasar, sedangkan di sisi lain secara ekplisit implementasi pasal-pasal tersebut (sejauh dimungkinkan untuk disepakati konseptualisasinya) juga terdapat dalam Bab XI Ketentuan Peralihan Pasal 60 yang menyebabkan terjadinya intervensi pada RRI sebagai lembaga penyiaran publik nasional dalam hal pergantian direksi yang secara nyata oleh Meneg BUMN (Laksaunana Sukardi) yang telah melanggar dari UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Namun, pelanggaran tersebut dianggap wajar terjadi pada masa penyesuaian selama 2 tahun untuk RRI sebagai penyiaran publik. Contoh pada Radio Berita Namlapanha dalam situasi yang serba transisi ini sesungguhnya mungkin untuk menjadi penyiaran publik, ketika secara konseptual dan prinsip-prinsip meleburkan diri pada penyiaran publik, dan harus didukung oleh payung undang-undang yang secara ekplisit dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 ini belum memberi tempat yang kondusif. Pada tataran inilah bahwa konstruksi sosial tentang penyiaran publik belum berakhir dan final, karena itu butuh perjuangan yang melibatkan interplay antara struktur dan agency dalam sebuah distribusi sumberdaya ekonomi politik yang seimbang (demokrasi).
Historical situatedness lahirnya penyiaran publik terkait dengan apa yang disebut oleh Golding dan Murdock (dalam Barret, 1995) dengan perkembangan kapitalisme dalam sebuah konteks historis yang spesifik Dalam perkembangan kapitalisme, deregulasi di bidang penyiaran masa transisi demokrasi ini adalah upaya penghapusan terhadap state regulation (regulasi negara seperti yang terjadi pada Orde Baru, di mana negara melakukan kontrol preventif terhadap industri penyiaran), untuk digantikan oleh market regulation (regulasi melalui mekanisme pasar). Industri penyiaran akan sangat rentan dan akan senantiasa mendasarkan diri pada kaidah-kaidah penawaran-permintaan pasar, melalui dogma rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi-konsumsi, dan logika never-ending circuit of capital acumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Mufid
"Peneliti tertarik membahas interaksi kekuasaan seputar penyusunan UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sebagai upaya demokratisasi dunia penyiaran. Regulasi sebelumnya yakni UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran merupakan personifikasi otoriterianisme dan represifme rezim terhadap dunia penyiaran mengingat dunia penyiaran merupakan dunia yang dinamis, penelitian ini secara tegas membatasi diri hingga tanggal 12 Maret 2003. Pertimbangannya, karena pada tanggal sejumlah organisasi yang merepresentasikan kepentingan kalangan industri penyiaran mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung RI.
Regulasi media pasca reformasi tersebut tentu tidak Iahir begitu saja, melainkan muncul dari pergulatan panjang berbagai kepentingan dan kekuatan yang mendeterminasi keseluruhan proses penyusunan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk itu sangat relevan jika peneliti mengungkapkan: Bagaimana menjelaskan interaksi konfliktual struktur (variasi negara dan pasar) vis-a-vis agensi (organisasi jurnalis dan anggota civil society lainnya) seputar penyusunan regulasi penyiaran media pasca reformasi? Bagaimana pihak-pihak tersebut mengkonstruksi realitas UU Penyiaran 2002 dalam konteks kepentingan masing-masing? Serta bagaimana menjelaskan relasi saling mempengaruhi (interplay) antara strktur dan agensi seperti di atas, serta bagaimana kepentingan ekonomi-poiitik pihak-pihak yang terkait dileburkan ke dalarn UU Penyiaran 2002 tersebut?
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Sementara tipe penelitiannya bersifat kualifatif. Untuk pengumpulan data di lapangan digunakan tiga teknik; analisa dokumen dipergunakan untuk menelaah data-data yang telah ada baik berupa berbagai draft RUU Penyiaran versi DPR, pemerintah, publik (berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkan nilai-nilai publik) serta dari kalangan industri penyiaran, juga risalah berbagai rapat yang berlangsung di DPR seputar isu dimaksud, wawancara mendalam, wawancara mendalam dengan nara sumber yang relevan dengan substansi masalah penelitian, dan pengamatan tak restruktur, observasi tidak terstruktur dengan mengamati perkembangan seputar penyusunan UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Data yang didapat kemudian dianalisa dengan perspektif critical political economy dengan varian konstruktivisme. Untuk membantu mempertajam analisa, juga digunakan Teori Konstruksi Sosial yang dikembangkan oleh Berger&Luckrnann (1966) untuk memahami UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai sebuah realitas sosial.
Hasil temuan di Iapangan menunjukkan bahwa terdapat 2 aspek historical siruaredness yakni pertama, gerakan reformasi yang menumbuhkan tuntutan desentralisasi penyiaran. Reformasi menumbuhkan semangat kedaerahan sedemikian kuat sehingga dunia penyiaran juga terkena implikasinya. Terutama sistem penyiaran yang sentralistik Jakarta, dipandang tidak sesuai dengan semangat kedaerahan. Kedua, ekspansi kapitalisme global yang mengambil noe-liberalisme sebagai ruh. Pada sisi ini, kecenderungan untuk mengubah regulasi penyiaran yang state oriented diarahkan sedemikian rupa-menjadi melulu berorientasi pada pasar (marker oriented), tidak lain adalah bentuk ekspansi kapitalisme global yang pada titik tertentu mengatasnamakan publik untuk menggeser peran negara.
Sejumlah interaksi konfliktual muncul dan berkembang seiring dengan proses penyusunan UU N032 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut. Secara keseluruhan, terdapat tida poros kekuatan yang terlibat dalam perguiatan tersebut, yakni negara (variansi eksekutif dan legislatif), publik dan pasar. Terdapat kekuatan saling mempengaruhi (interplay) antara satu kekuatan dengan yang lainnya, sehingga pada satu titik masing-masing negara, publik dan pasar dirugikan, namun pada titik yang lain sebaliknya. Interaksi konfliktuil tersebut, selain dikarenakan perbedaan kepentingan, juga dikarenakan terdapat perbedaan dalam mengkonstruksi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai suatu realitas sosial.
Satu hal yang pasti, secara keseluruhan tidak ada yang paling diuntungkan dalam pergulatan kepentingan tersebut karena selalu saja terjadi kompromi dalam setiap isu, hanya kalau dilihat dari aspek kerugian, maka pasarlah (baca: industri penyiaran) yang paling dirugikan, terutama dengan penerapan sistem siaran berjaringan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suko Widodo
"Sejak tanggal 7 Juni 2000, RRI memasuki babak baru dalam sejarahnya, yakni dengan PP No. 37 Tahun 2000, RRI telah ditetapkan sebagai radio publik. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya bagi mereka yang ikut bergerak memperjuangkan reformasi, ini adalah suatu perubahan besar. Mereka semata memandang RRI selama masa Orde Baru sebagai state ideological apparatus. Sedang bagi sebagian angkasawan RRI, tuntutan untuk kembali ke radio publik ini sebetulnya hanya mengembalikan mereka kepada jejak sejarah mereka yang paling awal yakni terlahir sebagai radio perjuangan sejak 11 September 1945.
Studi ini menganalisis proses negosiasi bentuk dan fungsi RRI dan perubahan-perubahan kebijakan visi dan misi RRI, sehubungan dengan transisi tersebut dengan pendekatan ekonomi-politik media. Sebagai sebuah studi kualitatif yang berupaya memahami bagaimana para nara sumber (pelaku berbagai konteks sejarahl/historical situatedness) membangun proses-proses berpikirnya dan merekonstruksi persepektif-perspektif mereka, make peneliti berusaha untuk mencoba "menempatkan diri" pada posisi nara sumber, untuk mendapatkan sebuah penjelasan yang memiliki otentifikasi dari pada nara sumber. Penelitian ini dilakukan melalui metode indepth interview dengan 38 nara sumber terdiri dari kalangan RRI pusat dan daerah, DPR, DPRD, pemerintah daerah, akademisi dan LSM di 11 kota.
Dengan analisis ekonomi-politik media, maka kedua cara pandang yang terdapat di kalangan masyaxakat dan RRI, dapat memperlihatkan bahwa para pengamat atau peneliti bisa memandang setiap historical situatedness atau "epoch" sebagai sebuah "still photo" yang berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan untuk menggambarkan sebuah penjelasan yang lebih komprehensif, peneliti dapat mengumpulkan konteks-konteks sejarah yang dianggap penting dan kemudian dilihat akurnalasi, komposisi, dan kekuatan bobot relatif hubungan kausalnya masing-masing untuk melahirkan konteks sejarah selanjutnya.
PP No. 37 Tahun 2000 dapat dilihat sebagai sesuatu yang terkait dengan sejarah lahimya RRI, berbagai konteks sejarahnya pada masa RIS, Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan Pasca Orde Baru. Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa dan aktivis, jatuhnya Rezim Orde Baru 21 Mei 1998, serta dilikuidasinya Departemen Penerangan, merupakan historical situatedness mutakhir yang penting; dimana terhadap peristiwa-peristiwa awal tersebut angkasawan RRI relatif berada dalam posisi menunggu atau sekedar responsif. Namun serf historical situatedness selanjutnya memperlihatkan bagaimana angkasawan RRI mulai mencoba aktif dalam melakukan berbagai interaksi dengan struktur. Antara lain melalui gerakan-gerakan angkasawan muda RRI (poros Jakarta-Yogyakarta), interaksi RRI dengan LSM dan aktivis advokasi publik, lobi-lobi terhadap struktur politik Indonesia pada saat itu, serta (puncaknya) keluarnya PP No. 37 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan RRI. Beberapa titik sejarah panting lainnya dalam masa transisi RRI adalah upaya melakukan need assessment bersama publik, merubah dimensi proses produksi berita, serta mencermati kembali masalah siaran pedesaan yang pernah menjadi primadona atau puncak kontribusi RRI.
Dalam setiap historical situatedness tersebut digambarkan interaksi antara struktur dan agensi, yang selalu diletakkan dalam interkontekstualitas antara faktorfaktor di level makro (faktor-faktor sosiokultural yang mempengaruhi), level meso (produksi dan konsumsi teks), dan mikro (isi teks program RRI). Dari berbagai interaksi tersebut, dikaji pula beberapa potensi kelemahan yang masih akan mewarnai perjalanan sari konteks sejarah selanjutnya. Antara lain: interaksi pusat-daerah, persoalan kepegawaian dan sumber daya manusia, belum adanya lembaga supervisi penyiaran publik, belum tumbuhnya upaya pembangkitan dana publik yang baik, serta belum dilakukannya riset pendengar dan promosi yang memadai. Analisis terhadap potensi kelemahan ini kemudian diformulasikan melalu implikasi teroretis menjadi sejumlah prediksi dan saran-saran.
Dengan demikian selain mempunyai signifikasi teoretis (belum lazimnya penggunaan analisis ekonomi politik terhadap proses transisi sebuah radio negara menuju sebuah radio publik), penelitian ini diharapkan memiliki signifikansi praktis untuk dapat dimanfaatkan pihak RRI dan pihak relevan lainnya dalam membantu kesuksesan proses transisi tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9873
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI , 2003
384.54 KON
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yorita L.S. Bernadetta
"Pasca Reformasi 1998 stasiun-stasiun televisi bermunculan di Indonesia. Mereka bersaing untuk dapat tetap eksis. Maraknya program-program bertema kriminalitas di sejumlah besar stasiun televisi swasta nasional telah menciptakan suatu keadaan yang memprihatinkan bagi dinamika perkembangan pertelevisian Indonesia itu sendiri. Kritikan demi kritikan dilontarkan berbagai kalangan terhadap maraknya tayangan kriminalitas yang selalu hadir di ruang-ruang keluarga. Ironisnya, walaupun banyak pandangan yang tidak setuju dengan hadirnya berbagai bentuk tayangan kriminalitas, pada kenyataannya tayangan seperti itu terus berkembang dengan berbagai bentuknya. TV7 sebagai pendatang baru dalam industri televisi swasta tidak mau ketinggalan dalam memproduksi dan mendistribusikan (praktek komodifikasi) program sejenis, yang disebut dengan Tajuk Kriminal dan Perkotaan (TKP) yang saat ini dihadirkan setiap hari dua kali sehari dalam satu minggu (kecuali hari Sabtu hanya satu kali, yaitu pada siang hari).
Fokus tesis ini adalah berusaha menjelaskan bagaimana TV7 mengemas berita kriminalitas dalam program TKP, menggambarkan banyaknya pendapatan yang diperoleh stasiun televisi TV7 melalui tayangan TKP, menggambarkan audience profile tayangan TKP Siang, TKP Sore maupun TKP Malam dan mengevaluasi atau mengkritisi tanggungjawab sosial TV7 terhadap khalayaknya melalui tayangan kriminalitas TKP.
Dalam mengkritisi fenomena program bertema kriminalitas, tesis ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan paradigma kritis
dan bersifat deskriptif. Sementara metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui studi literatur (kepustakaan), wawancara mendalam terhadap sejumlah narasumber yang berkompeten di TV7, serta melakukan observasi langsung terhadap tayangan program TKP tersebut.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dengan semakin ketatnya persaingan antar industri televisi swasta di Indonesia saat ini, dimana seluruh stasiun televisi swasta nasional yang ada menayangkan program kriminalitas, mendorong para pengelola stasiun televisi untuk menciptakan peluang bisnis tertentu dengan menciptakan strategi programming yang disukai khalayak. Industri televisi adalah sebuah industri yang modalnya sangat besar, otomatis juga membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit, oleh sebab itu para pengelola stasiun televisi berusaha untuk mendapatkan keuntungan dengan menjual program yang "disukai" penonton dan seolah "memaksa? mereka untuk berargumentasi bahwa selama pemirsa dan. pengikian menyukai tayangan bertema kriminalitas ini, maka selama itu pula mereka akan memproduksi dan menayangkan (mendistribusikan) ke layar kaca pemirsa.
Bukti yang ditemukan juga menunjukkan bahwa membanjirnya iklan ke progam TKP mendorong managemen TV7 untuk terus menambah frekuensi penayangannya, dari yang semula sekali dalam satu hari menjadi dua kali dalam satu hari dalam seminggu. Ironisnya, program yang semula diklaim memiliki ciri khas karena ada segmentasi untuk iklan layanan masyarakat dalam program sore/malam hari ternyata dalam perjalanannya tak lebih dari sekedar bagian dari tekno kapitalis.
Implikasi hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa studi terhadap masalah-masalah isi program televisi bagi pemirsanya, khususnya studi ekonomi-politik yang terkait dengan komodifikasi program kriminalitas di televisi swasta, pada dasarnya perlu dikaji lebih lanjut secara kritis dan holistik dengan menyertakan dua entry point lainnya, yaitu spasialisasi dan strukturasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Singgih Sasongko
"Tesis ini berangkat dari pertanyaan pokok yang intinya mempertanyakan bagaimana interaksi antara negara, media dan civil society dalam bingkai ekonomi-politik negara Orde Reformasi (Era Transisi). Penulis melihat adanya pertarungan berbagai macam kepentingan dalam menyusun kebijakan penyiaran di. Indonesia yang ternyata sangat dipengaruhi oleh dinamika interaksi ketiga komponen tersebut. Secara lebih spesifik, penelitian ini mencoba menyajikan realitas empiris menyangkut kebijakan penyiaran yang diterapkan oleh pemerintah terhadap stasiun TVRI.
Metode yang digunakan untuk menggambarkan secara rinci dan jelas topik yang dibahas adalah metode Studi Kasus. Sedangkan pendekatan yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam studi ini adalah pendekatan ekonomi-politik kritis. Pendekatan ini umumnya berangkat dari perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan. dan mekanisme kerja kekuatan pasar media (McQuail, 1996:63). Selain itu, implikasi bagi kepentingan publik hanya dapat dipahami secara lebih komprehensif jika digunakan pendekatan ekonomi-politik kritis karena era transisi ditandai oleh adanya tarik-ulur dan benturan kepentingan antara variabel-variabel ekonomi dan variabel-variabel politik.
TVRI digunakan sebagai fokus kajian dalam penelitian ini mengingat selarna ini keberadaannya masih dianggap penting dan ternyata TVRI memiliki dinamikanya sendiri ditengah maraknya industri pertelevisian di Indonesia. Selain itu, eksistensi TVRI akan semakin diperhitungkan seiring dengan perubahan status yang disandangnya sebagai lembaga penyiaran publik, sebuah lembaga yang mempunyai posisi sangat strategis di era demokrasi.
Penibahasan tentang W No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran digunakan untuk melihat lebih tajam bagaimana realitas empiris kebijakan yang ditempuh oleh negara dalam interaksinya yang dinamis dengan media dan civil society/publik dalam konteks era Orde Reformasi. Sebagai sebuah produk hukum, UU Penyiaran ini ternyata masih mengundang kontroversi yang begitu dahsyat karena bersinggungan langsung dengan kepentingan berbagai kelompok.
Hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa ada penibahan yang cukup mendasar menyangkut pola hubungan kekuasaan antara negara - media -- dan masyarakat. Namun dernikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa perubahan struktur ekonomi-politik telah memunculkan peran kekuatan masyarakat dan media dalara mengontrol kekuasaan negara (state power). Perubahan pola hubungan ini tercermin dalam kebijakan penyiaran di Indonesia: Pertarna, intervensi pemerintah dalam bidang penyiaran sudah tidak terlalu dominan. Indikasi ini terlihat dengan dihapuskannya lembaga penyiaran negara dan diakuinya lembaga penyiaran publik, juga lembaga penyiaran komunitas. Selain itu, pemerintah juga tidak bisa lagi mengatur lembaga penyiaran melalui sebuah lembaga khusus bentukan negara atau lembaga di bawah departemen negara. Pengaturan institusi penyiaran diserahkan kepada sebuah lembaga independen yakni Komisi Penyiaran Indonesia (PI) yang tidak bertanggungjawab kepada Pemerintah tetapi bertanggungjawab kepada DPR/DPRD sebagai representasi rakyat.
Kedua, kontroversi seputar pengesahan UU Penyiaran No. 32 Tabun 2002 mencerminkan masih adanya benturan kepentingan antara negara dan publik. Di antara kelompok masyarakat/publik sendiri muncul pro-kontra khususnya antara kelompok pemilik modal dan praktisi penyiaran yang menolak tegas UU ini dengan beberapa pihak yang mendukungnya. Implikasi praktis situasi seperti ini adalah semakin meningkatnya kesadaran publik akan hak-hak mereka dalam penyelenggaran penyiaran. Paling tidak, ada peluang munculnya civil society yang kuat sehingga publik bisa lebih berperan dalam proses pelembagaan referensi etik, normatif, dan regulatif bidang komunikasi massa.
Secara teoritis, deregulasi bidang penyiaran yang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR belum sepenuhnya mencerminkan model penyiaran yang demokrass. Dalam hal ini, filosofi kepentingan publik (public interest) sebagai konsep kunci demokrasi masih akan sulit diwujudkan. Dalam masyarakat demokrass, regulasi penyiaran harusnya memenuhi kriteria: Pertama, akuntabilitas publik (accountability), yang berarti lembaga penyiaran bertanggungjawab memenuhi kepentingan publik. Kedua, kecukupan (adequacy), berwujud keanekaragaman program yang menyentuh seluruh segmen masyarakat secara adil, proporsional, dan berimbang. Ketiga, akses (access), yakni upaya memberikan hak seluas-luasnya kepada publik untuk memperoleh informasi (Kellner, 190:185)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Muntaz
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T37064
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>