Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132330 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Dwi Susanto
"Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai set infla nasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan termasuk refluks gastroesofagus.
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lanibung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus berhubungan erat dengan berbagai gejala dan kelainan saluran napas termasuk batuk kronik serta asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. Oster memperkirakan bahwa serangan asma mungkin disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Kekerapan penyakit refluks gastroesofagus pada asma secara pasti tidak diketahui, diperkirakan antara 34-89%.
Penelitian menunjukkan sekitar 55-82% pasien asma mempunyai gejala PRGE. Hasil pemeriksaan endoskopi pasien asma menunjukkan kekerapan esofagitis antara 27-43%. Peran pengobatan PRGE terhadap kontrol asma masih belum jelas. Pengobatan dengan antirefluks tidak konsisten dalam memperbaiki faal paru, gejala asma, asma ma'am ataupun penggunaan obat asma pada pasien asma tanpa reflux associated respiratory symptoms (RARS).
Rangkuman berbagai penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa terapi dengan obat-obat antirefluks mengurangi gejala asma, mengurangi penggunaan obat-obat asma tetapi mempunyai efek minimal atau bahkan tidak ada pada faal paru. Penghambat pampa proton (PPP) telah dikenal sebagai obat terbaik untuk tatalaksana PRGE. Penggunaan PPP pada pasien asma dengan PRGE terlihat penurunan gejala asma 43% setelah 2 bulan pengobatan serta 57% setelah 3 bulan pengobatan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
610 JKI 22:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Kurniati Tjahjadi
"Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang merupakan masalah kesehatan dunia. Adanya perubahan gaya hidup, kerusakan lingkungan, meningkatnya paparan polusi dan alergen berdampak pada kesehatan sistem pernapasan, mengakibatkan angka kejadian asma semakin meningkat. Ekstrak etanol patikan kebo (Euphorbia hirta) diketahui mengandung antiinflamasi, salah satunya adalah β-amyrin, yang secara turun-temurun dipakai untuk mengurangi keluhan batuk pada asma.
Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah herbal patikan kebo benar mempercepat pengurangan keluhan gejala asma bila ditambahkan pada pengobatan penderita asma persisten sedang. Studi awal ini melibatkan 20 orang responden yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok plasebo, masing-masing 10 orang. Kelompok perlakuan mendapat kapsul ekstrak patikan kebo 2 x 2 kapsul / hari yang mengandung 385 mg tiap kapsulnya selama 8 minggu.
Hasil studi secara statistik ditemukan adanya kecenderungan perbaikan nilai skor asma kontrol test (ACT). Ditemukan peningkatan yang tidak bermakna dari nilai arus puncak ekspirasi (APE) maupun penurunan jumlah eosinofil sputum.

Asthma is a chronic respiratory disease which has become a global health issue. Effect of lifestyle changes, environmental degradation, pollution and allergen exposure on the health of the respiratory system, have led to the increasing incidence of asthma. Ethanolic extract of patikan kebo (Euphorbia hirta) is known to have an antiinflamatory effect due to one of its active compound, β-amyrin. Patikan kebo has been used for generations to reduce cough in asthma.
Therefore, we wanted to see whether or not the addition of patikan kebo in treatment of moderate persistent allergic asthma can accelerate the reduction of asthma symptoms. This is a preliminary study, consisted of 20 subjects divided into 2 groups: the treatment group and the placebo group, 10 people each. The treatment group received extract capsules patikan kebo extract capsules at 2 x 2 capsules / day containing 385 mg per capsule for 8 weeks.
The study shows a statistically significant trend toward improved asthma control test (ACT) scores. There is no significant increase of peak expiratory flow or decrease in the number of sputum eosinophils."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T32159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Maurits
"Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang merupakan masalah kesehatan dengan kekerapan yang meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti di Indonesia. Di Indonesia asma merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak setelah infeksi. Berdasarkan survai kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 asma, bronkitis dan penyakit saluran napas lain merupakan penyebab kesakitan nomor lima dan penyebab kematian nomor sepuluh, sedangkan menurut SKRT 1992 asma, bronkitis dan emfisema penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia.
Proses inflamasi pada asma sangat kompleks karena melibatkan banyak komponen set inflamasi pada asma. Sel inflamasi yang utama berperan pada patogenesis asma adalah set limfosit T, sel mast dan eosinofil. Aktivasi sel limfosit T menyebabkan pengerahan sekresi eosinofil yang menimbukan kerrasakan epitel dan hipereaktiviti bronkus. Eosinofil merupakan sel inflamasi yang berperan dalam proses inflamasi kronik saluran napas penderita asma dan migrasi eosinofil ke saluran napas merupakan tanda khas pada penderita asma termasuk pada saat eksaserbasi. Inflamasi saluran napas ini dapat dinilai secara langsung dengan mengukur jumlah eosinofil bronkus maupun melalui eosinofil darah.
Pada sejumlah kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan atopi atau alergi melalui mekanisme IgE dependent Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar IgE total serum dengan hiperreaktiviti bronkus pada penderita asma. Jensen dkk menyimpulkan kadar IgE total serum tidak berhubungan dengan derajat hipereaktiviti bronkus. Peran infeksi saluran napas pada eksaserbasi asma sudah diketahui sejak lama terutama infeksi oleh virus yang diperkirakan sebesar 80% pasien. Infeksi bakteri beberapa tahun terakhir ini saja dianggap berperan pada asma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Restiawati
"Latar belakang penelitian : Gejala klinis dan fungsi paru pada asma tidak sensitif dalam mencerminkan inflamasi saluran napas yang mendasarinya dan monitoring proses inflamasi pada asma yang terbaru telah tersedia saat ini. Kadar NO pada udara ekspirasi saat ini dikenali sebagai tanda peradangan eosinofil, merupakan pemeriksaan non invasif dan sangat mudah untuk dikerjakan akan tetapi masih sangat mahal.
Metode penelitian : Asma dibagi menjadi 2 kategori yaitu terkontrol dan tidak terkontrol. Sembilan puluh enam subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dinilai kontrol asmanya dengan ACT kemudian dilakukan pengukuran kadar NO dan spirometri dengan menggunakan metode penelitian cross-sectional comparative.
Hasil penelitian : Sembilan puluh enam subyek penelitian berhasil dikumpulkan. Lima puluh orang subyek merupakan kelompok asma terkontrol (41 orang asma terkontrol sebagian dan 8 orang asma terkontrol penuh) dan 47 orang merupakan kelompok asma tidak terkontrol. Semua pasien mendapatkan terapi asma sesuai dengan GINA 2011. Berdasarkan nilai spirometri VEP1/KVP untuk menilai derajat obstruksi 26 (53,3%) kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai normal, 14 (29,8%) dengan obstruksi ringan dan 7 (14,9%) dengan derajat obstruksi sedang. Sementara itu 25 (51%) kelompok asma terkontrol memiliki nilai normal, 21 (42,9%) dengan derajat obstruksi ringan dan 3 (6,1%) dengan derajat obstruksi sedang. Tidak ditemukan derajat obstruksi berat pada kedua kelompok asma. Nilai median NO pada kelompok asma terkontrol adalah 27 part per billion (ppb) xx (6;10), sedangkan pada kelompok asma tidak terkontrol 40 ppb (5;142) dengan nilai p 0,002.
Kesimpulan : Kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai NO lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok asma terkontrol. Lebih dari 50% subyek penelitian ditemukan tidak memiliki obstruksi berdasarkan nilai VEP1/KVP.

Background: Clinical findings and lung function test results of asthmatic patient are happen to be less sensitive in reflecting the underlying airway inflammation. Such required monitoring of this process has only recently become available. Exhaled nitric oxide is recognized as reliable surrogate marker of eosinophilic airway inflammation and offers the advantage of being completely non-invasive, easy procedure.
Methods: This cross-sectional comparative study involves 96 asthmatic subjects whom fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Subjects are then classified into two main categories of asthma which are controlled asthma and uncontrolled asthma based on ACT questionnaire. Nitric oxide level measurement and spirometry examination are then performed in both of controlled asthma and uncontrolled asthma.
Results: Ninety six subjects were included in this study. Fifty subjects had controlled asthma (41 partially controlled, 8 fully controlled) and 47 had uncontrolled asthma. All patients had been using asthma medication on regular basis. Based on FEV1/FVC 26 (55,3%) uncontrolled asthma patients had normal results, 14 (29,8%) had mild obstruction and 7 (14,9%) had moderate obstruction. Meanwhile, 25 (51%) controlled asthma patients had normal results, 21 (42,9%) had mild obstruction, and 3 (6,1%) had moderate obstruction. No patients had severe obstruction. Median of NO in controlled asthma patients was 27 part per billion (ppb), (6;110) while in uncontrolled asthma was 40 ppb (5;142) with pvalue 0,002.
Conclusion: Uncontrolled asthma patients had higher measured level of exhaled NO compared to controlled asthma patients. More than 50% subjects had no obstruction based on FEV1/FVC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Victor Sahat
"Latar belakang
Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus i.v. aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (1-3).
Dari beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa baik efek terapi maupun efek toksik teofilin sangat berkaitan dengan kadar teofilin dalam serum. Untuk bronkodilatasi, lajak kadar teofilin serum terapetik adalah sempit yaitu 10 - 20 μg/ml (1,2,4-7). Disamping mempunyai efek terapetik yang rendah, variasi biotransformasi atau bersihan total teofilin, baik intraindividual maupun interindividual sangat berpengaruh pada kadar teofilin serum. Oleh karena itu pemantauan kadar teofilin serum dengan penerapan prinsip farmakokinetik sangat penting dalam optimasi penggunaan teofilin (1,8-12).
Dalam praktek, untuk menanggulangi serangan asma akut, seringkali penderita yang datang ke rumah sakit diberikan dosis awal bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB tanpa memperhitungkan apakah penderita ini telah mendapat teofilin dalam waktu sehari sebelumnya. Kemudian, apabila serangan dapat diatasi, penderita tidak mendapat infus aminofilin melainkan hanya mendapat resep dokter untuk membeli sediaan teofilin per oral di apotek sebagai kelanjutan terapi di rumah. Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB. Kemudian dosis awal ini harus dilanjutkan dengan pemberian infus aminofilin untuk mempertahankan kadar teofilin serum terapetik (1,2).
Interval waktu seteiah pemberian bolus i.v. aminofilin yang diberikan di rumah sakit sampai penderita minum sediaan teofilin per oral. di rumah diperkirakan 3 - 6 jam. Oleh karena itu kadar teofilin serum sebelum bolus injeksi aminofilin dan sesudahnya sampai 6 jam serta hubungannya dengan efek terapi dan efek sampingnya perlu diteLiti pada penderita asma bronkial akut yang hanya mendapat bolus i.v. aminofilin dengan dosis standar 5,6 mg/kg BB di rumah sakit?
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Purwanto
"Asma merupakan penyakit penyempitan saluran pernapasan yang dapat hilang timbul pada manusia karena adanya hipersensitivitas pada saluran pernapasan tersebut. Karena sifatnya yang hilang-timbul, asma dapat mempengaruhi produktivitas kerja seseorang melalui serangan asma. Senam Asma Indonesia merupakan salah satu exercise penunjang dalam pengobatan asma, karena dengan mengikuti Senam Asma Indonesia otot-otot pernapasan dibentuk sedemikian rupa agar pada waktu serangan asma otot-otot pernapasan tersebut dapat berfungsi secara optimal untuk membantu bernapas. Kegiatan Senam Asma Indonesia dilakukan di berbagai klub asma yang ada di Indonesia. Di DKI Jakarta saja terdapat lebih dari 20 klub. Kegiatan klub asma diawasi oleh minimal seorang dokter spesialis paru atau dokter umum. Selain kegiatan Senam Asma Indonesia juga dilakukan penyuluhan tentang asma dan pengukuran fungsi paru melalui PFR (Peak Flow Rate).
Berdasarkan temuan ternyata 74% responden memiliki sikap dan perilaku yang baik, hanya 24 % responden pernah berkunjung ke IGD, angka rata-rata absensi dari sekolah/pekerjaan 2,25 ± 3,08 per bulan hari dengan absensi 3 bulan terakhir sebesar 3,4 ± 5,42 hari, Biaya penanggulangan penyakit asmanya rata-rata per-orang setiap bulannya sebesar Rp. 24.220,- ± Rp.28.066; , dengan pengeluaran 3 bulan terakhir per-orang sebesar Rp. 47.020,- ±Rp. 47.144,-. Kelompok dengan biaya berobat S Rp. 10.000,- per bulan paling banyak (43%).
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata tidak perbedaan bermakna antara responden yang mengikuti dan yang tidak mengikuti program senam Asma Indonesia dalam hal biaya pengobatan, absensi, perilaku, sikap dan pengetahuan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
616.238 HER a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Prastiti Utami
"Latar Belakang: Pajanan terhadap jamur telah diketahui berperan dalam perburukan gejala asma, fungsi paru yang buruk, rawat inap dan kematian. Kolonisasi atau pajanan jamur dapat mencetuskan respons alergi dan inflamasi paru. Sensititasi jamur oleh Aspergillus dapat menyebabkan Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) maupun Severe Asthma with Fungal Sensitization (SAFS). Pemeriksaan Immunodiffusion test (IDT) merupakan uji serologi untuk mengetahui terdapatnya antibodi anti-Aspergillus, namun pemeriksaan ini belum banyak digunakan di Indonesia dan perannya terhadap pasien asma belum diketahui.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian prospektif dengan metode consecutive sampling dan desain potong lintang. Subjek penelitian ini adalah pasien asma yang berobat di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Subjek penelitian menjalani pemeriksaan spirometri, Asthma Control Test (ACT) dan serologi antibodi anti-Aspergillus dengan metode IDT Aspergillus menggunakan crude antigen Aspergillus.
Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 59 pasien. Sejumlah 49 subjek (83,1%) berjenis kelamin perempuan, 37 subjek (62,7%) berusia ≥50 tahun, 45 subjek (76,3%) berpendidikan SLTA atau lebih, 25 subjek (42,4%) obesitas I, 5 subjek (8,5%) obesitas II dan 11 subjek (18,6%) bekas perokok. Sebagian besar subjek (62,71%) merupakan pasien asma persisten sedang. Asma terkontrol penuh ditemukan pada 7 subjek (11,86%), sedangkan asma tidak terkontrol pada 32 subjek (54,24%). Derajat obstruksi yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi sedang pada 31 subjek (52,5%). Nilai %VEP1 ≥80% prediksi setelah uji bronkodilator ditemukan pada 24 subjek (40,7%). Dari 59 sampel darah yang diperiksa, tidak ada yang menunjukkan hasil IDT positif (0%), termasuk subjek yang datang dalam keadaan eksaserbasi dan subjek dengan asma persisten berat.
Kesimpulan: Hasil positif pemeriksaan IDT Aspergillus pada pasien asma sebesar 0%. Pemeriksaan IDT Aspergillus tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa pemeriksaan lain untuk mendeteksi sensititasi terhadap Aspergillus pada pasien asma dan tanpa validasi terhadap crude antigen Aspergillus yang digunakan.

Background: Exposure to fungi has been known to play a role in worsening symptoms of asthma, poor lung function, hospitalization and death. Fungal colonization or exposure can trigger an allergic response and lung inflammation. Fungal sensitization by Aspergillus spp. can cause allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) or severe asthma with fungal sensitization (SAFS). Immunodiffusion test (IDT) is a serological test to determine the presence of anti-Aspergillus antibodies, but this examination has not been widely used in Indonesia and its role in asthma patients is unknown.
Method: This study was a prospective study with consecutive sampling method and cross-sectional design. The subjects were asthma patients treated at Asthma Outpatient Clinic at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Subjects underwent spirometry, Asthma Control Test (ACT) and serology of anti-Aspergillus antibodies examination with the IDT Aspergillus method using crude antigen Aspergillus.
Results: The subjects of this study were 59 patients. A total of 49 subjects (83.1%) were females, 37 subjects (62.7%) were ≥50 years old, 45 subjects (76.3%) had high school education level or higher, 25 subjects (42.4%) were obese I, 5 subjects (8.5%) were obese II and 11 subjects (18.6%) were former smokers. Most subjects (62.71%) were moderate persistent asthma patients. Fully-controlled asthma was found in 7 subjects (11.86%), while uncontrolled asthma was found in 32 subjects (54.24%). The highest degree of obstruction found was moderate obstruction in 31 subjects (52.5%). The %VEP1 ≥80% predicted after the bronchodilator test was found in 24 subjects (40.7%). Of the 59 blood samples examined, none showed positive IDT results (0%), including subjects who came in exacerbations and subjects with severe persistent asthma.
Conclusion: Positive results of IDT Aspergillus examination in asthma patients were 0%. The Aspergillus IDT examination cannot be used singly without other examinations to detect Aspergillus sensitization in asthmatic patients and without validation of the crude antigen Aspergillus used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain Barasila
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58448
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>