Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208306 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ramos Levi
"Pada tanggal 22 April 1998 Pemerintah telah mcnetapkan Peraturan Pemerintah Petigganti Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara RI tahun 1998 no. 87). Lima bulan kemudian Perpu tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disetujui untuk menjadi undang-undang yang kemudian diundangkan sebagai Undang-undang No. 4 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 ("UU Kepailitan").
Namun, kehadiran UU Kepailitan tersebut ternyata menimbulkan "kecemasan" tersendiri bagi sektor bisnis asuransi (insurance business). Sedikitnya ada 3 (tiga) sebab mengapa kecemasan tersebut muncul. Pertama, "flak istimewa" dalam UU Kepailitan yang diterima dan dinikmati oleh sektor perbankan dan perusahaan sekuritas, yaitu tidak dapat dipailitkan secara langsung oleh krediturnya, ternyata tidak diberikan pula kepada sektor asuransi. Padahal, rasionalitas dari pemberian hak istimewa itu kepada sektor perbankan dan sekuritas juga melekat pada sektor asuransi. Sebagai usaha yang menghimpun dana masyarakat, asuransi tidaklah berbeda dengan bank dan lembaga keuangan lainnya.
Kedua, kasus-kasus perdata antara perusahaan asuransi dengan tertanggungnya yang sebelumnya hanya dapat diperiksa dan diputuskan di Pengadilan Negeri, kini, dengan diberlakukannya UU kepailitan, konflik yang khususnya mengenai utang-piutang, antara perusahaan asuransi dengan tertanggung telah dapat diajukan ke Pengadilan Niaga.
Ketiga, implikasi dari adanya penyederhanaan persyaratan untuk pengajuan permohonan pailit seperti yang diatur dalam Pasal l ayat (1) UU kepailitan. Dalam kaitan ini, pengertian suatu utang yang telah "jatuh tempo" dan "dapat ditagih" (due date and payable) pads kenyataannya tidak selalu mudah diterapkan terhadap klaim asuransi. Bahkan, dalam banyak kasus wajib-tidaknya penanggung atau perusahaan asuransi membayar klaim memerlukan pembuktian yang rumit, sehingga tidak lagi dapat disebut sebagai suatu "pembuktian secara sumir" sebagaimana yang dimaksud atau disyaratkan oleh Pasal 6 ayat 3 UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998.
Bahwa perjanjian asuransi memiliki karakteristik yang khas, dimana tidak selalu memungkinkan bahwa terjadinya peristiwa yang dipertanggungkan akan secara otomatis memunculkan adanya "utang". Hal ini dimungkinkan oleh karena sekalipun peristiwa yang diperjanjikan telah terjadi dan memunculkan kewajiban ataupun "utang" (jatuh tempo), namun hal tersebut masih belum tentu (secara otomatis) akan menjadikan "utang" tersebut telah "dapat ditagih" (payable). Disamping itu, konsekuensi dari penerapan asas indemnity, insurable interest dan utmost good faith siring menjadi alasan hukum yang kuat bagi dimungkinkarmya kewajiban yang telah "jatuh tempo" dan "dapat ditagih" dalam perjanjian asuransi tidak otomatis menjadi harus dibayar. Dengan kata lain, penerapan asas-asas tersebut seringkali memunculkan "legally disputable insurance claim" yang menyebabkan perkaranya hanya dapat diselesaikan (terlebih dahulu) ke Pengadilan Perdata, dan karenanya belum memasuki wilayah kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Indra Andhika
"ABSTRAK
Pelaksanaan Hukum Kepailitan di Indonesia, dalam beberapa perkara, kerap menarik perhatian para pelaku usaha nasional maupun internasional. Perhatian tersebut berkaitan dengan tidak terdapatnya norma yang melindungi perusahaan atau pelaku usaha dengan kondisi finansial yang sehat (solvent) dari kepailitan. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa perkara kepailitan, seperti perkara PT. AJMI, PT. Prudential Assurance dan yang teranyar adalah perkara kepailitan PT. Telkomsel Seluler serta PT Eastwood Timber Industries. Rezim kepailitan Indonesia pasca terjadinya krisis moneter pada dasarnya membuka diberlakukannya upaya hukum kepailitan terhadap siapa pun sepanjang memenuhi persyaratan mengenai jumlah kreditor dan unsur utang yang bersifat luas. Prinsip utang yang bersifat luas tersebut kerap menjadi loophole penyebab terjadinya kepailitan yang mendera perusahaan atau pelaku usaha solvent. Oleh sebab itu, untuk memberikan perlindungan bagi perusahaan atau pelaku usaha solvent, solvency test seharusnya diadopsi kedalam Hukum Kepailitan nasional kedepan untuk menghindari digunakannya pranata hukum kepailitan secara tidak tepat. Penulisan tesis ini bermaksud untuk melihat bagaimana solvency test diberlakukan dalam hukum kepailitan di Amerika Serikat. Kemudian, melihat sejauhmanakah solvency test tersebut dikenal dalam proses peradilan kepailitan di Indonesia. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, dua buah kasus kepailitan di Indonesia, masing-masing PT. Telkomsel Seluler Tbk dan PT. Eastwood Timber Industries, dianalisa untuk melihat pemberlakuan dari solvency test dan melihat sikap pengadilan mengenai hal tersebut.

ABSTRACT
The implementation of bankruptcy law in Indonesia has attracted attention among business people, nationally and internationally. The attention and discussion is of concern the absent of protection available for solvent company or business individuals from threats using bankruptcy regime. Since the enactment of bankruptcy law in 1998 several cases involving solvent companies had happened, such as the case of PT AJMI and PT. Prudential Assurance, which had been successfully bankrupted. Those two companies were considered solvent at the time the petition was filed by their creditors. Moreover, since the new bankruptcy regime has been amended with the new law of 37 of 2004, cases involving solvent company remain happened, inter alia: the case of PT. Telkomsel Seluler and PT Eastwood Timber Industries. Both company were solvent at the time the involuntary petition was filed by their creditors. The bankruptcy regime of 2004 clarifying claim (debt) shall be seen within a broad perspective. However, this resulted in complexity in the examination of such claims, as a result it will likely to be contradictive to the requirement stated in article 8 (2) bankruptcy law 2004. The broad perspective of claim is likely to be the loophole, causing solvent company open from the exposure of bankruptcy regime. Therefore, solvency test should be adopted into the Indonesian bankruptcy law. This Thesis comprise of a study on American Bankruptcy Code that set solvency test and also look at 2 (two) bankruptcy cases to see how the implementation of solvency test in America. Moreover, it also making an attempt to see how the commercial court in Indonesia treat argumentation using solvency test in 2 (two) cases, involving PT. Telkomsel Seluler and PT. Eastwood Timber Industries."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Wiyarta Tenggara
"Amerika Serikat mengenal equitable subordination dan debt recharacterization sebagai doktrin yang bertujuan memastikan perlindungan bagi para kreditur dari tindakan tidak adil yang dilakukan oleh kreditur (terutama pemegang saham kreditur) lainnya. Di sisi lain, Indonesia tidak mengenal doktrin-doktrin ini. Namun, Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010 telah menerapkan doktrin debt recharacterization terhadap pinjaman pemegang saham dengan mengacu pada UU KPKPU dan, khususnya, Pasal 3 ayat (2) UU PT. Walaupun demikian, kedua instrumen hukum tersebut tidak mengatur secara eksplisit mengenai penerapan doktrin debt recharacterization. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis (1) pengaturan dan penerapan doktrin debt recharacterization di Indonesia; (2) pengaturan dan penerapan doktrin equitable subordination dan debt recharacterization di Amerika Serikat; serta (3) perbandingan pengaturan dan penerapan kedua doktrin tersebut di Indonesia dan Amerika Serikat. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, hukum kepailitan di Indonesia memberikan perlindungan bagi para kreditur dalam memperoleh hak mereka dan pencegahan tindakan debitur yang merugikan kreditur. Dalam hal ini, penerapan doktrin debt recharacterization memberikan dimensi perlindungan tambahan, yakni pencegahan tindakan pemegang saham kreditur yang merugikan kreditur lainnya. Kedua, hukum kepailitan Indonesia tidak mengatur secara eksplisit mengenai doktrin debt recharacterization, tetapi Mahkamah Agung telah memastikan keberadaan doktrin tersebut dalam Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010. Adapun hukum kepailitan Amerika Serikat hanya mengandung pengaturan yang eksplisit mengenai doktrin equitable subordination, tetapi tidak mengenai doktrin debt recharacterization. Walaupun demikian, kedua doktrin tersebut telah dikembangkan oleh berbagai pengadilan di Amerika Serikat. Ketiga, pengaturan dan penerapan doktrin equitable subordination dan debt recharacterization di Amerika Serikat telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan di Indonesia. Walaupun demikian, terdapat beberapa kemiripan antara doktrin debt recharacterization yang terdapat di Indonesia dengan masing-masing doktrin equitable subordination dan debt recharacterization yang terdapat di Amerika Serikat.

The United States recognizes equitable subordination and debt recharacterization as doctrines aimed at ensuring protection for creditors from inequitable conduct by other creditors (especially shareholder-creditors). On the other hand, Indonesia does not recognize these doctrines. However, Mahkamah Agung in Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010 has applied the debt recharacterization doctrine to shareholder loans by referring to UU KPKPU and, in particular, Article 3 paragraph (2) of UU PT. Nevertheless, these legal instruments do not explicitly regulate the application of the debt recharacterization doctrine. Therefore, this study will analyze (1) the regulation and application of the debt recharacterization doctrine in Indonesia; (2) the regulation and application of the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States; and (3) the comparison of the regulation and application of these two doctrines in Indonesia and the United States. Through research using normative juridical method and qualitative approach, the following conclusions can be drawn. Firs, the bankruptcy law in Indonesia provides protection for creditors in obtaining their rights and preventing debtor actions that harm creditors. In this regard, the application of the debt recharacterization doctrine adds an additional dimension to that protection, namely preventing shareholder-creditors actions that harm other creditors. Second, Indonesian bankruptcy law does not explicitly regulate the debt recharacterization doctrine, but Mahkamah Agung has ensured the existence of this doctrine in Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010. As for the United States bankruptcy law, it only contains explicit regulations regarding the equitable subordination doctrine, but not regarding the debt recharacterization doctrine. Nevertheless, both doctrines have been developed by various United States courts. Third, the regulation and application of the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States have developed much more than in Indonesia. However, there are some similarities between the debt recharacterization doctrine in Indonesia and, respectively, the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisie Andrisa Macallo
"ABSTRAK
Semakin meningkatnya perekonomian dan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, telah menjadi pasar yang sangat potensial untuk industri asuransi. Faktor tersebut mendorong banyaknya perusahaan yang ingin bergerak di bidang perasuransian, Salah satunya PT. Asuransi Prisma Indonesia. adapun syarat untuk mendirikan perusahaan asuransi adalah berbentuk Perseroan Terbatas, dalam perjalanan waktu adakalanya usaha tersebut menemukan kegagalan ataupun kerugian, hal ini juga dialami oleh perusahaan yang bergerak di industri perasuransian, kerugian yang terus menerus mengakibatkan perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi rasio kecukupan modal sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan. Menteri Keuangan bertindak sebagai pemberi ijin usaha kepada perseroan yang bergerak di bidang perasuransian sekaligus bertindak sebagai pengawas. Hal ini dikarenakan Perusahaan asuransi menghimpun dana masyarakat yang sangat besar, dengan demikian diperlukan satu instrumen yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pelaku usaha asuransi dan pemegang polis asuransi. Apabila perusahaan terus menerus merugi yang mengakibatkan jumlah hutangnya lebih besar daripada jumlah asetnya, maka ditempulah langkah hukum yaitu likuidasi atau kepailitan untuk mempercepat pendistribusian sisa hasil harta kekayaan kepada para kreditornya. Hal inilah yang dialami oleh PT Asuransi Prisma Indonesia yang mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat rasio kecukupan modal, sehingga izin usahanya dicabut oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, adapun tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian aset perseroan.

ABSTRAK
The growing of economy and the increasing number of Indonesian population have become a potential market for the insurance industry. Those factors are the reason of many companies to move in the area of insurance, one of them is PT. Prisma Indonesian Insurance. As for the requirement to establish an insurance company is a limited liability, in the course of time the business sometimes find a failure or loss, it is also experienced by companies which involved in the insurance industry. As the result, in continuous losses the company is not able to meet the capital adequacy ratio as determined in the Menteri Keuangan, as a conduit to the business license of the company engaged in the field of insurance while simultaneously acting as a guide. This is because the insurance company collects very large amount of public funds. So it requires an instrument that provides protection and legal certainty to the perpetrators insurance and business policyholders of insurance. If the company continued to incur losses resulting in the amount of the debt is greater that the amount of its assets, then liquidation or bankruptcy will be done to accelerate the distribution of the property to the creditors. These problems experienced by PT Asuransi Prisma Indonesia which has a problem to qualify the capital adequacy ratio, so the operating license revoked by Menteri Keungan. The main purpose of bankruptcy proceedings is to expedite the liquidation in order to distribute the assets of the company."
2013
T34850
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rusmy Mustari
"Skripsi ini membahas mengenai insolvensi sebagai syarat pengajuan kepailitan. Dalam hukum kepailitan debitor dapat dimohonkan pernyataan pailit apabila debitor tersebut sudah dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar utang). Keadaan insolven adalah keadaan dimana aset yang dimiliki oleh debitor sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban membayar utang. Syarat Kepailitan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU hanya mensyaratkan terdapatnya lebih dari dua kreditor dan utang yang jatuh tempo tanpa syarat insolvensi. Hal tersebut menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia yang masih solven dipailitkan seperti yang terjadi pada PT. Telkomsel dan PT. AJMI. Pengaturan tersebut jelas berbeda apabila dibandingkan dengan pengaturan kepailitan yang diterapkan di Amerika Serikat, Jepang, dan Belanda. Ketiga negara tersebut mengatur syarat keadaan tidak mampu membayar utang sebagai syarat permohonan pailit. Insolvensi tes merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memperoleh pernyataan apakah debitur dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi.

This Thesis is aimed to explain insolvency as a the terms of bankruptcy. Debtor could be filed for a petition of bankruptcy if the debtor is already insolvent (unable to pay the debt). Insolvent is a condition where the assets owned by the debtor are not sufficient to meet the obligation to pay the debt. Terms of bankruptcy stated in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment only requires more than two creditors and the debt maturity without the insolvency condition. It causes many companies in Indonesia which are still solvent are being bankrupt as in PT. Telkomsel and PT. AJMI. The regulation is clearly different if it is compared with bankruptcy arrangements applied in the United States, Japan, and the Netherlands. The three countries set the term ?unable to pay the debt? as a condition for bankruptcy. Insolvency test is a method used to obtain the statement of whether the debtor is unable to pay its debts again.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47516
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhila Falzaria Bilqis
"ABSTRAK
ABSTARKPembahasan dalam skripsi ini adalah pelaksanaan hak-hak kreditor separatis dan pekerja/buruh sebagai kreditor preferen dalam pemberesan harta pailit dengan studi kasus kepailitan PT Jaba Garmindo. Setelah debitor dinyatakan pailit, maka debitor tidak lagi berwenang mengurus harta pailit melainkan sudah menjadi wewenang curator untuk membereskan harta pailit. Dengan adanya harta pailit tersebut, terdapat kreditor-kreditor yang memiliki hak untuk diberikan pembayaran atas piutang-piutangnya. Sebagai perusahaan, pekerja/buruh akan ditarik menjadi kreditor karena dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja PHK , maka mereka berhak untuk mendapatkan pembayaran-pembayaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan UU Ketenagakerjaan . Namun disisi lain, kreditor separatis juga memiliki hak untuk diberikan pembayaran atas piutang-piutangnya yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 UUK-PKPU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini yang menjadi pokok permasalahan adalah keberlakuan pasal 95 ayat 4 UU Ketenagakerjaan berdasarkan UUK-PKPU dan peraturan-peraturan lain, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Peneliti memperoleh kesimpulan bahwa pemberesan harta pailit PT Jaba Garmindo telah tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepailitan karena bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013.

ABSTRACT
TThe discussion in this thesis is the implementation of the secure creditor rights and workers laborers as a preferred creditor in the bankruptcy estate settlement with the case studies of PT Jaba Garmindo bankruptcy. After debtor is declared bankrupt, the debtor is no longer authorized to take care of the bankruptcy asset but it has become a curator authority to settle the bankruptcy asset. Given the bankruptcy asset, there are creditors who have the right to be given a payment on debtor rsquo s debts. As a company, workers laborers will become a creditor because of the presence of Termination PHK , then they are entitled to receive payments in accordance with the provisions of Law No. 23 of 2003 on Manpower Act. On the other hand, the secured creditor also has the right to be given payment for debtor rsquo s debts on the provisions stipulated in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment Act UUK PKPU . This research is a descriptive study with normative juridical typology. In this study, the issue of concern is the applicability of Article 95 paragraph 4 of Manpower Act based on UUK PKPU other regulations that have connection with bankruptcy, including the Constitutional Court Decision No. 67 PUU XI 2013. Researchers came to the conclusion that the settlement of PT Jaba Garmindo rsquo s bankruptcy asset was not in accordance with the provisions contained in the legislation relating to bankruptcy because it contradicts the provisions that stipulated in the Constitutional Court Decision No. 67 PUU XI 2013"
2017
S66812
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lena
"Pailit merupakan upaya akhir bagi debitor yang berada dalam keadaan insolven dimana ia tidak lagi mampu melakukan kewajiban kepada para kreditornya. Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 merupakan peraturan terakhir yang diamandemen Indonesia namun masih memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan Jepang, Malaysia, dan Singapura tentang insolvency test yang dijadikan tolak ukur pengajuan pailit. Hukum yang seyogyanya dijadikan sandaran demi memenuhi nilai keadilan bagi debitor dan kreditor secara proporsional, dalam hal ini akan dibahas dengan membandingkan hukum kepailitan dan insolvency test.
Dengan melihat Undang-Undang Kepailitan Jepang, Malaysia, dan Singapura, tulisan ini dibuat untuk mengambil kelebihan yang ada pada hukum Negara lain serta melihat kekurangannya untuk dijadikan pegangan dalam memperbaiki Hukum Kepailitan Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan demikian diharapkan hukum dapat memenuhi perannya sebagai pedoman dalam memberikan nilai keadilan, serta utilitas pengadilan dalam memutus perkara dengan waktu yang efisien dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bankrupt ought to be last resort for debtor who could not pay his debt to his creditors as it became due and payable and he has been stated as insolvent. Bankruptcy Act Number 37 of 2004 is the last amended statute in Indonesia. This Act has fundamental difference with Bankruptcy Law of Japan, Malaysia, and Singapore concerning about insolvency test which is used as legal task for bankruptcy petition. Justice for both of debtors and creditors should rely on Bankruptcy Law in such case as mentioned. In this matter, insolvency test is an important point to be considered in bankruptcy law.
Discussion between Japan, Malaysia, Singapore, and Indonesia Bankruptcy Law is purposed to analyze law and to compare insolvency matters in each laws. Through this analytic discussion, taking excess points and also to prevent short points of law is the priority to improve Indonesia Bankruptcy Law. Thus law can fulfill its duties as reference to produce just norm, show utility of court in deciding case, and also give an efficient proceedings to support economic growth.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asra
"Dimulai dengan terjadinya krisis ekonomi akibat turunnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (US $) secara tajam dan mendadak pada tahun 1998. Akibat dari krisis ini diperkirakan banyak perusahaan (Debitor) dalam keadaan pailit (Insolvency) atau tidak mampu membayar utang-utangnya (insolven). Untuk keperluan ini, hukum kepailitan (bunkrupcy law) sebagai sarana penagihan utang yang merupakan pelaksanaan pasal 1131 dan 1132 KUH. Perdata. Undang-undang Kepailitan yang diatur dalam Faillisements Verordenings stbl. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 348 perlu difungsikan dan dirubah, maka lahirlah PERPU Nomor 1 Tahun 1998 tertanggal 22 April 1998, yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998.
Sebagai sarana penagihan utang, hukum kepailitan harus dibedakan penggunaanya dengan gugatan perdata biasa, untuk membedakannya, maka secara umum dianut adanya keadaan Insolven (unable to pay) sebagai persyaratan atau merupakan indikasi adanya kepailitan. Tetapi PERPU No. 1 Tabun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tidak mengandung persyaratan ini dan telah melahirkan putusan putusan yang mengundang perdebatan (debatable). Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 (3) PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 ini mengatur persyaratan pernyataan pailit, tetapi keadaan insolven tidak merupakan persyaratan. Dengan demikian, Dengan mudahnya Debitor dapat dinyatakan pailit dengan hanya memenuhi syarat-syarat: Adanya dua Kreditor, utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih dan dapat dibuktikan secara sederhana.
Menurut beberapa pakar hukum kepailitan, persyaratan yang termuat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan ini mempunyai kelebihan dan kecanggihan dibandingkan dengan hukum kepailitan negara lain yang mengharuskan adanya persyaratan insolven (unable to pay) dimana undang-undang ini diharapkan untuk menjangkau para Debitor yang tidak mau membayar utang (unwilling to pay), atau alias Debitor nakal walaupun Debitor tersebut masih solven (able to pay debts). Tetapi kenyataan tidak demikian. Salah satu contoh yang aktual adalah putusan perkara kepaitan PT. Manulife Indonesia, putusan ini dikritik oleh Pemerintah Canada.
Kritikan atau kecaman ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya semua pihak dapat memahami adanya perbedaan pengertian pailit dalam perspektif negara lain dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dimana di negara lain pailit berarti tidak mampu membayar (insolven), sedangkan pailit dalam pengertian Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 berarti tidak membayar utang, bila utang itu dibayar kepailitan itu tidak ada. Disamping itu, upaya hukum pengajuan permohonan Penundaan Pembayaran Utang (PKPU) dapat digunakan untuk melawan permohonan pernyataan pailit yang diajukan Kreditor terhadap Debitor di pengadilan niaga. Dan kepada hakim diharapkan dapat menerapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1988 secara arif dan bijaksana."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulhansyah Caesar
"Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi dunia maka hal ini berdampak pada transaski eknonomi aritara pelaku usaha yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda-beda. Kegiatan perdagangan yang ada kemudian dilakukan dengan melintasi batas-batas negara. Materi yang termuat dalam kegiatan perdagangan lintas batas tersebut salah satunya adalah masalah di bidang hukum perdata internasional. Dalam hal demikian maka subyek hukum pelaku kegiatan usaha akan terkena beberapa peraturan perundang-undangan nasional suatu negara, salah satunya adalah peraturan kepailitan. Dalam hal kasus kepailitan yang dialami oleh pelaku usaha atau pihak lain yang ada unsur asing didalamnya maka kaidah-kaidah hukum yang akan dipakai adalah kaidah hukum perdata internasional. Dengan masuknya kaidah hukum perdata internasional dalam suatu perkara kepailitian maka kemudian hukum kepailitan lintas batas menjadi permasalahan yang penting. Tidak terkecuali di Indonesia, persoalan tentang hukum kepailitan yang memiliki unsur internasional didalamnya kerap muncul dalam perkara-perkara kepailitan yang diselesaikan melalui forum pengadilan Niaga sebagai badan peradilan yang memiliki kompetensi absolut di Indonesia untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara kepailitan tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>