Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116541 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wisnu Pambudi
"Mulai 1 Januari 1984 sampai sekarang, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment. Sistem ini memberikan kebebasan bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya secara mandiri, sedangkan fiskus hanya bertugas mengawasi saja. Alat pengujian kepatuhan yang efektif adalah melalui pemeriksaan pajak yang dilakukan secara acak.
Secara normatif, Hasil Pemeriksaan Pajak setidaknya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pemeriksaan yang berakhir dengan closing conference yang berujung dengan penerbitan SKP dan apabila ditemukan adanya indikasi telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan tidak ditutup dengan closing conference melainkan dilanjutkan ke Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagai Iangkah awal sebelum dilakukan Penyidikan. Dari data yang ada menunjukkan bahwa SKP atas hasil pemeriksaan tidak seluruhnya dibayar oleh Wajib Pajak, yang berarti Wajib Pajak melakukan upaya keberatan atas hasil pemeriksaan.
Bertitik tokak dari permasalahan tersebut, dipandang perlu meningkatkan tindakan Penyidikan yang diakhiri dengan Proses Pengadilan sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Oleh karenanya, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberikan gambaran pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai tindak lanjut pemeriksaan, menganalisis pemeriksaan yang bagaimana yang bisa dilanjutkan ke tindakan penyidikan, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan penyidikan, mengidentitikasi hambatan yang dihadapi, dan menganalisis cara yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis dengan metode pengumpulan data berupa Studi kepustakaan. Data yang digunakan adalah data sekunder dari buku, jurnal, media masa, serta sumber-sumber lain yang relevan.
Dari analisis tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa tindakan penyidikan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib- Pajak. Namun, mengingat proses penyidikan membutuhkan waktu yang relatif Iama dan biaya yang besar, hendaknya penyidikan dilakukan secara selektif, yaitu terhadap kasus-kasus yang besar atau terhadap Wajib Pajak yang menonjol apabila dianggap perlu, sehingga membawa deterrent efect yang cukup Iuas bagi Wajib Pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarilah
"Kinerja seorang pemeriksa pajak secara tidak langsung akan berpengaruh pada penerimaan negara dari sektor pajak. Oleh karena itu, usaha untuk mengoptimalkan kinerja pemeriksa pajak sangat penting untuk dilakukan. Secara teoritis, kinerja merupakan fungsi perkalian dari usaha yang telah dilakukan oleh karyawan dengan semangat yang tinggi serta kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki. Hasil dari fungsi tersebut akan nampak pada sesuatu yang bersifat konkrit yang dapat digunakan sebagai ukuran dalam menilai kinerja. Dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, kinerja dapat di ukur salah satunya dari angka kredit yang diperoleh. Karena kinelja tersebut dapat dilihat dari nilai angka kredit yang diperolehnya, maka angka kredit merupakan jalan bagi seorang pemeriksa pajak untuk memperoleh reward (misalnya kenaikan pangkat, promosi jabatan, kenaikan gaji dan sebagajnya). Dengan demikian, angka kredit ini bisa menjadi pendorong bagi pemeriksa pajak untuk dapat bekerja lebih optimal dan hal ini secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pula pada penerimaan negara.
Dalam penentuan angka kredit itu sendiri pertimbangan yang digunakan oleh penilai kesulitan antara lain adalah lamanya pemeriksaan yang menggambarkan tingkat kesulitan dari suatu jenis usaha dan omset penjualan yang menggambarkan ukuran perusahaan. Klasifikasi lapangan usaha merupakan pengelompokkan jenis usaha berdasarkan jenis kegiatan dan kompleksitasnya. Misalnya jenis usaha perdagangan akan terbagi lagi menjadi perdagangan besar dan kecil, demikian juga jenis kegiatan usaha lainnya. Kompleksitas usaha ini dapat diukur dari lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan, dengan asumsi faktor lain adalah tetap. Sedangkan ukuran perusahaan adalah nilai suatu perusahaan dikaitkan dengan kemampuannya untuk rnenghasilkan laba. Dalam penelitian ini ukuran perusahaan di duga berpengaruh pada kinerja pemeriksa pajak (yang diukur dengan angka kredit) karena logika berfikir mengatakan perusahaan besar dengan tingkat laba yang tinggi akan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar pula terhadap penerimaan negara jika dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh klasifikasi Iapangan usaha dan ukuran perusahaan terhadap kinerja pemeriksa pajak, sehingga di masa yang akan datang penilaian kinerja pemeriksa pajak melalui angka kredit akan lebih dapat mengakomodir semua unsur yang memang sepatumya dipertimbangkan dalam penilaian kinerja. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, dimana peneliti berusaha memberikan gambaran yang jelas mengenai pengaruh dan hubungan antara klasifikasi Iapangan usaha dan ukuran pemisahaan sebagai variabel independen terhadap kinera pemeriksa pajak sebagai variabel dependen. Hipotesis yang diajukan adalah null hypotesis atau tidak terdapat hubungan yang signifikan antara klasifikasi Iapangan usaha dan ukuran perusahaan dengan kinerja pemeriksa pajak.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa klasifikasi lapangan usaha berpegaruh secara signifikan terhadap angka kredit pemeriksa pajak. Jenis usaha yang semakin komplek memerlukan waktu pemeriksaan yang Iebih lama sehingga akan menghasilkan angka kredit yang lebih besar pula. Sedangkan ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap angka kredit perusahaan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pemeriksaan pajak pada perusahaan besar (dengan omset penjualan yang besar) belum tentu akan memerlukan waktu yang lama dalam pemeriksaannya. Lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan tidak dipengaruhi oleh ukuran perusahaan.

A tax auditor?s performance would indirectly influence the state's revenue from tax sector. Therefore, any effort of optimizing the tax auditor?s performance shall be very substantial to perform. Theoretically, a performance is a multiplication function of the efforts mad by the employee with high spirit based on hisfher capabilities as well as skills. The output of the said function shall appear on something concrete and able to be used as the measurement of work assessment. In the Directorate General of Tax environment, performance may be measured through, among others, the credit points acquired, therefore this credit point collection is a way for the tax auditor to obtain a reward (such as rank promotion, position promotion, salary increment, etc.). This way, credit point can act as the stimulus for a tax auditor to work more optimally, and this will also directly or indirectly influence the state's revenues.
In detemiining the credit point itself, the considerations used by the work appraiser are, among others, the duration of inspection that describes the level of business line difliculty as well as the sales turnover that represents the company magnitude. Business line classification is the grouping of business lines based on the type of activities and level of its complexities. For instance, trading business lines shall be split into big and small trades, so shall other kinds of business lines. This business complexity is measurable from its time duration needed to perform an inspection, assuming all factors are constant, whereas the size (magnitude) of the company is its value in terms of its capability to obtain profit ln this research, the company size is assumed to have influence against a tax auditor?s performance (measured based on credit point), because logically a big company with high profit figures shall be able to contribute better to the State?s revenue, compared to the small ones.
The objective of conducting this research is to know as to how is the influence of business line classification and the company magnitude towards the performance of tax auditor, so that in the future the performance appraisal of a tax auditor through credit point will have more capability in accommodating all elements that are indeed appropriate to be considered in the perfonnance appraisal. The research method applied in this research is descriptive analysis, where the researcher tries to provide a clear picture conceming the influence and relationship between business line classification and company magnitude as independent variables against a tax auditor's performance as a dependent variable. The hypothesis submitted is null hypothesis or, there is no significant relationship between business line classification and company magnitude against a tax auditor?s credit point.
From the result of this research, a picture can be obtained that business line classification is significantly influential against a tax auditor's credit point. More complicated business line needs longer inspection time, so that it will produce more credit point as well. On the contrary, company magnitude does not have any significant influence to tax auditor's credit point. The explanation follows: the tax inspection in a big company (with big sales tumover) will not always need longer time to undergo inspection. The length of time required for conducting an inspection is not influenced by the company magnitude.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diyan Pratiwi
"Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk langsung oleh Undang-Undang untuk membuat akta otentik. Produk akta otentik yang dibuat notaris adalah produk intektual yang merupakan cerminan dari kapital intelektual si notaris. Oleh karena itu notaris mempunyai tanggung jawab untuk merahasiakannya karena akta yang dibuatnya merupakan arsip negara. Notaris tidak dapat dituntut pertanggung jawabnya baik pidana maupun perdata apabila notaris tersebut telah menjalankan tugasnya sesuai yang terdapat pada Undang-Undang karena tugas yaitu untuk mengkostantir kata-kata yang dikemukakan oleh penghadap/klien. Maka dari itu, apabila notaris dipanggil oleh penyidik untuk diperiksa dibuatlah aturan khusus harus melalui persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris sebagaimana terdapat dalam aturaan perlaksana dari UUJN 2/2014 yaitu Permenkumham 7/2016, hal ini berbeda dari KUHAP karena adanya asas lex specialis de rogat lex generalis . Penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normatif. Data diolah dengan menggunakan metode kualitatif dengan mendiskripsikan data berupa data primer dan data sekunder untuk kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini, notaris merupakan pejabat umum yang ditugaskan membuat arsip negara yang mempunyai kewajiban untuk merahasiakannya, hal itu termasuk dalam tanggung jawab notaris dan notaris tidak dapat dituntut apabila telah menjalankan tugasnya sesuai dengan undang-undang. Terkadang, dalam aturan yang tercantum di KUHAP dengan UUJN 2/2014 dan aturan pelaksananya Permenkumham 7/2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris terdapat kesinkronan dan ketidak sinronan. Apabila terdapat ketidaksinkronan asas lex specialis de rogat lex generalis untuk memecahkan permasalahannya.

Notaries are public officials who are appointed directly by the Act to make an authentic deed. Authentic deed products made by notaries is an intellectual product that is a reflection of the intellectual capital of the notary. Therefore, the notary has responsibility to keep it a secret because the act set up such a way as. Notaries can not be sued to take responsibility such as civil and criminal when the notary was carrying out his her duties as contained in the Act because the task is to write down words submitted by clients. Therefore, when a notary called by investigators for inverstigatoring, must be approved by the Council of Honour of Notaries, as contained in the implementing rules of the UUJN 2 2014 and 7 2016 Permenkumham, it is different from the Criminal Code lex de Rogat lex generalist . This research study use normative form. Data were analyzed using qualitative methods to describe the data in the form of primary data and secondary data for later interpretations and conclusions. The results of this study, a notary is a public official who was assigned to the state archives that have an obligation to keep it confidential, it is included in the responsibilities of a notary public and can not be claimed when carrying out their duties in accordance with law. Sometimes between Criminal Code Procedure, UUJN 2 2014 and implementing rules 7 2016 Permenkumham about notary Honor Assembelies , we found ssynchronizations and unssynchronizations. When there are unssynchronizations , then we use lex de Rogat lex generalist to solved the problem."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T46900
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiyas Widiarto
"Ketentuan undang-undang mensyaratkan perlu adanya ijin dari pejabat yang berwenang sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu. Latar belakang dan pertimbangan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang ijin pemeriksaan diantaranya adalah untuk menjaga kewibawaan, martabat dan kedudukan pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Ketentuan ini memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara pejabat negara tertentu dan warga negara biasa, sehingga tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum (equality before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan perundang-undangan lain. Prinsip ini mengharuskan negara tidak melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya, baik dalam proses peradilan maupun pemerintahan. Ketika pejabat negara harus berhadapan dengan proses hukum, baik sebagai saksi ataupun sebagai tersangka, dia wajib diperlakukan sama, tanpa melihat status ekonomi, kedudukan maupun jabatannya. Ketentuan ini juga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Seseorang yang diduga terlibat tindak pidana harus segera mendapat pemeriksaan guna memberikan kepastian hukum terhadap yang bersangkutan, dan penyidikan terhadap kasus tersebut berjalan dengan lancar. Sampai scat ini belum ada penolakan secara formal dari pejabat yang berwenang terhadap ijin yang diajukan oleh penyidik. Bentuk penolakan pemberian ijin dilakukan dengan tidak mengeluarkan ijin pemeriksaan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa alasan yang jelas. Lamanya tenggang waktu keluarnya ijin tanpa limitasi waktu yang pasti dan panjangnya alur birokrasi pengajuan ijin pemeriksaan berpengaruh terhadap jalannya penyidikan tindak pidana korupsi. Tertundanya pemberian ijin dari pejabat yang berwenang mengakibatkan tertundanya juga pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya penyelesaian terhadap kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tersebut juga tertunda atau bahkan "mandek". Namun khusus pemeriksaan terhadap kepala daerah, dapat dilakukan tanpa menunggu ijin dari Presiden, karena menurut pasal 36 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tetap dapat dilakukan, apabila ijin pemeriksaan tersebut tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan.

The regulation set out the requirements of permit from authorized governmental officer prior to inspect any certain state officer. Consideration background of rules regulating regarding inspection permit, among other thing to maintain authority, prestige and position of such state officer in running his/her duties. It had resulted in the discrimination treatment among his/her with other large public citizens, and it had contradicted with principle of equality before the law and with Constitution 1945 as well as other legislations. Those principles had not discriminated among any citizen with Others either in judicature or governmental process.. When any state officer should present before the court either as witness or prosecuted then, she/he should be treated equally, without considering his/her economic status, position and others. Also it had not been suitable with principle of fast and simple judicature. Any person who had become involved in criminal case presumably, immediately, he/she should be inspected or investigated in order to give legal certainty with his/her, and such case investigation may be proceed fluently. To date the formal refusal from authorized governmental officer filed by investigator had never been found. The refusal of giving permit no conducted by issuing inspection permit for long enough period and without the real arguments. The length both of period to issue permit by unlimited time and bureaucracy process it had influenced the process of corruption commitment investigation. The postponement of giving permit from authorized governmental officer, also it had resulted in the cancellation of such person case, subsequently, the case of supposed corruption commitment of such person is cancelled or even stagnant. Nevertheless, specially, for case of Local Governmental Head, it may be conducted without waiting permit from President, because, according to Article 36 paragraph (2) UU.No.32 year 2004 on Local Government, inspection and investigation process to Head/Vice of Local Government it may be realized provided that such inspection permit no given by President at least sixty (60) days calculated since the receipt of application."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Anandita
"ABSTRAK<>br>
Laporan magang ini membahas tentang proses tindak lanjut hasil audit Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan dan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia terkait kerugian Negara. Proses ini mengacu kepada Peraturan Menteri 91 Tahun 2015 tentang Tata Cara Tetap Pengawasan di Lingkungan Kementerian Perhubungan, Peraturan Inspektur Jenderal No. SK/79/KP.801/ITJEN-2014 tentang Petunjuk Pengolahan dan Pemantauan Tindak Lanjut LHA di Lingkungan Kementerian Perhubungan, Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia BPK RI , dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester IHPS I BPK RI Tahun 2016, Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan telah melakukan tindak lanjut 100 .

ABSTRACT<>br>
This internship report explains the follow up process of Audit recommendation regarding public losses in Inspectorate of Ministry of Transportation. This processs referred to Peraturan Menteri 91 Tahun 2015 tentang Tata Cara Tetap Pengawasan di Lingkungan Kementerian Perhubungan, Peraturan Inspektur Jenderal No. SK 79 KP.801 ITJEN 2014 tentang Petunjuk Pengolahan dan Pemantauan Tindak Lanjut LHA di Lingkungan Kementerian Perhubungan, Undang Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia BPK RI , dan Undang Undang No. 15 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. According to Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester IHPS I BPK RI Tahun 2016, Inspectorate of Ministry of Transportation has been followed up all the recommandations 100 ."
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Siti Maya
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana tata cara pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dengan disertai penjelasan mengenai peraturan yang mengatur tata cara pemeriksaan pajak beserta prosedur pengujian yang dilaksanakannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan pajak dengan menggunakan pedoman pemeriksaan dengan regulasi terbaru ini menghasilkan kepercayaan yang tinggi dari Wajib Pajak kepada institusi pemerintah, serta dapat menjaga integritas dan profesionalisme antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak. Saran yang diajukan penulis adalah agar pemeriksa pajak lebih memperhatikan manajemen waktu penyelesaian pemeriksaan sehingga pemeriksaan pajak dapat dilakukan secara efektif dan menghasilkan kualitas pemeriksaan yang baik. Kata kunci: Sistem Self Assessment, Pemeriksaan Pajak, Kepercayaan Wajib Pajak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana tata cara pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dengan disertai penjelasan mengenai peraturan yang mengatur tata cara pemeriksaan pajak beserta prosedur pengujian yang dilaksanakannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan pajak dengan menggunakan pedoman pemeriksaan dengan regulasi terbaru ini menghasilkan kepercayaan yang tinggi dari Wajib Pajak kepada institusi pemerintah, serta dapat menjaga integritas dan profesionalisme antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak. Saran yang diajukan penulis adalah agar pemeriksa pajak lebih memperhatikan manajemen waktu penyelesaian pemeriksaan sehingga pemeriksaan pajak dapat dilakukan secara efektif dan menghasilkan kualitas pemeriksaan yang baik. Kata kunci: Sistem Self Assessment, Pemeriksaan Pajak, Kepercayaan Wajib Pajak.

This research discusses the implementation how the tax inspection procedure testing the compliance of Tax payer, with some explanation about regulations governing tax audit procedures and the implementation of the tests. This research uses qualitative approach with descriptive purpose. The results of this research indicates that the tax examination by using the guidance of inspection with the latest regulations produce high trust from the taxpayer to the government institutions, and it can maintain the integrity and professionalism between the Taxpayer and the tax auditor. A suggest to tax inspectors are to pay more attention to time management for completion of examination, so the tax audit can be done effectively and produce good quality examination. Key words Self Assessment System, Tax Inspection Tax Audit, Taxpayer 39 s Trust
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffry Ricardo
"Banyak sekali tindak kejahatan yang sulit untuk diungkap oleh aparat penegak hukum karena sulit menemukan bukti-bukti serta informasi yang minim di lapangan karena pelaku tindak kejahatan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk tidak meninggalkan jejak agar kasusnya tidak dapat terungkap sehingga penyidik membutuhkan instrumentasi untuk mendukung mengungkap tindak kejahatan. Instrumentasi tersebut salah satunya adalah dengan menggunakan alat Lie Detector. Alat lie detector didesain untuk melihat perilaku tubuh manusia saat dalam kondisi tertekan. Alat ini tidak dapat secara spesifik mendeteksi apakah seseorang berbohong atau tidak. Lie detector hanya mengukur reaksi psikologis manusia sebagai indikasi seseorang berbohong atau tidak. Seorang pembohong ?kelas kakap? mungkin biasa bersikap sangat tenang sehingga reaksi psikologisnya tak terdeteksi. Dalam hal ini operator lie detector mesti benar-benar berpengalaman. Di negara maju, khususnya Eropa dan Amerika Serikat, lie detector sudah sering digunakan dan menjadi prosedur standart dalam memeriksa penjahat dan dalam mengungkapkan kasus kriminal. dengan kata lain, penjahat bila ingin perkaranya sampai di pengadilan, dia harus melalui test dengan alat ini dahulu. Pelaksanaannya dilakukan pihak independen (independent examiner), biasanya seorang psikolog, dan hasil akhir untuk menilai tingkat kebohongan itu juga di tangan psikolog. Polisi yang menangani kasus akan menerima hasil yang sudah matang dari psikolog tersebut. Ahli hukum di sana berpendapat, psikolog tentunya akan lebih memahami masalah kejiwaan, sehingga apabila pemeriksaan lie detector dilakukan oleh psikolog, maka hasilnya akan lebih akurat dan obyektif. Alat ini dikenal dengan nama Polygraph Test.

There are so many crime that are difficult to be revealed by law enforcement officials it because less of information and evidence that made by the criminals. Criminals always try not to make any trace of evidence so that the case can not be revealed, the investigator need an instrumentation to support revealing the crimes. One of the instrument is using the lie detector. Lie detector was designed to view the conduct of human body in the pressured condition. Lie detector can not specifically detect whether a person is lying or not. Lie detector only measuring a human reaction as an indication of a person's psychological. An expert liar usually can act very quiet so that the phsycological reaction is hard to be detected. In this case the examiner of lie detector must have an experienced. In the advance country, especially in Europe and USA, lie detector is often to used and already become standart procedure to examining the criminals and to revealing the criminal cases. The implementation do by the independent examiner, usually a psychologist and the assessment result also in the hands of psychologists. The police who handled the case will receive the results from the psychologist. The legal experts in there argued that the psychologists would be more understand of the psychological problems. so that if the lie detector examination do by a psychologist, then the result would be more accurate and objective. The lie detector examination is known as the Polygraph Test.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Arifanda
"ABSTRAK
Tesis ini menganalisis Hasil Pemeriksaan Pajak Tahun 2008-2011 untuk
menentukan pola profil Wajib Pajak Badan yang potensial di Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Jakarta Palmerah. Penelitian ini menggunakan metode statistik
deskriptif, dimana terhadap data-data yang diperoleh kemudian diolah dan
disajikan dalam tabel-tabel. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa pola Wajib
Pajak Badan Potensial hasil pemeriksaan yang terbentuk cenderung mengikuti
pola Wajib Pajak berdasarkan besarnya penerimaan pajak per sektor usaha. Sektor
usaha yang potensial tersebut diantaranya adalah Pertambangan dan Penggalian
(Kode KLU : 10 sd.14) serta Real Estat; Persewaan; Jasa Perusahaan (Kode KLU
: 70 sd. 74). Selain itu juga ditemukan bahwa guna mengoptimalkan penerimaan
dari pemeriksaan pajak sebaiknya lebih mengedapankan penerapan kebijakan
pemeriksaan khusus bagi Wajib Pajak Badan karena cenderung menghasilkan
penerimaaan pajak cukup besar.

Abstract
This thesis analyzing tax audit result for 2008-2011 to determine profile model
of potential corporate tax payer at Palmerah Tax Service Office. This research
using statistic descriptive method, in which the obtained data was proceeded and
presented in tabulair models. From this research, had been find that profile
model from corporate tax payer examination result tends to follow tax payer
model based on tax revenue per business sector. The potential business are
mining and excavation sector (KLU Code :10-14) and real estate; office rental;
corporate services sector (KLU Code : 70-74). Additionally, it?s also find that in
order to optimize revenue from government tax audit should be more forward
using special tax audit criteria for corporate tax payer because it tends produce
large enough tax revenue.
"
2012
T31281
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Silaban, Agust Hendra
"Data pembanding atas transaksi hubungan istimewa merupakan salah satu hal yang seringkali diperdebatkan oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertimbangan Pemeriksa Pajak dalam menentukan data pembanding pada saat melaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa, untuk mengetahui kendala Pemeriksa Pajak dalam menentukan data pembanding, serta untuk mengetahui apa yang menyebabkan sengketa antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak mengenai data pembanding. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemeriksa Pajak mempertimbangkan karakteristik usaha, dokumentasi harga transfer, faktor kesebandingan, ketersediaan data pembanding internal, informasi dari sumber informasi eksternal, kelengkapan data dan ketersediaan website kandidat pembanding, kriteria kandidat pembanding, pendekatan pemeriksaan, serta metode harga transfer. Kendala yang dihadapi adalah kendala pemahaman dan kepatuhan Wajib Pajak, ketidakterbukaan Wajib Pajak, keunikan produk dan jasa serta proses bisnis Wajib Pajak, pemahaman Pemeriksa Pajak, load pekerjaan yang tinggi, mutasi pegawai, keterbatasan sumber informasi dan variasi database, kendala akses database, serta kendala penguasaan bahasa asing tertentu. Sengketa mengenai data pembanding disebabkan adanya perbedaan kepentingan, perbedaan pemahaman, tidak dilakukannya analisis transfer pricing yang mendalam, keterbatasan akses informasi, adanya tindakan untuk menjustifikasi transaksi, kurangnya pedoman dalam penentuan data pembanding, serta masalah komunikasi dan keterbukaan yang timbul pada saat pelaksanaan pemeriksaan.

Comparable on affiliate transactions is one thing that is often debated by the Taxpayers and Tax Auditors. This study was conducted to find out the Tax Auditors? consideration in determining comparable during transfer pricing audit and the constraints as well as the causes of dispute on comparable between Taxpayers and Tax Auditors. This research was conducted using qualitative approach.
The results showed that Tax Auditors consider Tax payers? business characteristics, transfer pricing documentation, comparability factors, the availability of internal comparable, the information obtained from external source such as databases, the completeness of data and the availability of comparable company's website, the qualitative and quantitative criteria of comparable company, transfer pricing methods used, and audit approach carried out. The constraints is due to understanding and tax compliance, lack of openness, the Taxpayers? uniqueness of products, services, and business, Tax Auditors? knowledge, high work load, personnel transfers within organization, limited information resources and variations in databases, limited access to database, and foreign language constraint. Disputes on comparable between Taxpayers and Tax Auditors may arise due to differences in interests and understanding, the absence of in-depth analysis of transfer pricing, limited access to information, justification on transaction, the lackness of guidance in determining comparable, and communication problems and lack of openness during the audit.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S59725
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>