Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88860 dokumen yang sesuai dengan query
cover
SPA Ichatiyatun
"Tulisan dengan judul " Kajian Wasiat Wajibah Islam Sistem Tata Hukum Kewarisan Islam " ini membahas masalah wasiat wajibah untuk anak angkat atau orang tua angkat sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, dan juga hak waris bagi pewaris nom muslim, sebagai suatu pembaharuan hukum Islam (fikih) secara mendasar dan substansial. Rumusan mengenai masalah wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak terlepas dari pengaruh hukum adat, sebagai suatu realitas social yang nyata-nyata ada dan hidup di tengah masyarakat Indonesia.
Pada dasarnya wasiat itu merupakan tindakan hukum yang bersifat sukarela, yang didasarkan atas kehendak bebas dari pemberi wasiat selaku pemilik harta. Namun demkian, berpangkal pada firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat 180, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum wasiat tersebut. Jumhur ulama berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu').
Berdasarkan pendapat kedua tersebut, beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya.
Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka wasiat wajibah ini -pun dapat diperuntukan bagi pewasiat non muslim dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan. Kedua hal ini merupakan suatu terobosan yang inovatif dan cerdas dalam menciptakan harmoni antara hukum Islam dengan hukum adat di Indonesia juga sebagai petunjuk ajaran Islam yang bernuansa rahmatan lil 'alamin sehingga dapat memotivisir kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, masalah wasiat wajibah menjadi objek yang menarik untuk dikaji.
Ada dua permasalahan dalam kajian ini. Pertama, bagamaina kedudukan wasiat wajibah dalam sistem tata hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan kedua, bagaimana konsekuensi yuridis ketentuan wasiat wajibah baik yang diatur maupun yang tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, baik terhadap bagian anak angkat atau orang tua angkat dan ahli waris non muslim, bagian warisan para ahli waris, maupun bagian penerima wasiat yang lain."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hazirudin
"Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pemberian hibah biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup. Dalam penulisan tesis ini akan dibahas kasus hibah sebagian besar harta yang telah dilakukan oleh orang tua angkat kepada anak-anak angkatnya. Kasus ini menarik perhatian penulis untuk diteliti karena berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 210 ayat (1) penghibahan dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta benda yang dimilikinya, kemudian timbullah sengketa antara anak angkat penerima hibah dengan ahli waris yang sah setelah penghibah telah tiada, dan para ahli waris yang sah, menuntut haknya dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Cimahi, Bandung, Hakim memutuskan mengabulkan permohonan penggugat.
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini : 1) Bagaimana hukum Islam mengatur hibah atas sebagian besar harta dari orang tua kepada anak angkatnya ? 2) Apakah sudah sesuai dengan hukum Islam putusan yang diambil Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 30 Januari 2001 Nomor : 342 K/AG/2000 ?.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian bersifat yuridis normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan, khususnya bahan hukum primer yaitu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 342 K/AG/2000, tanggal 30 Januari 2000. Hukum Islam mengatur tentang Hibah, yaitu penghibah adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta bendanya kepada prang lain atau lembaga dihadapan 2 (dua) orang saksi, sedangkan penerima hibah harus ada pada saat hibah dilangsungkan, obyek hibahnya harus punya pemberi hibah, sesuatu yang kepemilikannya dihalalkan dalam agama dan disertai ijab dan kabul untuk syarat sahnya hibah. Bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan hibah yang telah dilakukan dalam kasus di atas tetap sah untuk 1/3 (sepertiga) bagian dan 213 (duapertiga) batal demi hukum, sehingga konsekuensi yuridisnya penerima hibah harus mengembalikan 2/3 (duapertiga) bagian untuk dibagikan kepada para ahli waris yang sah sesuai dengan ketentuan dalam hukum Islam.

Hibah (bequest) is gift bestowed by a person to another party, carried out when the person is still living, and the implementation of hibah is usually done during the time the person making the bequest is still alive. In writing this thesis a bequest case will be investigated of the greater part of property by an adopting parent to his adopted children. This case has drawn the attention of the writer for study, because based on the Compilation of Islamic Law Article 210 paragraph (1), a bequest is limited to at the most 1/3 (one third) of the property owned. Afterwards a dispute arose between the adopted children, receivers of the bequest and the legal heirs after the person who had made the bequest had passed away, and the legal heirs claimed their rights by submitting a suit to the Religious Court of Cimahi, Bandung. The judge decided to grant the plaintiffs' request.
The main problems to be discussed in this thesis are: 1) How does Islamic law regulates hibah of the greatest part of the property of a parent to his I her adopted child? 2) Is the decision taken by the Supreme Court of the Republic of Indonesia of January 30, 2001, Number 342 K/AG/2000 in accord with Islamic law?
The research method applied is the juridical normative research method, focusing on literature research, in particular primary legal material, namely the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 342 /K/AG/2000, dated January 30, 2001. Islamic Law regulates on Hibah, that the person making the bequest should have reached the age of 21 years, has a sound mind, and without any pressure is allowed to bequest at the most 1/3 (one third) of his / her property to another person or institute in front of 2 (two) witnesses, while the bequest receiver should be present during the bequest; the object of bequest should have a person making the bequest, something which ownership is authorized by religion and the bequest should be accompanied by ijab kabul (consent) as a legal prerequisite of the bequest. That the Supreme Court of the Republic of Indonesia has decided that the bequest carried out in this case remains legal for 1/3 (one third) part, while 2/3 (two third) part is void according to law, so that as a juridical consequence the bequest receivers have to return 2/3 (two third) part for division to the legal heirs, is conform the stipulations of Islamic law."
Lengkap +
2007
T19510
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Burhanudin
"ABSTRAK
Allah menciptakan manusia dalam dua Jenis. Pria dan Wanita. Keberadaannya tidak untuk dibandingkan antara yang satu dengan yang lain, tetapi untuk dijadikan pasangan. Pasangan dalam membentuk keluarga untuk melanjutkan keturunan. Oleh karena itu tidak ada pembedaan dalam kedudukannya sebagai makhluk Allah.
Agar kehidupan berpasang-pasangan antara pria dan wanita sebagai suami isteri didalam rumah tangga dapat berjalan dengan baik, maka Islam mengadakan pembagian fungsi. Pria sebagai suami berfungsi memenuhi segala macam kebutuhan ekonomi keluarga. Wanita, sesuai dengan keadaan yang melekat pada dirinya berfungsi untuk mengurus jalannya kehidupan keluarga.
sebagai suatu sistem ajaran, norma pembedaan fungsi primer tersebut memberikan corak ke dalam hukum kewarisan. Oleh karena wanita tidak dibebani kewajiban hukum untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, maka al-Qur'an menentukan bagian warisan wanita setengah dari bagian pria.
Evoluasi manusia dengan budaya yang diciptakannya, mengadakan wanita melakukan fungsi di luar fungsi primernya. Para wanita tidak hanya menjalankan fungsi primernya sebagai ibu rumah tangga tangga untuk mengurus jalannya kehidupan keluarga, tetapi ikut bekerja mencari uang. Bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Penelitian ini mencoba mengungkap ada atau tidak adanya pengaruh peranan wanita dalam keikutsertaannya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga terhadap pembagian warisan yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di Surakarta.
Hasil penelitian yang telah diuji berdasarkan teori statistik menunujukkan adanya pengaruh yang sangat lemah. Artinya besar kecilnya hara warisan yang diterima wanita tidak banyak dipengaruhi oleh ikut atau tidak ikut sertanya wanita dalam membantu suami untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain (yang memerlukan penelitian lebih lanjut)."
Lengkap +
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah Izzatullaili
"Dewasa ini, banyak jurits Indonesia menegaskan formasi sosial dominan ulama tradisional terhadap kecenderungan afirmatif bahwa beda agama nienjadi salah satu kendala (mani') untuk waris mewarisi tidak lagi relevan dengan kondisi multi kultur dan multi agama masyarakat Indonesia. Sebagai gantinya, mereka menyatakan bahwa disparitas perolehan harta warisan secara kuantitas berdasarkan perbedaan agama (religion disaggregated) secara perlahan akan luntur sesuai dengan tingkat kemajemukan masyarakat Indonesia yang tinggi. Dan seyogyanya beralih, melalui tindakan kebijaksanaan hukum (legal policy) negara Indonesia ke antitesisnya, yaitu beda agama bukan halangan mendapat hak waris secara resiprokal.
Terkait dengan itu, politik hukum pentndang-undangan Indonesia di bidang perdata Islam tidak melegalkan waris beda agama. Sebaliknya hukum perdata adat dan Barat yang masih berlaku di Indonesia mengakui praktek pemberian hak waris beda agama. Fenomena pernberlakuan beberapa sistem hukum ini mengurai fakta adanya perbedaan materi hukum perdata secara konseptual dari sudut yuridis normatif. Hai ini pada tahap selanjutnya berpotensi menciptakan kondisi tidak sehat daiam masyarakat dan chaos dalam pelaksanaan hukumnya (law enforcement).
Penelitian ini bertujuan untuk untuk menggambarkan secara deskriptif dan melacak faktor-faktor penyebab konflik yang kerap kali terjadi di bidang hukum perdata Indonesia terutama yang terkait dengan hak waris beda agama dan lantas memproyeksikan formasi sosial yang mampu melakukan konstruksi makna (signifrkansi) tentang waris beda agama secara verbal dalam suatu cara yang dapat. diterima oleh masyarakat dan persepsinya terhadap realitas pluralitas dan heterogenitas struktur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan model pengkajian kualitatif deskriptif dengan pemilihan studi kasus (case study) sebagai strategi penelitian.
Adapun pengumpulan data dibatasi pada dari data-data yang terdapat pada Mahkamah Agung yang mengulas secara khusus tentang putusan kasus gugatan waris beda agama dari tahun 1990-2000. Sedangkan karakteristik data tersebut berupa data dokumen dan data kasus. Adapun strategi analisis bukti studi kasus dikembangkan dengan mengikuti proposisi teoritis dan mengembangkan deskripsi kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaksinkronan elemen-elemen sistem hukum bukan merupakan satu-satunya faktor yang mengakibatkan muncul konflik. Tetapi konflik pada mulanya muncul akibat ketimpangan pemenuhan kebutuhan primordial yang dilakukan dengan mengorbankan pemenuhan hak orang lain, Dengan demikian, konflik dalam sistem hukum dilatarbetakangi oleh konflik lain di luar hukum. Bahwa upaya penyelesaian persoalan di luar jalur hukum, negosiasi misalnya, belum tercapai.
Secara khusus, konflik dalam sistem hukum terjadi karena dua hal yang saling berkaitan, pertama, adanya dua sistem hukum atau lebih yang berbeda secara diametral, dan kedua, beberapa sistem hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan menguasai peristiwa hukum. Adapun konkretasi bentuk-bentuk konflik dapat dideskripsikan dalam tiga pointer, pertama, konflik dalam tingkat struktur hukum (legal structure), kedua, konflik dalam tingkat substansi hukum (legal substance) dan ketiga, konflik dalam tingkat budaya hukum (legal culture). Bertolak dari konsepsi hukum sebagai sistem, konflik secara spesifik diakibatkan oleh (1) masalah interpretasi; (2) masalah yurisdiksi; (3) masalah legitimasi; dan (4) masalah sanksi. Selain itu, konflik juga terjadi akibat pengaruh historis tarik ulur beberapa sistem hukum yang dilakukan oleh penjajah kolonial. Akhirnya, persoalan peinberian hak waris beda agama tidak selalu ditimbulkan oleh degradasi kesadaran terhadap hukum tetapi oleh tuntutan menegakkan keadilan bagi manusia.

Formerly, there are a lot of Indonesian juries which emphasized that dominant social formation of traditional ulama is no longer relevant to assess that diversity on religions affirmatively become an obstacle (mani') in heir system of Indonesian multi culture and religion. Therefore, they stated that their quantity disparity on subject to religion disaggregated is changeable along with higher Indonesian complexity society.
In line to that case, Indonesian law policy of Islam civil justice did not legalize heir in religion diversity. On the contrary, western and traditional law still recognized and legalize heir in religion diversity. This phenomenon is potentially creates unhealthy situation on civil society and probably become source of chaotic situation on law enforcement manners.
This study tries to describe and tracing conflict causal factors often happened in Indonesian civil justice, specially hooked with heir in religion diversity. These research also projected on how social formation able to signified heir law on Indonesian plurality. Therefore, this study used descriptive qualitative examination model and case study as research strategy. This study use document from High Court specifically reviewed religions diversity hair cases from 1990 to 2000.
Research found that failure on synchronization of law system elements was not the only factors to determine conflicts. Conflict arises as consequences of failure to occupy primordially needs by sacrifice other rightful authority. Therefore, conflict in law system surrounded by outer law issues backgrounds.
Specifically, conflict in law system occurred as per two bounded causes. First, the existence of two or more law difference systems. Second, these differences law system has equal degree and dominating law affair.
Furthermore, conflict shapes could be describes on three points; legal structure, legal substance, and legal culture. Underpinned from law as law concept, conflict also specifically caused by (1) interpretations predicament; (2) justice predicament; (3) legitimate predicament and (4) sanctions predicament. Besides that, conflicts also accomplished as the effect of historical resistance of some different law system by colonizer.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zubaidi
"Umat Islam di Indonesia termasuk ke dalam kelompok Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Sunni. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah (untuk selanjutnya disebut Sunni) ini merupakan kelompok umat Islam yang terbesar dibandingkan dengan kelompok-kelompok yang lain. Lebih kurang 90% dari jumlah umat Islam di seluruh dunia dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sunni. Sedangkan sekitar 10% lainnya termasuk kelompok Syi'ah yang terbagi pula ke dalam beberapa aliran.
Dalam bidang akidah, kelompok Sunni di Indonesia kebanyakan mengikuti ajaran Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan di bidang hukum mengikuti madzhab yang ada di kalangan Sunni, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Namun demikian di kalangan para kyai di Indonesia pengaruh madzhab Syafi'i jauh lebih dominan dibandingkan dengan madzhab lainnya. Demikian pula hukum Islam yang dipergunakan di Pengadilan Agama (dengan berbagai names) untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya, pada mass yang lalu, terdapat dalam berbagai kitab fikih madzhab Syafi'i yang ditulis cleh para fukaha beberapa abad yang lalu.
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Biro Peradilan Agama (sekarang berganti nama dengan Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama) Nomor B/I/735 Tahun 1959, dalam rangka memberi pegangan kepada para hakim agama di Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa dan Madura serta sebagian bekas residensi Kalimantan Selatan dan Timur yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 serta hakim-hakim agama di Pengadilan Tinggi Agama dan Kerapatan Qadi yang dibentuk sebelum tahun 1957, Biro Peradilan Agama telah menentukan 13 (tigabelas) kitab fikih madzhab Syafi'i.
Namun, dalam perkembangannya kesadaran hokum masyarakat muslim di Indonesia mengalami perubahan. Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada bagian kedua abad ke duapuluh ini menunjukkan bahwa kitab-kitab fikih tersebut tidak lagi seluruhnya sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat muslim di Indonesia. Sebabnya ialah kitabkitab fikih madzhab Syafi'i itu ditulis oleh para fukaha beberapa abad yang lalu. Sebagai basil penalaran manusia yang selalu terikat pada ruang dan waktu, situasi dan kondisi di tempat is melakukan penalaran serta unsure subyektifitas, sudah barang tentu dalam kitab-kitab tersebut terdapat perbedaan-perbedaan, bait( besar maupun kecil. Terlebih lagi jika diterapkan di Indonesia yang situasi dan kondisi Berita problem masyarakatnya berbeda dengan tempat para fukaha itu. Lebih lanjut Prof. H. Mohammad Daud Ali juga menyatakan bahwa wawasan hukum Masyarakat muslim Indonesia pun sejak pertengahan abad ini, terlebih lagi pada penghujung abad ke duapuluh ini nampaknya telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya, karena telah mengandung "wawasan Indonesia". Jangkauannya telah melewati Batas madzhab Syafi'i yang berabad-abad menguasai pemikiran hukum Islam di tanah air kita.
Hal tersebut di atas disebabkan karena perkembangan pendidikan, terutama pendidikan tinggi, baik di lingkungan Departemen Agama maupun di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sehingga menimbulkan kesadaran baru di kalangan kaum muslimin, melahirkan peradaban baru, yaitu peradaban Islam yang terbuka, yang mau belajar dart manapun dan tidak fanatik madzhab, baik di bidang akidah maupun di bidang hukum.
Sebagaimana tersebut di atas, dalam bidang hukum, termasuk hukum kewarisan Islam, masyarakat muslim Indonesia, demikian juga para hakim Pengadilan Agama menggunakan kitab fikih madzhab Syafi'i."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Ali Masum
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan bagaimana wasiat wajibah, sebagai produk ijtihadiah pare ahli hukum kewarisan Islam, menjadi aspek pembaharu dalam hukum kewarisan Islam Indonesia. Penulisan hukum ini bersifat deskriptif dengan berusaha memberikan gambaran mengenai arti pembaharuan, yang dalarn term Islam, setidaknya dikenal dengan tiga istilah, yakni tajdid (pemumian), taghyir (perubahan) dan ishlah (perbaikan). Pembaharuan dalam pengertian tajdid misalnya diungkapkan sebagai pemumian dengan kembali kepada ajaran asli Islam seperti termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Pembaharuan dalam arti taghyir digambarkan sebagai usaha pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hukum kehidupan dan hukum Allah dalam diri pribadi, masyarakat dan negara. Sedangkan perubahan dalam arti ishlah merupakan usaha perbaikan yang dilakukan terhadap sektor-sektor yang sudah rusak dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara, khususnya dalam bidang hukum. Dalam menakar sejauh mana perubahan yang terjadi di sekitar hukum kewarisan Islam Indonesia, digunakan ciri-ciri pembaharuan hukum Islam yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dan corak pembaharuan yang diintroduksi oleh Noul J. Coulson. Matra lain yang menjadi fokus pembahasan dan penulisan ini adalah wasiat wajibah. Sebagai aspek pembaharuan yang fenomenal, wasiat wajibah memperkaya khazanah pemikiran di bidang hukum kewarisan. Konsep ini muncul sebagai kelanjutan diskursus dan perdebatan pars ahli hukum kewarisan Islam sekitar ayat menyangkut wasiat dan ayat mengenai mirats. Dalam hukum kewarisan Islam Indonesia, wasiat wajibah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung merupakan 'tanda' dari pembaharuan hukum kewarisan Islam yang memasuki tahap ketiga setelah plaatsvervulling (ahli warts pengganti) yang diintroduksi oleh Hazairin, guru besar hukum Adat yang ahli di bidang hukum Islam dari Universitas Indonesia. Kemudian wasiat wajibah bagi anak angkat dan orang tua angkat sebagaimana diakomodasi oleh Kompilasi Hukum Islam. Putusan Mahkakah Agung Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, yang memberikan hak wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim yang diangkat dalam penulisan ini, menempatkan Mahkamah Agung tidak saja sebagai judge made law, melainkan juga memposisikan Hakim Agung yang memutuskan kedua perkara tersebut sebagai 'pembaharu' terhadap hukum kewarisan Islam Indonesia. Selain para. praktisi hukum kewarisan Islam di Peradilan Agama berpandangan bahwa hal demikian tidak lazim, di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim pun seperti Mesir, Tunisia, Maroko, Pakistan wasiat wajibah tidak diterapkan pada kasus ahli waris non muslim. Dalam penulisan ini dianalisis pula putusan Pengadilan Agama Jakarta dan putusan Pengadilan Yogyakarta yang memutuskan tidak memberi hak wasiat wajibah bagi ahli waris non mlislim. Jika putusan Pengadilan Agama Jakarta mendasarkan pertimbangan hukumnya pads Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, putusan Pengadilan Agama Yogyakarta thefidasarkan pertimbangannya selain pada Pasal 171 huruf c juga pada Hadits Nabi SAW yang tertulis dalam kitab Kifayat al Akhyar Juz II halaman 18."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S20032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sudarsih
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22203
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irzan Noor Rizki
"Hukum waris sejak dahulu dipandang sebagai bidang hukum yang peka dan sensitif dalam kehidupan masyarakat sehingga pada umumnya selalu dianjurkan agar kita berhati-hati dalam membicarakan serta menyelesaikan masalah kewarisan, mengingat masalah kewarisan bukan hanya menyangkut persoalan sosial ekonomi dan budaya bangsa bahkan juga erat kaitannya dengan hukum agama. Dalam prakteknya di masyarakat sering terjadi perselisihan antar ahli waris dalam memperebutkan harta warisan. Salah satu contoh adalah dengan adanya atsar atau hadits dari Zaid bin Tsabit yang mengatur masalah perolehan cucu. Disini cucu baik laki-laki maupun perempuan melalui anak perempuan dan cucu baik laki-laki maupun perempuan melalui anak laki-laki tetapi masih ada anak laki-laki lain yang masih hidup yang telah meninggal lebih dahulu dari kakek/neneknya atau si pewaris tidak mendapat porsi bagian dari harta peninggalan si pewaris. Oleh karena itu Undang-Undang menciptakan lembaga hukum yang disebut Wasiat Wajib untuk mengatasi ketidakadilan dalam pembagian harta warisan. Untuk itu penulismencoba untuk meninjau bagaimana pelaksanaan dari wasiat wajib tersebut menurut hukum kewarisan Islam."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S20925
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Zushaniaty I
"Hukum Kewarisan merupakan himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak inewarisi harta peninggalan seorang yang telah meninggal dunia meninggalkan harta peninggalannya. Wasiat merupakan bagian dari hukum kewarisan, dimana wasiat itu adalah suatu pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah ia meninggal kelak.
Menurut KUHPerdata terdapat 2 cara untuk mendapatkan warisan yaitu dengan ketentuan Undang-Undang atau ab in testate, dan karena ditunjuk dalam surat wasiat atau testamentair, Dalam KUHPerdata, wasiat tidak boleh melebihi bagian mutlak (Legitime Portie), sedangkan dalam hukum kewarisan Islam wasiat tidak boleh melebihi 1/3 dari har ta peninggalan.
Wujud harta warisan dimana termasuk didalamnya hutang simati, menurut hukum Islam penyesuaiannya adalah didahulukan pelaksanaannya sebelum warisan dibagikan. Sedangkan menurut KUHPerdata, apa yang diterima oleh ahli waris itu adalah harta peninggalan dalam keadaan bersih, berarti setelah dikurangi dengan hutang-hutang sipewaris."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>