Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3358 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan kontradiksi hubungan antara dispersi QT dengan kejadian takiaritmia ventrikel dan atau kematian jantung mendadak. Penelitian-penelitian itu tidak mengeluarkan pengguna obat penghambat reseptor beta, bahkan pengguna obat tersebut merupakan mayoritas pada sampel mereka. Karena penggunaan penghambat reseptor beta sebagai pencegahan sekunder yang masih rendah di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dispersi QT dengan kejadian takiaritmia ventrikel dan atau kematian jantung mendadak pada pasien pascainfark. Interval QT, dispersi QT dan variabel klinis dibandingkan antara 36 orang pasien pascainfark yang mengalami takiaritmia ventrikel dan atau kematian jantung mendadak (kelompok kasus), dengan 75 pasien pascainfark yang tidak mengalami kedua kejadian tersebut (kelompok kelola). Dispersi QT yang lebih panjang (115 + 41 msec vs 81 + 25 msec, p < 0.001). Interval QT maksimal terkoreksi juga lebih panjang pada kelompok kasus (534 + 56 vs 501 + 35 msec, p < 0.001). Analisa regresi logistik menunjukkan adanya hubungan antara pemanjangan dispersi QT dengan kejadian takiaritmia ventrikel dan atau kematian jantung mendadak dengan RO 3,2, 4, dan 5,8 masing-masing untuk nilai potong 80, 90, dan 100 mdet. Dispersi QT dapat memprediksi kejadian takiaritmia ventrikel dan atau kematian jantung mendadak pada pasien infark miokard akut. Hasil ini menunjukkan bahwa dispersi QT tetap bermanfaat pada kondisi bebas pengaruh obat penghambat reseptor beta. (Med J Indones 2005; 14: 230-6)

Recent studies showed contradictive results of the relation between QT dispersion and the occurrence of ventricular tachyarrhythmias and/or sudden cardiac death. In addition, beta adrenoreceptors blocking agents, which are known to decrease the incidence of lethal arrhythmias after myocardial infarction, administered to the majority of patients in those studies population. Since b-blocker as secondary prevention drug was underutilized at National Cardiovascular Center Harapan Kita, this study was performed to find out the relation between QT dispersion and ventricular tachyarrhythmias and/or sudden cardiac death after previous myocardial infarction. The QT interval duration, QT dispersion and clinical variables of 36 postinfarction patients with history of sustained ventricular tachyarrhythmias and/or sudden cardiac death (event group) were compared with 75 postinfarction patients without such events (control group). QT dispersion differed significantly between study groups and was increased in the event group (115 ± 41 msec vs 81 ± 25 msec, p < 0.001). Corrected maximal QT interval duration was also prolonged in the event group (534±56 vs 501±35 msec, p < 0.001). Regression analysis showed that increasing QT dispersion was related to the occurrence of ventricular tachyarrhythmias and/or sudden cardiac death with OR of 3.2, 4, and 5.8 for cut-off point of 80, 90, and 100 msec respectively. The QT dispersion could predict the occurrence of ventricle tachyarrhythmias and/or sudden cardiac death in patient with AMI. This study confirmed that the QTd remain useful in free of beta blocking agents state. (Med J Indones 2005; 14: 230-6)"
Medical Journal Of Indonesia, 14 (4) October December 2005: 230-236, 2005
MJIN-14-4-OctDec2005-230
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R. Miftah Suryadipraja
"Telah dilakukan penelitian retrospektif terhadap pasien infark miokard akut (IMA) yang dirawat di ICCU RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta antara Januari 1994 sampai Desember 1999. Dari 513 pasien yang dirawat dengan IMA, 227 pasien adalah usia lanjut, di mana 35,2 % dari mereka adalah wanita. Sebagian besar IMA usia lanjut mengeluh nyeri dada yang khas seperti pada pada kelompok usia muda. Pasien IMA usia lanjut cenderung terlambat datang ke rumah sakit dan lebih banyak menderita IMA gelombang Q. Faktor risiko diabetes melitus dan hipertensi lebih sering dijumpai pada usia lanjut. Prevalensi fibrilasi atrial dan mortalitas lebih tinggi pada usia lanjut. (Med J Indones 2003; 12: 229-35)

A retrospective study were performed in patients with acute myocardial infarction (AMI) that hospitalized in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta during the period of January 1994 until Decmber 1999. There were 513 patients hospitalized with MCI, 227 patients (44.2%) were classified as elderly, and 35.2% of them were female. Most of the elderly AMI patients reported typical chest pain just like their younger counterparts. Elderly AMI patients tend to come later to the hospital, and more Q-wave myocardial infarction were identified compared to non-Q-wave myocardial infarction. Risk factors of diabetes mellitus and hypertension were more common among the elderly. The prevalence of atrial fibrillation and the mortality rate were higher among elderly AMI patients. (Med J Indones 2003; 12: 229-35)"
2003
MJIN-12-4-OctDec2003-229
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Infark miokard akut (IMA) telah menjadi sebab utama kematian di negara Barat maupun di Indonesia. Keterlambatan diagonis dan tatalaksana dini yang salah seringkali mengakibatkan kegagalan reperfusi dengan trombolitik. Dokter umum sebagai lini kesehatan pertama harus dibekali dengan ketrampilan mendiagnosis dan juga menangani IMA. Dalam tulisan ini dilaporkan kasus gagal terapi trombolitik pada pria usia 47 tahun setelah tujuh jam mengalami nyeri dada angina, yang telah sebelumnya ditangani oleh dokter umum. (Med J Indones 2005; 14:249-52)

Acute myocardial infarction (AMI) has been the leading cause of death in Western countries, as well as in Indonesia. Delay in diagnosis and incorrect early management often result in failure of thrombolytic reperfusion. General practitioner (GP) as the primary care, needs to be equipped with the ability to diagnose and moreover to manage AMI. A case of fail thrombolytic management in a 47 years old man after seven hours of angina typical chest pain, after previously managed by GP, is being reported. (Med J Indones 2005; 14:249-52)"
Medical Journal Of Indonesia, 14 (4) October December 2005: 249-252, 2005
MJIN-14-4-OctDec2005-249
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Sri Wariyastuti
"

 

Aktivitas seksual adalah kebutuhan vital bagi manusia yang dapat terganggu setelah Infark Miokard Akut (IMA) sehingga kapan kembali melakukan aktivitas seksual merupakan hal yang harus menjadi perhatian. Namun saat ini, kembali beraktivitas seksual belum menjadi prioritas dalam pelayanan keperawatan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh dari karakteristik responden, farmakologi, komorbiditas, masalah seksual, dukungan pasangan, dukungan tenaga kesehatan, pengetahuan, fungsi fisik dan faktor psikologis (ansietas-depresi) terhadap kembali beraktivitas seksual. Penelitian menggunakan desain survey analitik cross sectional pada 107 responden rawat jalan yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Penelitian menggunakan instrumen Short-Form 12 (SF-12) untuk menilai fungsi fisik, Sex after MI Knowledge Test (SMIKT) untuk mengukur pengetahuan seksual paska IMA dan The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) untuk mengukur ansietas dan depresi. Hasil penelitian yang dianalisa dengan uji chi-square dan fishers exact menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan signifikan adalah farmakologi (beta-blocker) (p=0,020), masalah seksual (p=0,017) dan pengetahuan (p=0,038). Responden dengan beta-bloker, mempunyai masalah seksual dan pengetahuan seksual yang kurang cenderung terlambat kembali beraktivitas seksual. Program edukasi seksual dan peningkatan kolaborasi interprofesional diharapkan dapat membantu pasien lebih cepat kembali beraktivitas seksual paska IMA.

 

 


 

Sexual activity is a vital need for humans which can be distrupted due to Acute Myocardial Infarction (AMI) therefore when to resumption of sexual activity is an important matter must be concern. However, return to sexual activity have not been a priority in nursing care nowadays. The study aimed to identify influence of characteristics respondent, pharmacology, comorbidity, sexual problem, partners support, health professional support, sexual knowledge, physical function and psychology factors (anxiety-depression) on returning to sexual activity. The study used analytic survey with cross sectional approach and consecutive sampling involving 107  outpatient. The instruments used were Short Form 12 (SF-12) to assess physical function, Sex after MI Knowledge Test (SMIKT) to measure the post-IMA sexual knowledge and The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) to measure anxiety and depression level. The results were analyzed by fishers exact and chi square test showed a significant relationship between  pharmacological factor (beta-blocker) (p=0,02), sexual problems (p=0,017) and sexual knowledge (0,038) with returning to sexual activity after IMA. Respondents were receiving beta-blocker, having sexual problems and lacking of sexual knowledge tend to be late resuming sexual activity. Sexual education programe and increased interprofessional collaboration are expected to help post-IMA patients regain their sexual activity  faster.

 

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Angka kematian pada pasien dengan infark miokardium akut (IMA) telah menurun secara signifikan oleh karena strategi terapi reperfusi saat ini. Terapi reperfusi dapat berakibat pada cedera reperfusi. Oleh karena itu, tatalaksana pada pasien ini menghadapi tantangan baru dalam hal diagnosis dan tatalaksana gagal jantung, identifikasi kondisi iskemia, estimasi keperluan antikoagulan, dan penilaian risiko kardiovaskular secara menyeluruh. Ilustrasi kasus ini akan menunjukkan pengaruh magnetic resonance imaging (MRI) kardiak dalam penilaian patofisiologi IMA pada era terapi reperfusi. MRI kardiak akan memberikan informasi berguna yang akan membantu para klinisi dalam tatalaksana dan pemilihan strategi terapi spesifik pada pasien IMA.

Abstract
Mortality in patients with acute myocardial infarction (AMI) has decreased significantly and appears to be the result of current reperfusion therapeutic strategies. Reperfusion itself may develop into reperfusion injury. Therefore, management of these patients poses several challenges, such as diagnosing and managing heart failure, identifying persistent or inducible ischaemia, estimating the need for anticoagulation, and assessing overall cardiovascular risk. This case presentation will demonstrate the impact of cardiac magnetic resonance imaging (MRI) in the assessment of the pathophysiology of AMI in
the current reperfusion era. Cardiac MRI can provide a wide range of clinically useful information which will help clinicians to manage and choose specific therapeutic strategies for AMI patients."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
[Place of publication not identified]: International society of Cardiology, 1973
616.123 7 MYO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wishnu Aditya Widodo
"Latar Belakang. Infark miokard akut (IMA) masih merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan dunia. Kejadian perdarahan pada pasien IMA berkaitan dengan angka mortalitas yang jauh lebih tinggi. Kejadian perdarahan ditemukan lebih tinggi pada populasi IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dibandingkan dengan IMA non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Analisa register skala besar telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan, dan beberapa diantaranya diaplikasikan sebagai sistem skor. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun sistem skor yang dibuat khusus untuk populasi IMA-EST.
Metode. Studi retrospektif kohort dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kejadian perdarahan positif menggunakan definisi Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, data laboratorium, roentgen, terapi awal, tindakan IKPP, dan terapi selama perawatan merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi dan diberikan pembobotan sehingga menjadi suatu sistem skor. Sistem skor ini kemudian diuji kembali dengan menggunakan populasi yang sama.
Hasil. Sebanyak 579 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 42 diantaranya mengalami perdarahan (7.3%). Variabel yang masuk ke dalam model akhir adalah jenis kelamin perempuan, kelas Killip 3 / 4, Umur ≥ 62 tahun, Leukosit >12.000, Kreatinin >1.5, IMT ≥ 25, Lesi koroner multipel, Akses femoral, dan Pemasangan TPM. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model akhir menunjukkan hasil yang baik. Model alternatif dibuat dengan menghilangkan variabel yang berkaitan dengan hasil dan prosedur tindakan intervensif.
Kesimpulan. Sistem skor baru ini merupakan suatu sistem untuk memprediksi kejadian perdarahan pada populasi IMA-EST yang menjalani IKPP. Skor ini memiliki nilai kalibrasi dan diskriminasi yang baik sehingga diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama perawatan.

Background. Acute myocardial infarction still become one of the leading mortality cause in the world. Among these patients, ST elevation myocardial infartion (STEMI) has the greatest mortality rate among other type of Myocardial Infarction. When a myocard infarct patient have bleeding events, mortality rate greatly increased. Up until now, there is no specific bleeding risk assessment tool to predict bleeding events in STEMI patient.
Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in STEMI patients underwent Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). Bleeding event was defined according to definition by Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, initial therapies, lab results, x-ray, PPCI procedures, and in hospital treatments. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method and then converted to a scoring system.
Result. 579 sampels fit the inclusion and exclusion criteria. Bleeding event occured in 42 patients (7.3%). Score was created by assignment of variables that included in the final model according to their Odds Ratio (OR) values. The variables are female gender, Killip class 3 / 4, Age ≥ 62 y.o, White blood cell >12.000, Creatinine >1.5, Body Mass Index ≥ 25, Multiple coronary lesion, Femoral access, and TPM implantation. These variabels was converted into two type of scoring system. The complete model contains all of the variables, and the alternative model discard variables related to interventional result and procedures.
Conclusion. A new scoring system quantifies risk for in-hospital bleeding event in STEMI patients underwent PPCI, which enhances baseline risk assessment for STEMI care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hanifa
"ABSTRAK
Latar Belakang : Lama waktu kembali bekerja penting untuk diperhatikan khususnya pada penyakit yang memiliki kemungkinan terjadinya relaps, salah satunya adalah infark miokard. Namun di Indonesia belum ada referensi untuk lama waktu kembali bekerja setelah infark miokard. Tujuan : Untuk menilai rerata lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard dan faktor-faktor yang berhubungan Metode : Penelitian potong lintang ini dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. 130 pasien rawat jalan yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap, diikutsertakan dalam penelitian ini dengan metode consecutive sampling. Data yang diperlukan didapatkan dari kuesioner data umum, DASS 42, Job Satisfaction Survey, dan rekam medis. Hasil : Rerata lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard adalah 14 hari. Berdasarkan analisis regresi linear, faktor-faktor yang berhubungan dengan lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard, yaitu yang memperlama waktu tersebut adalah pada jenis pekerjaan yang banyak bergerak, waktu kembali kerja yang ditentukan oleh dokter, fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan durasi perawatan di rumah sakit yang lebih lama. Kesimpulan : Keberhasilan kembali kerja setelah mengalami infark miokard berhubungan dengan faktor pekerjaan dan faktor klinis, oleh karena itu evaluasi terperinci oleh seorang dokter spesialis okupasi serta dokter spesialis jantung dan pembuluh darah sangat diperlukan.

ABSTRACT
Background The duration of return to work because of a disease needs to have the attention of a doctor, especially in a diseases that has probability for a relapse, one of them is myocardial infarction. However, in Indonesia there is no reference yet about the duration of return to work after myocardial infarction. Objective To assess the average time of return to work after myocardial infarction and the associated factors. Methods This cross sectional study was conducted at National Cardiovascular Center Harapan Kita. 130 employed out patients were involved in this study by consecutive sampling method. The required data was gathered from general data questionnaires, DASS 42, Job Satisfaction Survey and medical records. Result The mean duration for return to work after myocardial infarction was 14 days. Based on linear regression analysis, factors related to the duration of return to work after myocardial infarction, which prolonged the time, were the active job, the time that was determined by a doctor, the low left ventricular ejection fraction and longer hospitalization duration. Conclusion The success to return to work after myocardial infarction is related to occupational and clinical factors, thus a precise evaluation by an occupational medicine specialist and cardiologist is very needed. Keywords return to work, duration of return to work, myocardial infarction, occupational medicine specialist, occupational factors"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Evidence from epidemiologic studies suggests that periodontal diseases may exert a weak to moderate influence on the severity and course of coronary heart disease. The aim of this study was to investigate whether an association between chronic oral infections and the presence of an acute myocardial infarction (AMI) exists. A total of 248 patients after AMI and 249 healthy controls were recruited for this study. The oral assessment included caries frequency (DMFT indices), number of teeth, probing pocket depths, bleeding on probing, clinical attachment level, as well as radiographs to diagnose apical lesions. The medical examination included a blood analysis, e.g. the determination of the serum concentration of C-reactive protein (CRP). The data analysis showed statistically significant differences between AMI patients and the controls with regard to number of missing teeth (p = 0.001), DMFT index (p = 0.001) and presence of apical lesions of endodontic origin (p = 0.001). Logistic regression showed that the probability of having lesions of endodontic origin was with an odds ratio of 1.54 (95 % CI 1.10-2.16; p = 0.012) considerably higher in the AMI patient group. Likewise, the AMI patients had with an odds ratio of 1.21 (95 % CI 1.14-1.28; p < 0.001) a higher number of missing teeth. The data from the blood analysis, in particular the CRP values, showed no significant correlation with the number of apical lesions. The results of the present study underline that patients, who have experienced a myocardial infarction, had more missing teeth and a higher number of inflammatory processes, especially of endodontic origin, than healthy patients."
ODO 102:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>