Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15359 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efek temperatur cairan irigasi terhadap perubahan temperatur inti badan selama prosedur Transurethral Resection of the Prostate (TURP). Suatu uji klinis acak terkontrol dilakukan terhadap 32 penderita pembesaran prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia = BPH) yang menjalani prosedur TURP di RSUPNCM Jakarta, antara bulan September 2003 dan Januari 2004. Secara acak berselang-seling, penderita penelitian dimasukkan ke dalam kelompok standar (menggunakan cairan irigasi setara temperatur kamar + 23.60C) dan kelompok isotermik (menggunakan cairan irigasi yang dihangatkan sampai setara dengan temperatur badan + 37.20C). Jenis cairan irigasi yang digunakan oleh kedua kelompok adalah aquabidest. Kemudian dilakukan pencatatan terhadap usia penderita, lama reseksi, berat jaringan prostat yang direseksi, volume total cairan irigasi yang digunakan, temperatur kamar operasi serta temperatur inti badan sebelum dan sesudah prosedur TURP. Uji hipotesis untuk kedua kelompok menggunakan uji t, dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan temperatur inti badan selama prosedur TURP, baik pada kelompok standar maupun pada kelompok isotermik (keduanya p = 0,000), tetapi tidak satupun penderita dari kedua kelompok tersebut yang masuk dalam kriteria hipotermi. Rerata penurunan temperatur inti badan pada kelompok standar (0,990C) lebih besar dibandingkan dengan kelompok isotermik (0,750C), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan cairan irigasi selama prosedur TURP baik dengan temperatur yang setara dengan temperatur badan maupun yang setara dengan temperatur kamar, sama-sama menyebabkan penurunan temperatur inti badan pada tingkat yang kurang lebih sama. (Med J Indones 2005; 14: 152-6)

The objective of this study was to determine the effect of irrigating fluid temperature on core body temperature changes in patients undergoing transurethral resection of the prostate (TURP). A cross sectional study was conducted on 32 patients with Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) who underwent TURP at our institution between September 2003 and January 2004. Patients were randomized to one of two groups. Standard group consisted of 16 patients who received room temperature irrigating fluid (± 23.6 0C) throughout TURP. Isothermic group consisted of 16 patients whose procedure was performed using warmed irrigating fluid (± 37.2 0C). The irrigating fluid used for both groups was aquabidest. The age, resection time, weight of resected prostate, amount of irrigating fluid used, temperature in the operating theatre, core body temperature at beginning and at conclusion of TURP were recorded for each patient. The t test was used for comparison between both groups and a p value of 0.05 or less was considered significant. The result of this study showed a decrease of core body temperature during TURP, using either room temperature or warmed irrigating fluid (both p = 0.000). None of the patients in either group demonstrated any criteria of hypothermia. The average decrease of core body temperature in standard group (0.99 0C) was greater than in isothermic group (0.75 0C), but it was not significantly different (p > 0.05). In conclusion, our study revealed that using either room temperature irrigating fluid or warmed irrigating fluid during TURP could decrease core body temperature at approximately similar level, with no incidence of hypothermia. (Med J Indones 2005; 14: 152-6)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (3) July September 2005: 152-156, 2005
MJIN-14-3-JulSep2005-152
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Patandung, Richman
"Pendahuluan dan tujuan: Hiperplasia prostat jinak merupakan penyakit yang melemahkan yang menyebabkan 90% pria berusia 80 tahun menderita sindrom saluran kemih bagian bawah. Dalam studi ini, kami mencoba untuk mengevaluasi hasil dari reseksi transurethral prostat pada pasien hiperplasia prostat jinak untuk menguraikan manfaatnya.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara retrospektif. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis BPH. Pasien dibagi menjadi dua kelompok (<80gr dan> 80gr). Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan Independent T-Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada skor IPSS dan QoL pada kedua kelompok. Skor IPSS dan kualitas hidup pasca operasi juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pasien kelompok 1 dan 2.
Kesimpulan: Kami menemukan bahwa volume prostat tidak berhubungan dengan kualitas hidup pasien, yang diilustrasikan oleh indeks IPSS dan QoL setelah TURP. Selain itu, TURP dapat dilakukan pada semua pasien terlepas dari ukuran prostatnya. Lebih lanjut, TURP memiliki keuntungan komplikasi yang lebih rendah untuk pasien dengan ukuran prostat> 80 gr.

Introduction and objectives: Benign prostatic hyperplasia is a debilitating disease which causes 90% of 80 years old male suffers from lower urinary tract syndrome. In this study, we tried to evaluate the outcome of transurethral resection of the prostate in benign prostatic hyperplasia patients to elaborate its benefit.
Methods: This study is conducted retrospectively. Subject in this study are patients who are diagnosed with BPH. Patients is divided into two groups (<80gr and >80gr). Data obtained in this study is statistically analyzed using Independent T-Test and Mann-Whitney.
Results: We found no significant differences in the IPSS and QoL score in both groups. Postoperative IPSS and QoL score also showed no significant differences between group 1 and 2 patients.
Conclusion: We found that prostate volume is not correlated with patient quality of life, which illustrated by IPSS and QoL index after TURP. In addition, TURP can be conducted in any patients regardless of their prostate size. Furthermore, TURP has the advantage of lower complication for patients with prostate size >80 gr.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syaeful Agung Wibowo
"ABSTRAK
Pendahuluan: Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi komplikasi perioperatif TURP adalah jenis cairan irigasi yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komplikasi perioperatif dan perubahan hasil pemeriksaan laboratorium rutin pada TURP yang menggunakan cairan irigasi dextrose 5 ; berikut hubungannya dengan karakteristik pasien, volume cairan irigasi, dan temuan intra-operatif. Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah potong lintang prospektif dengan 32 subyek pasien benign prostatic hyperplasia BPH , yang menjalani tindakan TURP di RSUD Karawang Jawa Barat; pada periode Juli-Agustus 2017. Data yang diambil meliputi karakteristik pasien, volume cairan irigasi intraoperatif, durasi reseksi, volume jaringan yang direseksi, parameter laboratorium sebelum dan sesudah TURP hemoglobin, hematokrit, lekosit, gula darah sewaktu, natrium, kalium, klorida , electrocardiography ECG sebelum dan sesudah TURP; serta komplikasi perioperatif TURP ekstravasasi cairan irigasi, perforasi buli, cidera ureter, perforasi kapsul prostat,anemia pasca operasi yang membutuhkan transfusi, sindrom TUR, retensi urin akut, retensi bekuan darah, dan infeksi . Data penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase; sedangkan analisis hubungan kemaknaannya menggunakan metode t-test dan chi-square test, dengan nilai p yang dianggap bermakna adalah kurang dari 0,05.Hasil: Dari 32 subyek penelitian, didapatkan data rata-rata volume dextrose 5 yang digunakan untuk irigasi saat TURP adalah 33,17 liter dengan kisaran volume irigasi antara 10 - 52 liter. Uji statistik pada hasil pemeriksaan laboratorium sebelum dan sesudah TURP menunjukkan bahwa nilai rata-rata hemoglobin sebelum operasi adalah 12,75 g / dL dan pasca operasi 11,99 g / dL yang berbeda bermakna p = 0,000 . Rata-rata nilai hematokrit sebelum operasi dan sesudah operasi adalah 38,25 dan 35,97 , yang berbeda bermakna p = 0,000 . Rata-rata nilai leukosit sebelum dan sesudah operasi adalah 7773.47 / uL dan 10466.62/ uL yang berbeda bermakna p = 0,000 . Nilai natrium rata-rata sebelum dan sesudah operasi adalah 138,09 mmol / L dan 135,97 mmol / L yang berbeda bermakna p = 0,000 . Nilai gula darah sewaktu GDS rata-rata sebelum dan operasi adalah 111 mg dan 123,94 mg yang berbeda bermakna p = 0,000 . Komplikasi perioperatif TURP dalam penelitian ini adalah anemia pasca operasi yang memerlukan yang transfusi, pada 1 pasien 3,13 . Secara statistik, karakteristik pasien dan volume cairan irigasi tidak berhubungan dengan komplikasi perioperatif yang terjadi. Kesimpulan: Dextrose 5 dapat menjadi cairan irigasi alternatif pada TURP; jika dipandang dari insidensi komplikasi perioperatif yang rendah dan data hasil pemeriksaan laboratorium rutin sebelum dan sesudah tindakan. Secara statistik; parameter laboratorium yang berbeda bermakna sebelum dan sesudah TURP adalah hemoglobin, hematokrit, lekosit, natrium, dan gula darah sewaktu; namun secara klinis tidak signifikan mempengaruhi komplikasi perioperatif yang terjadi. ABSTRACT
Introduction One of the factors that may affect perioperative complications is the type of irrigation fluid used at TURP. This study aims to evaluate the perioperative complications and changes in routine laboratory examination of TURP with 5 dextrose irrigation fluid as well as its relationship to the patient profile, the volume of the irrigation fluid, and intra operative findings. Methods A prospective cross sectional method was done towards 32 Benign Prostatic Hyperplasia BPH patients who undergoing TURP in Karawang General Hospital, West Jawa, since July 2017 until August 2017. We documented patient profile operative details including volume of the irrigation fluid, resection time, and weight of resected tissue before and after TURP laboratory parameters hemoglobin, haematocrit, leukocytes, blood sugar at the time, sodium, potassium, chloride and electrocardiography ECG also perioperative TURP complications extravasation of irrigation fluid, bladder perforation, ureter injury, perforation of the prostate capsule, postoperative anemia requiring blood transfusion, TUR syndrome, acute urinary retention, blood clot retention, and infection prospectively. Research data is presented in the form of frequency distribution table, and the hypothesis test analysis using t test and chi Square test. Results From 32 study subjects, it was found that the average of 5 dextrose dextrose volume used for irrigation when TURP is 33.17 liters with irrigation volume ranges from 10 52 liters. T test statistics on laboratory tests before and after TURP showed that mean preoperative hemoglobin values were 12.75 g dL and post operative 11.99 g dL, were significantly different p 0.000 . The mean hematocrit value before surgery was 38.25 and postoperative was 35.97 , which was significantly different p 0.000 . The average preoperative leukocyte values were 7773.47 uL and post operative 10466.62 uL which also differed significantly p 0.000 . Mean sodium values before surgery were 138.09 mmol L and post operative 135.97 mmol L, were significantly different p 0.000 . The mean current time glucose value of blood before surgery was 111 mg and post operative 123.94 mg , was significantly different in the statistical test p 0.000 . The perioperative complications of TURP obtained in this study was postoperative anemia requiring a transfusion of 1 patient 3.13 . The relationship of patient profile and intra operative findings with perioperative complication were not statistically significant. Conclusion , Dextrose 5 could be alternative irrigation fluid for TURP considering the lower rates of perioperative complication and the evaluation of routine laboratory results before and after surgery. Statistically, laboratory parameters whose results differ significantly between before and after surgery are hemoglobin, hematocrit, leukocytes, sodium, and blood sugar at the time but not associated with clinically significant perioperative complication."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo
"Latar belakang : Dalam pembuktian kasus persetubuhan, anamnesis dan pemeriksaan fisik memiliki nilai bukti yang rendah. Dokter Forensik hanya dapat membuktikan persetubuhan dengan ditemukannya cairan mani atau sel sperma pada pemeriksaan penunjang. Baru-baru ini dikembangkan rapid test SD Bioline Semen Inspection yang sensitif dan spesifik untuk menemukan prostate-spesific antigen (PSA) yang merupakan salah satu dari kandungan cairan mani. Diharapkan metode ini dapat menjadi alternatif dalam pembuktian kasus persetubuhan.
Tujuan : Untuk mengetahui nilai diagnostik alat SD Bioline Semen Inspection dalam mendeteksi adanya PSA pada usapan vagina, dan gambaran perbandingan nilai diagnostiknya pada subyek yang bersetubuh antara 1-3 hari dan 4-7 hari sebelum dilakukan pemeriksaan.
Metode : Uji diagnostik dengam metode potong lintang, membandingkan antara rapid test SD Bioline Semen Inspection dengan Automatic Immuno Assay (AIA).
Hasil : Nilai diagnostik alat SD Bioline Semen Inspection pada penelitian ini menunjukkan sensitivitas 44,44%, spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 86,11%, prevalensi 22,5% dan akurasi 87,5%. Pada subyek yang bersetubuh antara 1-3 hari sebelum pemeriksaan menunjukkan nilai diagnostik sensitivitas 50%, spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 89,29%, prevalensi 9,35% dan akurasi 90,32%. Pada subyek yang bersetubuh antara 4-7 hari sebelum pemeriksaan menunjukkan nilai diagnostik sensitivitas 33,33%, spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 75%, prevalensi 33,33% dan akurasi 77,78%.
Kesimpulan : SD Bioline Semen Inspection dapat digunakan dalam pelayanan kedokteran Forensik untuk membuktikan adanya PSA, namun perlu dilakukan uji konfirmasi dengan modalitas lain jika didapatkan hasil negatif.

Background : History and physical examination alone could not prove a sexual intercourse. Thus, forensic doctors also need to find evidence of seminal fluid or sperm in determining sexual intercourse. Recently, there is an advancement in diagnostic tool in examining prostate specific antigen (PSA) in seminal fluid, which is a SD Bioline Semen Inspection. As a rapid test, this diagnostic tool is expected to be used in daily practice as an alternative method in determining sexual intercourse.
Objective : To determine diagnostic value of SD Bioline Semen Inspection in detecting Prostate Specific Antigen ( PSA) from vaginal swabs; To have an overview of diagnostic value of SD Bioline Semen Inspection in detecting Prostate Specific Antigen ( PSA) between 1-3 days and 4-7 days of intercourse prior to the examination.
Methods: This study is a cross-sectional research to compare SD Bioline Semen Inspection tool to Automatic Immuno Assay (AIA).
Results: This study showed SD Bioline Semen Inspection tool has 44.44% sensitivity, 100% specificity, 100% positive predictive value, 86,11% negative predictive value, prevalence is 22.5% and 87.5% accuracy. On the subject who have history of intercourse between 1-3 days prior to the examination, it showed 50% sensitivity, 100% specificity, 100 % positive predictive value, 89,29% negative predictive value, prevalence is 9.35% and 90.32% accuracy. On the subject who have history of intercourse between 4-7 days prior to the examination, it showed 33.33% sensitivity, 100% specificity, 100% positive predictive value, 75% negative predictive value , prevalence is 33.33%, and 77.78% accuracy.
Conclusion: The SD Bioline semen Inspection can be used in forensic medical services to prove the existence of PSA, but if the results are negative it still needs confirmation from other diagnostic modalities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Rika Trismayanti
"Latar Belakang: Kebocoran anastomosis adalah komplikasi yang dapat terjadi pasca dilakukannya reduksi manual, reseksi dan anastomosis end-to-end pada kasus intususepsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebocoran anastomosis antara lain teknik operator, kondisi lokal usus, kondisi umum pasien dan grading kolagen yang terbentuk pada proses penyembuhan luka.
Tujuan: Mengetahui pengaruh perubahan grading kolagen usus pasca reseksi anastomosis terhadap kebocoran pada kasus intususepsi.
Metode: Dua puluh satu tikus Sprague-dawley dilakukan laparatomi untuk dibuat model intususepsi (IN). Setelah 45 menit dilakukan destrangulasi selama 10 menit, dinilai adanya nekrosis dan dilanjutkan reseksi anastomosis. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok A : reseksi anastomosis pada batas usus yang nekrosis, kelompok B : reseksi anastomosis pada batas usus yang mengalami trombosis pembuluh darah mesenteriumnya, dan kelompok C : reseksi anastomosis pada batas usus yang sehat. Sampel usus yang direseksi diperiksa secara Histopatologi untuk menilai grading kolagen. Setelah 5 hari dilakukan laparatomi ulang, dinilai secara subjektif ada tidaknya kebocoran anastomosis, lalu diambil sampel segmen anastomosis usus untuk dinilai kembali grading kolagennya. Diharapkan jika terjadi kenaikan grading kolagen, anastomosis akan paten, sebaliknya jika terjadi penurunan akan terjadi perforasi.
Hasil: Kelompok A: grading kolagen menurun dengan perforasi 6 (85,7%), grading kolagen tetap tanpa perforasi 1 (14,2%). Kelompok B: grading kolagen menurun dengan perforasi 2 (28,6%), tetap dengan perforasi 1 (14,3%), meningkat tanpa perforasi 4 (42,9%). Kelompok C: grading kolagen meningkat tanpa perforasi 5 (71,4%), menetap tanpa perforasi 2 (28,6%).
Kesimpulan: Terdapat perubahan grading kolagen pasca reseksi anastomosis usus yang mempengaruhi tingkat kebocoran anastomosis pada kasus intususepsi.

Background: Anastomosis leakage is a common complication following manual reduction, resection and end-to-end anastomosis in treating intussusceptions. Factors influencing the anastomosis leakage such as surgeon?s technique, local bowel condition, systemic condition of patients and the concentration of collagen in the bowel tissue during the anastomosis healing.
Aim: To study the effect of collagen concentration changes after resection and anastomosis procedure, in relation to the anastomosis leakages in intussusceptions case.
Methods: 21 Sprague-dawley rats were performed laparotomy to create the intussusception model (IN). The IN models were applied for 45 minute, after the bowel considered necrotic, destrangulation were performed for 10 minutes continued with resection and anastomosis on 3 group of resection margin: A on necrotic margin of bowel, B: on the thrombotic mesenterium vessel margin, C: on normal bowel margin. Resected bowels were sent for histopathology examination of collagen concentrations. After 5 days, another laparotomy was performed and the anastomosis leakages were subjectively assessed. The anastomosed segments were sampled for collagen concentration and grade.
Results: In study group A the collagen grading were found to be decreased with 6 leakages occurred (85.7%) and 1 subject (14.2%) with stable collagen grading and no leakages. From group B, subjects with decreased collagen and leakages were 2 (28.6%), and 1 subjects (14.3%) were stable in grading with leakages, and 4 subjects (42.9%) with increased collagen without leakages. In Group C, 5 rats (71.4%) had increased collagens without leakages, and 2 rats were at stable collagen grade without leakages.
Conclusion: There were collagen grade changes in bowel anastomosis that affect the extent of leakages in intussusceptions case.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Pramaviri
"Gejala saluran kemih bawah LUTS pada laki laki seringkali dikaitkan dengan pembesaran prostat jinak BPH yang menyebabkan obstruksi infravesika yang sering diikuti oleh trabekulasi sehingga terjadi gangguan fungsi kandung kemih Reseksi prostat transuretra TURP adalah tindak baku emas yang bertujuan untuk menghilangkan obstruksi ini Namun gejala LUTS masih banyak dikeluhkan setelah dilakukan TURP Penelitian cross sectional ini dilakukan untuk mencari hubungan antara gejala LUTS pasca TURP dengan derajat trabekulasi dan volume kandung kemih di RSUP H Adam Malik Medan Selama tahun 2013 didapatkan 39 pasien BPH rata rata umur 68 36 7 638 tahun dengan retensi urin berulang yang dilakukan tindakan TURP Dari keseluruhan sampel kelompok yang terbanyak ditemukan adalah derajat trabekulasi sedang 35 9 dan volume kandung kemih 200 cc 46 2 Dua puluh dua sampel 56 4 mengeluhkan LUTS ringan dengan rerata IPSS total 6 28 3 986 Derajat trabekulasi dan volume mempunyai korelasi positif kuat 0 661 dan 0 723 p value.

Lower urinary tract symptoms LUTS in older male is often associated with benign prostate hyperplasia BPH and caused bladder outlet obstruction BOO with the consequential trabeculation that impair bladder contractility and viscoelasticity Transurethral resection of the prostate TURP is the gold standard for relieving BPH caused BOO Nevertheless many still complained of persisting symptoms even after undergoing TURP This cross sectional study was conducted to analyze the correlation between bladder volume and trabeculation in determining LUTS after TURP in BPH patient In 2013 bladder trabeculation and volume was measured during TURP from 39 BPH patients with recurrent urinary retention and were re evaluated 6 months after The most common findings were moderate trabeculation 35 9 bladder volume 200cc 46 2 and mild degree LUTS 56 4 after TURP with mean IPSS 6 28 3 986 Bladder trabeculation and volume are positively and strongly correlated with LUTS after TURP 0 661 and 0 723 respectively p value 0 01 Analytical linear regression found that these two variables are significant factors in determining LUTS after TURP with positive predictive value of 62 In conclusion bladder trabeculation and volume had strong significant correlation with LUTS after TURP although there are other possible determining factors that are not included in the study
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henky
"Latar belakang: Penelitian ini membahas tentang penggunaan alat uji cepat (rapid test device) untuk mendeteksi Prostate-
Specific Antigen (PSA) dalam cairan mani secara spesifik, sebagai upaya pengungkapan kasus kejahatan seksual.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang analitik. Sebanyak 45 sampel cairan mani dan urin
diambil secara consecutive. Cairan mani diencerkan secara bertingkat hingga 1:5.000.000 dan urin laki-laki
hingga 1:200 menggunakan akuades, sedangkan urin perempuan tidak diencerkan. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan rapid test PSA.
Hasil: Proporsi hasil pemeriksaan PSA yang positif pada cairan mani, urin laki-laki, dan urin perempuan berturutturut
100%, 6,67%, dan 0%. Secara statistik perbedaan proporsi ini sangat bermakna. Nilai diagnostik rapid test
device PSA untuk mendeteksi cairan mani adalah sensitivitas 100%, spesifisitas 96,67%, NDP 93,75%, NDN 100%,
RKP 33,33, RKN 0, dan AUC 0,983.
Kesimpulan: Rapid test PSA sangat spesifik dan sensitif untuk mendeteksi PSA dalam cairan mani. Oleh karena itu,
praktisi forensik disarankan untuk menggunakan alat ini untuk mengungkap kasus kejahatan seksual.

Abstract
Background: This study was conducted to determine whether the rapid test device can be used to detect PSA in
seminal fluid specifically, for solving sexual assault cases.
Methods: A cross sectional study has been conducted. A total of 45 samples were taken consecutively. Semen was
diluted in serially up to 1:5.000.000 and male urin up to 1:200 using distilled water, whereas female urin was not
diluted. Samples were analyzed using rapid test PSA.
Results: The proportion of positive results of PSA in seminal fluid, male urin and female urin respectively was 100%,
6.67%, and 0%. Statistically, these differences are highly significant. The analysis revealed that the PSA rapid test
device was 100% sensitive and 96.67% specific to detect seminal fluid. The test also have PPV 93.75%, NPV 100%,
LR(+) 33.33, LR(-) 0, and AUC 0.983.
Conclusion: PSA Rapid Test is very specific and sensitive to detect PSA in seminal fluid. Therefore, this device is
suggested for forensic use in sexual assault cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Supit, Wempy
"Pendahuluan: Saat ini belum ada publikasi tentang hasil radioterapi eksterna (RT) pada kanker prostat lokal atau lokal-lanjut di Indonesia.
Metode: Studi retrospektif ini meneliti 96 pasien dengan kanker prostat lokal atau lokal-lanjut yang mendapat terapi radiasi dari tahun 1995-2009, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais, Indonesia. Jenis / dosis kumulatif radiasi prostat dan pelvis pada 84,4% pasien sebesar <70Gy dengan RT konvensional, dan pada 15,6% pasien diberikan dosis ≥70Gy dengan three dimensional-conformal RT atau intensity modulated RT. Sintasan Overall survival (OS) dan biochemical progression-free survival (BFS) diestimasi dengan Kaplan-Meier. Faktor-faktor prediksi dari OS dan biochemical recurrence dianalisis dengan Multivariate Cox regressions.
Hasil: Median durasi follow-up adalah 61 bulan (rentang, 24-169 bulan). Diantara seluruh kasus kanker prostat, terdapat 3,1% risiko rendah, 26% risiko sedang, dan 70,8% risiko tinggi. Lebih dari separuh pasien (52,1%) memiliki nilai Prostatespecific antigen (PSA) sebelum terapi >20 ng/ml. Angka sintasan 5 tahun pada pasien-pasien dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi, secara berurutan adalah: OS, 100%, 94,7%, 67,9% (P=0,297); dan BFS, 100%, 94,1%, 57,1% (P=0,016). Pada kelompok risiko tinggi, didapatkan OS 5 tahun 88,3% pada pasien yang mendapatkan terapi adjuvan hormonal androgen deprivation therapy (HT), dibandingkan dengan 53% pada pasien yang mendapat terapi radiasi saja, P =0,08. Faktor prediksi yang signifikan pada OS meliputi kelompok risiko tinggi (hazard ratio [HR], 9,35; confidence interval [CI] 95%, 1,52-57,6; P=0,016), terapi adjuvan (HR, 0,175; 95% CI, 0,05-0,58; P=0,005), deteksi dengan transurethral resection of the prostate (TUR-P) (HR, 6,81; 95% CI, 2,28-20,33; P=0,001), dan nilai PSA sebelum terapi (HR, 1,003; 95% CI, 1,00-1,005; P=0,039). Satu-satunya faktor prediksi biochemical failure adalah PSA sebelum terapi (P=0,04), dengan odds ratio 4,52 (95% CI, 1,61-12,65) untuk PSA > 20 ng/ml.
Kesimpulan: RT merupakan modalitas yang efektif untuk terapi kanker prostat lokal atau lokal-lanjut di Indonesia, dengan hasil dan faktor prediksi yang konsisten dengan publikasi di tempat lain. Faktor prediksi dari hasil yang lebih buruk meliputi kelompok risiko tinggi, PSA sebelum terapi yang lebih tinggi, temuan insidental pada TUR-P, dan tidak diberikannya terapi adjuvan HT. Terapi adjuvan hormonal secara signifikan meningkatkan sintasan pada pasien dengan risiko tingggi.

Introduction: Presently there is no published data on the outcomes of localized or locally-advanced prostate cancer (PCa) treated by external-beam radiotherapy (RT) in Indonesia.
Methods: This study retrospectively analyzed 96 patients with localized or locally-advanced PCa treated by RT from year 1995 to 2009, at the national referral hospital and the national cancer hospital of Indonesia. Cumulative prostate and pelvic radiation dose/ type was <70 Gy conventional RT in 84.4% patients, and ≥70 Gy Three dimensional-conformal or intensity modulated RT in 15.6% patients. Overall survival (OS) and biochemical progression-free survival (BFS) were estimated by Kaplan-Meier. Predictors of OS and biochemical recurrence were analyzed by multivariate Cox regressions.
Results: The median follow-up was 61 months (range, 24 to 169 months). There were 3.1% low-risk, 26% intermediate-risk, and 70.8% high-risk cases. More than half of the patients (52.1%) had pretreatment prostate specific antigen (PSA) >20 ng/mL. The 5-year survival outcome of low-risk, intermediate-risk, and high-risk patients were: OS, 100%, 94.7%, and 67.9% (P=0.297); and BFS, 100%, 94.1%, and 57.1% (P=0.016), respectively. In the high-risk group, the 5-year OS was 88.3% in patients who received adjuvant hormonal androgen deprivation therapy (HT), compared to 53% in RT only, P=0.08. Significant predictors of OS include high-risk group (hazard Ratio [HR], 9.35; 95% confidence interval [CI], 1.52 to 57.6; P=0.016), adjuvant therapy (HR, 0.175; 95% CI, 0.05 to 0.58; P=0.005), detection by transurethral resection of the prostate (TUR-P) (HR, 6.81; 95% CI, 2.28 to 20.33; P=0.001), and pretreatment PSA (HR, 1.003; 95% CI, 1.00 to 1.005; P=0.039). The sole predictor of biochemical failure was pretreatment PSA (P=0.04), with odds ratio of 4.52 (95% CI, 1.61 to 12.65) for PSA >20 ng/mL.
Conclusions: RT is an effective treatment modality for localized or locally advanced PCa in Indonesian patients, with outcomes and predictors consistent to that reported elsewhere. Predictors of poorer outcomes include high-risk group, higher pretreatment PSA, incidental detection by TUR-P, and lack of adjuvant HT. Adjuvant hormonal therapy significantly improve the survival of high risk patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatan Abshari
"Kanker prostat adalah penyakit progresif yang menghasilkan moribiditas dan mortalitas yng tinggi. Penelitian ini berutujuan untuk menilai ketepatan dari Indonesian Prostate Cancer Risk Calculator IPCRC dalam memprediksi risiko kanker prostate. Data penelitian didapatkan secara retrospektif selama periode Agustus 2014 hingga Desember 2015 dari rekam medis pasien terduga kanker prostat. Pemeriksaan colok dubur, Prostate specific antigen PSA, dan volume prostat digunakan sebagai parameter prediktif dalam IPCRC. Biopsi prostat digunakan sebagai standar baku. Akurasi IPCRC divalidasi dengan menggunakan analisis ROC. Penelitian ini memiliki 127 subjek penelitian dengan median usia pasien BPH dan pasien kanker prostat adalah 66 52-85 dan 69.5 50-100 tahun. Pemeriksaan colok dubur yang tidak normal ditemukan pada 2 pasien 2. Median dari PSA dari pasien BPH dan kanker prostat dalah 10.2 1.6-203.1 dan 74.06 6.94-1412. Volume prostate pasien BPH memiliki median sebesar 47.9 13.774-108 dibandingkan 50.25 19.2-107 pada pasien kanker prostate. Area tersebesar dibawah kurva probabilitas kanker prostat adalah 0.907 95 CI 0.84-0.97. Jika probabilitas kanker prostate lebih dari 15 pada IPCRC, sensitivitas IPCRC mencapai 88.5 dan spesifitas IPCRC mencapai 81.8, dimana bila ditemukan probabilitas kanker prostate lebih dari 20 dengan menggunakan IPCRC, sensitivitasnya mencapai 80.8 dengan spesifitas sebesar 89.9. Dan bila probabilitas kanker prostate lebih dari 25 dalam IPCRC, sensitivitas sebesar 65.4 dan spesifisitas sebesar 89.9. Sehingga, dapat disimpulkan IPCRC merupakn perangkat yang akurat dalam prediksi kanker prosate pada populasi ini. Validasi lebih lanjut masih dibutuhkan pada populasi lain.

Prostate cancer is a progressive disease resulting in morbidity and mortality. The aim of this study is to assess the accuracy of Indonesian Prostate Cancer Risk Calculator IPCRC in predicting prostate cancer risk. Data were obtained retrospectively during August 2014 to December 2015 from medical records of suspected prostate cancer patients. Digital rectal examination, Prostate Specific Antigen PSA, and prostate volume PV were used as predictive parameters in IPCRC. Prostate biopsy was used as the diagnostic gold standard. The accuracy of IPCRC was validated using the ROC analysis. Our study included 127 subjects. Median age of BPH patients and prostate cancer patients were 66 52-85 and 69.5 50-100. The digital rectal examination was found abnormal in 2 patients 2. Median of PSA of BPH patients and prostate cancer patients were 10.2 1.6-203.1 and 74.06 6.94-1412 respectively. The prostate volume of BPH patients 47.9 13.74-108 median compared to prostate cancer patients 50.25 19.2-107 median. The largest area under the curve of the probability of prostate cancer using IPCRC is 0.907 95 CI 0.84-0.97. If the probability of prostate cancer more than 15 using IPCRC, the sensitivity is 88.5 and specificity is 81.8, besides, if the probability of prostate cancer more than 20 using IPCRC, the sensitivity is 80.8 and specificity is 89.9 and if the probability of prostate cancer more than 25 using IPCRC, the sensitivity is 65.4 and specificity is 89.9 IPCRC is accurate for predicting prostate cancer in our population. Further validation is needed in other population. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Ciko Ade Putra
"ABSTRAK
Untuk mengidentifikasi faktor prediktor seperti PSA, usia, volume prostat, dan densitas PSA (PSAD) sebagai indikasi untuk melakukan biopsi prostat yang dipandu dengan TRUS dalam mengurangi biopsi yang tidak perlu dan meningkatkan tingkat deteksi. Sebanyak 1232 sampel didapatkan dari rekam medis pasie yang dilakukan biopsiprostat dari Januari 2008 sampai Desember 2013 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Diantara 1232 pasien, 33,5% memiliki hasil biopsi yang positif. Nilai median dari usia dan PSA (68 tahun dan 57,45 ng/ml) pada grup dengan biopsi positif lebih tinggi dari grup biopsi negative (65 tahun dan 11,69 ng/ml), p< 0,001. PSAD pada pasien dengan PSA 4-10 ng/ml, 10-20 ng/ml, dan 20 ng/ml (0.20, 0.35, 2.05) pada grup positif lebih tinggi dari grup negative (0.14, 0.24, 0.53), p < 0,001. Hasil pada grup dengan hasil biopsi positif memiliki volume prostat yang lebih rendah (42 ml), dibandingkan pada grup biopsi yang negative (55,4 ml), p < 0,001. Pada kurva ROC, PSAD memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang paling tinggi (81.4% dan 82.0%) dengan cut-off point 0,43, p < 0,001. Insidensi PCa meningkat dengan nilai PSA yang lebih tinggi, usia yang lebih tua, dan volume prostat yang lebih kecil. Penggunaan PSAD 0,17 ng/ml sebagai cut-off point pada pasien dengan tingkat PSA antara 4-10 ng/ml direkomendasikan untuk meningkatkan deteksi PCa pada laki-laki di Indonesia

ABSTRACT
To identify the predictor factors such as PSA, age, prostate volume (PV), and PSA Density (PSAD) as indications to perform TRUS guided prostate biopsy in reducing unnecessary biopsies and improving detection rate. 1232 samples were obtained from the medical records of patients underwent prostate biopsy from January 2008 to December 2013 in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Statistical analysis was performed with Mann-Whitney test and unpaired t test for the quantitative variables. Chi-square test was used for qualitative variables. This study also conducted Receiver Operating Characteristic (ROC) curve to determine the cut-off point and the optimum specificity and sensitivity for each variable. Among 1232 patients, 33.5% had positive biopsy result. The median age and PSA (68 years and 57.45 ng/ml) in positive biopsy group was higher than negative group (65 years and 11.69 ng/ml), p < 0.001. PSAD in patients with PSA 4-10 ng/ml, 10-20 ng/ml, and 20 ng/ml (0.20, 0.35, 2.05) in positive group was higher than negative group (0.14, 0.24, 0.53), p < 0.001. Positive biopsy result has lower PV (42 ml) compared to negative biopsy (55.4 ml), p < 0.001. In ROC curve, PSAD had the highest sensitivity and specificity (81.4% and 82.0%) with cut-off point 0.43, p <0.001. The Incidence of PCa increased with higher PSA level, older age and lower PV. Utilization of PSAD 0.17 ng/ml/ml as cut-off point in patients with PSA level between 4 -10 ng/ml is recommended to improve PCa detection in Indonesian men."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>