Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17348 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Singh, H.
"Klorokuin masih merupakan obat anti malaria yang terbanyak digunakan sampai saat ini. Retinopati akibat akumulasi obat telah pernah dilaporkan, terutama pada para pasien gangguan rematologik yang menjalani pengobatan jangka panjang. Sebuah laporan kasus yang langka mengenai retinopati idiosinkratik yang dicetuskan oleh klorokuin pada terapi malaria Falciparum, disajikan di sini. (Med J Indones 2002; 11: 176-8)

Chloroquine still remains the most widely used antimalarial of present time. Cumulative dose retinopathy has been reported with the use of chloroquine therapy, especially seen in patients on its chronic therapy in rheumatological disorders. A rare case report on chloroquine induced idiosyncratic retinopathy while being used in treatment of Falciparum malaria is being presented. (Med J Indones 2002; 11: 176-8)"
Medical Journal of Indonesia, 2002
MJIN-11-3-JulSep2002-176
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Nisrina
"ABSTRAK
Malaria merupakan penyakit endemik yang disebabkan oleh Plasmodium sp melalui nyamuk Anopheles. Pemberian terapi klorokuin merupakan terapi lini pertama sebagai antimalaria, terutama pada Plasmodium falciparum. Penggunaan klorokuin menjadi tidak terkontrol dan resisten pada beberapa wilayah disebabkan penggunaan dosis obat yang tidak adekuat. Penelitian ini bertujuan dalam menemukan terapi herbal yang dapat bekerja sebagai efek antimalaria. Pemberian herbal yang digunakan pada penelitian ini adalah Spirulina crude yang dalam bentuk bubuk. Spirulina merupakan tanaman yang bekerja dengan menghambat pertumbuhan parasit dengan memodulasi sistem imun. Selain itu, Spirulina juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Zat aktif yang terkandung dalam Spirulina adalah fikosianin. Pada penelitian ini dilakukan pengujian dari efek pemberian Spirulina baik secara tunggal maupun kombinasi dengan klorokuin secara oral kepada mencit Swiss yang terinfeksi Plasmodium berghei.  Dosis Spirulina yang diujikan adalah 250 mg/kgBB mencit dan 500 mg/kgBB mencit. Perbandingan densitas parasitemia dengan metode the 4 days suppression test pada semua kelompok perlakuan, mendapati nilai signifikan (p<0.01) dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil penelitian membuktikan bahwa kombinasi Spirulina dengan klorokuin dapat menghambat pertumbuhan parasitemia lebih tinggi dibandingkan pemberian tunggal klorokuin maupun Spirulina. Hal ini dapat disimpulkan pemberian Spirulina menunjukkan sinergisme dengan klorokuin sebagai terapi antimalaria. 

ABSTRACT
Malaria is an endemic disease caused by Plasmodium sp. through Anopheles mosquitoes. Chloroquine therapy is the first line therapy as antimalarial, especially in Plasmodium falciparum. The use of chloroquine as antimalarial becomes uncontrolled and resistant in some areas due to inadequate use of drug doses. This study aims to find an herbal therapy that can act as an antimalarial agent. Herbal therapy that used in this study is crude spirulina powder. Spirulina is a plant that works by inhibiting the growth of the parasite by modulating the immune system. In addition, Spirulina also has the ability as an antioxidant and antiinflammatory. The active substances contained in Spirulina are flavonoids. This study examined the herbal therapy of Spirulina either single or in combination with chloroquine to Swiss mice infected with Plasmodium berghei orally.  The dose of Spirulina used was 250 mg / kgBW mice and 500 mg / kgBW. The ratio of parasite density to the 4 days suppression test method in all treatment groups found significant value (p <0.01) with Kruskal-Wallis test. The results prove that the combination of Spirulina with chloroquine has stronger the growth inhibitory activity of parasitemia than single-chloroquine and Spirulina therapy. It can be concluded that Spirulina therapy shows synergism with chloroquine as antimalaria therapy. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Fitriani
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejadian aterosklerosis, dilaporkan lebih sering pada pasien lupus eritematosus sitemik (LES) dibandingkan individu tanpa LES, salah satunya adalah penyakit arteri perifer (PAP). Klorokuin diduga memiliki efek protektif terhadap kejadian PAP melalui penekanan kadar sitokin proinflamasi dan efek menurunkan kadar kolesterol, namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa klorokuin meningkatkan kadar sitokin proinflamasi. Hingga saat ini, penelitian mengenai pengaruh klorokuin belum pernah dilakukan pada populasi pasien LES di Indonesia.
Tujuan Penelitian. Mengetahui pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah.
Metode Penelitian. Studi kasus kontrol dilakukan terhadap pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah di RS Cipto Mangunkusumo selama Juni-Agustus 2012 yang tidak menderita diabetes melitus ataupun hipertensi sebelum diagnosis LES ditegakkan. Pasien dengan penyakit autoimun selain LES dan gagal ginjal kronik dieksklusi dari penelitian. Pengaruh klorokuin terhadap PAP pada pasien LES dinyatakan dalam odds ratio (OR). Peran variabel perancu dinilai pada analisis regresi logistik berjenjang sehingga didapatkan adjusted OR.
Hasil Penelitian. Dari 18 subjek yang menderita PAP (kelompok kasus), sebanyak 8 (44,4 %) menggunakan klorokuin dan dari 72 subjek yang tidak menderita PAP (kelompok kontrol), 20 (27,8 %) di antaranya menggunakan klorokuin. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu (usia, lama menderita sakit, dislipidemia, dan aktivitas penyakit), tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara penggunaaan klorokuin dengan kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia di bawah 40 tahun (adjusted OR 2,44; IK95 % 0,76 sampai 7,87).
Simpulan. Pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah belum dapat disimpulkan pada penelitian ini.

ABSTRACT
Background. Atherosclerosis is enhanced in systemic lupus erythematosus (SLE) compared to general population, one of which is peripheral arterial disease (PAD). Chloroquine has protective effects in peripheral arterial disease through the suppression of proinflamatory cytokine levels and lipid lowering effect, although other studies have shown the increasing of cytokine levels by chloroquine. To date, no studies have ever been performed to investigate the effect of chloroquine on peripheral arterial disease in Indonesian lupus patients.
Aims. To investigate the effects of chloroquine on peripheral arterial disease in patients with systemic lupus erythematosus aged forty-year-old and below.
Methods. A case control study including female lupus patients aged forty year-old and younger in Cipto Mangunkusumo Hospital between June-August 2012, who do not suffer from diabetes mellitus and/or hypertension before the diagnosis of lupus is confirmed. Patients with other autoimmune disease than lupus and/or with chronic kidney disease were excluded from the study. Effect of chloroquine on peripheral arterial disease in lupus patients is expressed in odds ratio (OR). The role of confounding factors analyzed with multiple logistic regression to estimate the adjusted OR.
Results. Eight (44.4 %) of the total 18 subjects contracting PAD (case group) and 20 (27.8 %) of the total 72 subjects without PAD (control group) were using chloroquine. After adjustments towards confounding factors (age, disease duration, dyslipidemia, and disease activity) were completed, the results showed there was no considerable relation between the use of chloroquine and PAD case in female SLE patients aged below forty-year-old (adjusted OR 2.44; 95 % CI 0.76 to 7.87).
Conclusion. The effect of chloroquine usage on PAD case in female SLE patients aged forty-year-old and below can not be concluded from this study."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanum Citra Nur Rahma
"[Resistensi obat antimalaria mendorong pengembangan obat antimalaria baru. Salah satu alternatif pengembangan obat antimalaria adalah mengombinasikan klorokuin dengan komponen lain, contohnya ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia jack.). Berbagai penelitian in vitro maupun in vivo telah membuktikan potensi pasak bumi sebagai antimalaria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian kombinasi ekstrak akar pasak bumi dan klorokuin secara injeksi subkutan pada mencit (Mus musculus) yang diinfeksi Plasmodium berghei. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian ekstrak akar pasak bumi dengan dosis 10 mg/kgBB, 20 mg/kgBB, serta kombinasi ekstrak akar pasak bumi dengan dua dosis tersebut dan klorokuin. Berdasarkan Peters 4-days suppressive test, pertumbuhan parasitemia mencit yang diberikan kombinasi obat memiliki nilai yang mendekati kontrol positif (0,60%), yaitu 0,60% pada dosis kombinasi pasak bumi 10 mg/kgBB dan 0,50% pada dosis 20 mg/kgBB namun analisis statistik menunjukkan perbedaan tersebut tidak bermakna (p>0,05). Hasil penghitungan penghambatan pertumbuhan parasit menunjukkan kecenderungan yang sama. Penghambatan pertumbuhan parasit kontrol positif menunjukkan angka 97,9% sementara pemberian kombinasi obat menunjukkan angka 97,7% (dosis pasak bumi10 mg/kgBB) dan 98,2% (dosis pasak bumi 20 mg/kgBB). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara efek pemberian kombinasi ekstrak akar pasak bumi dan klorokuin secara injeksi subkutan dibandingkan dengan terapi klorokuin saja;Antimalarial drug resisstance demand us to develop new antimalarial drug. One of the alternative is combining chloroquine with new compund, for example pasak bumi root extract (Eurycoma longifolia jack). Many studies have shown the potency of pasak bumi root extract as a antimalarial drug. This study is aim to investigate the effect of combination of pasak bumi root extract and chloroquine which is administrated by subcoutaneous injection to Plasmodium berghei-infected mice. Mice were given pasak bumi root extract only with 10 mg/kgBW and 20 mg/kgBW dose , also combination therapy of pasak bumi root extract on same dose and choloquine. Based on Peters 4-days suppressive test, parasite growth in mice with combination therapy was nearing the postive control value (0.60%), 0.60% for 10 mg/kgBW dose and 0.50% for 20 mg/kgBW dose. However, the statistic analysis showed the difference was not significant (p>0.05). Growth inhibition counting showed the same trend. Positive control growth inhibiton value is 97.9% meanwhile the combination therapy group has 97.7% for 10 mg/kgBW dose and 98.2% for 20 mg/kgBW dose. The study suggests that there were no significat difference between the effect of subcutaneously administrated combination of pasak bumi extract root-chloroquine and chloroquine only therapy., Antimalarial drug resisstance demand us to develop new antimalarial drug. One of the alternative is combining chloroquine with new compund, for example pasak bumi root extract (Eurycoma longifolia jack). Many studies have shown the potency of pasak bumi root extract as a antimalarial drug. This study is aim to investigate the effect of combination of pasak bumi root extract and chloroquine which is administrated by subcoutaneous injection to Plasmodium berghei-infected mice. Mice were given pasak bumi root extract only with 10 mg/kgBW and 20 mg/kgBW dose , also combination therapy of pasak bumi root extract on same dose and choloquine. Based on Peters 4-days suppressive test, parasite growth in mice with combination therapy was nearing the postive control value (0.60%), 0.60% for 10 mg/kgBW dose and 0.50% for 20 mg/kgBW dose. However, the statistic analysis showed the difference was not significant (p>0.05). Growth inhibition counting showed the same trend. Positive control growth inhibiton value is 97.9% meanwhile the combination therapy group has 97.7% for 10 mg/kgBW dose and 98.2% for 20 mg/kgBW dose. The study suggests that there were no significat difference between the effect of subcutaneously administrated combination of pasak bumi extract root-chloroquine and chloroquine only therapy.]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan
"ABSTRAK
Malaria merupakan masalah kesehatan di dunia. Tantangan yang muncul dalam mengatasi malaria adalah munculnya resistensi pada klorokuin, salah satu obat antimalaria. Resistensi mendorong dilakukannya berbagai penelitian untuk menemukan senyawa antimalaria yang baru. Salah satu yang berpotensi adalah propolis, produk lebah madu, yang mengandung luteolin 7-O glucoside danchalcone. Luteolin 7-O glucoside menginhibisi biosintesis asam lemak tipe 2 parasit dan chalcone menghambat proses hemolisis. Penelitian ini bertujuan mempelajari efektifitas kombinasi propolis dan klorokuin dibandingkan tingkat yang diberi terapi klorokuin, terapi tunggal propolis, dan terapi kombinasi pada parasitemia mencit Mus musculus terinfeksi Plasmodium berghei. Dosis propolis yang diuji adalah 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB. Selisih tingkat parasitemia dari yang terkecil dan terbesar berturut-turut adalah pada kelompok perlakuan terapi tunggal klorokuin, terapi kombinasi dosis 60 mg/kgBB, terapi kombinasi dosis 60 mg/kgBB, terapi tunggal propolis dosis 30 mg/kgBB, dan terapi tunggal propolis dosis 60 mg/kgBB. Terapi tunggal 30 mg/kgBB propolis berhasil menginhibisi pertumbuhan parasit secara signifikan Namun terapi tunggal 60 mg/kgBB propolis memiliki efek tidak signifikan mempercepat pertumbuhan parasit. Walaupun demikian, terapi tunggal propolis masih belum sebanding dengan terapi tunggal klorokuin. Terapi kombinasi propolis tidak memberi perubahan yang signifikan pada efek antimalaria klorokuin. Oleh karena itu, dapat disimpulkan propolis dengan dosis 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB tidak cocok untuk digunakan pada terapi kombinasi dengan klorokuin.

ABSTRACT
Malaria is a health problem in the world. The resistance encourages the of various studies to discover new antimalarial compounds. Propolis contained luteolin 7 O glucoside and chalcone which inhibits biosynthensis of parasite rsquo s type 2 fatty acids and hemolysis process. The research aimed to study efficacy of propolis and chroquine combination therapy against different therapy groups choroquine therapy, propolis single therapy, and combination therapy by parasitemia level of mice Mus musculus infected by Plasmodium berghei. The dose of propolis was 30 mg kgBW and 60 mg kgBW. The smallest to largest difference of parasitemia in order is chloroquine single therapy, propolis 60 mg kgBW combination theraphy, propolis 30 mg kgBW combination theraphy, propolis 60 mg kgBW single therapy, and propolis 30 mg kgBW single therapy. Propolis 30 mg kgBW single therapy significantly inhibit parasite growth. Meanwhile, propolis 60 mg kgBW single therapy insignificantly accelerating the growth of parasite. Nevertheless, combination of different dose propolis and chloroquine showed worse growth inhibition compared to chloroquine therapy insignificantly. Supplementary of propolis did not provide a significant change in the antimalarial effects of chloroquine. Propolis 30 mg kgBW and 60 mg kgBW is unsuitable for use in combination therapy with chloroquine."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan
"Malaria merupakan masalah kesehatan di dunia. Tantangan yang muncul di mengatasi malaria adalah munculnya resistensi terhadap klorokuin, salah satu obat antimalaria. Perlawanan telah mendorong berbagai penelitian untuk menemukan senyawa antimalaria baru. Salah satu potensinya adalah propolis, produk lebah madu, yang mengandung luteolin 7-O glukosida dan kalkon. Luteolin 7-O glukosida menghambat tipe 2. biosintesis asam lemak parasit dan chalcone menghambat proses hemolisis. Tujuan dari penelitian ini mempelajari efektivitas kombinasi propolis dan klorokuin dibandingkan diobati dengan klorokuin, propolis saja, dan terapi kombinasi dalam parasitemia mencit (Mus musculus) yang terinfeksi Plasmodium berghei. Dosis propolis yang diuji adalah 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB. Perbedaan tingkat parasitemia yang terkecil dan terbesar masing-masing berada pada kelompok perlakuan terapeutik klorokuin saja, terapi kombinasi dengan dosis 60 mg/kg, terapi kombinasi dengan dosis 60 mg/kgBB, terapi tunggal propolis dengan dosis 30 mg/kgBB, dan terapi tunggal propolis dosis 60 mg/kg berat badan. Terapi tunggal propolis 30 mg/kgBB berhasil dihambat pertumbuhan parasit yang signifikan Namun terapi tunggal propolis 60 mg/kgBB memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap percepatan pertumbuhan parasit. Namun, terapi tunggal propolis masih belum sebanding dengan terapi tunggal klorokuin. Terapi kombinasi propolis tidak memberikan perubahan yang signifikan pada efek antimalaria klorokuin. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa propolis pada dosis 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB tidak sesuai untuk digunakan pada terapi kombinasi dengan klorokuin.
Malaria is a health problem in the world. Challenges that appear in to overcome malaria is the emergence of resistance to chloroquine, one of the antimalarial drugs. The resistance has prompted various studies to find new antimalarial compounds. One of the potential is
propolis, a honey bee product, which contains luteolin 7-O glucoside and chalcone. Luteolin 7-O glucoside inhibits type 2 . Parasite fatty acid biosynthesis and chalcone inhibit hemolysis. The aim of this study was to study the effectiveness of the combination of propolis and chloroquine compared to treatment with chloroquine, propolis alone, and combination therapy in parasitaemia of mice (Mus musculus) infected with Plasmodium berghei. The doses of propolis tested were 30 mg/kgBW and 60 mg/kgBW. The smallest and largest differences in parasitaemia levels were in the chloroquine only therapeutic treatment group, combination therapy at a dose of 60 mg/kg, combination therapy at a dose of 60 mg/kgBW, propolis single therapy at a dose of 30 mg/kgBW, and propolis single therapy. dose of 60 mg/kg body weight. Propolis single therapy 30 mg/kgBW was successfully inhibited by significant parasite growth. However, propolis 60 mg/kgBW single therapy had no significant effect on the acceleration of parasite growth. Although However, propolis single therapy is still not comparable to chloroquine single therapy. Propolis combination therapy did not give a significant change in the antimalarial effect of chloroquine. Therefore, it can be concluded that propolis at doses of 30 mg/kgBW and 60 mg/kgBW is not suitable for use in combination therapy with chloroquine."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Errol Untung
"Periosteal osteosarkoma merupakan tumor ganas tulang yang jarang didapat, dibentuk dari sarkoma tulang dengan didominasi komponen tulang rawan yang berdiferensiasi dan tumbuh pada permukaan tulang. Penelusuran kepustakaan tidak banyak menyebutkan mengenai kasus ini. Laporan kasus ini terakhir dilaporkan oleh Klinik Mayo tahun 1999. Kami laporkan satu kasus periosteal osteosarkoma pada penderita laki-laki berusia 17 tahun. Penderita menjalani tindakan pembedahan berupa prosedur ?limb salvage?, dengan pra dan pasca bedah penderita mendapat kemoterapi (neo-ajuvan dan ajuvan). Tidak ditemukan rekurensi lokal dan metastasis di paru, pada follow up sampai dengan 14 bulan pasca bedah. (Med J Indones 2003; 12: 166-70)

Periosteal osteosarcoma is a rare type of malignant bone neoplasm, with predominantly cartilaginous component and arising on the bone surface. Reports of the case in the literature were rare. Last case was reported by Mayo Clinic in 1999. We report a case of periosteal osteosarcoma in a 17-year-old male, who was treated surgically with a limb salvage procedure, neoadjuvant and adjuvant chemotherapy were also given to the patient. There was no local recurrence and lung metastases up to 14 months after surgery. (Med J Indones 2003; 12: 166-70)"
2003
MJIN-12-3-JulSep2003-166
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andri Maruli Tua
"Penganiayaan anak merupakan masalah sosial dan masalah medis yang penting dan dapat menyebabkan kecacatan dan kematian pada anak. Angka kejadian penganiayaan anak dalam setahun diperkirakan sekitar 15 sampai 42 kasus diantara 1000 anak dan terdapat kecenderungan peningkatan. Patah tulang merupakan tanda klinis kedua terbanyak yang ditemukan setelah lesi kulit, dan sekitar sepertiga anak yang teraniaya akan mendatangi ahli bedah tulang. Kami melaporkan seorang anak laki-laki berusia 7 bulan yang diduga mengalami penganiyaan anak. Diagnosis kami didasarkan pada temuan patah tulang multiple, keterlambatan dalam mencari pertolongan medis dan perbedaan antara riwayat perjalanan penyakit dengan temuan klinis. Anak tersebut mengalami patah tulang multipel dengan proses penyembuhan yang bervariasi, termasuk patah tulang pada suprakondilar humerus kiri, radius dan ulna kiri, radius dan ulna kanan, kedua tulang femur, tibia kanan serta tibia dan fibula kiri. Pemeriksaan radiologis merupakan modalitas yang penting dalam menegakkan kemungkinan adanya penganiayaan pada anak tersebut. Anak tersebut telah mendapatkan penanganan medis, proteksi, kelompok konsultasi untuk kedua orang tua dan sedang dalam penyelidikan pihak kepolisian. (Med J Indones 2004; 13: 59-65)

Child abuse is a pervasive social and medical problem that remains a major cause of disability and death among children. The annual incidence of abuse is estimated to be 15 to 42 cases per 1,000 children and appears to be increasing. Fractures are the second most common presentation of physical abuse after skin lesions, and approximately one third of abused children will eventually be seen by an orthopedic surgeon. We report a 7-month-old boy who was suspected to be abused. Our diagnosis was based on findings of multiple fractures, delay in seeking medical treatment and discrepancy between the history of illness and the clinical findings. He sustained multiple fractures in variety of healing, namely fractures on left supracondylar humeri, left radius and ulna, right radius and ulna, both femora, right tibia, and left tibia and fibula. Radiological examination was an important modality in revealing the possibility of abuse on this child. He had received medical treatment, protection, consultation team for the parents and an underway police investigation. (Med J Indones 2004; 13: 59-65)."
2004
MJIN-13-1-JanMar2004-59
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Sindroma pemanjangan QT (Long QT syndrome) diakibatkan oleh defek genetik, merupakan kasus jarang, sering disertai dengan takikardia ventricular polimorfik (‘torsade de pointes’- TdP) dan dapat menyebabkan kematian mendadak. Dilaporkan kasus seorang wanita 25 tahun dengan riwayat berdebar, sakit kepala dan pingsan yang berulang sejak usia 16 tahun. Rekaman elektrokardiogram menunjukkan adanya ekstra-sistol ventrikular bigemini, interval QT terkoreksi memanjang dan gelombang T abnormal. Pascapersalinan pertama penderita didiagnosis sebagai kardiomiopati peripartal. Juli 2002 dirawat karena masalah pingsan dan kejang disertai TdP dan fibrilasi ventrikular. Keadaan ini dapat diatasi dengan beberapa kali pemberian renjatan aliran arus searah (DC), pemasangan pacu jantung sementara dengan laju jantung yang relatif tinggi. Penderita dipulangkan dengan penyekat beta dan pemasangan pacu-jantung tetap kamar ganda. Selama 4 bulan pemantauan, penderita tanpa keluhan. (Med J Indones 2003; 12: 109-13)

Long QT syndrome (LQTS) is an uncommon disease due to genetic defect and responsible for polymorphic VT (torsade-de pointes-TdP) and sudden cardiac death. A case of 25 year-old woman with palpitation, severe headache and recurrent syncopal episode since 16 year-old is reported. The ECG showed bigeminy ventricular premaure contraction (VPC), prolonged QTc interval and abnormal T wave. Peripartal cardiomyopathy was diagnosed recently after the first delivery. In July 2002, she was hospitalized due to recurrent syncope, seizure proceeded by TdP and VF. On admission she need several times DC shock and temporary pacemaker with relatively high rate. Beta-blocker and implantation of dual chamber permanent pacemaker finally could control the malignant arrhythmias. During follow-up for 4 months, she was doing well and no syncopal episode occurred. (Med J Indones 2003; 12: 109-13)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003:109-113, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-109
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>