Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138049 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anang Puji Utama
"In the Elucidation of the 1945 Constitution, it is stated that The State of the Republic of Indonesia is based on Law, which means that Indonesia is a State based on people's sovereignty, wherein the principles of law are applied in the construction of a Pancasila society to achieve a society of social justice, unity, fairness and prosperity. The government of the New Order could not prove such aim, for at that time, Indonesia, as a State of Law from the perspective of civics, was actually devoid of this system, shown by the large number of Independent Presidential Decrees made, each causing its own natural trouble. This thesis is made with the intention of revealing to what extent Independent Presidential Decrees are made in accordance with the prevailing legislations. The survey made for this thesis uses qualitative method as its procedure of research, as it may come up with observable written data of authorities and attitudes. The research was carried out in Jakarta and based on four sources that are pertinent to the process of the making of Independent Presidential-Decree, namely: Secretary to the Cabinet, Centre for the Study of Law and Policies (PSHK) in Indonesia, Indonesian Corruption Watch (ICW), and Indonesian Transparency Community (MTI).
Results of the research reveal that during the reign of the New Order, there were indeed a number of Independent Presidential Decrees issued, which obviously posed problems. This proved that the embodiment of the presidential tasks, with regard to all aspects of state organization, covered an unlimited extent. Thereby, any making of Independent Presidential Decree constitutes a quasi legislative product, which was so flexible that it was out of the hands of the Board of the People's Representative's control. As examples, several Independent Presidential Decrees are presented in this thesis, showing how they are not conforming to the prevailing legislation, from the aspect of procedure?s well as content.
As measures of prevention against such recurrence, as have indeed been regulated in the 1945 Constitution, Article 4 paragraph one (1), it is urgent that a control system and inter-institutional balance within the state be established, and opportunities be provided for the people in general to present their assessment on every draft of law, including that of Independent Presidential Decree to be enforced upon the society.
Results of the research also reveal that law enforcement in the making of Independent Presidential Decree may contribute to the National Resilience System. This may constitute an extremely strategic measure in overcoming chaos in law, for, principally, any making of legislation is aimed at the benefit of the people, and therefore it should be able to create a well-being to the people. When this matter could be implemented in a consistent manner, abiding by the prevailing legislation, a confidence and trust in law could be established."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrimo
"ABSTRAK
Pemerintahan Orde Baru yang berlangsung sekitar 32 tahun telah berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanail sehingga memungkinkan bangsa Indonesia dapat membangun bidang ekonomi guna peningkatan kesejahteraan, setidaknya selama era Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I. Namun demikian apa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru ini disamping adanya pujian juga mengundang sejumlah kritik.
Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam membangun, khususnya dalam menciptakan stabilitas politik dan keamanan, tidak lepas dari peran pembinaan Orsospol - Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia - yang selama PJP I tampak efektif. Akan tetapi pada akhir PJP I dan memasuki PJP II, pembinaan terhadap Orsospol menunjukkan kecenderungan (trend) menurun, yang ditandai oleh banyaknya aksi unjuk rasa selaku refleksi rasa ketidakpuasan masyarakat. Masalah itulah yang menjadi pokok kajian tesis ini.
Tujuan penelitian ialah : (1) Menelusuri faktor-faktor penyebab pembinaan Orsospol yang sangat efektif pada kurun waktu Pelita I s/d IV, tetapi efektifitas itu menurun mulai akhir Pelita V dan seterusnya; (2) Mencoba melakukan konstruksi suatu model alternatif pembinaan Orsospol yang diharapkan dapat mengakomodir tuntutan perkembangan kemajuan serta dinamika masyarakat dan dengan memperhatikan kecenderungan perubahan lingkungan strategis.
Analisis masalah menggunakan pendekatan Konsepsi Ketahanan Nasional, dengan desain penelitian deskriptif kualitatif, dimana korelasi antara variabel efektivitas pembinaan Orsospol dan variabel kemajuan pembangunan dibandingkan dengan menggunakan metode SWOT (strength ? weakness - opportunity - threat). Rentang waktu penelitian dibatasi antara sejak lahirnya Orde Baru (1966) sampai Pemilu 1997.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
(1) Faktor-faktor yang menjadikan pembinaan terhadap Orsospol yang dilakukan selama PJP I dirasakan efektif adalah : (a) bangsa Indonesia menaruh perhatian besar untuk membasmi komunisme pasca pengkhianatan G30S PKI; (b) berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi; (c) adanya dukungan dunia internasional dalam upaya memberantas kemiskinan dan komunisme; (d) dwifungsi ABRI yang memperhatikan kepentingan rakyat dengan pendekatan keamanan; (e) kepemimpinan nasional yang masih berwibawa dan disegani.
(2) Faktor-faktor yang menjadikan kurang efektif adalah : (a) tingkat kemajuan pendidikan dan kesadaran politik masyarakat yang semakin tinggi; (b) adanya perubahan struktur sosial dan munculnya masyarakat sipil (madani); (c) beberapa ketentuan perundang-undangan dirasakan tidak cocok lagi dengan perkembangan dinamika masyatakat; (d) pengaruh perkembangan gelombang demokratisasi internasional; (e) ketidakadilan distribusi ekonomi; (f) pelanggaran terhadap norma Pancasila dan UUD 1945.
(3) Model pembinaan yang dapat mengakomodir tuntutan masyarakat adalah pembinaan yang tetap mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan perkembangan kemajuan masyarakat, memberikan ruang gerak bagi pemberdayaan masyarakat sipil dan tetap menjamin persatuan dan kesatuan bangsa.
Terlepas dari berbagai kritikan terhadap kebijakan pembinaan orsospol di zaman Orde Baru, namun keberhasilannya dalam membina stabilisasi politik selama lebih 3 dekade telah mencatat rekor waktu terpanjang dalam sejarah Indonesia. Oleh karena itu, penelitian tentang Orde Baru yang ditulis pada era Orde Reformasi ini sekaligus dapat dipandang sebagai upaya untuk menghimpun berbagai fenomena kehidupan sosial politik pada zamannya, yang mungkin takkan terulang kembali di masa datang, agar tidak tercecer dalam catatan sejarah perjalanan bangsa yang tercinta ini.

ABSTRACT
The Guidance of Social Political Organization in Indonesia during the New Order within the National Resilience Perspective
For the last 32 years the new order government was in power, political stability and security were successfully achieved allowing economic development to grow for the sake of national prosperity, at least during the first long-term development plan (25 years). Although, the new order government received praises for their accomplishments, it also received criticisms.
The new order government's success in ensuring political stability and security was also due to the guidance provided by the existing social-political organizations; the United Development Party (PPP), the Functional Group (Golkar) and the Indonesian Democratic Party (PDT). At the long-term development plan appeared effective. However, by the end of the first long-term development plan era, there were signs of a downward trend. This was indicated by the increasing number of protests and demonstrations reflecting the public's dissatisfaction. Therefore, it is this issue that has become the primary study of this thesis.
The objectives of this study are: (1) To discover the factors that caused the guidance given by these social-political organizations to be less effective by the end of the 5th five year development plan period; (2) To construct an alternative guidance model that is expected to accommodate all the demands of the people and the dynamics of the society without neglecting the trend of the change of strategic environment.
The analysis will use the approach of National Resilience Concepts along with the descriptive quality design. The correlation between the social-political organization's (SPO) guidance effectiveness variable and the development advancement variable are compared with the SWOT (strength-weakness-opportunity-threat) method. The time frame of this study begins at the start of the new order government (1966) up to the general elections of May 1997.
The results of this study are:
(1) The factors attributed to the effectiveness of the SPO's guidance during the first long-term development plan are: (a) The Indonesian people placed all of their attention on the eradication of communism after the failed coup attempt by the Indonesian Communist Party, PKI; (b) Full concentration on economic development; (c) The existence of international support in an effort to eradicate poverty and communism; (d) The implementation of ABRI's dual function doctrine in hopes to serve the public's interest through the assurance of security approach; (e) Good governance and strong national leadership.
(2) The factors contributing to the decline in effectiveness are: (a) The rise in the level of education and the increase of the public's political awareness; (b) The change of social structure and civil society; (c) Regulations and laws that are regarded incompatible with the advancement in social dynamics; (d) Influence of international issue of democratization; (e) Injustices in the distribution of national wealth; (f) Violations against the norms of the Pancasila state ideology and the 1945 Constitution.
(3) An alternate guidance model that will accommodate the public's demand is the adaptation and implementation of the Pancasila state ideology and the 1945 Constitution. While developments in society, noting to allow movements that will enable the empowerment of a civil society and assure national unity at the same time.
Despite criticisms of the policies undertaken by the SPOs during the new order period, its success in maintaining political stability for approximately three decades, is a record in Indonesia's history. Therefore, this study on the New Order during the present Reform Era is a means to understand the phenomenon of the social-political life during that time. Thus, to ensure that mistakes made in the past do not repeat themselves and to not forget the endeavors made in this nation's journey.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Afrizal Candra
"Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik secara bergantian anatara demokratis dart otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsifpopulistik dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Rezim Orde Baru terutama pada 1967-1981 senantiasa curiga akan gerakan-gerakan Islam. Konfigurasi politik pada peciode ini cenderung otoriter dengan berbagai tipologi perpolitikan. Di tahun 1970-an ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkarakter ortodoks/konservatif atau elitis. Pada saat slap akomodatif (1985-1998) antara Islam dari negara maka pada era ini lahir Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama maka karakter produk hukum ini bisa dikatakan berkarakter responsif/populistik. Era Reformasi, konfigurasi politik yang tampil adalah demolantis dengan terlibatnya seluruh komponen masyarakat dalarn pembentukan UU No. 4 tahun 2004 maka produk hukum ini berkarakter responsi populistik.
Setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsif dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu setiap produk hukum yang berkarakter responsif/populistik akan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih demokratis.

The history of political configuration in Indonesia shows the ups and downs in turns between democratic and authority. The pulling of political configuration between the law product which have the characteristics of responsive-populistic and the other Iaw product which have the characteristics of orthodoks-conservative, with the same similarity in line. The New Order regime especially in the year of 1967-1982 have suspicions settlements on the Islamic movements. Political configurations in this period tends to rule with an authoritic attitude with many political typhologies. In the year of 1970-s, were created many law products such as the UU No. I4 Year 1970 and the UU No. 1 Year 1974 which have the orthodoks conservative characteristics or clitic law products. At the time of accontridative ( 1985 - 1998 ) between Islam and the state, in this era was created the UU No. 7 Year 1989 which issues about the religic court which then this product of Iaw can be said to have the characteristic of responsive I populistic. In the Reformation Era, the political configurations that shows up is democratic which involves all the components of society inside the structuring of UU No. 4 Year 2004, and so this product of law has the characteristic of responsive 1 populistic.
Every products of law are the turner of every political configurations which creates them. The characteristic of product of law depends on the political visions which are growing inside the society. The more democratic one regime is, the more responsive and aspirative product of law they creates and it goes the same for the opposite. Because of that, every product of law which have the characteristic of responsive populistic will make the nation more democratic.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5881
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhurorudin
"Sejak berakhirnya rezim Orde Baru (pimpinan Soeharto) spektrum politik Indonesia diwarnai oleh pergulatan elit politik yang terpilah dalam banyak kelompok. Hal ini terutama terefleksi dari bermunculannya puluhan partai politik yang masing-masing terpilah akibat perbedaan visi dan mini atau bahkan spektrum ideologi. Kelompok Islam dan atau yang memakai simbol-simbol Islam merupakan salah satu dari sekian kelompok yang ikut andil dalam "pertarungan" politik tadi.
Bahkan, kubu Islam sendiri terfragmentasi pula dalam beberapa kelompok (varian) yang kadangkala bersaing bahkan bertentangan. Munculnya belasan partai Islam adalah bukti konkrit dari fragmentasi kubu Islam tadi. Bahkan, selain partai-partai politik Islam, ternyata masih muncul pula kekuatan-kekuatan politik Islam non-partai seperti terefleksi dari munculnya berbagai milisi (seperti Front Pembela Islam, Front Hizbullah, Laskar Jihad dan lain-lain) yang banyak diantaranya tak punya afiliasi -apalagi koordinasi- dengan partai politik Islam tadi.
Yang pasti, setiap varian kekuatan politik Islam tadi ternyata masing-masing mengklaim sebagai representasi dari aspirasi ummat. Masing-masing memakai bermacam simbol dan berbagai idiom Islam guna menarik simpati massa, bahkan cukup sering menggerakkan massa untuk tujuan politik mereka.
Sebenarnya, fragmentasi politik Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada Era Orde Lama misalnya, kekuatan politik Islam juga mengalami fragmentasi dalam beberapa partai semisal Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti). Era Orde Baru kendati kekuatan politik Islam difusikan dalam satu kekuatan bernama Partai Persatuan Pembangunan, namun fragmentasi antar unsur tetap terjadi, yang bermuara pada peristiwa penggembosan PPP oleh NU tahun 1984. Ketika Orde Baru berakhir, fragmentasi politik Islam kembali terjadi, bahkan dalam wujud yang lebih fulgar, dimana keterbelahan politik Islam mengkristal dalam wujud belasan partai Islam.
Jika dicermati, fragmentasi politik kaum santri di Indonesia ini tak terlalu mengherankan mengingat akar-akarnya telah lama tertanam dalam wujud khilafiah-fiqhiah (perbedaan pemahaman nilai), yang pada akhirnya berpengaruh pada interpretasi pemaknaan kebijakan politik. Selain itu adanya kepentingan politik dari setiap kelompok kaum santri juga ikut menjadi benih bagi tumbuhnya fragmentasi. Berbagai perbedaan penyebab fragmentasi politik santri pasca Orde Baru ternyata bertambah variasinnya dibanding era sebelumnya. Memang, antara subkultur modern dan tradisional (yang menjadi trade-mark utama era Orde Lama) sebenarnya telah melakukan dialog panjang dan proses pendekatan, sehingga jurang pembeda antara dua kultur tadi relatif menyempit.
Namun, realitas perbedaan antara dua sub kultur terutama dalam konteks akar rumput (grass root) bahkan dalam pola hubungan elit dan basis massa tampaknya masih eksis (ada) dan tak mungkin untuk diabaikan. Fakta inilah yang menyebabkan keterbelahan politik Wasik yang berpijak pada dua sub kultur tadi tetap ada, kendati tak setajam era sebelumnya. Bahkan, pasca Orde Baru berkembang pula fenomena lain dalam politik kaum santri (terutama telah dimulai era Orde Baru) yakni perbedaan antara penganut pemikiran Islam kultural (kaum substansialis) dan Islam politik (kaum formalis). Fenomena baru ini telah pula meramaikan keterbelahan politik di lingkungan santri.
Fragmentasi politik Islam dengan segala penyebabnya tadi tentu saja potensial menumbuhkan konflik intra ummat, bahkan dapat melebar menjadi konflik antar ummat. Namun, perlu dipaharni bahwa politik dalam perspektif Islam hakekatnya merupakan pentakwilan sosial atas ajaran Islam. Sebagai pentakwilan pluralitas akhirnya merupakan sebuah kewajaran, sebagai sebuah kekayaan pemikiran yang seharusnya berguna untuk mencapai kemajuan. Hal yang justru tak wajar adalah bila fragmentasi disikapi dengan cara ekstrim, anti pluralitas, yakni : pertama, bahwa di tengah perbedaan (pluralitas) seolah tak ada sesuatupun yang dapat menyatukan (menjembatani) untuk mencipta kebersamaan. Pemikiran ini dapat menimbulkan sikap ekstrim bahwa kelompok berbeda mesti diperangi, dinihilkan, dihancurkan, karena pihak pesaing akan mengganggu sebuah kemapanan (status quo). Kedua, bahwa pluralitas dipandang sebagai ancaman bagi keharmonisan dan oleh karena itu secara antusias berusaha menciptakan sebuah uniformity dengan mengabaikan realitas perbedaan.
Dua pemikiran dan sikap ekstrim tadi akhirnya akan berpengaruh negatif pada stabilitas, integrasi dan atau ketahanan nasional, karena pola pikir dan sikap seperti itu pada akhirnya dapat menimbulkan perlawanan yang tak kalah ekstrimnya. Terjadi atau tidaknya implikasi negatif dari pluralitas dan atau fragmentasi politik Islam tadi tergantung pada kapabilitas (kemampuan) elit-elit politik Islam dalam menformulasikan managemen konflik antar mereka. Selain itu campur tangan pemerintah dalam tingkat tertentu untuk mengelola konflik agar tak melebar dan tak mengarah pada pembusukan politik juga menjadi penting. Namun efektifitas peran pemerintah untuk mengelola konflik antar elemen politik di masyarakat tentu sangat tergantung pada kredibilitas independensi pemerintah terhadap elemen-elemen politik yang terfragmentasi tadi."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinny Setiadini Utami
"Artikel ini menjelaskan mengenai penegakan kode etik kedokteran yang dilakukan terhadap kasus pelanggaran etik oleh dokter yang terjadi di rentang tahun 1980-an. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) adalah sebuah pedoman yang disusun bagi dokter dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Namun dengan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tidak menutup kemungkinan akan selalu terbuka celah bagi seorang dokter untuk melakukan tindakan yang melanggar pedoman tersebut. Dalam penelitian kali ini, tindakan pelanggaran tersebut dilakukan oleh dokter Gunawan Simon dari Bandung pada tahun 1984-1987. Pelanggaran yang dilakukan adalah mengobati pasien dengan metode pengobatan yang tidak sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran dan memberikan obat hasil racikan sendiri yang belum teruji secara ilmu kedokteran kepada pasien. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap pasal dalam KODEKI yang saat itu berlaku. Fokus utama pembahasan dalam penelitian ini adalah upaya penegakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Departemen Kesehatan (Depkes), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Sanksi yang diberikan atas pelanggaran tersebut adalah pemberhentian keanggotaan dan pencabutan izin praktik oleh IDI dan MKEK sebagai lembaga yang berwenang. Menurut penulis, Depkes, IDI dan MKEK sudah menerapkan upaya sebaik-baiknya, namun sanksi yang diberikan belum tegas sehingga tidak memberikan efek jera kepada dokter-dokter lainnya di tahun-tahun berikutnya. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri atas proses heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dalam proses heuristik, penelitian ini mengangkat berita dan artikel dari surat kabar yang terbit antara tahun 1984-1987. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana keberhasilan implementasi penegakan etik kedokteran berdasarkan KODEKI oleh Depkes, IDI dan MKEK pada tahun 1984-1987.

This article describes the enforcement of the medical code of ethics that was carried out on cases of ethical violations by doctor that occurred in the 1980s. The Indonesian Medical Code of Ethics (KODEKI) is a guideline that prepared for doctors in carrying out their duties. However, with the enactment of the Indonesian Medical Code of Ethics, there will still be a possibility to a doctor to violate the guidelines. In this study, the violation was carried out by doctor Gunawan Simon from Bandung in 1984-1987. The Violations committed were treating patients with treatment methods that are not in line with the rules of medical science and giving patients their own concoction of medicine that have not been tested by medical science. This action was a violation of the provisions of the KODEKI at that time. The main focus of discussion in this study is enforcement efforts carried out by the government through the Ministry of Health, the Indonesian Doctors Association (IDI), and the Medical Ethics Honorary Council (MKEK). The penalty given for such violations are termination of the membership and cancellation of practice licenses by IDI and MKEK as authorized institutions. According to the author, the Ministry of Health, IDI and MKEK have implemented their best efforts, but the penalty given have not been firm so that they do not have a deterrent effect to other doctors in the following years. This study uses historical methods consisting of heuristics, criticism, interpretation, and historiography processes. In the heuristic process, this study picks up news and articles from newspapers published between 1984-1987. The aim of this study is to find out how successful the implementation of medical ethics enforcement based on KODEKI by the Ministry of Health, IDI, and MKEK was in 1984-1987."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>