Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18045 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Suci Widyahening
"Pekerjaan sebagai pilot penerbangan sipil dipandang sebagai pekerjaan dengan tingkat stres yang sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh stresor kerja dan faktor lainnya terhadap gangguan mental-emosional pilot penerbangan sipil. Penelitian dilakukan secara cross-sectional melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner khusus terhadap pilot-pilot sebuah penerbangan sipil yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bulan Mei - Juli 1999 di Jakarta. Lima aspek stresor kerja yang dinilai adalah kondisi kerja, aspek fisik lingkungan kerja, pengembangan karir, organisasi dan aspek hubungan interpersonal. Penilaian gangguan mental-emosional menggunakan kuesioner Symptom Checklist 90 (SCL 90). Analisis statistik menggunakan risiko relatif dengan regresi Cox dengan waktu tetap. Sebanyak 109 kuesioner dapat dianalisis dari 128 subyek yang diwawancara. Sebagian besar subjek berstatus menikah (73,4%) dan memiliki ijazah D3 (91,7%). Jumlah subyek yang berpangkat captain dan first officer hampir sama. Prevalensi gangguan mental-emosional 39,4%. Faktor-faktor yang dominan berkaitan dengan gangguan mental-emosional adalah stresor kerja dan ketegangan dalam rumah tangga. Responden dengan stresor kerja yang tinggi dibandingkan dengan yang rendah mempunyai risiko 4,6 kali mengalami gangguan mental-emosional dari pada responden dengan stresor kerja rendah [risiko relatif (RRa) = 4,64; 95% interval kepercayaan (CI) = 1,01-19,65]. Penatalaksanaan yang memadai diperlukan dalam menangani stresor kerja dan ketegangan rumah tangga yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental-emosional. (Med J Indones 2007; 16:117-21)

Civilian airline pilots have one of the most stressful occupations. The aim of this study was to identify the effect of work stressors and other factors on mental-emotional disturbances among airline pilots. A cross-sectional study was done by interviewing selected pilots of an airline using appropriate questionnaires, during their routine medical examination from May to July 1999 in Jakarta. Five aspects of work stressor were assessed: working conditions, physical conditions of working environment, career development, organization and interpersonal relationship. Mental-emotional disturbances were determined by using the Symptom Checklist 90 (SCL 90) questionnaire. Data analysis was carried out using relative risk by Cox regression with constant time. From 128 subjects interviewed, 109 could be analyzed. Most of the subjects were married (73.4%) and college graduates (91.7%). The number of captains and first officers were almost equal. The prevalence of mental-emotional disturbances was 39.4%. Mental-emotional disturbances were significantly related to work stressors and moderately related to household tension (P = 0.184). Compared to pilots with low levels of work stressors, those with high or very high levels of work stressors had a risk of 4.6 times of mental-emotional disturbances [adjusted relative risk (RRa) = 4.64; 95% confidence interval (CI) = 1.01 ? 19.65]. Adequate guides to cope work stressors and household tension which related to mental-emotional disturbance is recommended. (Med J Indones 2007; 16:117-21)"
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2007
MJIN-16-2-AprJun2007-117
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nyawung Tyas Sesotyo Febriyanti
"Penerbang pesawat tempur terpajan oleh bising yang sangat tinggi dan beresiko terjadinya Noise Induced Hearing Loss (NIHL) atau Tuli Akibat Bising. NIHL merupakan interaksi yang kompleks antara lingkungan dan faktor intrinsik pada penerbang sendiri. Saat ini belum banyak dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya NIHL pada penerbang pesawat militer. Tujuan dari penelitian case control ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi NIHL pada penerbang pesawat tempur. Penelitian ini melibatkan 60 penerbang yang menderita NIHL sebagai kasus dan 60 penerbang yang tidak menderita NIHL diikutsertakan dalam kontrol yang melakukan pemeriksaan fisik di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) Saryanto tahun 2010-2014. Data yang diperoleh dari data rekam medis yaitu usia, masa kerja, tekanan darah, kadar kolesterol total dan kadar gula darah. Pada model akhir terlihat bahwa NIHL berkaitan dengan kadar gula darah dan kadar kolesterol. subyek dengan kadar gula darah lebih dari 200 mg/dl mempunyai resiko 4,23 kali lipat terjadinya NIHL [Odds Rasio (OR) = 4,23; 95% interval kepercayaan1,266-14,137; p=0,009] dan subyek dengan kadar kolesterol lebih dari 200 mg/dl mempunyai resiko 2,83 kali lipat terjadinya NIHL [(OR) =2,83; 95% interval kepercayaan 1,313-6.134; p=0,008]. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kadar gula darah dan kadar koleseterol yang tinggi dapat meningkatkan resiko terjadinya NIHL.

Military aircraft pilots exposed to high intensity and had increased to be noise-Iinduced hearing loss (NIHL). NIHL is a complex condition infuenced by environmental and intrinsic factor. Currently there was a few research about the factors that affected NIHL. It is beneficiary to study several risk related NIHL. This study was a case-control. Case was a military pilot who diagnosed NIHL. A case was matched by one controlwho free from NIHL. Data was extracted from available medical records who performed medical check up during 2010 through 2014 at Saryanto Institute for Aviation and Aerospace Medicine (Lakespra) Jakarta. There were 120 medical record available for this study. 60 cases and 60 control were identified. The final model reveals that NIHL was related to glucose level and total cholesterol level. Those who had fasting glucose level 126 mg/dl or high had a increased to be NIHL 4,23times [Odds Ratio (ORa)= 4,23; 95% Convidence Interval (CI)1,266-14,137;p=0,009] and subject with total cholesterol level 200 mg/dl or high had increased to be NIHL 2,83 .times [(OR)=2,83; 95% CI 1,313-6.134; p=0,008]. Conclusion : increased glucose level and cholesterol level had a increased to be NIHL.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S61267
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana
"Latar belakang: Distres pada pilot dapat mengurangi tingkat kewaspadaan dan mengganggu proses pengambilan keputusan. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi pengaruh jam terbang total dan faktor dominan lainnya terhadap risiko distres di antara pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampling purposif pada tanggal 1-14 Mei 2013 terhadap pilot yang sedang melakukan pemeriksaan medik (medEx) di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Pilot mengisi langsung dan tanpa nama data demografi dan pekerjaan, kuesioner strategi koping dan stresor di rumah. Pengukuran distres menggunakan Self Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20) dengan titik potong 5/6, self rating dan anonymous. Risiko distres dianalisis menggunakan risiko relatif (RR) dengan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: Dari 209 pilot yang berlisensi Private Pilot (PPL), Commercial Pilot (CPL) dan Air Transport Pilot (ATPL) didapatkan 13,4% berisiko distres. Pilot dengan jam terbang total 6000-12999 jam dibandingkan dengan 59-5999 jam berisiko distres 6 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa) = 5,83; P = 0,000], sedangkan pada jam terbang total 13000-29000 berisiko distres 8 kali lipat (RRa = 8,42; P = 0,000). Pertengkaran di keluarga 2 kali lipat mempertinggi risiko distres (RRa = 2,47; P = 0,006), sedangkan penggunaan koping beragama 51% mengurangi distres (RRa = 0,49; CI = 0,97-1,06; P = 0,051).
Kesimpulan: Jam terbang total 6000 jam atau lebih dan pertengkaran di keluarga mempertinggi risiko distres, sedangkan penggunaan koping beragama menurunkan distres pada pilot sipil di Indonesia.

Background: Distress can reduce awareness and interfere of decision making. The aimed of this study to identify the effect of total flight hours to distress risk among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Methode was used a cross sectional study with purposive sampling conducted on May 1-14, 2013 on working hours among pilots who did medical check up (MedEx) at Aviation Medical Center, Jakarta. This study use SRQ-20 with cut off point 5/6 to measure of distress, coping strategy and home stressor check list questionnaire which is a self-rating and anonymous. Data were analyzed with Cox regression with constant time.
Result: Of 209 pilots which has Private Pilot License (PPL), Commercial Pilot License (CPL), and Air Transport Pilot License (ATPL) there were 13.4% pilots had distress. Those who had total flight of 6000-12999 hours compared to 59- 5999 hours had 6-fold increased distress risk [adjusted relative risk (RRa) = 5.83; P =0.000]. Meanwhile, those who had total flight of 13000-29000 hours had 8- fold increased distress risk. Those who had family tension had 2-fold increased distress risk (RRa = 2.47; P=0.006). Meanwhile the using of religion coping could 51% decreased distres risk (RRa = 0.49; 95% CI = 0.97-1.06; P = 0.051).
Conclusion: Total flight hours on 6000 hour or more and tension in family have increased distress risk, on the other hand the using of religion coping decreased distress risk in civilian pilots.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Golda Naomi
"Latar belakang. Hiperglikemi memiliki komplikasi jangka panjang yaitu penyakit kardiovaskular yang dapat mengganggu kinerja seorang pilot sipil dalam keselamatan penerbangan. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang berperan terhadap risiko hiperglikemi. Metode. Subjek penelitian potong lintang dipilih secara purposif di antara pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada 29 Mei sampai 9 Juni tahun 2013 di Balai Kesehatan Penerbangan (Balhatpen). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan fisik dan pengambilan data kadar Glukosa Darah Puasa (GDP) dari laboratorium Balhatpen. Hiperglikemi adalah kadar GDP 100-125 mg/dl. Gula darah normal adalah kadar GDP 70-99 mg/dl. Hasil. Selama 10 hari pengumpulan data didapat 612 pilot sipil dan sebanyak 225 orang memenuhi kriteria inklusi. Pada penelitian ini ditemukan 3 faktor dominan yaitu rerata jam terbang per tahun 1051-1130 jam, kebiasaan makan roti setiap hari dan kebiasaan makan makanan manis setiap hari yang berpengaruh terhadap risiko hiperglikemi. Pilot sipil yang memiliki rerata jam terbang per tahun 1051-1130 jam dibandingkan dengan 0-1050 jam per tahun berisiko 7 kali lebih besar mengalami hiperglikemi [risiko relatif suaian (RRa)=7,15; 95% interval kepercayaan (CI)=0,85-57,23; P=0,063]. Pilot sipil dengan kebiasaan makan roti setiap hari dibandingkan dengan 0-4x/minggu berisiko 1,9 kali lebih besar mengalami hiperglikemi [RRa=1,94; 95% CI=0,91-4,16; P=0,085]. Selanjutnya, pilot sipil dengan kebiasaan makan makanan manis setiap hari dibandingkan dengan 0-4x/minggu berisiko hiperglikemi sebanyak 2 kali lipat [RRa=1,99; 95% CI=1,10-3,60; P=0,023]. Kesimpulan. Rerata jam terbang per tahun 1051-1130 jam, kebiasaan makan roti setiap hari, dan kebiasaan makan makanan manis setiap hari mempertinggi risiko hiperglikemi.

Background. Hyperglycemia can lead to long-term complications such as cardiovascular disease that could interfere the performance of a civilian pilot in aviation safety. Therefore, it is necessary to identify the factors that contribute to the risk of hyperglycemia. Methods. This cross-sectional study subjects selected purposively among civilian pilots undergoing their periodic medical check-up on May, 29 to June, 9 2013 at the Aviation Health Center. Data collected through interviews, physical examinations and data retrieval of fasting blood glucose levels from the Aviation Health Center?s laboratorium. Hyperglycemia, if fasting blood glucose levels of 100-125 mg/I. Normal, if fasting blood glucose levels 70-99 mg /I. Result. During the 10 days of data collection obtained around 800 crew members and civilian pilots who meet the inclusion criteria are 225 pilots. This study found three dominant factors, flight hours per year from 1051 to 1130 hours, eating white bread every day and eating sweets everyday that influence the risk of hyperglycemia. Flight hours per year from 1051 to 1130 hours had a 7 times increased risk to hyperglycemia [Relative Risk adjusted (Rra)=7.15, 95% Confidence Interval (CI)=0 0.85-57.23, P=0.063]. Eating white bread everyday had 1.9 times increased risk to hyperglycemia [Rra=1.94, 95% CI=0.91-4.16, P=0.085]. Furthermore, eating sweets everyday at risk of hyperglycemia by almost 2-fold [Rra=1.99, 95% CI=1.10-3.60, P=0.023]. Conclusion. Flight hours per year from 1051 to 1130 hours, eating white bread every day, and eating sweets every day increased risk to hyperglycemia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arjoelinda Rintasanti
"Latar belakang: Perubahan gaya hidup antara lain kebiasaan makan lemak tinggi dapat menyebabkan hiperkolesterolemia yang merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan. Penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh penerbangan jarak panjang dan kebiasaan sering makan berlemak terhadap risiko hiperkolesterolemia pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi ini menggunakan disain potong lintang dengan sampling purposif dan analisis regresi Cox. Hiperkolesterolemia jika kadar kolesterol total dalam darah puasa lebih dari 200 mg/dl sesuai kriteria NCEP (National Cholesterol Education Program). Pengumpulan data yang lain meliputi karakteristik sosio demografi, pekerjaan, dan kebiasaan dengan wawancara yang menggunakan kuesioner. Penelitian di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta antara pilot yang sedang melakukan medical check-up tanggal 8 sampai 22 Mei 2013.
Hasil: Dari 253 pilot yang bersedia mengikuti penelitian, 140 (55,4%) mengalami hiperkolesterolemia. Faktor yang berhubungan bermakna dengan hiperkolesterolemia ialah: penerbangan jarak panjang dan kebiasaan makan berlemak. Pilot yang biasa melakukan penerbangan jarak panjang mempunyai risiko 30% lebih tinggi terkena hiperkolesterolemia dibandingkan pilot dengan penerbangan jarak pendek [risiko relatif suaian (RRa) = 1,30; 95% interval kepercayaan (CI) = 0,99-1,71; p = 0,062]. Pilot yang mempunyai kebiasaan dibandingkan dengan pilot yang tidak mempunyai kebiasaan makan makanan berlemak setiap hari mempunyai risiko 32% lebih tinggi terkena hiperkolesterolemia risiko relatif suaian (RRa) = 1,32; 95% CI =0,95-1,86; p = 0,101.
Kesimpulan: Penerbangan jarak panjang dan makan berlemak mempertinggi risiko hiperkolesterolemia pada pilot penerbangan sipil Indonesia.

Background: Lifestyle changes among civil pilots such as high fat eating habits can cause hypercholesterolemia which is one of the risk factors for cardiovascular disease might affecting the safety of flight. This study aimed to identify thr influence of long haul flights and eating habits on the risk of hypercholesterolemia in civil pilot in Indonesia.
Methods: The study used a cross-sectional design with purposive sampling and Cox regression analysis. Data collection included socio demographic, job and habits characteristics by interview using a questionnaire. The subjects consisted of pilots who attending medical check up at Aviation Medical Center Jakarta. Hypercholesterolemia defined as total cholesterol levels in the blood of fasting 200 mg/dl or more in accordance with the criteria of the National Cholesterol Education Program (NCEP).
Results: Among 253 civil pilots who participated this study, 140 (55.3%) had hypercholesterolemia. The dominant factors associated with hypercholesterolemia were long-haul flights and frequent eating fatty foods. Pilot who used than did not use have long haul flights had 30% higher risk of developing hypercholesterolemia [adjusted relative risk (RRa) = 1.30; 95% confidence interval (CI) = 0.99-1.71; P = 0.062]. Pilots who had than did not often habit of eating fatty foods each day had 32% higher risk to be hypercholesterolemia (RRa) = 1.32; 95% CI = 0.95-1.86; P = 0.101].
Conclusion: Long haul flights and eatimgh fatty food habit everyday increased the risk of hypercholesterolemia among civil pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Arya Hidayat
"Latar Belakang: Dalam dunia penerbangan, fatigue dapat menyebabkan inkapasitasi penerbang dan mengakibatkan kecelakaan pesawat. Jam terbang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan risiko fatigue. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan jam terbang 7 hari dan beberapa faktor lain terhadap risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Sebuah studi cross sectional dengan consecutive sampling dilakukan pada penerbang sipil yang sedang melakukan medical check-up di Balai Kesehatan Penerbangan di Jakarta pada Juni 2016. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan dan jam terbang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara. Data fatigue diperoleh melalui pemgisian self-questionnaire fatigue dan dihitung dengan Fatigue Severity Scale (FSS) yang telah dikalibrasi. Fatigue dikategorikan menjadi “Tidak Fatigue” (skor FSS <36) dan “Fatigue” (skor FSS ≥36). Analisis menggunakan risiko relatif dengan regresi Cox dan waktu yang konstan.
Hasil: Penelitian ini mencakup 542 penerbang, 50,2% mengalami fatigue, dan 49,8% tidak fatigue. Subyek yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dibandingkan dengan yang kurang sama dengan 30 jam dalam 7 hari, memiliki risiko fatigue 1,39 kali lebih tinggi [risiko relatif disesuaikan (RRA)= 1,39; CI=1,16-1,68; p = 0,001]. Subjek yang memiliki lisensi tipe ATPL dibandingkan dengan yang CPL memiliki risiko fatigue 1,31 kali lebih tinggi (RRa= 1,31; CI=1,11-1,54 p= 0,001). Selanjutnya subyek yang berolahraga secara appropriate memiliki risiko fatigue 32% lebih kecil (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Kesimpulan: Penerbang sipil di Indonesia yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dan penerbang dengan lisensi tipe ATPL mengalami peningkatan risiko fatigue. Kebiasaan olahraga secara appropriate menurunkan risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: In aviation world, fatigue may cause the pilot incapacitation and can lead to the aircraft accidents. Flight hours is believed to be one of the factors related to the risk of fatigue. The purpose of this study is to identify relationship between flight hours in seven day and other factors to the risk of fatigue among civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross sectional study with consecutive sampling was conducted among civilian pilots who attended medical check-up at Aviation Medical Center in Jakarta on June 2016. Demographic characteristics, employment related factors, habits and flight hours were obtained through questionnaire and interviews. Fatigue data were obtained through fatigue self-questionnaire form and measured with Fatigue Severity Scale which had been validated. Fatigue was categorized into non-fatigue (FSS score <36) and fatigue (FSS score ≥36). Risk relative was computed using Cox regression with a constant time.
Results: This study included 542 pilots, 50,2% had fatigue and 49,8% were normal (non-fatigue). The subjects who have flight hours >30 hours/week compared to ≤30 hours/week, had 1.37-fold higher risk of fatigue [adjusted relative risk [RRa=1.37; CI=1,14-1,65; p=0.001]. The subject with ATPL license compared to CPL license, had 1.28-fold higher risk of fatigue [RRa=1.31; CI=1,11-1,54; p=0.001). Furthermore, subjects who have appropriate exercise, had 32% lower risk of fatigue (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Conclusions: Civilian pilots in Indonesia who had more than 30 hours flight time in 7 days and ATPL type pilots have an increased risk of fatigue. Appropriate exercise decreased the risk of fatigue on civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simplisius Cornelis Tisera
"Latar Belakang : Dalam dunia penerbangan, selain memberikan dampak negatif pada kesehatan pilot, hiperurisemia juga dapat membahayakan keselamatan penerbangan melalui risiko inkapasitasi baik dikaitkan dengan peningkatan risiko terhadap penyakit kardiovaskular maupun dikaitkan dengan penyakit gout. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya prevalensi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia dan identifikasi faktor-faktor risiko hiperurisemia terhadap pilot sipil di Indonesia. Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dari rekam medis pilot sipil di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta yang melakukan pemeriksaan 1 November 2019–30 April 2020. Data yang dikumpulkan dari rekam medis meliputi: data laboratorium asam urat dan kreatinin, usia, jam terbang total, IMT, konsumsi alkohol, dan riwayat penggunaan obat-obatan. Hiperurisemia adalah konsentrasi urat plasma lebih dari 7.0 mg/dl. Pengolahan data menggunakan aplikasi IBM® SPSS® Statistics Version 20. Hasil : Di antara 5399 pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan, sebanyak 194 merupakan kriteria eksklusi, sehingga jumlah sampel penelitian menjadi 5202 pilot; 18,4% memiliki kadar asam urat tinggi (hiperurisemia) dan 81,6% memiliki kadar asam urat normal. Pilot yang memiliki jam terbang total ≥ 5000 menurunkan risiko terjadinya hiperurisemia sebesar 24% dibandingkan pilot dengan total jam terbang < 5000 (OR 0,76 (95% IK 0,62-0,93); p=0,007). Pilot yang usianya ≥ 30 tahun menurunkan risiko hiperurisemia sebanyak 25% dibandingkan dengan pilot berusia < 30 tahun (OR 0,75 (95% IK 0,62-0,91); p=0,004). Pilot yang obesitas dan overweight memiliki risiko masing-masing 2,98 kali (OR 2,98 (95% IK 2,33-3,83); p<0,001) dan 1,36 kali (OR 1,36 (95% IK 1,01-1,83); p=0,042) lebih besar mengalami hiperurisemia dibandingkan dengan pilot yang memiliki IMT normal. Selanjutnya jika dibandingkan pilot yang tidak mengkonsumsi alkohol, pilot yang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 14,68 kali lebih besar mengalami hiperurisemia (OR 14,68 (95% IK 9,35-23,06); p<0,001). Kesimpulan : Prevalensi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia sebesar 18,4%. IMT obesitas dan overweight serta konsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya kondisi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia.

Background : In the aviation world, in addition to having a negative impact on pilot health, hyperuricemia can also endanger flight safety through the risk of incapacitation either associated with an increased risk of cardiovascular disease or associated with gout. The purpose of this study is to determine the prevalence of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia and identification of risk factors for hyperuricemia in civil pilots in Indonesia. Methods : The study used a cross-sectional method from the medical records of civil pilots at Aviation Medical Center, Jakarta which conducted an examination on 1 November 2019 – 30 April 2020. Data collected from medical records included: laboratory data of uric acid and creatinine, age, total flight hours, BMI, alcohol consumption, and history of drug use. Hyperuricemia is a plasma urate concentration of more than 7.0 mg/dl. Data processing using the IBM® SPSS® Statistics Version 20 application. Results : Of the 5399 pilots conducting medical examination, 194 were exclusion criteria, bringing the total sample of the study to 5202 pilots; 18.4% had high uric acid levels (hyperuricemia) and 81.6% had normal uric acid levels. Pilots who have total flight hours ≥ 5000 reduce the risk of hyperuricemia by 24% compared to pilots with total flight hours < 5000 (OR 0.76 (95% CI 0.62-0.93); p=0.007). Pilots aged ≥ 30 years reduced the risk of hyperuricemia by 25% compared with pilots aged <30 years (OR 0.75 (95% CI 0.62-0.91); p =0.004). Obese and overweight pilots had a risk of 2,98 times (OR 2.98 (95% CI 2.33-3.83); p <0.001) and 1.36 times (OR 1.36 (95% IK 1.01-1.83); p=0,042) greater experience hyperuricemia compared with pilots who have a normal BMI. Furthermore, compared to pilots who did not consume alcohol, pilots who consumed alcohol had a 14.68 times greater risk of developing hyperuricemia (OR 14.68 (95% CI 9.35-23.06); p <0.001). Conclusion : The prevalence of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia is 18.4%. BMI obesity and overweight and alcohol consumption increase the risk of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widiananta
"Latar Belakang: Penerbang militer berisiko mengalami hipoksia selama melaksanakan tugas terbang oleh karena penurunan tekanan parsial oksigen (O2) yang terjadi seiring pesawat mencapai ketinggian. Tubuh beradaptasi terhadap hipoksia dengan berbagai mekanisme seperti menjaga kestabilan kadar hypoxia inducible factor (HIF) dan merangsang pelepasan heat shock protein (HSP) untuk menjaga kondisi homeostasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons tubuh terhadap kondisi hipoksia hipobarik dikaitkan dengan kadar HIF-1α dan HSP 70 serum pada penerbang militer yang melaksanakan uji latih hipoksia di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan one group pretest-posttest design yang dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2023. Subjek penelitian adalah penerbang militer aktif yang terjadwal melaksanakan uji latih hipoksia, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia menandatangani informed consent. Oksigenasi diberikan setelah pajanan hipoksia sebagai bagian dari prosedur latihan. Pengambilan darah diambil sebelum dan sesudah uji latih hipoksia selanjutnya diperiksa dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil: Sebanyak 31 orang penerbang militer diikutsertakan dalam penelitian ini dengan rincian 13 (41,9 %) penerbang pesawat angkut, 7 (22,6%) penerbang pesawat helikopter, 6 (19,4%) penerbang pesawat tempur dan 5 (16,1%) penerbang pesawat tanpa awak. Analisis dengan uji t berpasangan mengungkapkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,910) antara kadar HSP 70 serum sebelum (5,59 (1,88- 20,17) ng/dl) dan sesudah (5,59 (1,88-20,17) ng/dl) uji latih hipoksia. Analisis dengan uji Wilcoxon mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,008) antara HIF-1α serum sebelum (534,03±261,48 pg/dl) dan sesudah (465,48±209,83 pg/dl) uji latih hipoksia.
Kesimpulan: Uji latih hipoksia tidak memengaruhi kadar HSP 70 serum pada penerbang militer. Terdapat penurunan kadar HIF-1α serum yang bermakna pada penerbang militer setelah melaksanakan uji latih hipoksia.

Background: Military pilots are at risk of experiencing hypoxia during flight duties due to the decrease in oxygen partial pressure that occurs as the aircraft reaches altitude. The body adapts to hypoxia through various mechanisms, such as stabilizing the levels of hypoxia inducible factor (HIF) and stimulating heat shock protein (HSP) release to maintain homeostasis. This study aims to determine physiological response to hypobaric hypoxia conditions in relation to serum HIF-1α and HSP 70 levels in military pilots who carry out hypoxia training tests at Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto.
Methods: This research is an experimental study with a one group pretest-posttest design conducted from May to July 2023. The research subjects were active military pilots who were scheduled to carry out hypoxia training tests, met the inclusion and exclusion criteria and were willing to sign informed consent. Oxygenation is administered after hypoxic exposure as part of the training procedure. Blood samples were taken before and after the hypoxia training test and then examined using the enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) method.
Result : A total of 31 military pilots were included in this study, consist of 13 (41.9%) transport aircraft pilots, 7 (22.6%) helicopter pilots, 6 (19.4%) fighter aircraft pilots and 5 (16.1%) unmanned aircraft pilot. Paired t test revealed that there was no significant difference (p = 0.910) between serum HSP 70 levels before (5.59 (1.88-20.17) ng/dl) and after (5.59 (1.88 -20.17) ng/dl) hypoxia training test. Data analysis using the Wilcoxon test revealed that there was a significant difference (p = 0.008) between serum HIF-1α before (534.03 ± 261.48 pg/dl) and after (465.48 ± 209.83 pg/dl) hypoxia training test.
Conclusion: Hypoxia training test did not affect serum HSP 70 levels in military pilots. There was a significant decline in serum HIF-1α levels in military pilots after performing hypoxia training test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Prijanto
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan merit system pada rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang di Polda Metro Jaya T.A. 2019 dan T.A. 2020 maupun faktor-faktor yang berpengaruh pada pelaksanaan rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang di Polda Metro Jaya T.A. 2019 dan T.A. 2020. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni post-positivism, sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen dan wawancara mendalam terhadap internal dan eksternal Polri dilanjutkan dengan analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pelaksanaan rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang di Polda Metro Jaya T.A. 2019 dan T.A. 2020 sesuai dengan penerapan merit system pada proses seleksi yang mengutamakan adanya kualifikasi, sertifikat/lisensi dan tes uji kompetensi keahlian. Namun, terdapat temuan pada penelitian ini yakni belum terdapat Peraturan Kapolri yang mengatur penerapan merit system dalam proses rekrutmen dan seleksi Bintara kompetensi khusus penerbang yang berbeda dengan rekrutmen dan seleksi Bintara Polisi Tugas Umum (PTU) yang terselenggara di Polda Metro Jaya T.A. 2019 dan T.A. 2020. Faktor utama pelaksanaan rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang dapat berjalan optimal yakni adanya kebijakan dan aturan Panitia Pusat Mabes Polri apabila terdapat penyimpangan akan dilakukan proses hukum kepada peserta dan panitia seleksi daerah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku untuk mewujudkan pelaksanaan rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang sesuai dengan penerapan merit system

This study aims to analyze the application of the merit system in the recruitment and selection of National Police Officers with special competence for pilots at Polda Metro Jaya T.A. 2019 and T.A. 2020 as well as the factors that influence the implementation of the recruitment and selection of the Special Aviation Police Officer at Polda Metro Jaya T.A. 2020. The approach used in this research is post-positivism, data collection is done through document studies and in-depth interviews with internal and external Polri followed by data analysis. The results showed that in the implementation of the recruitment and selection of National Police Officers Special Competence for Pilots at Polda Metro Jaya T.A. 2019 and T.A. 2020 is in accordance with the application of a merit system in the selection process that prioritizes qualifications, certificates/licences and skill competency tests. However, there are findings in this study, namely that there is no National Police Chief regulation that regulates the application of a merit system in the recruitment and selection process for Special Competency Officers (Bakomsus) for Aviation, which is different from the recruitment and selection of General Duty Police Officers (PTU) held at Polda Metro Jaya T.A. 2019 and T.A. 2020. The main factor in the implementation of the recruitment and selection of the National Police Officers Special Competence for Pilots can run optimally, namely the policies and rules of the National Police Headquarters Central Committee if there are deviations, the legal process for the participants and the regional selection committee will be carried out in accordance with the legal procedures applicable to the implementation of the recruitment and selection of NCOs The National Police Special Competence for Pilots is in accordance with the application of the merit system."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinabutar, Klara
"Latar belakang : Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan hubungan antara faktor-faktor risiko (polutan pekerjaan, usia, lama merokok, dan berat badan) dengan penurunan nilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) pada teknisi pesawat. Penurunan KVP yang menandai adanya gangguan paru restriktif dapat mengganggu fungsi pernafasan sehingga dapat menurunkan kinerja teknisi pesawat, sehingga perlu diketahui faktor-faktor risiko yang menurunkan KVP.
Metode : Penelitian ini menggunakan disain penelitian potong lintang dengan sampling purposif di antara teknisi pesawat. Pengambilan data dilakukan sejak 16 Mei 2013 sampai dengan 17 Mei 2013 di Skatek 021 Lanud Halim Perdanakusuma dan Lakespra Saryanto. Data diambil dengan wawancara dan pengisian kuesioner oleh peneliti dan pemeriksaan spirometri. Data yang didapat dianalisis dengan regresi linear.
Hasil : Total subjek yang menyelesaikan penelitian ini berjumlah 135 orang. Nilai KVP antara 61-123 dengan rerata 85,77 ± 12,18. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa paparan polutan pekerjaan memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan nilai KVP pada teknisi pesawat (r = -2,43, CI =-3,066;-1,80; P=0,000). Umur ternyata memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan nilai KVP pada teknisi pesawat (r = -0,42, CI =-0,64;-0,19; P=0,000). Subjek yang skor polutan pekerjaannya lebih banyak dan umurnya lebih tua maka nilai KVP akan makin turun. Bertambahnya 1 skor polutan pekerjaan dan 1 tahun umur akan menurunkan nilai KVP masing-masing sebanyak 2,43% dan 0,42%.
Kesimpulan : polutan pekerjaan dan umur terbukti berhubungan dengan penurunan nilai KVP pada teknisi pesawat.

Background : The aim of this study is to prove the effect of risk factors (pollutants, age, smoking duration, and body weight) with Forced Vital Capacity (FVC) among aircraft technicians. Forced Vital Capacity reduction that indicates restrictive lung disorders can impair respiratory function and degrade the performance of aircraft technicians, so it is important to identify the risk factors that decrease FVC.
Methods : This study used a cross-sectional study design with purposive sampling among aircraft technicians. Data collection was conducted from May 16, 2013 until May 17, 2013 at Technic Squadron 021 Halim Perdanakusuma Air Base and Institute of Aviation Medicine Dr. Saryanto (Lakespra Saryanto). Data retrieved by interviews and questionnaires by researchers and spirometry examination. The data were analyzed by linear regression.
Results : Total subjects who completed the study amounted to 135 people. FVC value between 61 to 123 with an average of 85.77 ± 12.18. This study showed that pollutants proved to have a significant effect with FVC among aircraft technicians [r = -2,43, 95% confidence interval (CI)=-3,066;-1,80 ;P=0,000]. Age had a significant effect with FVC among aircraft technicians (r = -0,42, CI =-0,64;-0,19 ;P=0,000). 1 point increase in pollutants score and 1 year of age will decrease the value of FVC respectively 2,43% and 0,42%.
Conclusion : Pollutants and age proved to affect the value of Forced Vital Capacity among aircraft technicians.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>