Studi ini membahas literasi digital dalam bingkai kebijakan literasi. Perspektif yang digunakan berpijak pada pandangan bahwa setiap kebijakan merupakan praktik diskursif yang melaluinya permasalahan dan solusinya diciptakan. Studi ini memaknai literasi digital sebagai luasan konsep dari literasi yang tunduk pada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Bertitik tolak dari asumsi bahwa kebijakan bukan sebuah konstruksi yang objektif, melainkan dikonstruksi secara subjektif melalui penciptaan makna, studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan literasi digital dikembangkan melalui praktik wacana dan bagaimana literasi digital dikonstruksi melalui proses pengembangan kerangka. Sebagai penelitian multidisipliner, studi ini menggunakan perspektif komunikasi kebijakan yang meletakkan kebijakan sebagai praktik diskursif yang dapat diinvestigasi. Studi ini mengadopsi teori Warschauer tentang teknologi dan inklusi sosial dan menggunakan kerangka literasi digital dengan tiga dimensi: pengetahuan, keahlian fungsional, dan sikap yang bertanggung jawab. Dirancang sebagai kajian postpositivist dengan pendekatan diskursif, penelitian ini menggunakan strategi analisis Bacchi untuk menganalisis dokumen kebijakan dan panduan Partelow tentang pengembangan kerangka untuk menganalisis kerangka literasi digital Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Data penelitian berupa sejumlah dokumen kebijakan, yakni rencana strategis, laporan tahunan, modul kerangka literasi digital Kemkominfo, dan hasil wawancara. Hasil analisis menunjukkan beberapa hal. Pertama, permasalahan yang mendasari kebijakan literasi digital dikonstruksi berdasarkan permasalahan media, yakni masifnya penyebaran konten negatif dan tindakan ilegal melalui internet dan media digital. Kedua, kebijakan literasi digital dirancang sebagai solusi kebijakan atas kekurangmemadaian pendekatan regulasi dalam menangani permasalahan media. Ketiga, elemen literasi merupakan permasalahan sekunder dalam kebijakan literasi digital. Keempat, proses pengembangan kerangka literasi digital melibatkan beragam aktor institusi dan mencakup beragam nilai. Kelima, kerangka literasi digital dikonstruksi mencakup kekhasan dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Keenam, kerangka literasi digital lebih berorientasi peningkatan kapasitas sikap yang bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial dibandingkan dengan pengetahuan teknis dan keahlian fungsional. Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara kebijakan literasi digital Kemkominfo dan teori literasi digital untuk inklusi digital, khususnya perbedaan paradigma dan tujuan. Namun demikian, keduanya dapat bersinambung pada dua titik pijak yang sama: sumber daya digital dan sumber daya sosial.
This study discusses digital literacy in the context of policy. The perspective used is by relying on the view that every policy is constituted to be discursive practices through which the policy problem and its solution are created. This research defines digital literacy as an expanded conceptualization of literacy that is subject to the development of information and communication technology. Based on the assumption that digital literacy policy is not objectively designed, but subjectively constructed to create the the policy problem and its solution, the objective of the research is to explain how digital literacy policy is developed and how digital literacy is constructed through the process of digital literacy framework development. Being a multidisciplinary study, this research applies policy communication perspective which views policy as discursive practice that is needed to be investigated. This research adapts Warschauer’s technology and social inclusion theory and uses the three-dimensional digital literacy: knowledge, functional skill, and responsible attitude. Designed as a postposivist study with a discursive approach, this research applies both Bacchi’s analytical strategy for analyzing the policy documents and Partelow’s guidelines of framework development for analyzing the Ministry of Communications and Informatics’ (MOCI) digital literacy framework. The data of the research consists of a number of policy documents, i.e. strategic plans, annual reports, and MOCI’s digital literacy framework modules. This research found several significant findings. Firstly, MOCI’s construction of the underlying problem of digital literacy policy focuses mainly on the problem of negative contents in internet and digital media. Secondly, MOCI’s digital literacy policy was initiated to be a policy solution due to the inadequacy of regulatory approach in handling with the massive spreading of the negative contents and illegal actions via internet and digital media platforms. Thirdly, the element of literacy is of secondary consideration that underlies MOCI’s digital literacy policy. Fourthly, the process of framework development of MOCI’s digital literacy framework involves diversely institutional actors and contains various values. Fifthly, the construction of MOCI’s digital literacy framework encompasses its own characteristics by entailing the nurture of Indonesian nationality values. Sixthly, MOCI’s digital literacy framework is oriented more on increasing the attitudes in the uses of social media rather than developing technical knowledges and functional skills. Therefore, based on these findings, this research concludes that there is a fundamental difference between MOCI’s digital literacy policy and the theory of digital litearcy for digital inclusion, particularly on the ground of their paradigm and goal. However, both may potentially be in convergence on the two common grounds: digital resource and social resource.